Aku akan mengajakmu berkenalan dengan seorang perempuan. Sama
seperti perempuan lainnya, ia memiliki perasaan yang lemah. Aku sering
mendengar cerita-ceritanya sambil menangis bersama. Kadang kuusap lengan
tirusnya, walau aku sendiri larut bersama genangan yang meluap dari kedua mata
kami. Kadang pula ia bercerita sambil tertawa, namun perih di telinga. Kadang
aku hanya menatapnya sambil berpikir, “Mungkin ia hanya mengarang. Mungkin ia
hanya terhibur oleh airmataku yang dengan mudahnya mengalir untuk kisah-kisahnya.”
Malam ini, ia kembali memulai cerita-ceritanya yang tak
pernah habis, untukku.
“Aku mencintai seorang lelaki, sudah bertahun-tahun.
Awalnya, lelaki itu mengaku mencintaiku juga, hingga kami memutuskan bersama.
Bayangkan betapa bahagianya aku kala itu. Akhirnya ada yang berbagi tawa denganku,
ada yang membuat dadaku berdebar-debar setiap hening menguasai karena kedua
matanya mengunciku. Kala itu, aku menyebutnya tatapan penuh cinta. Ia setia
mendengarkan keluhanku tentang sekitar, bahkan rahasia-rahasia yang selama ini
hanya murni rahasia kubagi juga dengannya. Kala itu, kupikir ia benar-benar
mencintaiku.
Kalau kau jadi aku, kau akan berpikir begitu juga, kan?
Hingga akhirnya, aku berani menangis di hadapannya. Menangis
untuknya. Aku mengakui betapa aku telah jatuh sejatuh-jatuhnya, cinta
secinta-cintanya, dan berani sakit sesakit-sakitnya, asal itu berarti aku masih
bisa menyebut kita untuk merujuk pada hubungan ini. Pada kita tersebut, aku
memberikan seluruh harapan untuk kebahagiaanku hingga nanti. Kau tahu betapa
berani aku kala itu? Aku telah menyerahkan segala yang kupunya, pada seorang
lelaki yang kala itu mengaku mencintaiku, dan kupercaya seluruh janji-janjinya.
Aku telah mengakui kekalahanku. Kala
itu, ia menang atas segalanya. Tapi kupikir, kala itu, tak apa. Toh dia
mencintaiku.
Kalau kau jadi aku, kau akan berpikir begitu juga, kan?
Tahun demi tahun berlalu, seperti pohon-pohon yang terlewati
begitu saja ketika kita di atas kereta, ia mengaku masih mencintaiku. Suatu
waktu, aku kembali menangis. Ya, aku sering menangis karena hal-hal kecil di
depannya. Seakan seluruh airmata yang membeku di balik kedok perempuan kuat
yang kujaga sepenuh tenaga, luruh hanya untuknya. Ia yang dulunya mendengar
ceritaku di antara isak sambil mengelus kepalaku, kini mulai membentak. Kau
mungkin tak tahu bagaimana rasanya seorang perempuan dewasa diperintah untuk
berhenti menangis, apalagi dengan alasan airmataku ini mengganggunya.
Katakan padaku, salahkah kalau aku menangis? Aku lelah
dengan hari-hari yang berat, penat, dan bertemu dengannya membuat seluruh
lelahku luruh menjadi airmata, menjadikanku manusia, jadi salahkah aku
menumpahkannya di hadapannya? Aku hanya ingin ditenangkan dengan peluk. Aku
lelah memeluk diriku sendiri di pertengahan malam, membekap mulutku agar tak
ada yang bertanya, agar sedihku kutelan sendiri, menyembunyikannya karena aku
harus berjuang menjadi perempuan kuat di depan orang-orang keesokan harinya.
Katakan padaku, salahkah kalau aku menangis? Aku tidak
pernah memintanya mendengar lelahku. Menangis di hadapannya adalah satu-satunya
caraku menjadi manusia, menjadi perempuan lemah, karena hanya kepadanya akan
kutunjukkan itu. Aku bukan perempuan kuat seperti yang kuperlihatkan pada
dunia—pada dunia yang jika diriku tak kulindungi, tak ada yang kusembunyikan,
mereka akan menginjakku hingga remuk tak berupa.
Karena itu hanya padanya, hanya di hadapannya, aku bisa
menangis.
Namun seberapa kesalnya ia pada airmataku, aku tak jua
berhenti menangis. Karena aku mencintainya. Karena katanya, ia juga
mencintaiku. Ia jelas masih mencintaiku karena tak pernah pergi.
Kalau kau jadi aku, kau akan berpikir begitu juga, kan?
Tahun demi tahun berlalu, membolak-balik kalender tak lagi
membuatku resah karena waktu bergulir terlalu tergesa, ia mengaku masih
mencintaiku. Kau tahu apa yang kulakukan? Aku memberinya ujian. Aku mulai
kasar. Aku marah untuk hal-hal sepele. Aku menuduhnya untuk perihal yang hidup
di kepalaku. Aku meninggalkan bekas luka dan lebam di tubuhnya setiap kesal. Dia?
Tentu saja dia masih di sini, tak juga meninggalkanku.
Dia masih mencintaiku.
Kalau kau jadi aku, kau akan berpikir begitu juga, kan?
Tahun demi tahun berlalu, anak kecil yang kemarin masih
kesusahan mengeja nama kini sudah mampu membedakan integrasi dan integritas, ia
mengaku masih mencintaiku. Entah sudah kali keberapa aku memohon untuk
berpisah, tapi ia tetap mempertahankan. Kami sudah terlalu lama bersama, aku
sudah menerima seluruh sifat dan sikapnya apa adanya, bahkan keluarga yang
sudah telanjur saling tahu, selalu menjadi alasannya. Terus diulang-ulang setiap
kali kami bertengkar hebat dan berakhir teriakanku meneriakkan pisah.
Hingga bertahun-tahun, ia tidak pernah menjadikan cinta
sebagai alasannya masih di sini, bersamaku.
Ia, lelaki yang menjadikan cinta sebagai alasannya memilihku
bertahun-tahun lalu, tidak pernah sekalipun menyebutkan alasannya
mempertahankanku, memperjuangkan kita, adalah karena masih cinta.
Salahkah jika aku menuntutnya merapalkan kata itu untukku
lagi? Kami sudah bersama selama sekian tahun, memang. Tapi kalau ia masih
cinta, setidaknya aku bisa menaruh kepercayaan pada kata itu lagi dan
benar-benar tinggal.
Kalau kau jadi aku, kau akan berpikir begitu juga, kan?”
“Lalu, bagaimana kalian sekarang?” tanyaku saat ia
menghentikan cerita, menyesap kopi yang kuseduh untuknya tadi.
Perempuan itu mengedikkan bahu, sebelum menghela napas panjang,
kemudian mengembuskannya dalam sekali sentak.
“Kami? Baik-baik saja. Ia tidak mengizinkanku pergi, jadi aku
menuruti,” akunya.
“Tapi bukannya—”
“Kau boleh menyebutku bodoh. Tapi, cobalah jatuh cinta. Jatuh
sejatuh-jatuhnya, cinta secinta-cintanya, hingga sakit sesakit-sakitnya. Kalau
sudah merasakan sakit sesakit-sakitnya, kau akan menjadi perempuan paling kebal
yang pernah ada. Percayalah.”
“Jadi..., kalian sekarang...?”
“Kami? Tidak ada yang berubah. Kami masih bersama. Aku sudah
bercerita, kan? Dia tidak ingin berpisah.
Dan..., tidak. Dia tidak juga menyebut cinta sebagai alasannya.”
“Lalu kau masih bertahan? Kenapa tidak menuntutnya?” cecarku.
Oh, ayolah. Aku mulai membenci lelaki yang bersamanya sekarang,
siapapun itu, walau mengenalnya hanya melalui cerita-cerita perempuan ini. Lelaki
itu tidak pantas untuk perempuan ini.
Ia pantas mendapatkan yang lebih baik. Ia harus pergi dan
bertemu banyak orang. Ia harus bahagia.
“Sekali lagi; cobalah jatuh cinta.
Saat dirimu sudah menyerahkan jiwa dan raga ke dalam perangkapnya,
seluruh pertanyaanmu tentang segala yang kulakukan saat ini akan tertelan
sendiri.
Aku, kau, kita, tidak membutuhkan jawaban ketika jatuh cinta.
Percayalah.”
Malam ini, aku tak lagi menangis mendengar kisah-kisahnya.
Aku kesal.
Aku berjanji tidak akan jatuh cinta.
Aku tidak ingin menjadi perempuan lemah, dan bodoh sekaligus
seperti dia.