Jika cemburu tanda cinta, kenapa mesti sakit yang terasa?
“Kamu kenapa sih, Nya?” tanya Haykal
saat mereka berdua sudah memasuki rumah.
Fanya yang
berjalan terlebih dahulu memilih diam. Sama seperti aksinya dalam perjalanan
dari kampus ke rumah Tyas, bahkan hingga tiba di rumahnya.
“Nya, jawab
aku!” Haykal yang baru saja melepas jas dokternya langsung mencekal jemari
tunangannya. Antara kesal dan gemas karena sudah tidak diacuhkan sedemikian
rupa.
Gadis itu sontak
menghentikan langkah. Kemudian menoleh dan menatap Haykal tepat di manik
matanya. Dengan pandangan menghujam dan penuh amarah. “Gue? Kenapa? Lo ini peka
gak, sih?” soraknya. Mencoba meluapkan emosi yang sudah mencapai ubun-ubun
sejak tadi.
“Emang aku
kenapa?” Haykal balik bertanya.
“Lo bener-bener
bego!” maki Fanya. Ia berusaha menyentakkan tangannya dari cekalan Haykal.
Namun tidak berhasil.
“Jelasin aku
dulu! Kamu sebenernya kenapa?” Laki-laki itu menuntun Fanya ke sofa di ruang
tengah. Walaupun dengan paksa.
Fanya langsung
duduk dengan pasrah. Wajah mungil miliknya masih ditekuk. Ia menghindari kontak
mata dengan sang tunangan.
“Kalo kamu gak
ngomong-ngomong juga, aku gak bakal ngelepas kamu,” ancam Haykal. “Biar kamu
gak bisa bikin makalah ilmiah buat mata kuliahku besok. Dan aku bakal hukum
kamu dengan sadis. Mau?” lanjutnya.
Berhasil. Fanya
kontan menoleh dan menatapnya lagi. “Mau lo apa, sih?” balasnya. Masih dengan
volume suara yang tinggi dan penekanan keras pada kata ‘lo’.
“Aku cuma tanya,
kamu kenapa? Kok tiba-tiba jutek lagi? Bukannya kemaren udah akur, ya?” tanya
laki-laki tersebut. Ia tetap menggenggam pergelangan tangan Fanya agar
tunangannya itu tidak berniat melarikan diri. Namun sekarang lebih lembut.
Mungkin ia juga takut melukai perempuan yang paling dicintainya setelah Ibunya
tersebut.
“Gue malah
pengen nanya sama lo, gimana caranya kita bisa pacaran? Sampe tunangan, lagi!
Sementara lo bisa deket sama perempuan lain! Hah?” emosi Fanya.
Dahi Haykal
berkerut untuk beberapa saat. Namun detik kemudian, ia langsung tertawa geli.
Cekalannya pada gadis itu pun terlepas. Ia memilih memegangi perutnya sendiri
dalam tawa. Sembari geleng-geleng kepala.
“Lo ngetawain
gue? Setelah sok tebar pesona sama perempuan lain? Sok ganteng banget, sih!”
gerutu Fanya sambil mendengus kesal.
“Cuma senyum
kali, sayang... Apa salahnya, coba?” balas Haykal. Setelah tawanya reda.
Walaupun masih menyisakan sedikit gelak di antara kalimatnya.
“Tau, ah!”
“Ih, kamu
cemburu? Wohooo, tunanganku cemburu sama perempuan lain, nih ye... Peningkatan
kamu drastis banget kayaknya,” Lelaki itu malah mengusap-usap puncak kepala
Fanya penuh sayang. Lalu mencium keningnya.
“Lo apa-apaan!
Hah? Abis tebar pesona sama perempuan-perempuan di kampus, lo malah seenaknya
nyium gue, gitu? Lo pikir gue juga bakal terpesona sama lo? Idih, jangan harap!
Lelaki macem lo tuh banyak! Gue nyari di Tanah Ab–”
CUP!
Fanya membatu.
Haykal tersenyum
puas.
“ELO YAH BENER–”
“Apa? Kalo
teriak-teriak, artinya mau lagi loh!” Haykal berusaha sekuat tenaga
menyembunyikan seringainya.
Dan Fanya hanya
bisa mendengus. Memalingkan wajahnya yang menyaingi kepiting rebus gara-gara
dicium Haykal beberapa saat yang lalu. Ciuman singkat memang, namun cukup
menghangatkan bibir tipis miliknya. Dan merubah detak jantungnya menjadi di
atas normal. Hanya gara-gara gesekan bibir Haykal yang sangat memabukkan.
“Kok malah diem?
Jangan-jangan malah pengen nambah, lagi!” goda lelaki itu lagi.
“Apaan sih lo!”
sungut Fanya. Menyetel ekspresi pura-pura kesal. “Minggir! Gue mau ke kamar,”
lanjutnya seraya berdiri dari sofa.
Namun baru
berniat beranjak, tangan Fanya langsung dicekal oleh Haykal yang masih dalam posisi
duduk. Membuatnya gadis itu kontan berbalik secara paksa. Karena tidak bisa
menjaga keseimbangannya akibat ditarik secara paksa, ia malah terjatuh tepat ke
dalam pelukan tunangannya.
Haykal merasa di
atas angin. Lelaki itu segera melingkarkan tangannya di pinggang Fanya dengan
erat. Seakan tak mau melepaskan. Dan memang sangat menikmati keadaan tersebut.
Apalagi Ayah dan Ibu Fanya sedang sibuk di rumah sakit. Menciptakan akses
untuknya dalam frekuensi yang lebih besar lagi.
Fanya
benar-benar membeku sekarang. Ia ingin berteriak minta dilepaskan, tapi
lidahnya seakan kelu. Ia ingin membuang pandangannya ke arah lain, tapi tatapan
teduh Haykal seakan menguncinya. Ia ingin memberontak, namun aroma Haykal
benar-benar membujuknya untuk tetap menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Lama mereka
bertatapan dalam diam. Seakan sama-sama menggali kenangan. Memunculkan rasa
yang semakin membuncah. Meminta kembali diulang menjadi sejarah baru setelah
sekian tahun tak ditengok.
“I love you,”
lirih Haykal.
Fanya menghirup
aroma mint dari nafas lelaki itu, kemudian bergeming lagi.
“Kok diem?”
tanya lelaki tersebut. Ia masih setia memeluk pinggang gadis di depannya.
Sesuatu yang dulu sering ia lakukan. Sekaligus hal yang paling ingin
diulangnya. Duduk berdua, membiarkan Fanya di pangkuannya, sementara ia memeluk
pinggang sang tunangan. Lalu gadis itu juga akan melingkarkan kedua tangan ke
lehernya dan merebahkan kepala ke dadanya. Bahkan bisa tertidur di sana.
“Aku... Gak tau
mau ngomong apa. I just... Don’t understand how to reply it,” jawab Fanya
akhirnya.
“Ikutin aja apa
yang hati kamu mau.” Haykal tersenyum di ujung kalimatnya. Senyum yang begitu
menenangkan.
Hati Fanya
berdesir aneh. Detak jantungnya? Tidak usah ditanya. Dalam waktu beberapa menit
lagi, mungkin sudah keluar dari dada kirinya saking hebatnya menghentak-hentak.
“Jadi sekarang
gimana? Just stay in silence like this?”
pancing Haykal. Matanya mengerling nakal, sekaligus menggoda.
Tanpa sadar,
kedua sudut bibir Fanya melengkung. Ia langsung melingkarkan kedua tangannya ke
leher lelaki yang sedang memangkunya saat ini. Kemudian merebahkan kepalanya
pada dada bidang lelaki tersebut. “Gak tau kenapa, aku pengen begini aja.
Kayaknya nyaman, deh. Kebetulan, aku juga lagi ngantuk,” ujarnya seraya menggerakkan
tubuh dan kepalanya. Mencari posisi yang nyaman.
Entah bagaimana
menggambarkannya, yang jelas Haykal merasa sangat bahagia. Perasaan yang
terakhir kali dirasakannya saat mengetahui berita kepulangannya ke Indonesia
dan akan mengajar di kelas Fanya.
“Kok diem? Aku
boleh kan tidur di sini?” tanya Fanya. Gadis itu mengangkat dagu. Mencoba
melihat wajah lelaki yang sedang memangkunya kini.
Haykal
mengangguk mantap. Lalu mengelus kepala tunangannya tersebut. Tak bisa berkata
apa-apa lagi. Ia hanya rindu saat-saat seperti ini. Yah, sesederhana itu.
***
Fanya
sedang mengunyah roti bakar selai coklat buatan Ibu dan susu coklat di depannya
sambil membaca-baca diktat di atas meja makan. Mempelajari materi kuis yang
akan diadakan Haykal hari ini.
Walaupun mereka
sepasang tunangan, namun Haykal sangat menjunjung tinggi keprofesionalan
seorang dosen. Begitupun Fanya, ia tidak mungkin mau mengemis pada dosennya
tersebut untuk membocorkan soal padanya. Karena ia memang lebih suka menikmati
nilai dari usahanya sendiri. Jika sudah mengetahui soal kuisnya terlebih
dahulu, ia pasti kehilangan greget saat mengerjakan soal di kelas nanti. Ia
tidak mau mendapatkan gelar cuma-cuma, apalagi harus menerapkan segala hasil
mata kuliahnya selama ini ke rumah sakit tanpa modal apa-apa.
“Haykal,
Fanya...” tegur Ayah. Menghentikan aktifitas keduanya.
Haykal yang
sibuk memperbaiki letak dasinya pun langsung mengalihkan pandangan ke arah
calon mertua yang duduk di ujung meja seorang diri.
“Mungkin untuk
beberapa hari ke depan, Ayah sama Ibu bakal sibuk banget di rumah sakit. Kalian
pasti tau kan bagaimana sibuknya orang-orang di sana?” lanjut Ayah. Ketika
melihat kedua orang di sisi kirinya mengangguk, beliau kembali berujar, “Jadi
mungkin kami bakal nginap di rumah sakit beberapa hari ini. Kalian berdua gak
apa-apa kan kalo kami tinggal berdua di rumah?”
Fanya buru-buru
meneguk susu coklat untuk membantu menelan roti yang masih di dalam mulutnya.
“Loh, kok nginep di rumah sakit? Biasanya kan gak pernah kayak gitu!” protesnya
cepat.
“Rumah kita sama
rumah sakit tempat Ayah dan Ibu kerja kan jauh banget, sayang. Gimana kalo ada
pasien yang harus mendadak dioperasi sama Ayah karena udah sekarat? Gimana kalo
ada Ibu yang anaknya kebetulan punya masalah? Kan kasian kalo mereka harus
nunggu lama sampe kami sampai di rumah sakit.” Ibu yang menjawab.
“Ayah juga udah
kepikiran beli rumah yang dekat dari rumah sakit. Rumah ini nanti ditinggali
sama kalian berdua aja kalo udah nikah,” sambung Ayah.
“Uhuk! Uhuk!
Uhuk!” Fanya langsung tersedak.
Haykal buru-buru
menyodorkannya air putih. Yang segera disambut oleh gadis itu. “Makannya
hati-hati, dong.” Ia menepuk-nepuk punggung tunangannya tersebut. Berniat
membantu meredakan rasa kaget sekaligus mengatasi sedak yang dialami Fanya.
Fanya mengangguk
sekilas. Lalu menyingkirkan jemari kiri Haykal dari tubuhnya. “Ayah sama Ibu
jangan macem-macem, deh. Mana mungkin aku mau tinggal serumah sama Haykal? Cuma
berdua, lagi. Ntar apa kata tetangga? Mending aku nginep di rumahnya Tyas aja.
Lebih aman.”
“Tetangga kita
kan udah tau kalo kalian mau nikah. Udah, ah. Kamu di rumah aja. Malah lebih
bagus kalo ada Haykal, ada yang ngejagain kamu. Jangan suka nyusahin orang
lain, kasian Tyas.” Suara Ayah sarat akan ketegasan.
“Tapi, Yah–”
“Ayah sama Ibu
mau ke rumah sakit dulu. Kamu sama Haykal juga buruan ke kampus. Ini udah jam
berapa,” potong lelaki paruh baya tersebut. Seraya menyeka bibirnya dengan
tisu, kemudian berdiri dan meninggalkan meja makan.
Di belakangnya,
Ibu melangkah sambil berusaha menyembunyikan senyum.
“Wah, asik nih!
Ntar malem enaknya ngapain, ya? Kita kan berduaan doang. Lumayan nih kalo
tiba-tiba hujan, ada kamu yang bikin hangat. Eh, atau malah panas ya kalo kita
berdua aja?” bisik Haykal tepat di telinga Fanya ketika Ayah dan Ibu sudah
berada di teras depan.
Fanya sontak
merinding saat merasakan geli karena helaan nafas hangat di telinganya. “Kamu
jangan macem-macem, ya!” ancamnya. Ia langsung mencubit perut rata milik
tunangannya. Kemudian berlari mengikuti orangtuanya sebelum Haykal kumat lagi.
Haykal meringis
sesaat sambil mengelus perutnya. “Sayang, tas sama buku kamu masih di meja
makan, nih!” soraknya kemudian.
Gadis berkemeja
abu-abu polos dan rok panjang bermotif tribal tersebut sontak menoleh saat ia
sudah berdiri di ambang pintu depan. “Kamu bawain aja. Aku tunggu di mobil, ya!
Jangan lama-lama! Dosenku yang jam pertama ini rese’ soalnya.” Ia balas
bersorak. Kemudian menghilang ke luar rumah.
Haykal
geleng-geleng kepala sejenak. Menyadari bahwa ia adalah dosen yang akan
mengajar di kelas Fanya pada jam pertama hari ini. Juga sapaan yang
digunakannya tadi. Aku-kamu.
Semoga kamu cepet inget semuanya, Nya. Gak bakal ada
kata capek buat bikin kamu inget semua tentang aku lagi. Dan semua tentang kita,
tentunya...
gumam Haykal dalam hati. Sembari berjalan menuju pintu dengan menenteng tas
slempang dan diktat milik tunangannya.
***
“Kamu
suka lagu apa?” tanya Fanya sambil memilih-milih beberapa CD di dashboard mobil
Haykal. Ia baru menyadari bahwa lelaki itu memiliki selera musik yang modern
dibanding Ayah. Ada CD Secondhand Serenade, David Cook, Maroon 5, Ten 2 Five,
Bruno Mars, dan beberapa album lagu jazz.
“Kok keliatannya
kamu romantis banget, sih?” Gadis itu mencibir sejenak.
Haykal menoleh
ke arahnya saat lampu lalu lintas berubah merah. “Itu semua kan CD favorit kamu.
Punyaku cuma yang Secondhand Serenade doang. Itupun gak pernah aku putar
lama-lama. Kamu gak terlalu suka soalnya.”
“Beneran?” Mata
Fanya berbinar. Ia menyadari bahwa lagu dari penyanyi-penyanyi tersebut adalah
kesukaannya. Namun ia pikir, Haykal juga seromantis dirinya. Ia lalu
mengeluarkan sekeping CD Ten 2 Five. Kemudian memasukkannya ke dalam pemutar
musik di dalam mobil lelaki itu. Lalu menekan tombol 5 di layar sentuh
tersebut.
I thought this would be the
end of my life
when you told me you're no longer in love with me
I thought the sun would never arise again
when you told me everything was over
when you told me you're no longer in love with me
I thought the sun would never arise again
when you told me everything was over
Deg! Haykal langsung shock saat
mendengar Fanya menyenandungkan bait pertama lagu itu. Tidak dengan suara yang
besar memang, namun cukup membuat jantungnya berdebar tak karuan.
Ciiiiit!
“Auw!” ringis Fanya. Ia menggenggam seatbelt erat-erat.
Jika saja tali pengaman tersebut tidak terpasang, mungkin dadanya sudah
membentur dashboard. “Kamu ngapain sih ngerem mendadak gini? Aku kaget, tau!”
“Sorry,” lirih Haykal. Ia kembali menginjak pedal gas
perlahan. Pikirannya buyar.
“Kamu kenapa, sih?” Gadis itu memiringkan tubuhnya ke
arah lelaki yang duduk di sebelahnya. Penuh rasa penasaran.
Cause my world is full with
you
And my world is full with you
Cause my world is full with you
And my world is full with you
And my world is full with you
Cause my world is full with you
And my world is full with you
Hening sesaat. Ten 2 Five menghabiskan reff lagu ‘my
world is full with you’ miliknya.
“Kamu suka lagu ini?” tanya Haykal akhirnya. Mereka
kembali berhenti karena isyarat lampu lalu lintas. Sepertinya mitos bahwa jika
kita bertemu dengan lampu merah satu kali, maka lampu lalu lintas selanjutnya
juga akan merah itu benar.
Fanya mengembalikan posisi duduknya. “Iya, aku suka. Suka
banget, malah.”
And even though we're not
together once again
And I found emptiness living without you
It feels so hard to let you go
And I found emptiness living without you
It feels so hard to let you go
“Emangnya kenapa?”Fanya kembali
bertanya saat menyadari Haykal masih memilih diam.
“Karena aku cemburu,” balas lelaki yang pagi itu
mengenakan kemeja biru muda dan celana katun biru tua. Tak lupa kacamata bening
membingkai mata teduhnya.
“Cemburu... Buat?” Dahi Fanya sukses berkerut.
“Karena kamu bahkan gak ngelupain lagu favorit yang
sering kamu putar di mobilku. Beda sama aku yang susah banget kamu inget.”
Deg! Fanya langsung bungkam.
***
“Aku gak bisa disuruh nanganin bayi.
Kepalaku suka sakit kalo denger mereka nangis,” keluh Fanya.
Haykal yang duduk di sebelahnya sontak mengerutkan dahi.
“Kamu ini gimana, sih? Kan kamu yang pilih rumah sakit ibu dan anak ini. Kamu
kan tau konsekuensinya gimana. Lagian, anggap aja itung-itung latihan buat jadi
ibu.”
“Itu masih lama banget, Kal. Aku aja baru KKN. Belum lagi
koas. Jauh banget mikirnya.”
Mereka berdua sedang berada di dalam ruangan Haykal. Ruangan
yang ditempati oleh tiga orang dosen yang mengajar mata kuliah Trauma dan
Kegawatan. Namun saat ini, ruangan tersebut kosong. Entah kemana dosen-dosen
yang lain.
“Ehem...” Sebuah suara deheman muncul dari pintu masuk.
Fanya yang tadinya sibuk mencubit perut Haykal setelah
melemparinya kertas pun kontan menghentikan aktifitasnya. Begitupun dengan
lelaki dengan wajah menahan sakit tersebut.
“Maaf, Dokter Haykal. Ini, saya datang bersama mahasiswa
yang akan menjadi asisten untuk menggantikan Dokter selama proses KKN nanti,”
ujar Dokter Ita. Pagi ini ia tampil cantik dengan jas dokter dan long dress
berwarna broken white.
“Oh, iya. Silakan masuk,” balas Haykal. Lelaki itu
berdiri dari duduknya. Kemudian melangkah ke meja kerjanya yang terletak paling
ujung.
Dokter Ita melangkah masuk. Ia tersenyum ke arah Fanya.
Senyum manis yang tidak bisa digolongkan basa-basi. Selain cantik dan pintar, ia
sepertinya juga sangat ramah dan tulus.
Fanya balas tersenyum. Agak kikuk.
Di belakang Dokter Ita, muncul sesosok lelaki dengan
kemeja polos berwarna putih dan celana jeans ketat biru muda. Tangannya
menggenggam beberapa map. Sebuah tas punggung memeluknya dari belakang.
“Selamat siang, Dok...” sapa lelaki itu sembari
menyodorkan tangannya.
Haykal berdiri. Kemudian ikut menjabat tangan lelaki yang
hampir setinggi dirinya itu dengan erat.
“Perkenalkan, saya–”
“Farhan?”
Semua mata langsung tertuju pada Fanya. Gadis yang baru
saja memotong kalimat lelaki yang sedang berjabatan dengan tunangannya.
“Loh, Fanya? Hai, long
time no see...” suara lelaki yang dipanggil Farhan itu. Senyum sumringah
terbit di bibirnya yang cenderung penuh. Menambah kesan seksi.
Fanya balas tersenyum.
“Kalian kenal?” heran Dokter Ita.
“Dia siapa, sayang?”
Dan kini, semua mata beralih ke Haykal yang baru saja
menyelesaikan kalimatnya. Lengkap dengan nada cemburu yang tidak bisa
ditutup-tutupi. Hanya karena melihat senyum bahagia tunangannya saat menyebut
nama pria lain di hadapannya.
Haykal langsung kikuk. Apalagi saat melihat Fanya yang
melotot ke arahnya. Aduh, kok aku bisa
lupa sih kalo gak ada pihak kampus yang tau soal hubunganku sama Fanya? Ck!
rutuknya dalam hati.
“Maaf, Dok–”
“Harusnya saya yang minta maaf.” Haykal buru-buru
memotong kalimat Dokter Ita. “Saya sama Fanya memang sepakat tidak mengumbar
masalah pertunangan kami ke pihak kampus.”
“Tunangan?” Lelaki yang disebut Farhan dan Dokter Ita
sontak berseru.
Haykal mengangguk.
Fanya memilih menunduk malu.
“Sejak kapan, Dok?” tanya Dokter Ita.
“Sejak dia masih kelas satu SMA,” jawab Haykal, tetap
terlihat kalem. Senyum pun tak sirna dari wajahnya.
“SMA?” Kali ini, giliran Fanya yang shock.
Dokter Ita dan Farhan saling bertukar pandang. Lalu
mengalihkan tatapannya ke arah Haykal. Menuntut penjelasan.
“Ceritanya panjang. Fanya amnesia dan dia cuma lupa sama
saya.”
***
“Aku suka sama dia. Dia lucu, suka
senyum, ramah. Pokoknya aku suka semua tentang dia.” Fanya menatap ke satu
titik di koridor kelas XII IPA .
Sosok lelaki berkemeja putih dan celana kain hitam dengan id-card yang
tergantung di lehernya.
“Kamu mah enak. Dia kan kenal deket sama keluarga kamu.
Jadi kamu bisa curi start dari perempuan-perempuan lain di sekolah ini,”
komentar Prita, sahabat semasa SMA Fanya. Perempuan tomboy dengan rambut kuncir
kuda yang asal-asalan.
“Iya, sih. Tapi aku masih malu. Apalagi dia banyak
penggemarnya. Aku kan gak secantik perempuan-perempuan yang selalu ada di deket
dia,” balas Fanya sambil menopang dagunya dengan telapak tangan kanan. Ia
sedang duduk di bangku yang terletak di taman kecil dekat lapangan basket.
Dari kejauhan, sosok lelaki beralmamater abu-abu tersebut
menghampiri Fanya dan Prita. “Hai, Nya. Udah makan siang?” sapanya saat sudah
berdiri di depan perempuan itu.
Fanya tergagap sejenak, lalu melirik Prita. Yang dilirik
cuma mengendikkan bahu. Mau tidak mau, Fanya pun menggeleng.
Lelaki itu mengulurkan tangan kanannya ke depan Fanya.
“Temenin aku makan siang, yuk! Aku laper, tapi maunya cuma makan sama kamu.”
Lalu tanpa persetujuan si empunya, ia langsung menarik jemari perempuan di
hadapannya. Mengabaikan pandangan orang-orang di sekitar mereka. Baik teman
murid SMA tersebut, maupun teman-temannya sesama mahasiswa yang sedang
bersosialisasi di sekolah Fanya.
“Kak Haykal...” lirih Fanya. Ia melirik tangannya yang
digandeng dan beberapa senior yang dilewatinya.
Lelaki yang dipanggil Haykal itu pun kontan menghentikan
langkah. Kemudian menatap perempuan itu. Kedua alisnya menyatu.
“Gini, sebenernya, aku gak laper...”
“Oh, ya udah. Kamu minum aja. Sekalian temenin aku
makan,” jawab Haykal sembari melanjutkan langkahnya.
“Tapi–”
“Kenapa? Kamu gak mau? Kamu tega ngebiarin aku makan
sendiri di sini? Kamu takut diliat sama pacarmu, ya?” Haykal berhenti berjalan
lagi.
Fanya sontak mengunci bibirnya rapat-rapat. Lalu
menggeleng pelan. Ia menunduk. Menyembunyikan semburat merah pada wajahnya,
sekaligus senyum tipis yang tersungging di bibir tipisnya karena bertatapan
dengan Haykal.
“Ya udah. Yuk!” Lelaki yang mengenakan name tag dari
kampusnya tersebut kembali menarik jemari mungil Fanya.
Perempuan itu menurut. Ia ikut berjalan di sebelah
Haykal. Menikmati hangat genggaman lelaki itu. Menikmati rasa hangat yang
menjalar di wajahnya. Serta menikmati aura hangat di dalam hatinya sendiri.
Dalam balutan senyum lebar.
***
Fanya membuka matanya perlahan.
Kepalanya masih terasa berat. Namun ia berusaha bangkit. Aku dimana, nih? batinnya. Namun beberapa foto di dalam ruangan
tersebut menyadarkannya bahwa itu adalah kamarnya sendiri.
“Udah bangun?” tegur seseorang.
Ia kontan menoleh. Lalu mendapati lelaki yang baru saja
muncul di dalam mimpinya sedang duduk di sana. Tepatnya, sedang duduk bersandar
sambil menyelonjorkan kakinya di atas tempat tidur Fanya.
“Eh, ngapain kamu di sini?” seru gadis itu. Ia buru-buru
mengecek tubuhnya. Masih mengenakan pakaian tadi pagi. Tidak ada yang kurang.
Kecuali kaus kaki dan flat shoes. Juga peralatan kuliahnya.
“Loh, aku kan ngejagain kamu, sayang. Aku gak mau kamu
bangun dan kaget karna udah ada di sini,” jawab Haykal, kalem.
“Emangnya kenapa aku bisa ada di sini? Bukannya tadi kita
lagi ngobrol di kampus? Di ruangan kamu? Bareng Dokter Ita sama Farhan, kan?”
“Iya, tapi kamu tiba-tiba pingsan. Pasti kamu berusaha
inget semuanya lagi, kan? Aku harus ngomong berapa kali, sih? Kamu ini gak usah
inget yang macem-macem.” Haykal mencubiti hidung gadis itu. Gemas.
“Gimana aku gak berusaha nginget? Aku kaget banget waktu
kamu bilang kita udah tunangan sejak aku SMA. Kok bisa secepat itu, sih? Kok
aku bisa mau sama kamu? Emang aku gak pusing mikirin sekolah? Sampe harus
nerima pertunangan secepat itu?”
“Jadi kamu mau aku ceritain, nih?” Haykal balik bertanya.
Ia memperbaiki posisi duduknya menghadap Fanya.
Yang ditanya langsung mengangguk kuat-kuat. Seakan
melupakan nyeri di kepalanya.
Haykal menghela nafas panjang. “Jadi gini, kita berdua
itu ketemu di acara keluarga. Papa kamu sama Papa aku sahabat lama. Waktu itu
aku udah kuliah kedokteran, sementara kamu masih kelas satu SMA. Ya udah.
Akhirnya kita kenalan, deket, sampe akhirnya kamu mau tunangan sama aku pas aku
harus berangkat ke Aussie dan ngelanjutin koas di sana.” Ia memulai ceritanya.
“Trus? Aku mau aja, gitu?” Dahi Fanya berkerut. Tidak
percaya.
Haykal mengangguk.
“Emang aku suka sama kamu?”
Dahi lelaki itu berkerut. Lalu tertawa geli. “Kamu bahkan
cemburuan banget kalo ngeliat ada perempuan yang ngelirik aku,” jawabnya. “Dan
ternyata, cemburuan kamu masih kronis meskipun kamu amnesia. Buktinya, kamu
masih ngambek pas aku ngobrol sama Dokter Ita.”
Fanya langsung mencibir. Lalu tiba-tiba, ia mengingat
sepotong mimpinya tadi. Mimpi yang bersetting di SMA-nya dulu. Dan anehnya, ada
Haykal di sana. “Kamu pernah ke sekolahku, gak? Pake almamater abu-abu, kemeja
putih sama celana hitam, trus pake-pake name tag? Kayak sales, gitu?”
Haykal langsung menatap langit-langit kamar Fanya.
Berusaha mengingat-ingat. “Oh, iya! Pas kamu masih kelas satu, kan?”
“Kayaknya, sih. Aku juga udah lupa.”
“Waktu itu aku lagi ada kunjungan. Kalo gak salah dalam rangka Hari Anti Narkoba,
sih. Jadi kampusku ngadain sosialisasi kesehatan tiga hari di sekolah kamu. Dan
selama itu, aku sama kamu terus. Sampe kamu dikatain ganjen sama senior perempuan
kamu. Padahal kan aku yang sering minta ditemenin kamu.”
Fanya manggut-manggut.
“Kok kamu tau kalo aku pernah ke sekolah kamu?” tanya
Haykal.
Gadis yang tadinya ngobrol sambil berbaring itu langsung
beringsut ke atas paha Haykal. Memilih lebih dekat dengan lelaki yang mengaku
tunangannya itu. “Tadi aku mimpi. Kamu ke sekolahku, aku lagi ngobrol sama
Prita, trus kamu tiba-tiba dateng dan ngajak makan siang di kantin. Gitulah
pokoknya. Aku juga gak ngerti.”
“Serius?” Lelaki ber-polo shirt tersebut langsung mendekatkan
tubuhnya pada Fanya.
“Iya. Ngapain aku bohong?”
“Kamu pernah mimpi kayak gitu juga gak sebelumnya?”
Fanya menggeleng pelan. “Baru sekali ini. Anehnya, aku
ngerasa mimpi yang tadi itu nyata banget. Mungkin karna emang pernah kejadian?”
Haykal mengalihkan pandangannya pada jendela yang lumayan
besar di sana. “Mungkin juga. Siapa tau ini salah satu tanda ingatan kamu udah
mulai pulih.”
“Gitu, ya?” Mata Fanya berbinar cerah.
“Iya, insya Allah...” balas lelaki itu seraya menatap
tunangannya. Ikut tersenyum penuh kebahagiaan. Lalu mengelus kepala gadis yang
berbaring di atas pahanya itu.
***
Fanya berjalan meninggalkan ruang
administrasi fakultasnya. Surat-surat yang akan melancarkan proses KKN-nya
sudah selesai. Kalau tidak ada halangan, minggu depan rektor kampusnya akan
melepas para mahasiswa yang akan menjalani KKN, baik di kota ini, luar kota,
sampai daerah terpencil. Ia sendiri mendapat tempat di salah satu rumah sakit
ibu dan anak di kota ini.
“Fanya?” Sebuah suara muncul dari belakang.
Gadis ber-cardigan merah muda dan jeans hitam tersebut
kontan menoleh. Senyumnya merekah saat menyadari siapa yang memanggilnya
barusan. “Hai, Farhan!”
Farhan terlihat dewasa pagi itu. Sebenarnya, ia seumuran
dengan Fanya. Namun karena ia sempat mengikuti program pertukaran pelajar saat
SMA dulu, ia pun harus terlambat satu tahun di bawah Fanya. Makanya, saat gadis
itu sudah sibuk dengan KKN, Farhan masih sibuk kuliah sekaligus menjadi asisten
dosen karena kepintarannya yang di atas rata-rata.
“Lagi ngurus KKN, ya? Asik banget yang udah semester
enam,” ucap lelaki berjas putih khas dokter tersebut. Ia duduk di bangku kayu
depan ruang administrasi.
Fanya ikut duduk di sebelahnya. “Iya, nih. Ribet banget,”
balasnya. “Kamu lagi ngapain? Gak ada kuliah?”
“Enggak. Cuma mau ketemu sama Dokter Haykal. Tapi kata
Dokter Ita, dia lagi ngajar.”
Gadis itu manggut-manggut seraya membentuk bibirnya
menyerupai huruf o.
“Gimana kabar kamu?” Farhan membuka pembicaraan setelah
hening agak lama.
“Alhamdulillah, sehat. Kamu sendiri?” Ia balik bertanya.
“Kayak yang kamu liat,” balas lelaki berkaus hijau itu.
“Aku denger, kamu abis kecelakaan, ya?”
Fanya mengangguk pelan. “Beberapa tahun yang lalu.
Kecelakaan mobil sama nyokap.”
“Trus? Nyokap gak pa-pa, kan?”
“Gak pa-pa, sih. Cuma aku amnesia. Kamu pasti udah tau
kan pas Dokter Haykal nyeritain itu di ruangannya kemaren?”
“Iya, aku denger. Aku pikir, amnesia itu cuma ada di
sinetron sama novel doang.” Farhan tertawa di ujung kalimatnya.
“Sialan!” Gadis yang duduk di sampingnya langsung
mencubit lengan lelaki itu. Lalu tertawa bersama.
Tiba-tiba...
“Ehem!”
Fanya dan Farhan kontan menoleh ke arah deheman yang
lumayan besar di depan mereka.
“Eh, Dokter Haykal...” Farhan sontak berdiri.
Fanya hanya menatapnya dengan dahi berkerut.
“Kamu nyari saya? Ada apa?” tanya Haykal. Nada ketus
sangat nampak dalam pertanyaannya. Ditambah dengan raut yang disetel tegas.
“Ini, Dok. Saya mau bertanya tentang mata kuliah yang
akan saya isi di kelas Dokter,” jawab Farhan. Ia mengacungkan beberapa buku di
tangannya.
“Ya sudah. Kita bicara di ruangan saya,” ujar Haykal.
Kedua rahangnya tiba-tiba mengeras. “Kamu ngapain di sini?” lanjutnya. Ke arah
Fanya.
“Abis ngurus surat-surat KKN-ku. Tapi aku udah mau
pulang. Soalnya hari ini aku gak ada kuliah,” jawab Fanya. Ia berdiri di
sebelah Farhan. Lalu menyelempangkan tas putih andalannya. Berniat meninggalkan
kampus.
“Aku anter kamu pulang,” balas Haykal. “Kamu mau isi mata
kuliah saya seharian ini, kan?” Kali ini, ia bertanya ke arah lelaki yang
berdiri di sebelah tunangannya.
Mau tidak mau, Farhan hanya mengangguk. Kemudian
mengikuti Haykal yang sudah berjalan mendahuluinya. Memasuki ruang jurusan.
Fanya hanya memandangi kedua lelaki itu dengan dahi
berkerut. Lalu kembali duduk di depan ruang administrasi.
***
“Kamu ngapain ngobrol sama Farhan?”
tanya Haykal sambil duduk di meja makan. Siap-siap menyantap makan siang buatan tunangannya sejak Ayah dan Ibu
benar-benar sibuk di rumah sakit dan hampir tidak pernah pulang.
“Emangnya kenapa? Dia kan temen lamaku. Masa gak boleh
ngobrol, sih?” balas Fanya sambil meletakkan piring berisi nugget ayam di atas
meja. Kemudian langsung duduk di samping lelaki yang sudah berganti pakaian
dengan celana pendek coklat dan kaus besar dengan tulisan ‘The Beatles’ di tengahnya.
“Dia kan mantan kamu,” ketus Haykal sembari mengansurkan
piring kosongnya ke depan Fanya.
Fanya meraihnya. Lalu menyendokkan nasi ke atas piring
putih polos tersebut. “Itu masa lalu, Kal. Lagian masih cinta anak SMP . Cinta monyet gak jelas.” Ia menambah sesendok
sayur tumis kangkung dan beberapa potong nugget, juga mie goreng.
“Mantan yah tetep mantan. Cinta itu bisa muncul kapan
saja, sayang. Mending kamu menghindar, deh. Aku gak mau kamu ngasih harapan
lagi ke Farhan.” Lelaki itu mengambil kembali piringnya. Kemudian mulai
memasukkan sesendok penuh nasi dan lauk ke dalam mulutnya. Antara lapar dan
meluapkan emosi.
“Siapa yang ngasih harapan, sih? Ngaco!”
“Kamu, tuh.”
“Kamu kali yang ngasih harapan ke Dokter Ita!” Emosi
Fanya mulai terpancing.
“Kok malah aku? Kita ini lagi bicarain kamu sama Farhan.
Gak ada sangkut-pautnya ke orang lain. Apalagi Dokter Ita.”
“Apa bedanya? Kamu juga sering banget ngobrol sama Dokter
Ita. Kok aku gak boleh? Egois banget, sih!” Gadis yang mengenakan terusan
selutut bergambar shincan tersebut menunjuk-nunjuk Haykal dengan sendok di
tangan kanannya. Saking emosi.
“Aku sama Dokter Ita kan ngomongin masalah kampus,
masalah rumah sakit juga. Kamu sama Farhan apa? Palingan cuma hal-hal gak
penting aja. Iya, kan?”
“Apa bedanya, coba? Sama aja judulnya ngobrol!”
“Aku sama Dokter Ita–”
“Alah, ngeles mulu! Bilang aja kalo kamu mau leluasa
ngobrol sama Dokter Ita, tapi aku gak boleh berhubungan sama Farhan. Iya, kan?
Itu kan mau kamu? Dasar egois!”
“Bukan gitu! Masalahnya, kalian itu pernah pacaran.
Sedangkan aku sama Dokter Ita cuma temen sesama dokter. Gak lebih, Fanya!”
Deg! Wajah Fanya langsung tegang. Selama beberapa bulan
kehadiran Haykal di kehidupannya, baru kali ini ia mendengar Haykal memanggil
namanya dengan nada keras.
Haykal baru menyadari kesalahannya setelah melihat
tunangannya tersebut berdiri dari duduknya. Berniat meninggalkan sepiring penuh
makanan miliknya di atas meja. “Maksud aku... Hm... Kamu...” Ia tidak tahu
harus berkata apa lagi.
“Gue heran, kok gue bisa-bisanya mau tunangan sama
laki-laki tempramental kayak lo, ya? Cemburuan gak jelas, lagi. Kalo lo gak
percaya sama gue, ya udah. Mending pertunangan ini gak usah dilanjutin!” tandas
Fanya. Lalu melangkah –nyaris berlari– meninggalkan Haykal yang masih bergeming
di meja makan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar