Kamis, 18 Februari 2016

Aku Membenci Kenyataan Bahwa Kau Mengenalku Dengan Sangat Baik

Aku membenci kenyataan bahwa kau mengenalku dengan sangat baik
Aku membenci kenyataan bahwa dulu sekali, aku membiarkanmu mengenalku dengan sangat baik

Aku bisa melupakanmu jika kau pergi lebih dulu
Aku bisa menghabiskan waktu, mencari kesenangan lain untuk itu
Aku bisa mencoba banyak hal, menertawakan ini-itu, bersama diri sendiri
Tapi jika kau datang lagi, tersenyum padaku lagi, menawarkan bahagia lagi, aku bisa apa?

Aku bisa melipat kedua tangan di depan dada
Mematikan rasa di balik wajah datar yang asing untukmu
Melemparkan kalimat-kalimat kasar untuk melindungi diri
Tapi kala kau mendekati, tersenyum padaku lagi, mengusap kepalaku dengan telapak tangan dan rasa seperti dulu, aku bisa apa?

Aku bisa membunuh waktu dengan mendengarkan lagu
Yang berirama cepat untuk menghabiskan hari
Yang bernada sendu untuk menemani di dini hari
Agar tak ada waktu untuk mencarimu lagi
Tapi kalau kau kembali menghubungi, menawarkan diri untuk mendengar cerita-cerita yang tak tahu harus kubagi pada siapa lagi, aku bisa apa?

Aku bisa duduk seorang diri di sudut kafe
dengan sebuah buku, sepiring kue, dan secangkir kopi
Atau mengunjungi toko buku untuk menilik satu per satu novel di sana
Atau hanya duduk di kursi dingin halte dengan sekeliling yang sepi
Hingga hari berakhir dan aku lelah sendiri
Tapi jika kau hadir lagi, menawarkan diri menemani, menghabiskan hari-hari seperti dulu lagi, aku bisa apa?

Aku membenci kenyataan bahwa sekian tahun ini, kau bisa mengenalku dengan sangat baik
Aku membenci kenyataan bahwa aku adalah perempuan yang begitu mudah ditebak
begitu mudah luluh
begitu mudah menerima kembali
Walau kau sudah meninggalkan berkali-kali

Aku membenci kenyataan bahwa aku adalah perempuan paling menyedihkan di hidupmu
Bahwa hanya padamulah aku banyak bercerita
Tentang betapa aku senang didengarkan
betapa aku bisa tenang jika puncak kepalaku diusap
betapa hanya senyummu yang paling kusuka
betapa hanya dirimu yang selama ini selalu ada

Aku membenci kenyataan bahwa kau mengenalku dengan sangat baik
Hingga aku tidak bisa menjadi yang meninggalkan pertama kali
Hingga aku tak kuasa untuk benar-benar pergi
Hingga aku enggan menolak kehadiranmu tiap datang lagi
dan memintaku kembali

Minggu, 14 Februari 2016

Bagaimana Jika

Bagaimana jika setelah berpisah, aku masih menunggu telepon dan pesanmu setiap hari?
Atau masih bergegas ke pintu depan, hanya karena suara kendaraan yang menyerupai milikmu?
Atau masih tak rela menghapus seluruh pesan di ponsel, karena seluruhnya adalah darimu?
Bagaimana jika, aku masih hidup bersama masih-masihku yang lain?

Bagaimana jika setelah berpisah, lalu kita bertemu lagi?
Bagaimana jika aku tak kuasa menahan diri untuk berlari
menghampiri pertama kali, menyapamu seperti seorang kekasih?
Bagaimana jika aku malah membeku
tak sanggup memberi reaksi, lalu kita hanya bertukar tatap seakan tak pernah saling tahu?
Bagaimana jika, aku bahkan tak bisa mengendalikan diri sendiri?

Bagaimana jika setelah berpisah, aku sering membandingkanmu dengan kekasihku kini?
Dia yang tak mengerti leluconku
Dia yang tak memujiku di depan orang-orang
Dia yang tak memberiku kejutan seperti caramu
Dia yang tak mengerti bahasa di balik seluruh bisuku
Dia yang gampang bosan dengan cerita-ceritaku yang tak tahu akan kubagi pada siapa lagi
Bagaimana jika, aku tetap mempertahankanmu di dalam kepala, pun nurani?

Bagaimana jika setelah berpisah, orang-orang mengira kita masih bersama?
Apa aku harus berkata sejujurnya, berpura-pura baik-baik saja di depan mereka?
Apa aku harus berbohong, agar tak ada yang tahu deras di wajah setiap malamnya
deras di hati setiap saatnya?
Bagaimana jika, aku terus hidup di dalam ilusi tentangmu dan hubungan kita dulu?

Bagaimana jika setelah berpisah, kita bertemu kala bersama kekasih masing-masing?
Bagaimana jika aku merasa lebih baik dalam segala hal dari kekasihmu yang sekarang?
Bagaimana jika aku hanya menatapmu, melupakan genggam hangat yang enggan melepaskan jemari?
Bagaimana jika aku tak mampu mengontrol ekspresi, dan kau menemukan sedih ini?
Bagaimana jika, kau pun masih memandangku dengan cara yang sama seperti milikku?

Katamu, “Kita akan baik-baik saja walau tak bersama,”
katamu, “Kita sudah saling tahu terlalu banyak hal untuk merasa berat menghadapi perpisahan,”
katamu, “Kita akan baik-baik saja,”
katamu, “Aku selalu cinta. Aku tahu kau pun begitu,”
katamu, “Kita akan baik-baik saja setelah tak lagi bersama,”
katamu, “Bersama tak cocok untuk kita.”

Kalau kita akan baik-baik saja, lalu mengapa aku membiarkan malam menemani lebih panjang
menunggu teleponmu
membaca seluruh pesanmu berulang-ulang
melihat foto-foto kita sekian tahun terakhir
mendengar lagu sendu untuk kembali mengingatmu
lagi dan lagi?

Kalau kita sudah saling tahu terlalu banyak hal, apa kau tahu aku belum pernah jatuh cinta sejatuh-jatuhnya, sedalam-dalamnya, seperti yang kurasa padamu?
Hingga membuatku terlalu sering mengedarkan pandangan setiap bepergian
di kafe yang pernah kita kunjungi
di jalan raya sekitar tempat tinggalmu
bahkan di tengah kemacetan dengan kurungan gerimis
ditemani kenangan-kenangan kita dulu yang enggan mati dari kepala

Kalau kau selalu cinta, kenapa malah melepaskan dengan rela?
Kalau kau selalu cinta, kenapa tak mempertahankan?
Kalau kau selalu cinta, kenapa tak pernah menanyakan kabar?
Kalau kau selalu cinta, apa bagimu artiku hanya sebatas sekian tahun kemarin?

Bagaimana mungkin kita akan baik-baik saja, seperti katamu?
Bagaimana mungkin cinta malah membuat seseorang ingin berpisah, seperti katamu?
Bagaimana mungkin dua orang yang saling cinta tak cocok bersama, seperti katamu?

Bagaimana jika setelah berpisah, aku bahkan tak bisa melupakanmu dengan segala benci yang kupupuk sebisaku?
Sementara kau sudah bahagia tanpaku?
Bagaimana jika setelah berpisah, cintaku malah semakin menggunung karena kau jauh?
Sementara cintamu sudah habis kauberi pada kekasihmu yang baru?

Bagaimana jika...,
Bagaimana jika sedari dulu...,
Bagaimana jika sedari dulu memang hanya aku yang selalu cinta?

Kamis, 15 Oktober 2015

Membunuhmu


Ada waktu-waktu ketika aku ingin membunuhmu
Dari dalam dada, pun kepala
Bersama airmata yang menderas di Agustus
Juga amarah yang meletus-letus

Aku pernah membunuhmu di dalam cerita-cerita dari jemari
Hingga kau akhirnya tak lagi menjadi yang terus bahagia
Lalu aku kembali sesenggukan, meraung-raung, merintih, meratapi
Tak mampu menahan pedih karena ditinggalkan lagi

Semakin tua tahun, semakin tak terhingga hitungan kebersamaan,
aku semakin lelah menghidupkanmu di dalam kepala
Aku ingin kau mati saja, bersama bulir peluh yang keluar dari pori
Atau bergabung dengan sisa makanan yang berhasil kucerna
Tapi aku tak tega

Aku mencintaimu sedalam-dalamnya, sedalam dirimu setiap menembusku
Namun kau hanya sebatas itu, membuat keinginan membunuhku tak
habis-habis,
walau belum bisa menandingi banyaknya kasih yang selama ini mampu
kuberi

Aku ingin membuatmu merasakan mati,
seperti yang ramah kurasa setiap dini hari, kala kau mematikan telepon
terlebih dahulu sebelum nada-nada rinduku terbalas
seperti yang akrab menyapa hariku dalam jelma noda bekas airmata yang
tak hilang-hilang dari bantal
seperti yang karib merasuki dada dalam perih tanpa luka, tapi lebih pedih
dari baret yang berdarah-darah

Tenang saja, aku akan membunuhmu dengan cara sederhana
Bukan melukaimu, seperti yang selama ini dengan mudah kaulakukan
padaku
Bukan pula dengan meninggalkanmu, karena aku tak bisa menjadi yang
pertama membalikkan tubuh
Bukan juga dengan melupakan, seperti alasan berujung maaf yang sudah
kuhafal hingga ke sudut terdalam kepala

Suatu saat, semoga ada waktu di mana aku mampu membunuhmu
Lewat kata cinta yang perlahan memudar
Tawa yang lenyap
Atau tatap mata yang kering akan kasih setiap menemuimu
Suatu saat nanti

Atau semoga kau panjang umur
Terpelihara, renta, dan mati dengan sendirinya tanpa cinta
Agar aku tidak perlu berpura-pura menjadi jahat yang bukan aku
Dan kau membusuk dari dahi, kaki, hingga hati
yang tak pernah untukku