Selasa, 04 Juni 2013

Remember Me - Ending :")

Perempuan itu bisa merasakan kesibukan di sekitarnya. Ia bisa merasakan tubuhnya sedang ditangani dengan intens oleh beberapa orang sekaligus. Ia bisa merasakan keributan, bahkan teriakan dokter di dekatnya. Namun tak bisa memberi repon, pun membuka mata. Mungkin efek obat bius atau apa, entahlah.
Tiba-tiba, beberapa potong kejadian memasuki memorinya. Tidak lagi berdesakan dan berebutan masuk seperti beberapa tahun terakhir, semuanya kini teratur. Mengalir, seakan benar-benar kembali pada tempat semula yang telah lama ditinggalkannya. Diam-diam, perempuan yang tidak lain adalah Fanya itu tersenyum tipis. Sakit itu ia dilupakan. Yang paling penting, kini ia sudah bisa mengingat.
***
I remember, the way you glanced at me
Yes I remember
I remember, when we caught a shooting star
Yes I remember
“Kamu kalo ngambek gitu cakepnya makin keliatan, deh.” Lelaki dengan celana pendek kargo dan kaus bergambar The Beatles tersebut ikut berbaring d sebelah Fanya. Langit malam dari atas rumput taman belakang rumah perempuan itu memang merupakan tujuan rutin keduanya setiap hari. Tak boleh terlewatkan.
“Lo pacaran aja sana sama tugas kampus! Lupain aja gue!” Fanya sontak menepis tangan Haykal yang mengelus kepalanya.
Haykal menghela napas panjang. “Tugasku lagi bener-bener numpuk, sayang. Semuanya harus selesai besok, baru aku boleh ngajuin proposal tugas akhir. Aku mesti jelasin berapa kali, sih?”
“Bodo.” Perempuan dengan terusan polkadot tersebut membelakangi tubuh kekasihnya.
“Jadi ngambek, nih?” Lelaki yang malam itu menanggalkan kacamatanya malah mencolek pinggang Fanya, membuat perempuan berambut ikal tersebut tersentak. Kaget bercampur geli.
“Apaan, sih! Nyebelin!”
“Balik sini kalo gitu,” rajuk Haykal tanpa menghentikan aksi telunjuknya di pinggang sang kekasih.
“Gak mau! Sana lo! Balik aja pacaran sama tugas!”
“Beneran gak mau?”
“Menurut lo?”
“Oke.”
Hening.
Fanya kontan mengerutkan keningnya. What? Jangan bilang dia... beneran balik dan kerja tugas? Oh, God! Kapan sih cowok itu bisa peka dikit? Ck! batinnya. Lalu membalikkan tubuh, berniat kembali berbaring dalam posisi telentang dan menikmati langit malam yang penuh bintang.
Namun tiba-tiba, ia menoleh dan merasakan tubuh mungilnya ditarik paksa ke dalam rengkuhan hangat milik seseorang yang ternyata masih berbaring tepat di sebelah kirinya. Membuatnya berontak, apalagi saat sosok itu mendekatkan wajah dan sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya. Sesuatu yang sebenarnya saat ia kenal, sangat akrab dengan kesehariannya tiga tahun ini. Diikuti desakan lidah yang memaksa masuk ke dalam mulutnya, juga jemari yang tersisip di antara rambut panjangnya.
Fanya terpaku. Entah mengikuti naluri atau apa, ia malah menikmati hal tersebut. Matanya terpejam, sedangkan kedua tangannya meremas lengan lelaki itu.
Saat napas keduanya mulai tak beraturan, pemilik bibir yang tak lain adalah Haykal itu langsung menarik dirinya –sebelum kehilangan terkontrol. “Apa aku harus nyium kamu dulu, baru kamu mau berhenti ngambek?”
Wajah Fanya seketika memerah. Kedua pipinya menggembung, tanda ia sedang menahan malu.
Haykal kontan tertawa. Ia lalu meraih tubuh kekasihnya mendekat, merapat dalam dadanya yang hangat. “Tapi aku gak keberatan kok kalo kamu ngambek terus, asal bisa sering-sering nyium kamu.”
I remember, all the things that we shared
and the promise we made, just you and I
I remember, all the laughter we shared
All the wishes we made, upon the roof at dawn
Do you remember?
When we were dancing in the rain in that december
And I remember, when my father thought you were a burglar
“Fanya! Ini hujan, kamu bisa berhenti kekanak-kanakan, gak? Mau sakit?” Teriakan lelaki itu teredam derasnya hujan.
Di depannya, sosok Fanya terus berjalan membelah hujan yang membasahi jalanan dekat sekolahnya. Dengan Haykal yang mengikuti dari belakang.
“Nya!!!” Haykal langsung mencekal pergelangan tangan kekasihnya tersebut, sebelum ia semakin jauh. Kemudian menariknya ke teras ruko yang tertutup untuk berteduh. Pakaian mereka berdua sudah basah kuyup. Ia dengan kemeja dan celana katun, sedangkan Fanya dengan seragam putih abu-abu.
“Lo kalo gak niat jemput gue, bilang! Gak usah bikin gue nunggu kelamaan sampe dikira satpam sekolah!” sorak Fanya sambil menyentakkan genggaman kekasihnya dengan kasar. Meluapkan amarah.
“Bukannya aku udah bilang kalo mata kuliahku baru selesai pas sore? Kamu sendiri yang bilang mau nunggu, kan?” Emosi lelaki itu pun ikut terpancing. Pandangan teduhnya menghilang entah kemana.
“Oh, jadi sekarang lo ngelimpahin kesalahannya sama gue? Gitu? Hebat banget!!!”
Baru saja Fanya hendak berlalu, lelaki yang kemejanya sudah berantakan tersebut kembali mencekal tangannya. “Oke! Oke! Aku yang salah. Puas?”
“Udah, deh. Gue udah gak tahan. Mending kita udahan aja sampe di sini.” Perempuan yang kunciran rambutnya sudah awut-awutan itu kembali berusaha membebaskan tangannya, namun kali ini tidak berhasil. “Lepasin! Sakit, tau gak! Kasar banget sih jadi cowok!”
“Gak bakalan kalo kamu masih emosi gini.” Haykal menatap perempuan di depannya dengan tajam. Guntur menyela beberapa kali. “Coba liat mata aku. Dan ngomong kalo kamu udah gak sayang sama aku.”
Fanya kontan mengangkat wajahnya. Kemudian bertukar pandang dengan lelaki berkumis tipis dan hidung mancung tersebut. Ia menyadari, ada sesuatu yang berdesir di dadanya setiap bertatapan dengan pemilik mata teduh itu.
“Coba, aku mau denger kamu ngomong kayak yang aku bilang tadi,” ulang Haykal.
Fanya membuka mulutnya sejenak, namun segera mengatupkannya kembali. Lidahnya kelu. Ia tidak terbiasa berbohong selama ini.
“Kenapa? Kok diem?”
“A-aku...” Perempuan itu langsung menunduk. Menghindari tatapan kekasihnya, lebih memilih terpaku pada kedua flat shoes miliknya yang dipenuhi bercak lumpur.
“Kamu nih... Ck!” Haykal tak jadi melanjutkan kalimatnya. Lelaki bertubuh tegap dengan dada bidang dan perut rata tersebut memilih menarik tubuh kekasihnya ke dalam pelukan. Membiarkan tubuh mereka berbaur dalam keadaan basah kuyup.
Fanya menurut. Ia malah menyandarkan kepalanya ke dada Haykal. Memejamkan mata saat ciuman menenangkan milik lelaki itu mendarat di puncak kepalanya.
“Maafin aku, ya...” bisik Haykal.
Perempuan bertubuh mungil tersebut mengangguk pelan.
Haykal melepaskan pelukannya. “Kita pulang sekarang, yuk!”
Fanya mengangguk sambil tersenyum. Namun ia masih bergeming saat kekasihnya melangkah menjauhi ruko tempat mereka berteduh. Membuat langkah lebar Haykal terhenti –masih di bawah guyuran hujan.
“Kok masih di situ? Buruan!” Lelaki itu mengulurkan tangannya, minta diraih.
“Gendong,” rajuk Fanya.
Haykal buru-buru kembali ke naungan atap teras ruko. “Kamu jangan becanda, deh. Ini udah hampir magrib.”
“Siapa yang becanda?” Perempuan berseragam SMA tersebut melipat kedua tangannya di depan dada. “Karna kamu udah bikin aku nunggu hampir tiga jam, jadi sekarang kamu harus gendong aku sampe ke mobil. Titik.”
“Nya, aku markirnya jauh, loh. Gak usah macem-macem maunya.”
“Gak mau? Ya udah. Aku gak mau pulang bareng kamu. Mending jalan kaki sambil hujan-hujanan.”
“Fanyaaa...” Haykal menggeram di akhir kalimatnya. Antara menahan gemas dan kesal.
“Apa?”
Lelaki itu pun langsung berjongkok di depan kekasihnya –dengan berat hati. Kontan saja membuat Fanya dengan senang hari menjatuhkan tubuh ke punggung bidangnya. Ia lalu berusaha berdiri. Walaupun mungil, menggendong Fanya ternyata butuh tenaga keras juga.
“Jalannya jangan cepet-cepet. Aku lagi ngenikmatin hujan.” Perempuan itu harus menepuk pundak Haykal berulang kali untuk mengikuti kemauannya.
“Hujannya deras banget, sayang. Mobilnya juga masih di depan sana,” balas Haykal.
“Biarin. Pokoknya aku mau lama-lama di bawah hujan.”
“Kalo kamu sakit, gimana?”
“Apa gunanya aku pacaran sama calon dokter kalo sama sakit aja takut?”
Haykal langsung menoleh. Kemudian tersenyum penuh arti dan menghentikan langkahnya. Mereka berdua bertatapan dalam diam. Lalu entah siapa yang memulai, bibir mereka sudah menyatu. Dibingkai oleh hujan deras.
I remember, the way you read your books
Yes I remember, the way you tied your shoes
Yes I remember, the cake you loved the most
Yes I remember, the way you drank you coffee
I remember, the way you glanced at me
Yes I remember, when we caught a shooting star
Yes I remember, when we were dancing in the rain in that december
And the way you smile at me, yes I remember
(Mocca – I Remember) ♫♪
***
            Hal pertama yang didengar Fanya setelah membuka matanya adalah mesin pendeteksi detak jantung yang sepertinya terletak tepat di sebelah telinganya. Sedang yang pertama dilihatnya adalah cahaya lampu di atas tempat tidur. Membuatnya harus mengerjapkan mata beberapa kali untuk menetralisir sinar yang tiba-tiba merasuk indra penglihat miliknya.
“Nya? Fanya? Kamu udah sadar, sayang?” Merupakan suara kedua yang ia dengar, berasal dari sebelah kanannya. Ia pun menoleh sekuat tenaga, setelah sebelumnya menyadari bahwa lehernya di-gips sedemikian rupa.
“Kamu kenapa? Ada yang sakit? Aku panggil dokter dulu, ya!” Pemilik suara bernada khawatir tersebut berniat membalikkan tubuh, namun diurungkan saat mendengar deheman dari sosok yang masih terbaring di atas tempat tidur rumah sakit itu.
“Kenapa?” Lelaki yang tak lain adalah Haykal tersebut langsung mendekatkan telinganya ke arah sang tunangan.
“A...ir...” ujar Fanya dengan suara yang serak.
Haykal pun kontan menyodorkan segelas air putih lengkap dengan sedotan ke depan bibir Fanya. Tangan kanannya menopang kepala bagian belakang perempuan itu, memudahkannya untuk minum.
Fanya menghabiskan setengah dari isi gelas tersebut. Lalu kembali berbaring. Napasnya mulai teratur.
“Aku panggil dokter dulu.”
“Gak usah,” sela Fanya cepat.
Kedua alis Haykal menyatu.
“Aku udah baikan, kok. Kamu di sini aja.”
Alis tebal milik lelaki itu masih bertaut, namun ia memilih menuruti kemauan perempuan di depannya. Kemudian kembali duduk di kursi samping tempat tidur, tempatnya menjaga sang tunangan sejak kondisinya membaik sehari yang lalu.
“Aku gak pernah ngerasa sesehat dan sebahagia ini sebelumnya,” ucap Fanya. Memecah keheningan yang sempat tercipta.
Haykal belum berani angkat bicara. Setahunya, dua hari yang lalu tunangannya ini bangun dari koma dengan raut heran. Lalu mengapa sekarang dirinya yang dibuat demikian?
“Haykal Pradipta Saputra...”
Jantung lelaki itu langsung berdetak dua kali lebih cepat saat mendengar nama lengkapnya disebut.
“Aku... udah inget semuanya.”
Hening. Sedetik. Tiga puluh detik. Semenit.
“Se... Serius?” Suaranya bahkan tercekat di tenggorokoan.
Dan anggukan lemah Fanya-lah yang menjadi awal dari pelukan eratnya. Pelukan yang sarat akan rindu. Disertai kecupan berulang kali di dahi dan puncak kepala perempuan yang sangat dicintainya itu.
***
            “Saya sudah dengar cerita dari mereka.”
Suara berat itu kontan membuat tubuh jenjang milik Dokter Ita menyingkir dari depan pintu ruangan dimana Fanya dirawat. Tempat ia menyaksikan adegan –sok romantis menurutnya– sejak beberapa saat lalu.
Pemilik suara berat tersebut menghampiri Dokter Ita yang seketika langsung memasang ekspresi tegang. “Dokter yang sengaja memanipulasi mobil Haykal sampai remnya blong. Iya, kan?”
“Dok-Dokter tau darimana?” Dan saat itu juga, perempuan dengan long dress hitam itu langsung menyesali kalimatnya.
Lelaki berjas dokter di depannya spontan tertawa pelan. “Saya punya banyak mata, Dokter Ita. Apa sebesar itu perasaan Dokter pada calon menantu saya, sampai-sampai hampir menghilangkan nyawa anak saya sendiri?”
Dokter Ita sontak menyandarkan tubuhnya ke dinding rumah sakit tempat Dokter Wirawan –ayah Fanya– bekerja. Lunglai. “Saya... juga mencintainya, Dokter. Apa salah? Toh mereka belum menikah,” sahutnya lemah, dengan kepala tertunduk.
“Cinta itu tidak selamanya bisa memiliki, Dokter. Apalagi cinta yang dipaksakan, tidak ada indahnya sama sekali.”
“Tapi bukannya cinta juga perlu diperjuangkan?”
“Iya, jika keduanya sama-sama saling cinta. Kalau hanya satu yang memperjuangkan, sama saja dengan kesia-siaan.”
Perempuan itu tersenyum sinis. “Coba Fanya yang ada di posisi saya, apa Dokter masih bisa ngomong begitu?”
“Jelas. Saya tidak mau melihat Fanya memperjuangkan laki-laki, apalagi dengan tindakan bodoh menjurus kriminal seperti Dokter Ita,” balas Dokter Wirawan. “Saya sebenarnya sudah berniat melaporkan tindakan ini ke polisi, saya sudah punya bukti dan saksi. Tapi karena istri saya tidak mau memperpanjang masalah, jadi saya juga cukup mengasihani anda.”
Dokter Ita bergeming.
“Dokter ini cantik. Bukan hal yang sulit untuk mencintai laki-laki lain. Dokter cuma butuh orang yang tepat.”
Tubuh perempuan bertubuh jenjang tersebut kembali tegak. Kemudian berbalik, hendak meninggalkan dokter senior itu.
“Saya cuma memberikan masukan, Dokter. Dan, oh iya. Saya harap Dokter membiarkan Haykal dan Fanya bahagia. Kebahagiaan Dokter bukan ditentukan oleh hubungan mereka,” tandas ayah Fanya. Sebelum Dokter Ita berlalu dari hadapannya.
***
Satu minggu kemudian...
            Tak ada hal-hal seru yang terjadi sepanjang minggu ini, kecuali Fanya yang terus merengek untuk dibawa pulang. Perempuan itu harus mogok makan dulu, baru diizinkan meninggalkan rumah sakit tempatnya dirawat selama sebulan terakhir ini.
Ia begitu merindukan suasana dan segala macam hal tentang rumah. Dan begitu ia kembali, entah mengapa tubuhnya jadi sehat. Semangatnya kembali.
“Sayang, kamu naik tangganya jangan sambil lompat-lompat gitu, dong! Ntar jahitannya kebuka, gimana?” Teriakan Haykal muncul dari bawah.
“Apaan, sih? Emangnya aku abis melahirkan? Jangan lebay, deh! Aku udah sembuh, tau!” sahutnya, cuek.
Haykal berdecak gemas seraya ikut menaiki tangga menuju kamarnya yang terletak tepat di seberang kamar Fanya di lantai atas. Ayah dan ibu perempuan itu masih sibuk di rumah sakit. Jadi –lagi-lagi– hanya mereka berdua di rumah ini.
Lelaki dengan baju kaus putih bertuliskan ‘engagement with pretty woman’ tersebut menyandarkan tubuh tegap miliknya ke sisi pintu kamar Fanya sejenak. Kemudian ikut memasuki kamar itu, menghampiri tunangannya di atas tempat tidur.
“Aku bahagia banget loh sekarang. Gak pa-pa deh kecelakaan sampe badan penuh luka gini kalo akhirnya bisa inget sama kamu,” ujar perempuan berkaus putih bertuliskan ‘engagement with awesome man’ tersebut. Sepasang kaus yang mereka buat beberapa tahun lalu, sebelum Haykal memutuskan pindah ke Australia. Senyumnya merekah.
Di sebelahnya, senyum Haykal tak kalah lebar. “Aku lebih bahagia lagi. Lebih dari apapun di muka bumi saat ini.”
Hening.
Fanya sibuk mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar, sedangkan Haykal sendiri sibuk menatap wajah perempuan itu.
Dan entah naluri darimana, lelaki yang rambutnya mulai menyentuh tengkuk tersebut memutuskan jarak dengan tunangannya. Hingga kedua tubuh mereka saling menyentuh, bibir keduanya saling bertaut, dan jemari yang sibuk mennyampaikan rindu lewat genggaman.
Tiba-tiba, Fanya menarik wajahnya yang merona dan napas terengah.
Haykal menatapnya dengan dahi berkerut.
“Aku... buatin kamu cappucino dulu. Kamu belum sarapan, kan? Hm, sekalian roti bakar selai kacangnya, gak?”
Lelaki itu kontan tersenyum, lalu mengangguk. “Aku selalu suka masakan kamu, yang jelas segala sesuatu yang ada kamu-nya. Oh, iya. Bikinnya pake cinta, ya! Itu yang paling penting, jangan lupa!”
Fanya tertawa sekilas, kemudian melangkah –setengah berlari– meninggalkan kamar setelah bibirnya kembali dikecup mesra oleh sang tunangan.
Saat langkahnya mencapai pintu kamar, perempuan mungil tersebut kembali berbalik. “Kamu jangan kebanyakan gombal. Aku udah kenyang,” ujarnya seraya memilin ujung rambut ikalnya.
“Trus, maunya apa?” Kedua alis tebal Haykal dibuat bertaut.
“Dilamar, dong. Siapa yang gak mau ganti status dari tunangan jadi istri, coba?” jawab Fanya. Lalu buru-buru berlari menuju dapur di lantai bawah. Sebelum rona merah di kedua pipinya bisa membakar wajahnya.
Di dalam kamar, Haykal tersenyum lebar. Istri? Okay, secepatnya! batin lelaki itu. Kemudian menyusul tunangannya dengan langkah lebar.
I remember, the way you read your books
Yes I remember, the way you tied your shoes
Yes I remember, the cake you loved the most
Yes I remember, the way you drank you coffee
I remember, the way you glanced at me
Yes I remember, when we caught a shooting star
Yes I remember, when we were dancing in the rain in that december
And the way you smile at me, yes I remember ♫♪