Rabu, 29 Oktober 2014

apa saja

aku selalu senang duduk di sini
menatap ombak menggoda jemari kaki
dengan toskanya yang genit
seakan meminta melupakan segala sakit

katamu, kamu mencintai laut
tempat teriakan sarat rindumu bersahut-sahut
sedang kala itu aku telanjur jatuh hati pada langit
dia selalu sanggup meredakan konflik antara logika dan hati yang sengit

di sini, aku tengah menikmati kesukaanmu
apa kamu mencintainya lebih dari rasamu pada perempuan itu?
kalau iya, aku bisa menjadi laut
tempatmu melupakan kalut

aku juga bisa menjadi langit
nanti kuajari kamu mencintainya juga
atau... kamu mau aku jadi apa?
asal bisa merasakan cinta darimu, aku bisa jadi apa saja.


Selasa, 21 Oktober 2014

Selamat, Mama.

21 Oktober 2014, 21.28 WITA

Mama, sudah keempat puluh delapan kalinya Mama melewati tanggal ini sepanjang hidup. Empat puluh delapan, bukan angka yang kecil dalam hitungan. Sudah sejauh ini, adakah yang masih mengganjal di hidup Mama? Atau... adakah harapan Mama yang belum terwujud? Karena aku, jika sudah seusia Mama nanti, berharap segala yang kutulis dan kugulung rapi di stoples berisi impian-impianku sudah menjelma nyata.

Mama, maaf karena di empat puluh delapan tahun hidup Mama, aku belum memberi sesuatu yang berarti, sesuatu yang membuat Mama bahagia sekaligus bangga sekali. Maaf karena telah menjadi satu-satunya anak yang lebih sering menyusahkan daripada menggembirakan. Maaf karena terlalu banyak mau, bahkan terkadang tak mengerti keadaan. Maaf karena tidak selalu ada, di akhir hari yang lelah maupun awal hari yang cerah. Maaf, maaf untuk segala salah dan keliru selama ini.

Mama, terima kasih karena di empat puluh delapan tahun hidup Mama, Mama telah menjadi ibu paling sempurna bagiku. Terima kasih karena mengerti tanpa perlu kujelaskan. Terima kasih karena selalu ada, walau aku masih abai. Terima kasih karena mengajarkanku kuat, walau kadang lewat kalimat demi kalimat yang tegas. Terima kasih karena telah mendidikku menjadi perempuan tegar, dan mandiri sehingga tak pernah menuntut banyak seperti anak tunggal yang manja di luar sana. Terima kasih karena sudah membesarkanku, memberiku segala tanpa mengharap lebih.

Mama, semoga masih ada empat puluh sembilan, bahkan sembilan puluh sembilan tahun untuk Mama. Untuk kita habiskan bersama. Untukku membuat Mama bangga, membuktikan bahwa segala kasih Mama dulu bisa kubalas dengan manis. Untukku melihat Mama menangis bangga dan semakin memamerkanku pada dunia. Untukku memberitahu, bahwa aku juga bisa sukses dengan jalan yang kupilih sendiri, dan impian-impian yang terwujud karena peluh diri. Untukku melihat Mama menghabiskan waktu dengan istirahat dan membiarkanku mengerjakan semua di rumah.

Mama, maaf untuk beberapa hal yang mungkin telah membuat kecewa. Maaf karena bukannya memberi ucapan dengan peluk hangat dan kecup di pipi, aku malah memilih menyendiri dan menulis surat yang belum Mama baca ini. Maaf karena menjadi anak satu-satunya yang tidak pernah menunjukkan cinta dengan gamblang seperti anak perempuan lain. Maaf karena aku lebih banyak diam, memendam, mencurahkan lewat tulisan, daripada menceritakan pada Mama segala kesah—mengharap peluk atau cium di dahi dengan pipi basah.

Mama, terima kasih untuk segala hal dalam dua puluh satu tahun hidupku, hidup perempuan yang hadir dari dalam diri Mama.

Selamat mengulang tanggal 21 Oktober, Mama. Selamat menikmati usia empat puluh delapan tahun. Suatu saat, bacalah ini, Ma. Karena aku mencintaimu lebih dari siapapun di dunia, lebih banyak dari jumlah kata yang dicipta dua puluh enam alfabet di bumi kita.


Sabtu, 18 Oktober 2014

I called it love, and you?

Jika kabar hanya deretan huruf yang menyuratkan rindu, sesulit itukah memberiku?
Jika kabar hanya tulisan abstrak dalam kertas kusut, sesusah itukah agar tak membiarkanku kalut?
Jika kabar hanya berisi, “Aku baik-baik saja,” sesukar itukah untuk membuatku lega?
Jika kabar hanya sekadar tentang menunggu, apa selama ini hanya aku yang merindu?

Kebersamaan kita yang awet hanya kisaran angka tanpa kabar
Aku yang kelihatannya selalu bahagia hanya bersembunyi dari kehausanku akan kabar
Kebersamaan yang berakar saling percaya, pada akhirnya juga membutuhkan kabar
Aku masih percaya bahwa jika kau merasakan rindu yang sama, kau pasti memberi kabar

Nyatanya?
Kabar hanya tentang deretan huruf dan dan tulisan di layar ponselmu

Sementara bagiku, bagi kami—perempuan, kabar adalah segala sesuatu tentang cinta
Tentang bagaimana kau merasa rindu yang sama
Tentang bagaimana kadar cinta yang juga kaupunya
Tentang bagaimana kau pun tak mampu menumpuk rasa untuk berjumpa
Tentang bagaimana kau menghargai hubungan yang tak melulu mengenai bertukar telepati di kepala
Bukan semata tentang saling percaya.

Jika kabar adalah saling percaya tanpa kabar darimu, apakah status kauanggap sebagai rantai agar aku terus di sisimu?
Kalau iya, terima kasih, karena kini kau berhasil membuatku tak ke mana-mana.

Tapi, izinkan aku mengingatkanmu—yang entah sudah keberapa kali
Bila suatu saat aku letih, tak usah bertanya mengapa aku pergi
Jika tiba-tiba ada yang menghujani perhatian, jangan heran karena aku meladeni
Mungkin pada saat itu, suatu hari nanti, yang masih entah, aku pasti akan berhenti.

Selasa, 07 Oktober 2014

Untukmu. Iya, kamu.

Untuk diriku... sepuluh tahun mendatang,

Malam ini, aku ingin berbicara dan memastikan suatu hal yang akan terjadi nanti saat usiamu sudah tiga puluh satu tahun. Sudahkah kamu menikah? Dengannya-kah? Belum? Ah, kau pasti kepalang bahagia dengan kebebasan yang disajikan kesendirianmu. Menikahlah, Feb. Suami adalah pintu surga bagimu, menurut sebuah hadist yang pernah kubaca.

Jangan menutup surat ini kalau kau benci melihatku membahas pernikahan. Tidak, aku tidak akan membahasnya kalau kau belum menikah.

Atau kau sudah disanding olehnya? Jadi... bagaimana? Bahagia-kah? Aku tersenyum membayangkanmu membaca ini nanti, saat usiamu sudah tiga puluh satu tahun. Sepuluh tahun lalu, kau masih perempuan kecil yang hobi mengkhayal dan berbicara pada diri sendiri, ingat?

Malam ini, 7 Oktober 2014, aku ingin berbincang denganmu, kalau-kalau kau lupa tentang sesuatu yang seharusnya sudah kamu miliki saat usiamu sudah tiga puluh satu tahun; rumah idaman.

Saat kau masih dua puluh satu tahun, kau hobi mengoleksi gambar dari google, terutama yang berkaitan dengan interior. Sedang tiga hal yang harus ada di gambar-gambar tersebut; rak buku, lampu gantung, dan warna seafoam. Adakah suamimu (atau calon suami) tahu tentang itu? Tentang keinginanmu sepuluh tahun lalu?



Panggilkan aku lelaki itu, biar kuberitahu lebih detail. Bahwa kau yang masih berumur dua puluh satu tahun, memimpikan rumah yang luas namun sederhana. Bukan luas dalam arti mewah, tapi lapang.

Lapang dengan halaman depan untuk menanami bunga dan pohon rindang, sedangkan halaman belakang berumput hijau untuk anak-anakmu puas bermain, atau pesta kebun untuk keluarga.

Lapang dengan jendela besar di mana-mana agar kau dan keluarga bisa akrab dengan ramahnya cahaya matahari, demi mengurangi penggunaan listrik di hari yang terik.

Lapang dengan ruang tamu yang nyaman nan hangat. Dua set sofa berbahan kulit dengan warna karamel atau kayu manis, dinding putih, foto keluarga berukuran besar dengan senyum bahagia di dalamnya, bunga di sudut ruangan, dan bingkai demi bingkai berisi foto di atas meja mini yang memuat beberapa buku di sudut lainnya.

Ruang tengah berdinding putih yang dikelilingi mebel kayu berukir, memuat koleksi guci atau barang antik pecah belah (aku selalu percaya perempuan yang sudah menjadi istri dan ibu akan mengoleksi sesuatu seperti itu), dan peralatan elektronik lengkap—agar kau dan keluarga tak menghabiskan waktu di luar rumah.

Ruang keluarga di lantai atas, berlapis karpet berbulu warna karamel atau kayu manis dengan dinding seafoam, lampu gantung berbagai bentuk dengan cahaya remang, rak buku unik berbentuk abstrak yang memenuhi dinding, atap dari kaca dengan pemandangan langit bersih di siang hari dan terpaan kilau bintang di malamnya—agar kau dan keluarga nyaman untuk bertukar cerita dan menghabiskan waktu.

Kamar tidur? Untuk yang satu ini, kuserahkan pada keputusanmu dan suami. Kalian yang akan menempatinya, kan?

Oh, iya, satu lagi hal penting dari dirimu yang masih dua puluh satu tahun. Sudahkah kauberitahu suamimu bahwa kau memimpikan sebuah ruangan sendiri? Tak usah terlalu luas, cukup bercat putih, polos, seperti anak kecil yang hanya tahu bermain dan tertawa, dengan sebuah stopkontak dan sofa persegi agar tubuh mungilmu bisa melemaskan otot. Untukmu membaca, menulis—semoga dunia belum merebut dewasamu dari kehidupan yang kaucinta, menyesap kopi, mendengar musik laun kala kau butuh tenang, nada mengentak saat kau ingin berteriak mencurahkan penat di kepala, atau sekadar rintik hujan yang mengetuk jendela karena diabaikan dunia. Ah, surga, bukan?

Di dalam ruangan ‘me-time’ milikmu tersebut, harus ada satu dari empat bagian dinding yang kaupenuhi dengan foto-foto dari kamera polaroid—atau setidaknya berukuran seperti itu. Tempel wajah-wajah penuh tawa dan kenangan manis di sana; kau, suami, anak-anak, mama, sahabat, teman kerja, semua orang yang kau sayang. Kalau kau keasyikan menikmati dunia sendiri di dalam ruangan itu, cukup menoleh ke sisi dinding yang dibanjiri potret tersebut dan ingat: keluarlah, ada dunia di luar sana yang menunggumu kembali.



Malam ini, aku yang tengah dipenuhi gamang karena tugas akhir kuliah, hanya butuh berbicara denganmu yang akan menjadi diriku sepuluh tahun lagi. Kau yang paling mengerti, yang paling setia mendengarku, yang paling percaya membicarakan rahasia padaku, yang paling kuandalkan untuk kehidupan di masa depan.

Mimpi tentang rumah idaman yang baru saja kuingatkan padamu, jangan hanya hidup di kepala. Selamat malam, aku (pasti akan) mencintaimu, sepuluh tahun mendatang.