Bukan kamu yang salah. Tapi kita. Kita yang sedang menyalahi takdir.
“Kenapa? Bukannya kalian masih saling sayang?” heran
Ayah. Lebih ditujukan pada calon menantunya.
“Tapi kan aku masih kuliah, Yah. Aku juga belum koas. Aku
kan mau jadi dokter dulu baru nikah.” Fanya yang menjawab.
“Iya, Ayah ngerti. Tapi apa bedanya, sih? Sekarang atau
nanti, kalian juga bakal menikah kan ujung-ujungnya?”
Fanya baru berniat menjawab lagi, Haykal sudah terlebih
dahulu berbicara. “Apa kita gak mau nunggu sampe amnesianya Fanya sembuh dulu,
Yah?”
Ayah dan Ibu saling berpandangan.
“Iya, apa gak nunggu sampe aku sembuh dulu? Maksudnya, ya...
Aku juga mau nikah sama orang yang benar-benar aku cintai. Tapi gimana aku
yakin kalo aku cinta sama Haykal, sementara aku gak kenal dia?” sela Fanya.
“Jadi, kalian gak mau nikah dulu?” Ibu mencoba
meyakinkan.
“Enggak!” balas Fanya mantap.
Pandangan Ayah dan Ibu lalu beralih ke Haykal.
Lelaki itu ikut menatap wajah Ayah, Ibu dan Fanya
bergantian. Kemudian malah menggaruk tengkuknya. “Bukannya gak mau nikah sih,
cuma aku gak mau maksa Fanya. Kalo ditanya masalah nikah, siapa yang gak mau?
Apalagi kawinnya. Hehe...”
Buk! Sebuah bantal kursi sukses mendarat di kepalanya.
Diiringi tatapan kesal milik Fanya.
***
Farhan memusatkan pandangannya pada
satu titik di tengah area parkir fakultasnya. Tempat sebuah range rover sport
berwarna silver metalik baru saja berhenti. Diikuti sepasang dosen dan
mahasiswi yang sama-sama mengenakan jas dokter. Haykal dan Fanya.
“Kenapa? Cemburu?” Sebuah suara halus tiba-tiba muncul di
sebelahnya.
“Eh, Dokter Ita...” Farhan langsung mengubah raut
wajahnya.
Wanita cantik dengan setelan jas dokter dan long dress
polos berwarna abu-abu tersebut ikut menatap Haykal dan Fanya yang mulai
menjauh, menuju pintu masuk fakultas kedokteran.
“Jadi bagaimana dengan tawaran saya?” ujar Dokter Ita.
Tepat saat kedua objek penglihatan mereka menghilang dari pandangan mata.
Dahi Farhan kontan berkerut.
“Iya, tawaran saya beberapa hari yang lalu,” ulang Dokter
Ita.
Lelaki yang mnyampirkan jas dokternya di sela tali tas
ranselnya itu nampak berpikir. “Tentang... merebut Fanya?”
Dokter Ita mengangguk pelan.
“Apa itu gak jahat, Dok?”
Wanita itu kembali tersenyum manis. “Jahat apanya? Mereka
kan belum menikah. Lagian juga, kalaupun udah nikah, kan bisa cerai. Gak ada
yang gak mungkin, Farhan.”
***
Fanya sedang membantu Haykal
menyusun beberapa map di meja kerjanya. Rambutnya ia gulung ke atas, namun agak
berantakan. Jas dokternya ia letakkan sembarangan bersama tas dan buku-buku
tebal miliknya.
“Kamu udah minum obat, kan?” tanya lelaki tinggi yang
saat ini sedang menyusun buku-buku yang selesai ia baca ke sebuah rak mini di
dekat pintu masuk ruangannya.
Perempuan yang ia tanya hanya mengangguk.
“Trus, ngapain diem gitu? Bad mood?”
Fanya hanya menghela nafas panjang.
“Gara-gara KKN ini?” tanya Haykal. “Aku tau kok kalo kamu
gak suka anak kecil. Tapi seenggaknya kamu bisa sabar, kan? Ini cuma beberapa
bulan, kok. Abis itu kamu bisa nyusun skripsi dan milih mau koas dimana,”
lanjutnya, tanpa menunggu jawaban sang tunangan.
Fanya memilih terdiam.
“Lagian, kenapa sih kamu gak suka anak kecil?”
“Bisa ganti topik, gak? Kamu nih cerewet banget!
Lama-lama kamu jadi kayak anak kecil, hebat banget kalau bikin aku sakit
kepala!”
***
Fanya sudah memegang sebuah jurnal
dan pulpen sembari mendengar Dokter Vara menjelaskan beberapa cara menangani
pasien bayi. Bayi memang memerlukan penanganan yang istimewa. Selain karena
masih kecil, ia juga sangat rentan terjangkit penyakit. Harus melalui
penanganan ekstra steril dan perhatian yang lebih banyak.
“Fanya...” Sebuah suara muncul dari pintu masuk kamar
rawat matahari, tempat Fanya dan beberapa temannya melihat seorang anak berumur
lima bulan yang sedang menderita demam tinggi.
Perempuan berjas dokter dengan mini dress dan rambut yang
sudah diikat rapi tersebut melangkah menghampiri sang pemilik suara.
“Kamu masih sibuk?” tanya Haykal, seseorang yang baru
saja memanggil Fanya.
“Kayaknya sih gitu. Kenapa?”
“Aku mau ke kampus dulu. Ada urusan mendadak sama dosen
yang lain,” ujarnya. “Kamu gak pa-pa aku tinggal di sini dulu?”
“Ya ampun, ada-ada aja, deh. Ya gak pa-pa. Lagian juga di
sini aku lagi sibuk. Kamu pergi aja,” balas Fanya.
“Tapi...”
“Tapi apa?”
“Aku perginya bareng Dokter Ita. Gak pa-pa?” tanya Haykal
hati-hati.
Perempuan itu menatapnya sejenak. “Kok tumben?” ketusnya
kemudian.
“Dia gak bawa mobil. Trus karna kami sama-sama mau ke
kampus, jadi dia minta tolong sekalian barengan aja. Aku gak enak nolak.”
“Ya udah,” Fanya mendengus sesaat. “Tapi jangan
macem-macem, ya!” ancamnya.
Haykal tersenyum tipis. “Iya, deh... calon istriku yang
cemburuan!” balasnya sambil mencolek dagu mungil milik Fanya. Lalu cepat-cepat
beranjak dari sana, sebelum tunangannya mengamuk karena jadi bahan ‘cie-cie’
dari orang-orang yang melihat aksinya barusan.
***
Fanya menyeruput jus jeruk di
depannya dalam-dalam. Kemudian menyapu peluh yang mengalir di sekitar dahi dan
pelipisnya dengan tisu. Pekerjaannya hari ini cukup melelahkan. Banyak pasien
baru yang masuk ke rumah sakit Bunda. Entah itu bayi atau balita yang demam dan
mengalami gangguan pencernaan, atau ibu-ibu yang hendak melahirkan.
“Capek banget, ya?” Tiba-tiba, sebuah suara muncul di
sebelahnya. Bukan suara ringan –terkesan cempreng– dan menenangkan milik
Haykal, namun suara yang lebih berat khas laki-laki dewasa pada umumnya.
Perempuan itu kontan menoleh. Lalu menemukan lelaki
dengan bibir seksi dan pandangan mata tajam itu sedang duduk di sebelahnya.
Farhan.
“Udah makan, belum?” tanya Farhan lagi.
Fanya menggeleng pelan.
“Mau nyoba bakso di belakang rumah sakit ini, gak? Enak,
loh. Walaupun cuma gerobak kaki lima, sih.”
“Tapi beneran enak, kan?” Fanya balik bertanya. Perutnya
memang sudah keroncongan sedari tadi.
“Makanya dicoba sendiri dulu. Yuk!” Farhan berdiri
duluan, lalu mengulurkan tangan kanannya ke arah Fanya.
Mau tidak mau, perempuan itu pun tenggelam dalam
genggamannya.
***
“Loh, loh, ini kenapa?”
“Ada apa, Dok?”
“Ini, loh...” Duk!
Mesin mobil mati mendadak. Haykal langsung memutar kunci
mobil. Mesin menyala sejenak, lalu kembali mati. “Tunggu dulu ya, Dok. Saya
periksa sebentar,” ucapnya kemudian, ke arah Dokter Ita yang duduk di jok
sebelahnya.
Lelaki itu kemudian turun dari range rover sport
miliknya. Melangkah ke bagian depan mobil, lalu membuka kap dan meneliti mesin-mesin
di dalamnya. Tapi dasar dokter untuk bagian tubuh manusia, ia tidak mengerti
apapun.
“Mobilnya kenapa, Dok?” tanya Dokter Ita. Wanita itu
sudah berdiri di sebelah Haykal.
“Saya juga gak tau, Dok. Mungkin ada masalah sama
mesinnya. Saya mau nelepon bengkel langganan dulu,” balas Haykal sambil
mengeluarkan ponsel yang ia taruh di saku celana kainnya.
Dokter Ita hanya mengangguk sembari mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Lalu kembali menatap Haykal yang sedang sibuk
berbicara via telepon.
“Orang dari bengkel udah dalam perjalanan ke sini. Dokter
Ita masuk ke dalam mobil aja, nyalain ac. Di sini kan panas. Biar saya aja yang
nungguin mereka di luar.”
“Gak pa-pa, kok. Saya di sini aja nemenin Dokter Haykal.
Lagian di situ kan ada ada pohon sama bangku.” Wanita itu menunjuk sebuah pohon
yang lumayan rindang di dekat trotoar dengan dagunya.
“Ya udah. Kita duduk di sana aja.” Haykal berjalan
mendahului Dokter Ita. Kemudian duduk di bangku semen yang ada di sana sambil
sesekali celingukan ke jalan raya, mencari mobil dari bengkel langganannya.
Dokter Ita ikut duduk di sebelahnya. Rambut panjangnya
yang lurus dan agak kecoklatan terlihat berantakan diterbang-terbangkan angin.
Tapi tidak mengurangi aura kecantikan miliknya.
Haykal melirik wanita itu sekilas. Dewasa... dan cantik.
Dengan mata bulat, hidung mancung, bibir merah merekah, kulit putih mulus, dan
senyum yang menawan.
“Kenapa, Dok?” tanya Dokter Ita tiba-tiba. Heran dengan
ekspresi lelaki yang sedang mengamatinya saat ini.
“Hah? Eh, gak kenapa-kenapa kok, Dok.” Haykal tersenyum
kikuk. Salah tingkah. “Dokter gak mau ke kampus duluan? Saya bisa nelepon taksi
dan nyuruh jemput sekarang, kok.”
“Gak usah, deh. Udah terlanjur di sini. Mending nunggu
orang dari bengkel aja,” balasnya, lengkap dengan senyum manis.
“Beneran? Ntar kalo Dokter dicariin di kampus, gimana?
Mending Dokter duluan aja. Biar saya sendiri yang nungguin mobil di sini.
Lagian kan panas juga, nih.”
“Gak usah, Dok. Saya nemenin di sini aja. Gak pa-pa,
kok.” Tiba-tiba, wanita itu meletakkan telapak tangan kanannya ke atas punggung
tangan milik Haykal.
Bukannya menyambut, lelaki itu buru-buru menarik
tangannya dengan halus. Agar tidak terkesan menolak. “Saya beli minum dulu yah,
Dok. Permisi...” ujarnya. Kemudian berdiri dari duduknya, dan beranjak ke mini
market di seberang jalan.
***
“Kamu dimana?” tanya Dokter Ita
sambil menempelkan handphone keluaran terbarunya ke telinga kiri.
“Masih di rumah sakit Bunda, Dok. Kenapa?” tanya suara
berat dari sana, milik Farhan.
“Kamu bareng Fanya, kan?”
“Iya. Saya sama dia terus kok dari tadi. Dokter sendiri?”
“Saya juga bareng Haykal. Ini, saya lagi nungguin dia
beli minum di pinggir jalan. Mobilnya tiba-tiba mogok,” jawabnya sambil menyeka
keringat yang menetes di pelipis kanannya.
“Mogok dimana, Dok? Gak dibawa ke bengkel?” Farhan
terdengar khawatir.
“Dia udah nelepon bengkel langganannya, kok. Ntar lagi
kayaknya mereka dateng,” ucap Dokter Ita. “Kamu sendiri lagi ngapain di sana?”
“Saya sama Fanya baru aja selesai makan bakso Mas Tiar di
belakang rumah sakit Bunda. Dia kayaknya seneng banget.”
“Trus sekarang dia lagi dimana? Kamu gak lagi di deket
dia kan sekarang? Bisa berabe kalo dia denger pembicaraan kita.”
“Enggaklah, Dok. Dia udah masuk ke dalem. Saya masih
duduk-duduk di luar, tadi abis ngobrol sama pasien.”
“Ya udah kalo gitu. Kamu terus deketin Fanya, ya! Dokter
Haykal juga udah balik dari mini market.”
“Baik, Dok.”
***
Fanya melepaskan jas dokter yang
hampir seharian ini melekat di tubuh mungilnya. Jam di pergelangan tangan
kirinya sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Namun Haykal belum juga muncul.
Bukannya tadi dia
bilang cuma ke kampus? Tapi kok belum balik sampe sekarang? batinnya. Tak mau menunggu lama, ia memilih menelepon
tunangannya tersebut.
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada–”
Klik! Perempuan itu langsung menekan gambar telepon
berwarna merah pada layar ponsel touch screen miliknya. Haykal kemana, sih? Bisa-bisanya ngebiarin handphone nonaktif pas lagi
dibutuhin. Ck!
“Kenapa, Nya?”
Fanya menoleh. Lalu menemukan Farhan sudah berdiri di
sebelahnya. Masih lengkap dengan jas dokter dan diktat tebal. “Ini, abis
nelepon Dokter Haykal. Tapi nomornya gak aktif.”
“Emang udah mau pulang?”
Perempuan dengan rambut lepek dan wajah yang mulai kusam karena
seharian sibuk menangani pasien itu hanya mengangguk dengan bibir manyun.
“Bareng aja, yuk!” ajak Farhan.
“Ciyus?” Wajah Fanya berubah ceria. “Eh, maksudnya...
serius?”
Farhan tertawa lepas. Kemudian mengangguk.
***
Fanya keluar dari kamar mandi sambil
mengusap rambut hitamnya yang agak ikal. Jam sudah menunjukkan hampir pukul
sepuluh malam dan baru setengah jam yang lalu ia sampai di rumah. Semakin hari,
kemacetan semakin merajalela menguasai harinya.
Tok! Tok! Tok!
“Siapa?” sorak perempuan itu dari balik pintu kamarnya.
Ayah dan Ibu belum pulang dari rumah sakit sejak mereka berangkat keesokan hari
setelah membicarakan masalah pernikahan. Sedangkan Haykal juga tidak ada di
rumah saat ia tiba.
“Aku. Kamu udah balik?” suara Haykal.
Fanya pun langsung memutar kunci kamarnya. Berbagai macam
kalimat gerutu sudah siap meluncur dari bibir mungilnya.
Pintu terbuka. Haykal berdiri di depan sana. Raut
wajahnya terlihat... “KAMU DARIMANA AJA, SIH? AKU TUH CAPEK NYARIIN KAMU DI
RUMAH SAKIT!” bentaknya, sebelum perempuan itu sempat membuka mulut.
“Aku–”
“Kamu harusnya mikir gimana paniknya aku pas kamu gak ada
di rumah sakit. Aku keliling nyari kamu, aku nanya keberadaan kamu sama semua
orang yang aku liat. Tapi apa? Gak ada yang liat kamu. Kamu mikir gak, sih?”
“Aku–”
“Seharian ini tuh aku udah capek banget sama kerjaan di
rumah sakit sama kampus. Apa kamu gak kasian sama aku? Kenapa kamu malah
nambah-nambahin, sih? Aku capek, tau! Aku–”
“STOP!” seru Fanya. Telinganya hampir panas mendengar
teriakan demi teriakan Haykal di depan wajahnya. “KAMU PIKIR AKU MAU NINGGALIN
KAMU GITU AJA? AKU JUGA CAPEK! KAMU PIKIR SEHARIAN NANGANIN PASIEN ITU GAK CAPEK, HAH? AKU UDAH HAMPIR PINGSAN
NUNGGUIN KAMU DI RUMAH SAKIT, DAN KAMU MALAH KEMANA? HANDPHONE KAMU GAK AKTIF!
TRUS KAMU PIKIR, AKU MAU NUNGGUIN KAMU YANG GAK JELAS ADA DIMANA SEMENTARA
BADANKU UDAH LEMES BANGET? KAMU YANG HARUSNYA MIKIR!”
Haykal terdiam. Lalu, “Handphone-ku emang lowbatt. Tapi
seenggaknya kamu nungguin aku. Atau minta tolong sama receptionist rumah sakit
buat nyampein kalo kamu udah pulang duluan. Easy, right?”
“Aku udah terlalu capek buat mikirin hal lain. Yang aku
pikirin cuma rumah, mandi, dan tidur. Enough.”
“Kamu gak bisa nungguin aku bentar aja? Aku gak mungkin
gak jemput kamu.”
“Iya! Iya! Aku salah! Puas?” tandas Fanya, kemudian
berbalik dan berniat masuk kamar.
Haykal kontan mencekal tangan kanannya sebelum sempat
melangkah.
“What else, hah?”
“Kamu... pulang sama siapa?” tanya Haykal, dengan nada
menghakimi.
“Farhan,” jawabnya, malas-malasan.
“Apa?” teriak Haykal lagi. “Jadi kamu ninggalin aku
pulang dari rumah sakit karna kamu pulang bareng Farhan? Iya?”
“Kamu kenapa, sih? Apa masalahnya? Aku cuma pulang
bareng, kok. Gak lebih.” Fanya membela diri.
“Iya, tapi seenggaknya kamu ngomong sama aku dulu.”
“Gimana mau ngomong sama kamu kalo handphone kamu aja gak
aktif? Lagian, aku gak mungkin pulang bareng Farhan kalo tadi kamu gak jelas
banget ada dimana.”
“Aku kan udah bilang, aku gak mungkin ngebiarin kamu
sendirian di rumah sakit. Aku masih punya tanggung jawab, kali!”
“Udahlah, sampe kapan sih kita berantem gini? Adu urat
kayak tarzan di rumah ini? Hah?” tanya Fanya, putus asa.
“Aku gak mau kita berantem. Aku cuma nanya, kenapa
pikiran kamu sedangkal itu buat pulang bareng laki-laki lain, sementara kamu
sendiri punya tunangan?”
“Dangkal? Kamu bilang dangkal? Jadi kamu pikir... Aku
bego, gitu?” Bahu Fanya sudah naik-turun meredam emosi.
“Siapa yang bilang? Aku cuma–”
“Kamu pikir aku gak sakit hati pas denger kamu mau ke
kampus bareng Dokter Ita tadi siang? Hah?” balas Fanya. “Aku gak rela, Kal!
Biar gimanapun, kamu itu tunangan aku. Oke, aku emang gak inget apa-apa tentang
kamu. Tapi seenggaknya kamu ngertiin perasaan aku. Aku ini perempuan. Perempuan
mana yang tega ngeliat tunangannya pergi sama perempuan lain? Perempuan yang...
lebih cantik dari dia?”
Fanya menunduk. Menyembunyikan wajahnya yang sudah
dialiri kristal bening berwujud air mata yang dengan kurang ajarnya menetes
tanpa permisi.
“Nya...” lirih Haykal. Ia menggenggam bahu kanan perempuan
itu. Bahu mungil yang bergetar perlahan. Diiringi sesenggukan yang berusaha ditahan.
“Maafin aku.”
“Hiks...”
“Aku yang salah. Aku emang gak pengertian sama kamu.
Aku–”
“Enggak,” potong Fanya, masih diselingi isakan. “Bukan
kamu yang salah. Tapi kita.”
“Kita?”
“Iya, kita.” Fanya mengangkat dagunya tepat di depan
wajah Haykal. “Kita yang sedang menyalahi takdir. Kita yang sedang memaksakan
kehendak karna status yang sudah terlanjur terjadi. Tunangan...”
“Maksud kamu?” Dahi lelaki itu semakin berkerut. Tidak
mengerti.
“Kita sebaiknya ngebatalin pertunangan ini. Karna
kayaknya... Kita gak jodoh.”
“Kamu ngomong apa, sih?” sorak Haykal, meluapkan
emosinya. Seharian ini ia sudah dibuat stress gara-gara masalah rumah sakit,
kampus, mobil mogok, Fanya tiba-tiba menghilang dan pulang bersama Farhan,
sekarang apa lagi? Perempuan itu membatalkan pertunangan? Apa tidak cukup
masalahnya seharian ini?
“Pertunangan ini gak bisa aku lanjutin lagi,” balas
Fanya. “Maafin aku selama ini.”
“Fanya, please... Kamu kenapa? Oke, aku minta maaf. Kamu
boleh nyuruh aku apa aja. Kamu boleh mukul aku sampe babak belur sekalipun,
tapi kamu jangan mutusin sesuatu dengan gampang!” Haykal membekap kepalanya
sendiri. Membuat rambutnya yang sudah menutupi telinga jadi berantakan.
Perempuan itu terdiam.
“Asal kamu tau, kita udah tunangan enam taun ini. Kamu
pikir gampang memutuskan semuanya dalam waktu beberapa menit aja? Hah?” seru
Haykal, frustasi.
“Aku gak inget apapun tentang kamu.”
“Iya, aku tau! Trus kamu pikir aku bakal nerima keputusan
kamu ini? Gitu? Haha...” Lelaki itu tertawa hambar. “Kamu sih enak. Kamu gak
inget semua tentang aku. Lah, aku? Kamu pikir aku bisa lupa semuanya secepat
ini?”
Air mata Fanya mengalir lebih deras. Sesenggukan dari
bibir mungilnya pun terdengar semakin keras.
“Loh, kamu kenapa lagi? Harusnya aku yang sedih. Kamu
jangan nangis gitu, dong! Kamu makin nyiksa aku, tau gak!” Haykal langsung
menarik tubuh tunangannya ke dalam pelukan.
Fanya tidak mengelak. Tubuh dan mentalnya terlalu lemah
saat ini.
Lelaki dengan dada bidang dan pelukan hangat itu mengusap
bahu Fanya pelan. “Cup, cup, cup... Jangan nangis terus, dong. Aku kan udah
minta maaf. Kalo ada masalah lagi, kamu ngomong aja. Pukul aku sekalian. Asal
kamu gak sedih lagi,” ujarnya, mencoba menenangkan.
Fanya langsung menghela nafas panjang. Entah mengapa
pelukan, usapan, dan setiap kata-kata yang mengalir dari bibir tunangannya
tersebut terasa sangat menentramkan. Ia lalu menarik dirinya dari rengkuhan
Haykal. Kemudian menatap wajahnya dengan mata memerah dan sesenggukan kecil.
Dahi lelaki itu kontan berkerut.
“Aku...” ucap Fanya. Namun langsung berhenti saat ia
belum bisa mengontrol sesenggukannya. Setelah menghela nafas panjang beberapa
kali, barulah dadanya lebih ringan. “Sampe sekarang, aku belum bisa inget
apapun tentang kamu. Aku ngerasa sebagai tunangan yang gagal. Aku takut gak
bisa bikin kamu bahagia, sedangkan kamu selalu ngasih aku semuanya. Kamu rela
berkorban apapun demi aku, tapi aku? Aku gak bisa, Kal. Aku–”
Haykal langsung membekap mulut Fanya dengan bibirnya.
Mencegah rentetan kalimat meluncur lagi dari sana. Membiarkan perempuan itu
hanyut dalam ciumannya dan melupakan ketakutan-ketakutan yang ia alami selama ini.
Tanpa disangka, Fanya menyambutnya. Membalas ciuman itu
dengan membuka bibir. Membiarkan lidah Haykal mendesak masuk ke dalam sana dan
menjelajahi isinya. Bukan hanya itu. Ia pun menggerakkan lidahnya di dalam
mulut lelaki tersebut. Tidak lupa mengulum bibir atas dan bawah tunangannya.
Haykal sontak mendorong tubuh Fanya memasuki kamar.
Menggenggam belakang kepala perempuan tersebut sambil terus ‘bermain’ dengan
bibirnya.
Fanya ikut memundurkan langkah. Dengan kedua tangan
melingkari leher Haykal dan bibir yang mengikuti permainan tunangannya itu.
Sampai ia terantuk oleh tempat tidurnya sendiri, dan terduduk di atasnya.
Membuat Haykal ikut duduk tanpa sedikitpun melepaskan bibir mereka
masing-masing.
“Kal...” ujar Fanya –lebih berupa desahan– saat ia
berhasil mengambil jeda di antara nafasnya yang memburu.
Haykal ikut menarik wajahnya. Kedua alisnya menyatu,
namun bahunya juga naik-turun. Pertanda hampir kehabisan nafas.
“Aku...” Fanya menggantung kalimatnya. Ia menggigit bibir
bawahnya sendiri, seakan kehilangan kata-kata.
“Fanya sayang,” ujar Haykal. Ia mengelus pipi mulus milik
tunangannya sambil tersenyum lebar. “Kamu gak bisa bayangin gimana rindunya aku
sama bibir kamu.”
Kedua alis Fanya menyatu.
Lelaki di depannya ganti mengelus bibir mungilnya dengan
ibu jari. “Bibir kamu tetap manis. Masih jadi candu buat aku. Dari dulu,
sekarang, dan buat selamanya.”
Wajah perempuan itu sontak bersemu. Sedetik kemudian,
Haykal kembali mendekatinya. Dan semuanya berubah menjadi perasaan bahagia.
***
Fanya yang pagi itu terlihat cantik
–dengan rambut dikuncir kuda dan setelan mini dress berwarna biru toska, serta
make-up tipis– sedang mengolesi roti gandum di genggamannya dengan selai
coklat.
“Pagi, sayang...” sapa Haykal sembari menaruh tas
laptopnya di kursi sebelah kanan dan mengecup puncak kepala tunangannya yang
sedang duduk di kursi sebelah kirinya.
“Iya, pagi...” balas Fanya ogah-ogahan. Ia belum terbiasa
dengan sikap Haykal yang seperti itu. Membuatnya kikuk dengan aksi bak pasangan
suami-istri. “Kamu mau pakai selai apa?” tanya perempuan tersebut seraya meraih
setangkup roti di depannya.
“Selainya apa aja, asal aku bisa makan kamu,” jawab
Haykal sambil tersenyum manis. Lalu meletakkan kedua siku miliknya di atas
meja, sebagai pilar telapak tangan yang menangkup wajahnya sendiri.
“Kata-kata kamu itu, lebih berasa kayak kanibal daripada
ngegombal,” sungut Fanya sambil mengolesi roti tersebut dengan selai kacang.
Haykal tertawa pelan. Kemudian mencomot roti yang baru
saja diletakkan tunangannya ke atas piring. “Hari ini kamu ke rumah sakit Bunda
lagi?” tanyanya, dengan mulut yang asik mengunyah.
“Enggak. Aku mau ngurus nilai di kampus. Katanya Dokter
Sheila juga mau ketemu sama aku,” jawab Fanya. Ia ikut mengunyah roti selai
coklat, sambil sesekali meneguk susu coklatnya.
“Baguslah.” Haykal menyesap cappucino panas buatan
tunangannya.
Dahi Fanya berkerut. “Maksudnya?”
“Ya, bagus. Artinya kita bisa lebih sering ketemu. Kalo
kamu di rumah sakit Bunda, aku jadi susah ngedeketin kamu. Banyak dokter kepo.
Malesin.”
***
Fanya membuka diktat tebal di
tangannya sembari melangkah menyusuri koridor utama lantai dasar Fakultas
Kedokteran.
“Hai, Fanya.” Tiba-tiba sebuah suara muncul di
sebelahnya.
Perempuan itu langsung mengangkat wajah. Lalu menemukan
senyum lebar milik Farhan di sana. “Hai...”
“Kamu lagi ngapain? Sibuk banget keliatannya.”
Fanya mengacungkan diktat di genggamannya dengan wajah
manyun. “Iya, nih. aku abis konsultasi masalah akademik sama Dokter Sheila. Eh,
malah dikasih tugas.” Ia mendesah keras di ujung kalimatnya.
“Beruntung banget dong kamu,” balas Farhan, berniat
mengejek.
“Huh, sialan!” Fanya mengerucutkan bibir mungilnya.
“Ehem.”
Perempuan dan lelaki berjas dokter yang tadinya saling
tukar tawa tersebut seketika menoleh. Kemudian mendapati Haykal sedang berdiri
sambil melipat kedua tangannya di depan dada tepat di belakang Fanya.
“Selamat pagi, Dok...” sapa Farhan. Lengkap dengan senyum
manis seraya membungkukkan sedikit tubuhnya.
“Pagi,” balas Haykal. Terdengar ketus dengan raut wajah
yang kaku. Pandangannya beralih ke arah tunangannya. “Kamu ngapain di sini?
Bukannya mau ketemu Dokter Sheila?”
“Ini, abis ketemu. Tapi aku dikasih tugas, jadi mau balik
ke kelas lagi,” jawab Fanya sembari mengacungkan diktat di tangan kanannya.
“Ya udah. Kamu balik ke kelas aja. Ntar siang kita lunch
bareng, ya!” Haykal mengelus poni tunangannya yang agak berantakan, sebelum
perempuan itu buru-buru beranjak karena takut memancing perhatian orang-orang
gara-gara tingkah calon suaminya tersebut.
Setelah Fanya menghilang di tikungan koridor, Haykal
ganti menatap Farhan, asistennya sebulan terakhir ini. Memandanginya dari ujung
rambut sampai ujung kaki dengan pandangan tajam, lalu berkata, “Kamu itu
sebaiknya ngurusin mahasiswa-mahasiswi saya, bukannya malah tunangan saya.
Ngerti?”
***
“Ck! Sial!” Farhan menendang kerikil
di dekat mobilnya dengan segenap emosi yang sedari tadi minta diluapkan.
“Kamu kenapa, sih? Ngumpat-ngumpat gak jelas gitu.”
Lelaki itu langsung menoleh. “Maaf, Dok. Saya lagi
badmood,” balasnya ke arah seorang wanita cantik yang berdiri di sampingnya
saat ini. Wanita yang tidak lain dan tidak bukan adalah Dokter Ita.
“Saya liat kok waktu Dokter Haykal negur kamu tadi,”
ujarnya. “Kamu sabar aja. Bukannya waktu kamu untuk jadi asisten Dokter Haykal
tinggal sebulan lagi? Abis itu, kamu bisa bebas ngedeketin Fanya secara
frontal.”
“Dokter Ita sendiri, gimana?”
Wanita dengan kemeja jingga dan rok panjang motif pelangi
tersebut hanya tersenyum. “Kita mainnya pakai cara yang halus aja, Farhan.
Biarin mereka bahagia dulu, baru kita yang ngerasain kebahagiaan itu.”
Farhan bersandar ke body mobil mini miliknya tanpa suara.
“Lagian, saya heran. Bukannya kita abis jalan bareng sama
mereka? Kenapa mereka malah gak berantem? Mereka kan sama-sama cemburuan.
Apalagi malem itu kamu nganterin Fanya pulang, sementara Dokter Haykal
kelimpungan nyari dia di rumah sakit. Saya bahkan yakin sekali kalo mereka
pasti bertengkar hebat. Tapi kenapa... jadi begini?”
“Saya juga gak ngerti, Dok. Kayaknya kita harus berusaha
maksimal kalo mau misahin Dokter Haykal sama Fanya.”
“Saya setuju. Kita lanjutin rencana selanjutnya aja.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar