Minggu, 06 September 2015

Cinta

Aku akan mengajakmu berkenalan dengan seorang perempuan. Sama seperti perempuan lainnya, ia memiliki perasaan yang lemah. Aku sering mendengar cerita-ceritanya sambil menangis bersama. Kadang kuusap lengan tirusnya, walau aku sendiri larut bersama genangan yang meluap dari kedua mata kami. Kadang pula ia bercerita sambil tertawa, namun perih di telinga. Kadang aku hanya menatapnya sambil berpikir, “Mungkin ia hanya mengarang. Mungkin ia hanya terhibur oleh airmataku yang dengan mudahnya mengalir untuk kisah-kisahnya.”

Malam ini, ia kembali memulai cerita-ceritanya yang tak pernah habis, untukku.

“Aku mencintai seorang lelaki, sudah bertahun-tahun. Awalnya, lelaki itu mengaku mencintaiku juga, hingga kami memutuskan bersama. Bayangkan betapa bahagianya aku kala itu. Akhirnya ada yang berbagi tawa denganku, ada yang membuat dadaku berdebar-debar setiap hening menguasai karena kedua matanya mengunciku. Kala itu, aku menyebutnya tatapan penuh cinta. Ia setia mendengarkan keluhanku tentang sekitar, bahkan rahasia-rahasia yang selama ini hanya murni rahasia kubagi juga dengannya. Kala itu, kupikir ia benar-benar mencintaiku.

Kalau kau jadi aku, kau akan berpikir begitu juga, kan?

Hingga akhirnya, aku berani menangis di hadapannya. Menangis untuknya. Aku mengakui betapa aku telah jatuh sejatuh-jatuhnya, cinta secinta-cintanya, dan berani sakit sesakit-sakitnya, asal itu berarti aku masih bisa menyebut kita untuk merujuk pada hubungan ini. Pada kita tersebut, aku memberikan seluruh harapan untuk kebahagiaanku hingga nanti. Kau tahu betapa berani aku kala itu? Aku telah menyerahkan segala yang kupunya, pada seorang lelaki yang kala itu mengaku mencintaiku, dan kupercaya seluruh janji-janjinya. Aku  telah mengakui kekalahanku. Kala itu, ia menang atas segalanya. Tapi kupikir, kala itu, tak apa. Toh dia mencintaiku.

Kalau kau jadi aku, kau akan berpikir begitu juga, kan?

Tahun demi tahun berlalu, seperti pohon-pohon yang terlewati begitu saja ketika kita di atas kereta, ia mengaku masih mencintaiku. Suatu waktu, aku kembali menangis. Ya, aku sering menangis karena hal-hal kecil di depannya. Seakan seluruh airmata yang membeku di balik kedok perempuan kuat yang kujaga sepenuh tenaga, luruh hanya untuknya. Ia yang dulunya mendengar ceritaku di antara isak sambil mengelus kepalaku, kini mulai membentak. Kau mungkin tak tahu bagaimana rasanya seorang perempuan dewasa diperintah untuk berhenti menangis, apalagi dengan alasan airmataku ini mengganggunya.

Katakan padaku, salahkah kalau aku menangis? Aku lelah dengan hari-hari yang berat, penat, dan bertemu dengannya membuat seluruh lelahku luruh menjadi airmata, menjadikanku manusia, jadi salahkah aku menumpahkannya di hadapannya? Aku hanya ingin ditenangkan dengan peluk. Aku lelah memeluk diriku sendiri di pertengahan malam, membekap mulutku agar tak ada yang bertanya, agar sedihku kutelan sendiri, menyembunyikannya karena aku harus berjuang menjadi perempuan kuat di depan orang-orang keesokan harinya.

Katakan padaku, salahkah kalau aku menangis? Aku tidak pernah memintanya mendengar lelahku. Menangis di hadapannya adalah satu-satunya caraku menjadi manusia, menjadi perempuan lemah, karena hanya kepadanya akan kutunjukkan itu. Aku bukan perempuan kuat seperti yang kuperlihatkan pada dunia—pada dunia yang jika diriku tak kulindungi, tak ada yang kusembunyikan, mereka akan menginjakku hingga remuk tak berupa.

Karena itu hanya padanya, hanya di hadapannya, aku bisa menangis.

Namun seberapa kesalnya ia pada airmataku, aku tak jua berhenti menangis. Karena aku mencintainya. Karena katanya, ia juga mencintaiku. Ia jelas masih mencintaiku karena tak pernah pergi.

Kalau kau jadi aku, kau akan berpikir begitu juga, kan?

Tahun demi tahun berlalu, membolak-balik kalender tak lagi membuatku resah karena waktu bergulir terlalu tergesa, ia mengaku masih mencintaiku. Kau tahu apa yang kulakukan? Aku memberinya ujian. Aku mulai kasar. Aku marah untuk hal-hal sepele. Aku menuduhnya untuk perihal yang hidup di kepalaku. Aku meninggalkan bekas luka dan lebam di tubuhnya setiap kesal. Dia? Tentu saja dia masih di sini, tak juga meninggalkanku.

Dia masih mencintaiku.

Kalau kau jadi aku, kau akan berpikir begitu juga, kan?

Tahun demi tahun berlalu, anak kecil yang kemarin masih kesusahan mengeja nama kini sudah mampu membedakan integrasi dan integritas, ia mengaku masih mencintaiku. Entah sudah kali keberapa aku memohon untuk berpisah, tapi ia tetap mempertahankan. Kami sudah terlalu lama bersama, aku sudah menerima seluruh sifat dan sikapnya apa adanya, bahkan keluarga yang sudah telanjur saling tahu, selalu menjadi alasannya. Terus diulang-ulang setiap kali kami bertengkar hebat dan berakhir teriakanku meneriakkan pisah.

Hingga bertahun-tahun, ia tidak pernah menjadikan cinta sebagai alasannya masih di sini, bersamaku.
Ia, lelaki yang menjadikan cinta sebagai alasannya memilihku bertahun-tahun lalu, tidak pernah sekalipun menyebutkan alasannya mempertahankanku, memperjuangkan kita, adalah karena masih cinta.

Salahkah jika aku menuntutnya merapalkan kata itu untukku lagi? Kami sudah bersama selama sekian tahun, memang. Tapi kalau ia masih cinta, setidaknya aku bisa menaruh kepercayaan pada kata itu lagi dan benar-benar tinggal.

Kalau kau jadi aku, kau akan berpikir begitu juga, kan?”

“Lalu, bagaimana kalian sekarang?” tanyaku saat ia menghentikan cerita, menyesap kopi yang kuseduh untuknya tadi.

Perempuan itu mengedikkan bahu, sebelum menghela napas panjang, kemudian mengembuskannya dalam sekali sentak.

“Kami? Baik-baik saja. Ia tidak mengizinkanku pergi, jadi aku menuruti,” akunya.

“Tapi bukannya—”

“Kau boleh menyebutku bodoh. Tapi, cobalah jatuh cinta. Jatuh sejatuh-jatuhnya, cinta secinta-cintanya, hingga sakit sesakit-sakitnya. Kalau sudah merasakan sakit sesakit-sakitnya, kau akan menjadi perempuan paling kebal yang pernah ada. Percayalah.”

“Jadi..., kalian sekarang...?”

“Kami? Tidak ada yang berubah. Kami masih bersama. Aku sudah bercerita, kan? Dia tidak ingin berpisah.

Dan..., tidak. Dia tidak juga menyebut cinta sebagai alasannya.”

“Lalu kau masih bertahan? Kenapa tidak menuntutnya?” cecarku.

Oh, ayolah. Aku mulai membenci lelaki yang bersamanya sekarang, siapapun itu, walau mengenalnya hanya melalui cerita-cerita perempuan ini. Lelaki itu tidak pantas untuk perempuan ini.

Ia pantas mendapatkan yang lebih baik. Ia harus pergi dan bertemu banyak orang. Ia harus bahagia.

“Sekali lagi; cobalah jatuh cinta.
Saat dirimu sudah menyerahkan jiwa dan raga ke dalam perangkapnya, seluruh pertanyaanmu tentang segala yang kulakukan saat ini akan tertelan sendiri.
Aku, kau, kita, tidak membutuhkan jawaban ketika jatuh cinta. Percayalah.”

Malam ini, aku tak lagi menangis mendengar kisah-kisahnya.

Aku kesal.
Aku berjanji tidak akan jatuh cinta.
Aku tidak ingin menjadi perempuan lemah, dan bodoh sekaligus seperti dia.