Senin, 29 September 2014

Surat Balasan Untukmu yang Ingin Kukenal.

Hai, Erd. Sudah lewat sebulan lebih sejak aku menemukan suratmu di kotak masuk surelku. Aku ingat kala itu aku masih anak ibu yang pemalu dan selalu berpikir panjang sebelum membalas pesanmu, hingga akhirnya berubah menjadi perempuan yang hobi mencekikmu secara virtual. Ya, hanya lewat kata, karena jarak memisah kita dalam sekian ribu kilometer di peta Indonesia—yang skalanya sudah diubah agar kita terlihat tak terlalu jauh pada kenyataannya.

Aku sudah lupa bagaimana awalnya kita saling tahu, berkenalan, sampai memutuskan berkirim surat seperti ini. Tapi... sudahlah. Mungkin memang ada beberapa hal yang tak usah terus diingat, cukup dinikmati adanya saat ini.

Oh, iya. Maaf karena suratmu kubiarkan begitu saja selama hampir dua bulan. Kamu tahu alasannya, kan?  Yang jelas bukan maksudku mengabaikan, namun banyak kegiatan yang menyita waktu dan pikiranku, yang kamu pun mungkin sudah bosan mendengar keluhanku di sela waktumu.

Erd, kamu masih ingat isi suratmu itu? Ada satu bagian di mana kamu menyebutku menyukai film horor. Aku adalah perempuan yang rajin menghidupkan halusinasi di kepala. Aku sering membayangkan tokoh-tokoh hantu atau psikopat di film-film itu hidup, lalu mendadak muncul di belakangku dan menggorok leherku, memutilasi, lalu membagikanku ke binatang peliharaan tetangga. Ya, begitulah isi kepalaku setiap selesai menonton film horor dan genre sejenis. Namun tetap saja aku menontonnya, walau harus menahan napas beberapa kali dan menerima risiko untuk susah tidur.

Berbincang mengenai film, aku paling suka science fiction. Yang terakhir kutonton adalah Lucy. Apa kamu sudah menontonnya juga? Aku bahkan rela meninggalkan kewajibanku untuk mengabdi pada masyarakat pedesaan demi ke kotaku dan menontonnya. Kalau belum, tontonlah, Erd. Konflik percintaannya memang kurang greget, tapi visualisasinya sanggup membuatmu berdecak kagum. Bagaimana seorang manusia bisa membaca pikiran, mengendalikan benda, bahkan tubuh orang lain, dan bisa melihat kejadian di masa depan. Sayang, endingnya tidak bahagia menurutku. Sepertinya, akhir yang bahagia memang hanya di dongeng Disney, ya?

Aku baru sampai di Makassar siang tadi, meninggalkan desa yang tak terlalu menyenangkan namun mampu membuatku tepekur sejak memasuki rumah karena kenangan yang tumpah-ruah di kepala. Desa itu tak pernah dikunjungi hujan sejak empat puluh dua hari lalu, Erd. Namun hatiku selalu dingin dengan sinis yang kutumpahkan pada sekitar. Tapi sekarang, aku sendu saat jauh. Pepatah, “kita baru menyadari sesuatu itu berharga saat ia sudah tiada” memang tidak pernah salah.

Sekian dulu surat dariku. Maaf karena aku juga banyak bicara, menulis lebih tepatnya.

Dari sahabat mayamu, di kota yang merindukan gerimis yang romantis.*


*balasan untuk seseorang yang mengirimiku surat ini.