Sabtu, 16 Maret 2013

Remember Me #4 - Cemburu

Jika cemburu tanda cinta, kenapa mesti sakit yang terasa?



“Kamu kenapa sih, Nya?” tanya Haykal saat mereka berdua sudah memasuki rumah.
Fanya yang berjalan terlebih dahulu memilih diam. Sama seperti aksinya dalam perjalanan dari kampus ke rumah Tyas, bahkan hingga tiba di rumahnya.
“Nya, jawab aku!” Haykal yang baru saja melepas jas dokternya langsung mencekal jemari tunangannya. Antara kesal dan gemas karena sudah tidak diacuhkan sedemikian rupa.
Gadis itu sontak menghentikan langkah. Kemudian menoleh dan menatap Haykal tepat di manik matanya. Dengan pandangan menghujam dan penuh amarah. “Gue? Kenapa? Lo ini peka gak, sih?” soraknya. Mencoba meluapkan emosi yang sudah mencapai ubun-ubun sejak tadi.
“Emang aku kenapa?” Haykal balik bertanya.
“Lo bener-bener bego!” maki Fanya. Ia berusaha menyentakkan tangannya dari cekalan Haykal. Namun tidak berhasil.
“Jelasin aku dulu! Kamu sebenernya kenapa?” Laki-laki itu menuntun Fanya ke sofa di ruang tengah. Walaupun dengan paksa.
Fanya langsung duduk dengan pasrah. Wajah mungil miliknya masih ditekuk. Ia menghindari kontak mata dengan sang tunangan.
“Kalo kamu gak ngomong-ngomong juga, aku gak bakal ngelepas kamu,” ancam Haykal. “Biar kamu gak bisa bikin makalah ilmiah buat mata kuliahku besok. Dan aku bakal hukum kamu dengan sadis. Mau?” lanjutnya.
Berhasil. Fanya kontan menoleh dan menatapnya lagi. “Mau lo apa, sih?” balasnya. Masih dengan volume suara yang tinggi dan penekanan keras pada kata ‘lo’.
“Aku cuma tanya, kamu kenapa? Kok tiba-tiba jutek lagi? Bukannya kemaren udah akur, ya?” tanya laki-laki tersebut. Ia tetap menggenggam pergelangan tangan Fanya agar tunangannya itu tidak berniat melarikan diri. Namun sekarang lebih lembut. Mungkin ia juga takut melukai perempuan yang paling dicintainya setelah Ibunya tersebut.
“Gue malah pengen nanya sama lo, gimana caranya kita bisa pacaran? Sampe tunangan, lagi! Sementara lo bisa deket sama perempuan lain! Hah?” emosi Fanya.
Dahi Haykal berkerut untuk beberapa saat. Namun detik kemudian, ia langsung tertawa geli. Cekalannya pada gadis itu pun terlepas. Ia memilih memegangi perutnya sendiri dalam tawa. Sembari geleng-geleng kepala.
“Lo ngetawain gue? Setelah sok tebar pesona sama perempuan lain? Sok ganteng banget, sih!” gerutu Fanya sambil mendengus kesal.
“Cuma senyum kali, sayang... Apa salahnya, coba?” balas Haykal. Setelah tawanya reda. Walaupun masih menyisakan sedikit gelak di antara kalimatnya.
“Tau, ah!”
“Ih, kamu cemburu? Wohooo, tunanganku cemburu sama perempuan lain, nih ye... Peningkatan kamu drastis banget kayaknya,” Lelaki itu malah mengusap-usap puncak kepala Fanya penuh sayang. Lalu mencium keningnya.
“Lo apa-apaan! Hah? Abis tebar pesona sama perempuan-perempuan di kampus, lo malah seenaknya nyium gue, gitu? Lo pikir gue juga bakal terpesona sama lo? Idih, jangan harap! Lelaki macem lo tuh banyak! Gue nyari di Tanah Ab–”
CUP!
Fanya membatu.
Haykal tersenyum puas.
“ELO YAH BENER–”
“Apa? Kalo teriak-teriak, artinya mau lagi loh!” Haykal berusaha sekuat tenaga menyembunyikan seringainya.
Dan Fanya hanya bisa mendengus. Memalingkan wajahnya yang menyaingi kepiting rebus gara-gara dicium Haykal beberapa saat yang lalu. Ciuman singkat memang, namun cukup menghangatkan bibir tipis miliknya. Dan merubah detak jantungnya menjadi di atas normal. Hanya gara-gara gesekan bibir Haykal yang sangat memabukkan.
“Kok malah diem? Jangan-jangan malah pengen nambah, lagi!” goda lelaki itu lagi.
“Apaan sih lo!” sungut Fanya. Menyetel ekspresi pura-pura kesal. “Minggir! Gue mau ke kamar,” lanjutnya seraya berdiri dari sofa.
Namun baru berniat beranjak, tangan Fanya langsung dicekal oleh Haykal yang masih dalam posisi duduk. Membuatnya gadis itu kontan berbalik secara paksa. Karena tidak bisa menjaga keseimbangannya akibat ditarik secara paksa, ia malah terjatuh tepat ke dalam pelukan tunangannya.
Haykal merasa di atas angin. Lelaki itu segera melingkarkan tangannya di pinggang Fanya dengan erat. Seakan tak mau melepaskan. Dan memang sangat menikmati keadaan tersebut. Apalagi Ayah dan Ibu Fanya sedang sibuk di rumah sakit. Menciptakan akses untuknya dalam frekuensi yang lebih besar lagi.
Fanya benar-benar membeku sekarang. Ia ingin berteriak minta dilepaskan, tapi lidahnya seakan kelu. Ia ingin membuang pandangannya ke arah lain, tapi tatapan teduh Haykal seakan menguncinya. Ia ingin memberontak, namun aroma Haykal benar-benar membujuknya untuk tetap menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Lama mereka bertatapan dalam diam. Seakan sama-sama menggali kenangan. Memunculkan rasa yang semakin membuncah. Meminta kembali diulang menjadi sejarah baru setelah sekian tahun tak ditengok.
“I love you,” lirih Haykal.
Fanya menghirup aroma mint dari nafas lelaki itu, kemudian bergeming lagi.
“Kok diem?” tanya lelaki tersebut. Ia masih setia memeluk pinggang gadis di depannya. Sesuatu yang dulu sering ia lakukan. Sekaligus hal yang paling ingin diulangnya. Duduk berdua, membiarkan Fanya di pangkuannya, sementara ia memeluk pinggang sang tunangan. Lalu gadis itu juga akan melingkarkan kedua tangan ke lehernya dan merebahkan kepala ke dadanya. Bahkan bisa tertidur di sana.
“Aku... Gak tau mau ngomong apa. I just... Don’t understand how to reply it,” jawab Fanya akhirnya.
“Ikutin aja apa yang hati kamu mau.” Haykal tersenyum di ujung kalimatnya. Senyum yang begitu menenangkan.
Hati Fanya berdesir aneh. Detak jantungnya? Tidak usah ditanya. Dalam waktu beberapa menit lagi, mungkin sudah keluar dari dada kirinya saking hebatnya menghentak-hentak.
“Jadi sekarang gimana? Just stay in silence like this?” pancing Haykal. Matanya mengerling nakal, sekaligus menggoda.
Tanpa sadar, kedua sudut bibir Fanya melengkung. Ia langsung melingkarkan kedua tangannya ke leher lelaki yang sedang memangkunya saat ini. Kemudian merebahkan kepalanya pada dada bidang lelaki tersebut. “Gak tau kenapa, aku pengen begini aja. Kayaknya nyaman, deh. Kebetulan, aku juga lagi ngantuk,” ujarnya seraya menggerakkan tubuh dan kepalanya. Mencari posisi yang nyaman.
Entah bagaimana menggambarkannya, yang jelas Haykal merasa sangat bahagia. Perasaan yang terakhir kali dirasakannya saat mengetahui berita kepulangannya ke Indonesia dan akan mengajar di kelas Fanya.
“Kok diem? Aku boleh kan tidur di sini?” tanya Fanya. Gadis itu mengangkat dagu. Mencoba melihat wajah lelaki yang sedang memangkunya kini.
Haykal mengangguk mantap. Lalu mengelus kepala tunangannya tersebut. Tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya rindu saat-saat seperti ini. Yah, sesederhana itu.
***
            Fanya sedang mengunyah roti bakar selai coklat buatan Ibu dan susu coklat di depannya sambil membaca-baca diktat di atas meja makan. Mempelajari materi kuis yang akan diadakan Haykal hari ini.
Walaupun mereka sepasang tunangan, namun Haykal sangat menjunjung tinggi keprofesionalan seorang dosen. Begitupun Fanya, ia tidak mungkin mau mengemis pada dosennya tersebut untuk membocorkan soal padanya. Karena ia memang lebih suka menikmati nilai dari usahanya sendiri. Jika sudah mengetahui soal kuisnya terlebih dahulu, ia pasti kehilangan greget saat mengerjakan soal di kelas nanti. Ia tidak mau mendapatkan gelar cuma-cuma, apalagi harus menerapkan segala hasil mata kuliahnya selama ini ke rumah sakit tanpa modal apa-apa.
“Haykal, Fanya...” tegur Ayah. Menghentikan aktifitas keduanya.
Haykal yang sibuk memperbaiki letak dasinya pun langsung mengalihkan pandangan ke arah calon mertua yang duduk di ujung meja seorang diri.
“Mungkin untuk beberapa hari ke depan, Ayah sama Ibu bakal sibuk banget di rumah sakit. Kalian pasti tau kan bagaimana sibuknya orang-orang di sana?” lanjut Ayah. Ketika melihat kedua orang di sisi kirinya mengangguk, beliau kembali berujar, “Jadi mungkin kami bakal nginap di rumah sakit beberapa hari ini. Kalian berdua gak apa-apa kan kalo kami tinggal berdua di rumah?”
Fanya buru-buru meneguk susu coklat untuk membantu menelan roti yang masih di dalam mulutnya. “Loh, kok nginep di rumah sakit? Biasanya kan gak pernah kayak gitu!” protesnya cepat.
“Rumah kita sama rumah sakit tempat Ayah dan Ibu kerja kan jauh banget, sayang. Gimana kalo ada pasien yang harus mendadak dioperasi sama Ayah karena udah sekarat? Gimana kalo ada Ibu yang anaknya kebetulan punya masalah? Kan kasian kalo mereka harus nunggu lama sampe kami sampai di rumah sakit.” Ibu yang menjawab.
“Ayah juga udah kepikiran beli rumah yang dekat dari rumah sakit. Rumah ini nanti ditinggali sama kalian berdua aja kalo udah nikah,” sambung Ayah.
“Uhuk! Uhuk! Uhuk!” Fanya langsung tersedak.
Haykal buru-buru menyodorkannya air putih. Yang segera disambut oleh gadis itu. “Makannya hati-hati, dong.” Ia menepuk-nepuk punggung tunangannya tersebut. Berniat membantu meredakan rasa kaget sekaligus mengatasi sedak yang dialami Fanya.
Fanya mengangguk sekilas. Lalu menyingkirkan jemari kiri Haykal dari tubuhnya. “Ayah sama Ibu jangan macem-macem, deh. Mana mungkin aku mau tinggal serumah sama Haykal? Cuma berdua, lagi. Ntar apa kata tetangga? Mending aku nginep di rumahnya Tyas aja. Lebih aman.”
“Tetangga kita kan udah tau kalo kalian mau nikah. Udah, ah. Kamu di rumah aja. Malah lebih bagus kalo ada Haykal, ada yang ngejagain kamu. Jangan suka nyusahin orang lain, kasian Tyas.” Suara Ayah sarat akan ketegasan.
“Tapi, Yah–”
“Ayah sama Ibu mau ke rumah sakit dulu. Kamu sama Haykal juga buruan ke kampus. Ini udah jam berapa,” potong lelaki paruh baya tersebut. Seraya menyeka bibirnya dengan tisu, kemudian berdiri dan meninggalkan meja makan.
Di belakangnya, Ibu melangkah sambil berusaha menyembunyikan senyum.
“Wah, asik nih! Ntar malem enaknya ngapain, ya? Kita kan berduaan doang. Lumayan nih kalo tiba-tiba hujan, ada kamu yang bikin hangat. Eh, atau malah panas ya kalo kita berdua aja?” bisik Haykal tepat di telinga Fanya ketika Ayah dan Ibu sudah berada di teras depan.
Fanya sontak merinding saat merasakan geli karena helaan nafas hangat di telinganya. “Kamu jangan macem-macem, ya!” ancamnya. Ia langsung mencubit perut rata milik tunangannya. Kemudian berlari mengikuti orangtuanya sebelum Haykal kumat lagi.
Haykal meringis sesaat sambil mengelus perutnya. “Sayang, tas sama buku kamu masih di meja makan, nih!” soraknya kemudian.
Gadis berkemeja abu-abu polos dan rok panjang bermotif tribal tersebut sontak menoleh saat ia sudah berdiri di ambang pintu depan. “Kamu bawain aja. Aku tunggu di mobil, ya! Jangan lama-lama! Dosenku yang jam pertama ini rese’ soalnya.” Ia balas bersorak. Kemudian menghilang ke luar rumah.
Haykal geleng-geleng kepala sejenak. Menyadari bahwa ia adalah dosen yang akan mengajar di kelas Fanya pada jam pertama hari ini. Juga sapaan yang digunakannya tadi. Aku-kamu.
Semoga kamu cepet inget semuanya, Nya. Gak bakal ada kata capek buat bikin kamu inget semua tentang aku lagi. Dan semua tentang kita, tentunya... gumam Haykal dalam hati. Sembari berjalan menuju pintu dengan menenteng tas slempang dan diktat milik tunangannya.
***
            “Kamu suka lagu apa?” tanya Fanya sambil memilih-milih beberapa CD di dashboard mobil Haykal. Ia baru menyadari bahwa lelaki itu memiliki selera musik yang modern dibanding Ayah. Ada CD Secondhand Serenade, David Cook, Maroon 5, Ten 2 Five, Bruno Mars, dan beberapa album lagu jazz.
“Kok keliatannya kamu romantis banget, sih?” Gadis itu mencibir sejenak.
Haykal menoleh ke arahnya saat lampu lalu lintas berubah merah. “Itu semua kan CD favorit kamu. Punyaku cuma yang Secondhand Serenade doang. Itupun gak pernah aku putar lama-lama. Kamu gak terlalu suka soalnya.”
“Beneran?” Mata Fanya berbinar. Ia menyadari bahwa lagu dari penyanyi-penyanyi tersebut adalah kesukaannya. Namun ia pikir, Haykal juga seromantis dirinya. Ia lalu mengeluarkan sekeping CD Ten 2 Five. Kemudian memasukkannya ke dalam pemutar musik di dalam mobil lelaki itu. Lalu menekan tombol 5 di layar sentuh tersebut.
I thought this would be the end of my life
when you told me you're no longer in love with me
I thought the sun would never arise again
when you told me everything was over
            Deg! Haykal langsung shock saat mendengar Fanya menyenandungkan bait pertama lagu itu. Tidak dengan suara yang besar memang, namun cukup membuat jantungnya berdebar tak karuan.
            Ciiiiit!
“Auw!” ringis Fanya. Ia menggenggam seatbelt erat-erat. Jika saja tali pengaman tersebut tidak terpasang, mungkin dadanya sudah membentur dashboard. “Kamu ngapain sih ngerem mendadak gini? Aku kaget, tau!”
“Sorry,” lirih Haykal. Ia kembali menginjak pedal gas perlahan. Pikirannya buyar.
“Kamu kenapa, sih?” Gadis itu memiringkan tubuhnya ke arah lelaki yang duduk di sebelahnya. Penuh rasa penasaran.
Cause my world is full with you
And my world is full with you
Cause my world is full with you
And my world is full with you
            Hening sesaat. Ten 2 Five menghabiskan reff lagu ‘my world is full with you’ miliknya.
“Kamu suka lagu ini?” tanya Haykal akhirnya. Mereka kembali berhenti karena isyarat lampu lalu lintas. Sepertinya mitos bahwa jika kita bertemu dengan lampu merah satu kali, maka lampu lalu lintas selanjutnya juga akan merah itu benar.
Fanya mengembalikan posisi duduknya. “Iya, aku suka. Suka banget, malah.”
And even though we're not together once again
And I found emptiness living without you
It feels so hard to let you go
            “Emangnya kenapa?”Fanya kembali bertanya saat menyadari Haykal masih memilih diam.
“Karena aku cemburu,” balas lelaki yang pagi itu mengenakan kemeja biru muda dan celana katun biru tua. Tak lupa kacamata bening membingkai mata teduhnya.
“Cemburu... Buat?” Dahi Fanya sukses berkerut.
“Karena kamu bahkan gak ngelupain lagu favorit yang sering kamu putar di mobilku. Beda sama aku yang susah banget kamu inget.”
Deg! Fanya langsung bungkam.
***
            “Aku gak bisa disuruh nanganin bayi. Kepalaku suka sakit kalo denger mereka nangis,” keluh Fanya.
Haykal yang duduk di sebelahnya sontak mengerutkan dahi. “Kamu ini gimana, sih? Kan kamu yang pilih rumah sakit ibu dan anak ini. Kamu kan tau konsekuensinya gimana. Lagian, anggap aja itung-itung latihan buat jadi ibu.”
“Itu masih lama banget, Kal. Aku aja baru KKN. Belum lagi koas. Jauh banget mikirnya.”
Mereka berdua sedang berada di dalam ruangan Haykal. Ruangan yang ditempati oleh tiga orang dosen yang mengajar mata kuliah Trauma dan Kegawatan. Namun saat ini, ruangan tersebut kosong. Entah kemana dosen-dosen yang lain.
“Ehem...” Sebuah suara deheman muncul dari pintu masuk.
Fanya yang tadinya sibuk mencubit perut Haykal setelah melemparinya kertas pun kontan menghentikan aktifitasnya. Begitupun dengan lelaki dengan wajah menahan sakit tersebut.
“Maaf, Dokter Haykal. Ini, saya datang bersama mahasiswa yang akan menjadi asisten untuk menggantikan Dokter selama proses KKN nanti,” ujar Dokter Ita. Pagi ini ia tampil cantik dengan jas dokter dan long dress berwarna broken white.
“Oh, iya. Silakan masuk,” balas Haykal. Lelaki itu berdiri dari duduknya. Kemudian melangkah ke meja kerjanya yang terletak paling ujung.
Dokter Ita melangkah masuk. Ia tersenyum ke arah Fanya. Senyum manis yang tidak bisa digolongkan basa-basi. Selain cantik dan pintar, ia sepertinya juga sangat ramah dan tulus.
Fanya balas tersenyum. Agak kikuk.
Di belakang Dokter Ita, muncul sesosok lelaki dengan kemeja polos berwarna putih dan celana jeans ketat biru muda. Tangannya menggenggam beberapa map. Sebuah tas punggung memeluknya dari belakang.
“Selamat siang, Dok...” sapa lelaki itu sembari menyodorkan tangannya.
Haykal berdiri. Kemudian ikut menjabat tangan lelaki yang hampir setinggi dirinya itu dengan erat.
“Perkenalkan, saya–”
“Farhan?”
Semua mata langsung tertuju pada Fanya. Gadis yang baru saja memotong kalimat lelaki yang sedang berjabatan dengan tunangannya.
“Loh, Fanya? Hai, long time no see...” suara lelaki yang dipanggil Farhan itu. Senyum sumringah terbit di bibirnya yang cenderung penuh. Menambah kesan seksi.
Fanya balas tersenyum.
“Kalian kenal?” heran Dokter Ita.
“Dia siapa, sayang?”
Dan kini, semua mata beralih ke Haykal yang baru saja menyelesaikan kalimatnya. Lengkap dengan nada cemburu yang tidak bisa ditutup-tutupi. Hanya karena melihat senyum bahagia tunangannya saat menyebut nama pria lain di hadapannya.
Haykal langsung kikuk. Apalagi saat melihat Fanya yang melotot ke arahnya. Aduh, kok aku bisa lupa sih kalo gak ada pihak kampus yang tau soal hubunganku sama Fanya? Ck! rutuknya dalam hati.
“Maaf, Dok–”
“Harusnya saya yang minta maaf.” Haykal buru-buru memotong kalimat Dokter Ita. “Saya sama Fanya memang sepakat tidak mengumbar masalah pertunangan kami ke pihak kampus.”
“Tunangan?” Lelaki yang disebut Farhan dan Dokter Ita sontak berseru.
Haykal mengangguk.
Fanya memilih menunduk malu.
“Sejak kapan, Dok?” tanya Dokter Ita.
“Sejak dia masih kelas satu SMA,” jawab Haykal, tetap terlihat kalem. Senyum pun tak sirna dari wajahnya.
“SMA?” Kali ini, giliran Fanya yang shock.
Dokter Ita dan Farhan saling bertukar pandang. Lalu mengalihkan tatapannya ke arah Haykal. Menuntut penjelasan.
“Ceritanya panjang. Fanya amnesia dan dia cuma lupa sama saya.”
***
            “Aku suka sama dia. Dia lucu, suka senyum, ramah. Pokoknya aku suka semua tentang dia.” Fanya menatap ke satu titik di koridor kelas XII IPA. Sosok lelaki berkemeja putih dan celana kain hitam dengan id-card yang tergantung di lehernya.
“Kamu mah enak. Dia kan kenal deket sama keluarga kamu. Jadi kamu bisa curi start dari perempuan-perempuan lain di sekolah ini,” komentar Prita, sahabat semasa SMA Fanya. Perempuan tomboy dengan rambut kuncir kuda yang asal-asalan.
“Iya, sih. Tapi aku masih malu. Apalagi dia banyak penggemarnya. Aku kan gak secantik perempuan-perempuan yang selalu ada di deket dia,” balas Fanya sambil menopang dagunya dengan telapak tangan kanan. Ia sedang duduk di bangku yang terletak di taman kecil dekat lapangan basket.
Dari kejauhan, sosok lelaki beralmamater abu-abu tersebut menghampiri Fanya dan Prita. “Hai, Nya. Udah makan siang?” sapanya saat sudah berdiri di depan perempuan itu.
Fanya tergagap sejenak, lalu melirik Prita. Yang dilirik cuma mengendikkan bahu. Mau tidak mau, Fanya pun menggeleng.
Lelaki itu mengulurkan tangan kanannya ke depan Fanya. “Temenin aku makan siang, yuk! Aku laper, tapi maunya cuma makan sama kamu.” Lalu tanpa persetujuan si empunya, ia langsung menarik jemari perempuan di hadapannya. Mengabaikan pandangan orang-orang di sekitar mereka. Baik teman murid SMA tersebut, maupun teman-temannya sesama mahasiswa yang sedang bersosialisasi di sekolah Fanya.
“Kak Haykal...” lirih Fanya. Ia melirik tangannya yang digandeng dan beberapa senior yang dilewatinya.
Lelaki yang dipanggil Haykal itu pun kontan menghentikan langkah. Kemudian menatap perempuan itu. Kedua alisnya menyatu.
“Gini, sebenernya, aku gak laper...”
“Oh, ya udah. Kamu minum aja. Sekalian temenin aku makan,” jawab Haykal sembari melanjutkan langkahnya.
“Tapi–”
“Kenapa? Kamu gak mau? Kamu tega ngebiarin aku makan sendiri di sini? Kamu takut diliat sama pacarmu, ya?” Haykal berhenti berjalan lagi.
Fanya sontak mengunci bibirnya rapat-rapat. Lalu menggeleng pelan. Ia menunduk. Menyembunyikan semburat merah pada wajahnya, sekaligus senyum tipis yang tersungging di bibir tipisnya karena bertatapan dengan Haykal.
“Ya udah. Yuk!” Lelaki yang mengenakan name tag dari kampusnya tersebut kembali menarik jemari mungil Fanya.
Perempuan itu menurut. Ia ikut berjalan di sebelah Haykal. Menikmati hangat genggaman lelaki itu. Menikmati rasa hangat yang menjalar di wajahnya. Serta menikmati aura hangat di dalam hatinya sendiri. Dalam balutan senyum lebar.
***
            Fanya membuka matanya perlahan. Kepalanya masih terasa berat. Namun ia berusaha bangkit. Aku dimana, nih? batinnya. Namun beberapa foto di dalam ruangan tersebut menyadarkannya bahwa itu adalah kamarnya sendiri.
“Udah bangun?” tegur seseorang.
Ia kontan menoleh. Lalu mendapati lelaki yang baru saja muncul di dalam mimpinya sedang duduk di sana. Tepatnya, sedang duduk bersandar sambil menyelonjorkan kakinya di atas tempat tidur Fanya.
“Eh, ngapain kamu di sini?” seru gadis itu. Ia buru-buru mengecek tubuhnya. Masih mengenakan pakaian tadi pagi. Tidak ada yang kurang. Kecuali kaus kaki dan flat shoes. Juga peralatan kuliahnya.
“Loh, aku kan ngejagain kamu, sayang. Aku gak mau kamu bangun dan kaget karna udah ada di sini,” jawab Haykal, kalem.
“Emangnya kenapa aku bisa ada di sini? Bukannya tadi kita lagi ngobrol di kampus? Di ruangan kamu? Bareng Dokter Ita sama Farhan, kan?”
“Iya, tapi kamu tiba-tiba pingsan. Pasti kamu berusaha inget semuanya lagi, kan? Aku harus ngomong berapa kali, sih? Kamu ini gak usah inget yang macem-macem.” Haykal mencubiti hidung gadis itu. Gemas.
“Gimana aku gak berusaha nginget? Aku kaget banget waktu kamu bilang kita udah tunangan sejak aku SMA. Kok bisa secepat itu, sih? Kok aku bisa mau sama kamu? Emang aku gak pusing mikirin sekolah? Sampe harus nerima pertunangan secepat itu?”
“Jadi kamu mau aku ceritain, nih?” Haykal balik bertanya. Ia memperbaiki posisi duduknya menghadap Fanya.
Yang ditanya langsung mengangguk kuat-kuat. Seakan melupakan nyeri di kepalanya.
Haykal menghela nafas panjang. “Jadi gini, kita berdua itu ketemu di acara keluarga. Papa kamu sama Papa aku sahabat lama. Waktu itu aku udah kuliah kedokteran, sementara kamu masih kelas satu SMA. Ya udah. Akhirnya kita kenalan, deket, sampe akhirnya kamu mau tunangan sama aku pas aku harus berangkat ke Aussie dan ngelanjutin koas di sana.” Ia memulai ceritanya.
“Trus? Aku mau aja, gitu?” Dahi Fanya berkerut. Tidak percaya.
Haykal mengangguk.
“Emang aku suka sama kamu?”
Dahi lelaki itu berkerut. Lalu tertawa geli. “Kamu bahkan cemburuan banget kalo ngeliat ada perempuan yang ngelirik aku,” jawabnya. “Dan ternyata, cemburuan kamu masih kronis meskipun kamu amnesia. Buktinya, kamu masih ngambek pas aku ngobrol sama Dokter Ita.”
Fanya langsung mencibir. Lalu tiba-tiba, ia mengingat sepotong mimpinya tadi. Mimpi yang bersetting di SMA-nya dulu. Dan anehnya, ada Haykal di sana. “Kamu pernah ke sekolahku, gak? Pake almamater abu-abu, kemeja putih sama celana hitam, trus pake-pake name tag? Kayak sales, gitu?”
Haykal langsung menatap langit-langit kamar Fanya. Berusaha mengingat-ingat. “Oh, iya! Pas kamu masih kelas satu, kan?”
“Kayaknya, sih. Aku juga udah lupa.”
“Waktu itu aku lagi ada kunjungan.  Kalo gak salah dalam rangka Hari Anti Narkoba, sih. Jadi kampusku ngadain sosialisasi kesehatan tiga hari di sekolah kamu. Dan selama itu, aku sama kamu terus. Sampe kamu dikatain ganjen sama senior perempuan kamu. Padahal kan aku yang sering minta ditemenin kamu.”
Fanya manggut-manggut.
“Kok kamu tau kalo aku pernah ke sekolah kamu?” tanya Haykal.
Gadis yang tadinya ngobrol sambil berbaring itu langsung beringsut ke atas paha Haykal. Memilih lebih dekat dengan lelaki yang mengaku tunangannya itu. “Tadi aku mimpi. Kamu ke sekolahku, aku lagi ngobrol sama Prita, trus kamu tiba-tiba dateng dan ngajak makan siang di kantin. Gitulah pokoknya. Aku juga gak ngerti.”
“Serius?” Lelaki ber-polo shirt tersebut langsung mendekatkan tubuhnya pada Fanya.
“Iya. Ngapain aku bohong?”
“Kamu pernah mimpi kayak gitu juga gak sebelumnya?”
Fanya menggeleng pelan. “Baru sekali ini. Anehnya, aku ngerasa mimpi yang tadi itu nyata banget. Mungkin karna emang pernah kejadian?”
Haykal mengalihkan pandangannya pada jendela yang lumayan besar di sana. “Mungkin juga. Siapa tau ini salah satu tanda ingatan kamu udah mulai pulih.”
“Gitu, ya?” Mata Fanya berbinar cerah.
“Iya, insya Allah...” balas lelaki itu seraya menatap tunangannya. Ikut tersenyum penuh kebahagiaan. Lalu mengelus kepala gadis yang berbaring di atas pahanya itu.
***
            Fanya berjalan meninggalkan ruang administrasi fakultasnya. Surat-surat yang akan melancarkan proses KKN-nya sudah selesai. Kalau tidak ada halangan, minggu depan rektor kampusnya akan melepas para mahasiswa yang akan menjalani KKN, baik di kota ini, luar kota, sampai daerah terpencil. Ia sendiri mendapat tempat di salah satu rumah sakit ibu dan anak di kota ini.
“Fanya?” Sebuah suara muncul dari belakang.
Gadis ber-cardigan merah muda dan jeans hitam tersebut kontan menoleh. Senyumnya merekah saat menyadari siapa yang memanggilnya barusan. “Hai, Farhan!”
Farhan terlihat dewasa pagi itu. Sebenarnya, ia seumuran dengan Fanya. Namun karena ia sempat mengikuti program pertukaran pelajar saat SMA dulu, ia pun harus terlambat satu tahun di bawah Fanya. Makanya, saat gadis itu sudah sibuk dengan KKN, Farhan masih sibuk kuliah sekaligus menjadi asisten dosen karena kepintarannya yang di atas rata-rata.
“Lagi ngurus KKN, ya? Asik banget yang udah semester enam,” ucap lelaki berjas putih khas dokter tersebut. Ia duduk di bangku kayu depan ruang administrasi.
Fanya ikut duduk di sebelahnya. “Iya, nih. Ribet banget,” balasnya. “Kamu lagi ngapain? Gak ada kuliah?”
“Enggak. Cuma mau ketemu sama Dokter Haykal. Tapi kata Dokter Ita, dia lagi ngajar.”
Gadis itu manggut-manggut seraya membentuk bibirnya menyerupai huruf o.
“Gimana kabar kamu?” Farhan membuka pembicaraan setelah hening agak lama.
“Alhamdulillah, sehat. Kamu sendiri?” Ia balik bertanya.
“Kayak yang kamu liat,” balas lelaki berkaus hijau itu. “Aku denger, kamu abis kecelakaan, ya?”
Fanya mengangguk pelan. “Beberapa tahun yang lalu. Kecelakaan mobil sama nyokap.”
“Trus? Nyokap gak pa-pa, kan?”
“Gak pa-pa, sih. Cuma aku amnesia. Kamu pasti udah tau kan pas Dokter Haykal nyeritain itu di ruangannya kemaren?”
“Iya, aku denger. Aku pikir, amnesia itu cuma ada di sinetron sama novel doang.” Farhan tertawa di ujung kalimatnya.
“Sialan!” Gadis yang duduk di sampingnya langsung mencubit lengan lelaki itu. Lalu tertawa bersama.
Tiba-tiba...
“Ehem!”
Fanya dan Farhan kontan menoleh ke arah deheman yang lumayan besar di depan mereka.
“Eh, Dokter Haykal...” Farhan sontak berdiri.
Fanya hanya menatapnya dengan dahi berkerut.
“Kamu nyari saya? Ada apa?” tanya Haykal. Nada ketus sangat nampak dalam pertanyaannya. Ditambah dengan raut yang disetel tegas.
“Ini, Dok. Saya mau bertanya tentang mata kuliah yang akan saya isi di kelas Dokter,” jawab Farhan. Ia mengacungkan beberapa buku di tangannya.
“Ya sudah. Kita bicara di ruangan saya,” ujar Haykal. Kedua rahangnya tiba-tiba mengeras. “Kamu ngapain di sini?” lanjutnya. Ke arah Fanya.
“Abis ngurus surat-surat KKN-ku. Tapi aku udah mau pulang. Soalnya hari ini aku gak ada kuliah,” jawab Fanya. Ia berdiri di sebelah Farhan. Lalu menyelempangkan tas putih andalannya. Berniat meninggalkan kampus.
“Aku anter kamu pulang,” balas Haykal. “Kamu mau isi mata kuliah saya seharian ini, kan?” Kali ini, ia bertanya ke arah lelaki yang berdiri di sebelah tunangannya.
Mau tidak mau, Farhan hanya mengangguk. Kemudian mengikuti Haykal yang sudah berjalan mendahuluinya. Memasuki ruang jurusan.
Fanya hanya memandangi kedua lelaki itu dengan dahi berkerut. Lalu kembali duduk di depan ruang administrasi.
***
            “Kamu ngapain ngobrol sama Farhan?” tanya Haykal sambil duduk di meja makan. Siap-siap menyantap makan siang  buatan tunangannya sejak Ayah dan Ibu benar-benar sibuk di rumah sakit dan hampir tidak pernah pulang.
“Emangnya kenapa? Dia kan temen lamaku. Masa gak boleh ngobrol, sih?” balas Fanya sambil meletakkan piring berisi nugget ayam di atas meja. Kemudian langsung duduk di samping lelaki yang sudah berganti pakaian dengan celana pendek coklat dan kaus besar dengan tulisan ‘The Beatles’ di tengahnya.
“Dia kan mantan kamu,” ketus Haykal sembari mengansurkan piring kosongnya ke depan Fanya.
Fanya meraihnya. Lalu menyendokkan nasi ke atas piring putih polos tersebut. “Itu masa lalu, Kal. Lagian masih cinta anak SMP. Cinta monyet gak jelas.” Ia menambah sesendok sayur tumis kangkung dan beberapa potong nugget, juga mie goreng.
“Mantan yah tetep mantan. Cinta itu bisa muncul kapan saja, sayang. Mending kamu menghindar, deh. Aku gak mau kamu ngasih harapan lagi ke Farhan.” Lelaki itu mengambil kembali piringnya. Kemudian mulai memasukkan sesendok penuh nasi dan lauk ke dalam mulutnya. Antara lapar dan meluapkan emosi.
“Siapa yang ngasih harapan, sih? Ngaco!”
“Kamu, tuh.”
“Kamu kali yang ngasih harapan ke Dokter Ita!” Emosi Fanya mulai terpancing.
“Kok malah aku? Kita ini lagi bicarain kamu sama Farhan. Gak ada sangkut-pautnya ke orang lain. Apalagi Dokter Ita.”
“Apa bedanya? Kamu juga sering banget ngobrol sama Dokter Ita. Kok aku gak boleh? Egois banget, sih!” Gadis yang mengenakan terusan selutut bergambar shincan tersebut menunjuk-nunjuk Haykal dengan sendok di tangan kanannya. Saking emosi.
“Aku sama Dokter Ita kan ngomongin masalah kampus, masalah rumah sakit juga. Kamu sama Farhan apa? Palingan cuma hal-hal gak penting aja. Iya, kan?”
“Apa bedanya, coba? Sama aja judulnya ngobrol!”
“Aku sama Dokter Ita–”
“Alah, ngeles mulu! Bilang aja kalo kamu mau leluasa ngobrol sama Dokter Ita, tapi aku gak boleh berhubungan sama Farhan. Iya, kan? Itu kan mau kamu? Dasar egois!”
“Bukan gitu! Masalahnya, kalian itu pernah pacaran. Sedangkan aku sama Dokter Ita cuma temen sesama dokter. Gak lebih, Fanya!”
Deg! Wajah Fanya langsung tegang. Selama beberapa bulan kehadiran Haykal di kehidupannya, baru kali ini ia mendengar Haykal memanggil namanya dengan nada keras.
Haykal baru menyadari kesalahannya setelah melihat tunangannya tersebut berdiri dari duduknya. Berniat meninggalkan sepiring penuh makanan miliknya di atas meja. “Maksud aku... Hm... Kamu...” Ia tidak tahu harus berkata apa lagi.
“Gue heran, kok gue bisa-bisanya mau tunangan sama laki-laki tempramental kayak lo, ya? Cemburuan gak jelas, lagi. Kalo lo gak percaya sama gue, ya udah. Mending pertunangan ini gak usah dilanjutin!” tandas Fanya. Lalu melangkah –nyaris berlari– meninggalkan Haykal yang masih bergeming di meja makan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar