Hai, Erd. Sudah lewat sebulan lebih sejak aku menemukan
suratmu di kotak masuk surelku. Aku ingat kala itu aku masih anak ibu yang
pemalu dan selalu berpikir panjang sebelum membalas pesanmu, hingga akhirnya
berubah menjadi perempuan yang hobi mencekikmu secara virtual. Ya, hanya lewat
kata, karena jarak memisah kita dalam sekian ribu kilometer di peta
Indonesia—yang skalanya sudah diubah agar kita terlihat tak terlalu jauh pada
kenyataannya.
Aku sudah lupa bagaimana awalnya kita saling tahu,
berkenalan, sampai memutuskan berkirim surat seperti ini. Tapi... sudahlah.
Mungkin memang ada beberapa hal yang tak usah terus diingat, cukup dinikmati
adanya saat ini.
Oh, iya. Maaf karena suratmu kubiarkan begitu saja selama
hampir dua bulan. Kamu tahu alasannya, kan?
Yang jelas bukan maksudku mengabaikan, namun banyak kegiatan yang
menyita waktu dan pikiranku, yang kamu pun mungkin sudah bosan mendengar
keluhanku di sela waktumu.
Erd, kamu masih ingat isi suratmu itu? Ada satu bagian di
mana kamu menyebutku menyukai film horor. Aku adalah perempuan yang rajin
menghidupkan halusinasi di kepala. Aku sering membayangkan tokoh-tokoh hantu
atau psikopat di film-film itu hidup, lalu mendadak muncul di belakangku dan
menggorok leherku, memutilasi, lalu membagikanku ke binatang peliharaan tetangga.
Ya, begitulah isi kepalaku setiap selesai menonton film horor dan genre
sejenis. Namun tetap saja aku menontonnya, walau harus menahan napas beberapa
kali dan menerima risiko untuk susah tidur.
Berbincang mengenai film, aku paling suka science fiction.
Yang terakhir kutonton adalah Lucy. Apa kamu sudah menontonnya juga? Aku bahkan
rela meninggalkan kewajibanku untuk mengabdi pada masyarakat pedesaan demi ke
kotaku dan menontonnya. Kalau belum, tontonlah, Erd. Konflik percintaannya
memang kurang greget, tapi visualisasinya sanggup membuatmu berdecak kagum.
Bagaimana seorang manusia bisa membaca pikiran, mengendalikan benda, bahkan
tubuh orang lain, dan bisa melihat kejadian di masa depan. Sayang, endingnya
tidak bahagia menurutku. Sepertinya, akhir yang bahagia memang hanya di dongeng
Disney, ya?
Aku baru sampai di Makassar siang tadi, meninggalkan desa
yang tak terlalu menyenangkan namun mampu membuatku tepekur sejak memasuki
rumah karena kenangan yang tumpah-ruah di kepala. Desa itu tak pernah dikunjungi
hujan sejak empat puluh dua hari lalu, Erd. Namun hatiku selalu dingin dengan
sinis yang kutumpahkan pada sekitar. Tapi sekarang, aku sendu saat jauh.
Pepatah, “kita baru menyadari sesuatu itu berharga saat ia sudah tiada” memang
tidak pernah salah.
Sekian dulu surat dariku. Maaf karena aku juga banyak
bicara, menulis lebih tepatnya.
Dari sahabat mayamu, di kota yang merindukan gerimis yang
romantis.*
*balasan untuk seseorang yang mengirimiku surat ini.
*balasan untuk seseorang yang mengirimiku surat ini.