Rabu, 20 Maret 2013

Remember Me #6 - Fighting

Bukan kamu yang salah. Tapi kita. Kita yang sedang menyalahi takdir.



“Kenapa? Bukannya kalian masih saling sayang?” heran Ayah. Lebih ditujukan pada calon menantunya.
“Tapi kan aku masih kuliah, Yah. Aku juga belum koas. Aku kan mau jadi dokter dulu baru nikah.” Fanya yang menjawab.
“Iya, Ayah ngerti. Tapi apa bedanya, sih? Sekarang atau nanti, kalian juga bakal menikah kan ujung-ujungnya?”
Fanya baru berniat menjawab lagi, Haykal sudah terlebih dahulu berbicara. “Apa kita gak mau nunggu sampe amnesianya Fanya sembuh dulu, Yah?”
Ayah dan Ibu saling berpandangan.
“Iya, apa gak nunggu sampe aku sembuh dulu? Maksudnya, ya... Aku juga mau nikah sama orang yang benar-benar aku cintai. Tapi gimana aku yakin kalo aku cinta sama Haykal, sementara aku gak kenal dia?” sela Fanya.
“Jadi, kalian gak mau nikah dulu?” Ibu mencoba meyakinkan.
“Enggak!” balas Fanya mantap.
Pandangan Ayah dan Ibu lalu beralih ke Haykal.
Lelaki itu ikut menatap wajah Ayah, Ibu dan Fanya bergantian. Kemudian malah menggaruk tengkuknya. “Bukannya gak mau nikah sih, cuma aku gak mau maksa Fanya. Kalo ditanya masalah nikah, siapa yang gak mau? Apalagi kawinnya. Hehe...”
Buk! Sebuah bantal kursi sukses mendarat di kepalanya. Diiringi tatapan kesal milik Fanya.
***
            Farhan memusatkan pandangannya pada satu titik di tengah area parkir fakultasnya. Tempat sebuah range rover sport berwarna silver metalik baru saja berhenti. Diikuti sepasang dosen dan mahasiswi yang sama-sama mengenakan jas dokter. Haykal dan Fanya.
“Kenapa? Cemburu?” Sebuah suara halus tiba-tiba muncul di sebelahnya.
“Eh, Dokter Ita...” Farhan langsung mengubah raut wajahnya.
Wanita cantik dengan setelan jas dokter dan long dress polos berwarna abu-abu tersebut ikut menatap Haykal dan Fanya yang mulai menjauh, menuju pintu masuk fakultas kedokteran.
“Jadi bagaimana dengan tawaran saya?” ujar Dokter Ita. Tepat saat kedua objek penglihatan mereka menghilang dari pandangan mata.
Dahi Farhan kontan berkerut.
“Iya, tawaran saya beberapa hari yang lalu,” ulang Dokter Ita.
Lelaki yang mnyampirkan jas dokternya di sela tali tas ranselnya itu nampak berpikir. “Tentang... merebut Fanya?”
Dokter Ita mengangguk pelan.
“Apa itu gak jahat, Dok?”
Wanita itu kembali tersenyum manis. “Jahat apanya? Mereka kan belum menikah. Lagian juga, kalaupun udah nikah, kan bisa cerai. Gak ada yang gak mungkin, Farhan.”
***
            Fanya sedang membantu Haykal menyusun beberapa map di meja kerjanya. Rambutnya ia gulung ke atas, namun agak berantakan. Jas dokternya ia letakkan sembarangan bersama tas dan buku-buku tebal miliknya.
“Kamu udah minum obat, kan?” tanya lelaki tinggi yang saat ini sedang menyusun buku-buku yang selesai ia baca ke sebuah rak mini di dekat pintu masuk ruangannya.
Perempuan yang ia tanya hanya mengangguk.
“Trus, ngapain diem gitu? Bad mood?”
Fanya hanya menghela nafas panjang.
“Gara-gara KKN ini?” tanya Haykal. “Aku tau kok kalo kamu gak suka anak kecil. Tapi seenggaknya kamu bisa sabar, kan? Ini cuma beberapa bulan, kok. Abis itu kamu bisa nyusun skripsi dan milih mau koas dimana,” lanjutnya, tanpa menunggu jawaban sang tunangan.
Fanya memilih terdiam.
“Lagian, kenapa sih kamu gak suka anak kecil?”
“Bisa ganti topik, gak? Kamu nih cerewet banget! Lama-lama kamu jadi kayak anak kecil, hebat banget kalau bikin aku sakit kepala!”
***
            Fanya sudah memegang sebuah jurnal dan pulpen sembari mendengar Dokter Vara menjelaskan beberapa cara menangani pasien bayi. Bayi memang memerlukan penanganan yang istimewa. Selain karena masih kecil, ia juga sangat rentan terjangkit penyakit. Harus melalui penanganan ekstra steril dan perhatian yang lebih banyak.
“Fanya...” Sebuah suara muncul dari pintu masuk kamar rawat matahari, tempat Fanya dan beberapa temannya melihat seorang anak berumur lima bulan yang sedang menderita demam tinggi.
Perempuan berjas dokter dengan mini dress dan rambut yang sudah diikat rapi tersebut melangkah menghampiri sang pemilik suara.
“Kamu masih sibuk?” tanya Haykal, seseorang yang baru saja memanggil Fanya.
“Kayaknya sih gitu. Kenapa?”
“Aku mau ke kampus dulu. Ada urusan mendadak sama dosen yang lain,” ujarnya. “Kamu gak pa-pa aku tinggal di sini dulu?”
“Ya ampun, ada-ada aja, deh. Ya gak pa-pa. Lagian juga di sini aku lagi sibuk. Kamu pergi aja,” balas Fanya.
“Tapi...”
“Tapi apa?”
“Aku perginya bareng Dokter Ita. Gak pa-pa?” tanya Haykal hati-hati.
Perempuan itu menatapnya sejenak. “Kok tumben?” ketusnya kemudian.
“Dia gak bawa mobil. Trus karna kami sama-sama mau ke kampus, jadi dia minta tolong sekalian barengan aja. Aku gak enak nolak.”
“Ya udah,” Fanya mendengus sesaat. “Tapi jangan macem-macem, ya!” ancamnya.
Haykal tersenyum tipis. “Iya, deh... calon istriku yang cemburuan!” balasnya sambil mencolek dagu mungil milik Fanya. Lalu cepat-cepat beranjak dari sana, sebelum tunangannya mengamuk karena jadi bahan ‘cie-cie’ dari orang-orang yang melihat aksinya barusan.
***
            Fanya menyeruput jus jeruk di depannya dalam-dalam. Kemudian menyapu peluh yang mengalir di sekitar dahi dan pelipisnya dengan tisu. Pekerjaannya hari ini cukup melelahkan. Banyak pasien baru yang masuk ke rumah sakit Bunda. Entah itu bayi atau balita yang demam dan mengalami gangguan pencernaan, atau ibu-ibu yang hendak melahirkan.
“Capek banget, ya?” Tiba-tiba, sebuah suara muncul di sebelahnya. Bukan suara ringan –terkesan cempreng– dan menenangkan milik Haykal, namun suara yang lebih berat khas laki-laki dewasa pada umumnya.
Perempuan itu kontan menoleh. Lalu menemukan lelaki dengan bibir seksi dan pandangan mata tajam itu sedang duduk di sebelahnya. Farhan.
“Udah makan, belum?” tanya Farhan lagi.
Fanya menggeleng pelan.
“Mau nyoba bakso di belakang rumah sakit ini, gak? Enak, loh. Walaupun cuma gerobak kaki lima, sih.”
“Tapi beneran enak, kan?” Fanya balik bertanya. Perutnya memang sudah keroncongan sedari tadi.
“Makanya dicoba sendiri dulu. Yuk!” Farhan berdiri duluan, lalu mengulurkan tangan kanannya ke arah Fanya.
Mau tidak mau, perempuan itu pun tenggelam dalam genggamannya.
***
            “Loh, loh, ini kenapa?”
“Ada apa, Dok?”
“Ini, loh...” Duk!
Mesin mobil mati mendadak. Haykal langsung memutar kunci mobil. Mesin menyala sejenak, lalu kembali mati. “Tunggu dulu ya, Dok. Saya periksa sebentar,” ucapnya kemudian, ke arah Dokter Ita yang duduk di jok sebelahnya.
Lelaki itu kemudian turun dari range rover sport miliknya. Melangkah ke bagian depan mobil, lalu membuka kap dan meneliti mesin-mesin di dalamnya. Tapi dasar dokter untuk bagian tubuh manusia, ia tidak mengerti apapun.
“Mobilnya kenapa, Dok?” tanya Dokter Ita. Wanita itu sudah berdiri di sebelah Haykal.
“Saya juga gak tau, Dok. Mungkin ada masalah sama mesinnya. Saya mau nelepon bengkel langganan dulu,” balas Haykal sambil mengeluarkan ponsel yang ia taruh di saku celana kainnya.
Dokter Ita hanya mengangguk sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Lalu kembali menatap Haykal yang sedang sibuk berbicara via telepon.
“Orang dari bengkel udah dalam perjalanan ke sini. Dokter Ita masuk ke dalam mobil aja, nyalain ac. Di sini kan panas. Biar saya aja yang nungguin mereka di luar.”
“Gak pa-pa, kok. Saya di sini aja nemenin Dokter Haykal. Lagian di situ kan ada ada pohon sama bangku.” Wanita itu menunjuk sebuah pohon yang lumayan rindang di dekat trotoar dengan dagunya.
“Ya udah. Kita duduk di sana aja.” Haykal berjalan mendahului Dokter Ita. Kemudian duduk di bangku semen yang ada di sana sambil sesekali celingukan ke jalan raya, mencari mobil dari bengkel langganannya.
Dokter Ita ikut duduk di sebelahnya. Rambut panjangnya yang lurus dan agak kecoklatan terlihat berantakan diterbang-terbangkan angin. Tapi tidak mengurangi aura kecantikan miliknya.
Haykal melirik wanita itu sekilas. Dewasa... dan cantik. Dengan mata bulat, hidung mancung, bibir merah merekah, kulit putih mulus, dan senyum yang menawan.
“Kenapa, Dok?” tanya Dokter Ita tiba-tiba. Heran dengan ekspresi lelaki yang sedang mengamatinya saat ini.
“Hah? Eh, gak kenapa-kenapa kok, Dok.” Haykal tersenyum kikuk. Salah tingkah. “Dokter gak mau ke kampus duluan? Saya bisa nelepon taksi dan nyuruh jemput sekarang, kok.”
“Gak usah, deh. Udah terlanjur di sini. Mending nunggu orang dari bengkel aja,” balasnya, lengkap dengan senyum manis.
“Beneran? Ntar kalo Dokter dicariin di kampus, gimana? Mending Dokter duluan aja. Biar saya sendiri yang nungguin mobil di sini. Lagian kan panas juga, nih.”
“Gak usah, Dok. Saya nemenin di sini aja. Gak pa-pa, kok.” Tiba-tiba, wanita itu meletakkan telapak tangan kanannya ke atas punggung tangan milik Haykal.
Bukannya menyambut, lelaki itu buru-buru menarik tangannya dengan halus. Agar tidak terkesan menolak. “Saya beli minum dulu yah, Dok. Permisi...” ujarnya. Kemudian berdiri dari duduknya, dan beranjak ke mini market di seberang jalan.
***
            “Kamu dimana?” tanya Dokter Ita sambil menempelkan handphone keluaran terbarunya ke telinga kiri.
“Masih di rumah sakit Bunda, Dok. Kenapa?” tanya suara berat dari sana, milik Farhan.
“Kamu bareng Fanya, kan?”
“Iya. Saya sama dia terus kok dari tadi. Dokter sendiri?”
“Saya juga bareng Haykal. Ini, saya lagi nungguin dia beli minum di pinggir jalan. Mobilnya tiba-tiba mogok,” jawabnya sambil menyeka keringat yang menetes di pelipis kanannya.
“Mogok dimana, Dok? Gak dibawa ke bengkel?” Farhan terdengar khawatir.
“Dia udah nelepon bengkel langganannya, kok. Ntar lagi kayaknya mereka dateng,” ucap Dokter Ita. “Kamu sendiri lagi ngapain di sana?”
“Saya sama Fanya baru aja selesai makan bakso Mas Tiar di belakang rumah sakit Bunda. Dia kayaknya seneng banget.”
“Trus sekarang dia lagi dimana? Kamu gak lagi di deket dia kan sekarang? Bisa berabe kalo dia denger pembicaraan kita.”
“Enggaklah, Dok. Dia udah masuk ke dalem. Saya masih duduk-duduk di luar, tadi abis ngobrol sama pasien.”
“Ya udah kalo gitu. Kamu terus deketin Fanya, ya! Dokter Haykal juga udah balik dari mini market.”
“Baik, Dok.”
***
            Fanya melepaskan jas dokter yang hampir seharian ini melekat di tubuh mungilnya. Jam di pergelangan tangan kirinya sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Namun Haykal belum juga muncul.
Bukannya tadi dia bilang cuma ke kampus? Tapi kok belum balik sampe sekarang? batinnya. Tak mau menunggu lama, ia memilih menelepon tunangannya tersebut.
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada–”
Klik! Perempuan itu langsung menekan gambar telepon berwarna merah pada layar ponsel touch screen miliknya. Haykal kemana, sih? Bisa-bisanya ngebiarin handphone nonaktif pas lagi dibutuhin. Ck!
“Kenapa, Nya?”
Fanya menoleh. Lalu menemukan Farhan sudah berdiri di sebelahnya. Masih lengkap dengan jas dokter dan diktat tebal. “Ini, abis nelepon Dokter Haykal. Tapi nomornya gak aktif.”
“Emang udah mau pulang?”
Perempuan dengan rambut lepek dan wajah yang mulai kusam karena seharian sibuk menangani pasien itu hanya mengangguk dengan bibir manyun.
“Bareng aja, yuk!” ajak Farhan.
“Ciyus?” Wajah Fanya berubah ceria. “Eh, maksudnya... serius?”
Farhan tertawa lepas. Kemudian mengangguk.
***
            Fanya keluar dari kamar mandi sambil mengusap rambut hitamnya yang agak ikal. Jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam dan baru setengah jam yang lalu ia sampai di rumah. Semakin hari, kemacetan semakin merajalela menguasai harinya.
Tok! Tok! Tok!
“Siapa?” sorak perempuan itu dari balik pintu kamarnya. Ayah dan Ibu belum pulang dari rumah sakit sejak mereka berangkat keesokan hari setelah membicarakan masalah pernikahan. Sedangkan Haykal juga tidak ada di rumah saat ia tiba.
“Aku. Kamu udah balik?” suara Haykal.
Fanya pun langsung memutar kunci kamarnya. Berbagai macam kalimat gerutu sudah siap meluncur dari bibir mungilnya.
Pintu terbuka. Haykal berdiri di depan sana. Raut wajahnya terlihat... “KAMU DARIMANA AJA, SIH? AKU TUH CAPEK NYARIIN KAMU DI RUMAH SAKIT!” bentaknya, sebelum perempuan itu sempat membuka mulut.
“Aku–”
“Kamu harusnya mikir gimana paniknya aku pas kamu gak ada di rumah sakit. Aku keliling nyari kamu, aku nanya keberadaan kamu sama semua orang yang aku liat. Tapi apa? Gak ada yang liat kamu. Kamu mikir gak, sih?”
“Aku–”
“Seharian ini tuh aku udah capek banget sama kerjaan di rumah sakit sama kampus. Apa kamu gak kasian sama aku? Kenapa kamu malah nambah-nambahin, sih? Aku capek, tau! Aku–”
“STOP!” seru Fanya. Telinganya hampir panas mendengar teriakan demi teriakan Haykal di depan wajahnya. “KAMU PIKIR AKU MAU NINGGALIN KAMU GITU AJA? AKU JUGA CAPEK! KAMU PIKIR SEHARIAN NANGANIN PASIEN ITU GAK CAPEK, HAH? AKU UDAH HAMPIR PINGSAN NUNGGUIN KAMU DI RUMAH SAKIT, DAN KAMU MALAH KEMANA? HANDPHONE KAMU GAK AKTIF! TRUS KAMU PIKIR, AKU MAU NUNGGUIN KAMU YANG GAK JELAS ADA DIMANA SEMENTARA BADANKU UDAH LEMES BANGET? KAMU YANG HARUSNYA MIKIR!”
Haykal terdiam. Lalu, “Handphone-ku emang lowbatt. Tapi seenggaknya kamu nungguin aku. Atau minta tolong sama receptionist rumah sakit buat nyampein kalo kamu udah pulang duluan. Easy, right?”
“Aku udah terlalu capek buat mikirin hal lain. Yang aku pikirin cuma rumah, mandi, dan tidur. Enough.”
“Kamu gak bisa nungguin aku bentar aja? Aku gak mungkin gak jemput kamu.”
“Iya! Iya! Aku salah! Puas?” tandas Fanya, kemudian berbalik dan berniat masuk kamar.
Haykal kontan mencekal tangan kanannya sebelum sempat melangkah.
“What else, hah?”
“Kamu... pulang sama siapa?” tanya Haykal, dengan nada menghakimi.
“Farhan,” jawabnya, malas-malasan.
“Apa?” teriak Haykal lagi. “Jadi kamu ninggalin aku pulang dari rumah sakit karna kamu pulang bareng Farhan? Iya?”
“Kamu kenapa, sih? Apa masalahnya? Aku cuma pulang bareng, kok. Gak lebih.” Fanya membela diri.
“Iya, tapi seenggaknya kamu ngomong sama aku dulu.”
“Gimana mau ngomong sama kamu kalo handphone kamu aja gak aktif? Lagian, aku gak mungkin pulang bareng Farhan kalo tadi kamu gak jelas banget ada dimana.”
“Aku kan udah bilang, aku gak mungkin ngebiarin kamu sendirian di rumah sakit. Aku masih punya tanggung jawab, kali!”
“Udahlah, sampe kapan sih kita berantem gini? Adu urat kayak tarzan di rumah ini? Hah?” tanya Fanya, putus asa.
“Aku gak mau kita berantem. Aku cuma nanya, kenapa pikiran kamu sedangkal itu buat pulang bareng laki-laki lain, sementara kamu sendiri punya tunangan?”
“Dangkal? Kamu bilang dangkal? Jadi kamu pikir... Aku bego, gitu?” Bahu Fanya sudah naik-turun meredam emosi.
“Siapa yang bilang? Aku cuma–”
“Kamu pikir aku gak sakit hati pas denger kamu mau ke kampus bareng Dokter Ita tadi siang? Hah?” balas Fanya. “Aku gak rela, Kal! Biar gimanapun, kamu itu tunangan aku. Oke, aku emang gak inget apa-apa tentang kamu. Tapi seenggaknya kamu ngertiin perasaan aku. Aku ini perempuan. Perempuan mana yang tega ngeliat tunangannya pergi sama perempuan lain? Perempuan yang... lebih cantik dari dia?”
Fanya menunduk. Menyembunyikan wajahnya yang sudah dialiri kristal bening berwujud air mata yang dengan kurang ajarnya menetes tanpa permisi.
“Nya...” lirih Haykal. Ia menggenggam bahu kanan perempuan itu. Bahu mungil yang bergetar perlahan. Diiringi sesenggukan yang berusaha ditahan. “Maafin aku.”
“Hiks...”
“Aku yang salah. Aku emang gak pengertian sama kamu. Aku–”
“Enggak,” potong Fanya, masih diselingi isakan. “Bukan kamu yang salah. Tapi kita.”
“Kita?”
“Iya, kita.” Fanya mengangkat dagunya tepat di depan wajah Haykal. “Kita yang sedang menyalahi takdir. Kita yang sedang memaksakan kehendak karna status yang sudah terlanjur terjadi. Tunangan...”
“Maksud kamu?” Dahi lelaki itu semakin berkerut. Tidak mengerti.
“Kita sebaiknya ngebatalin pertunangan ini. Karna kayaknya... Kita gak jodoh.”
“Kamu ngomong apa, sih?” sorak Haykal, meluapkan emosinya. Seharian ini ia sudah dibuat stress gara-gara masalah rumah sakit, kampus, mobil mogok, Fanya tiba-tiba menghilang dan pulang bersama Farhan, sekarang apa lagi? Perempuan itu membatalkan pertunangan? Apa tidak cukup masalahnya seharian ini?
“Pertunangan ini gak bisa aku lanjutin lagi,” balas Fanya. “Maafin aku selama ini.”
“Fanya, please... Kamu kenapa? Oke, aku minta maaf. Kamu boleh nyuruh aku apa aja. Kamu boleh mukul aku sampe babak belur sekalipun, tapi kamu jangan mutusin sesuatu dengan gampang!” Haykal membekap kepalanya sendiri. Membuat rambutnya yang sudah menutupi telinga jadi berantakan.
Perempuan itu terdiam.
“Asal kamu tau, kita udah tunangan enam taun ini. Kamu pikir gampang memutuskan semuanya dalam waktu beberapa menit aja? Hah?” seru Haykal, frustasi.
“Aku gak inget apapun tentang kamu.”
“Iya, aku tau! Trus kamu pikir aku bakal nerima keputusan kamu ini? Gitu? Haha...” Lelaki itu tertawa hambar. “Kamu sih enak. Kamu gak inget semua tentang aku. Lah, aku? Kamu pikir aku bisa lupa semuanya secepat ini?”
Air mata Fanya mengalir lebih deras. Sesenggukan dari bibir mungilnya pun terdengar semakin keras.
“Loh, kamu kenapa lagi? Harusnya aku yang sedih. Kamu jangan nangis gitu, dong! Kamu makin nyiksa aku, tau gak!” Haykal langsung menarik tubuh tunangannya ke dalam pelukan.
Fanya tidak mengelak. Tubuh dan mentalnya terlalu lemah saat ini.
Lelaki dengan dada bidang dan pelukan hangat itu mengusap bahu Fanya pelan. “Cup, cup, cup... Jangan nangis terus, dong. Aku kan udah minta maaf. Kalo ada masalah lagi, kamu ngomong aja. Pukul aku sekalian. Asal kamu gak sedih lagi,” ujarnya, mencoba menenangkan.
Fanya langsung menghela nafas panjang. Entah mengapa pelukan, usapan, dan setiap kata-kata yang mengalir dari bibir tunangannya tersebut terasa sangat menentramkan. Ia lalu menarik dirinya dari rengkuhan Haykal. Kemudian menatap wajahnya dengan mata memerah dan sesenggukan kecil.
Dahi lelaki itu kontan berkerut.
“Aku...” ucap Fanya. Namun langsung berhenti saat ia belum bisa mengontrol sesenggukannya. Setelah menghela nafas panjang beberapa kali, barulah dadanya lebih ringan. “Sampe sekarang, aku belum bisa inget apapun tentang kamu. Aku ngerasa sebagai tunangan yang gagal. Aku takut gak bisa bikin kamu bahagia, sedangkan kamu selalu ngasih aku semuanya. Kamu rela berkorban apapun demi aku, tapi aku? Aku gak bisa, Kal. Aku–”
Haykal langsung membekap mulut Fanya dengan bibirnya. Mencegah rentetan kalimat meluncur lagi dari sana. Membiarkan perempuan itu hanyut dalam ciumannya dan melupakan ketakutan-ketakutan yang  ia alami selama ini.
Tanpa disangka, Fanya menyambutnya. Membalas ciuman itu dengan membuka bibir. Membiarkan lidah Haykal mendesak masuk ke dalam sana dan menjelajahi isinya. Bukan hanya itu. Ia pun menggerakkan lidahnya di dalam mulut lelaki tersebut. Tidak lupa mengulum bibir atas dan bawah tunangannya.
Haykal sontak mendorong tubuh Fanya memasuki kamar. Menggenggam belakang kepala perempuan tersebut sambil terus ‘bermain’ dengan bibirnya.
Fanya ikut memundurkan langkah. Dengan kedua tangan melingkari leher Haykal dan bibir yang mengikuti permainan tunangannya itu. Sampai ia terantuk oleh tempat tidurnya sendiri, dan terduduk di atasnya. Membuat Haykal ikut duduk tanpa sedikitpun melepaskan bibir mereka masing-masing.
“Kal...” ujar Fanya –lebih berupa desahan– saat ia berhasil mengambil jeda di antara nafasnya yang memburu.
Haykal ikut menarik wajahnya. Kedua alisnya menyatu, namun bahunya juga naik-turun. Pertanda hampir kehabisan nafas.
“Aku...” Fanya menggantung kalimatnya. Ia menggigit bibir bawahnya sendiri, seakan kehilangan kata-kata.
“Fanya sayang,” ujar Haykal. Ia mengelus pipi mulus milik tunangannya sambil tersenyum lebar. “Kamu gak bisa bayangin gimana rindunya aku sama bibir kamu.”
Kedua alis Fanya menyatu.
Lelaki di depannya ganti mengelus bibir mungilnya dengan ibu jari. “Bibir kamu tetap manis. Masih jadi candu buat aku. Dari dulu, sekarang, dan buat selamanya.”
Wajah perempuan itu sontak bersemu. Sedetik kemudian, Haykal kembali mendekatinya. Dan semuanya berubah menjadi perasaan bahagia.
***
            Fanya yang pagi itu terlihat cantik –dengan rambut dikuncir kuda dan setelan mini dress berwarna biru toska, serta make-up tipis– sedang mengolesi roti gandum di genggamannya dengan selai coklat.
“Pagi, sayang...” sapa Haykal sembari menaruh tas laptopnya di kursi sebelah kanan dan mengecup puncak kepala tunangannya yang sedang duduk di kursi sebelah kirinya.
“Iya, pagi...” balas Fanya ogah-ogahan. Ia belum terbiasa dengan sikap Haykal yang seperti itu. Membuatnya kikuk dengan aksi bak pasangan suami-istri. “Kamu mau pakai selai apa?” tanya perempuan tersebut seraya meraih setangkup roti di depannya.
“Selainya apa aja, asal aku bisa makan kamu,” jawab Haykal sambil tersenyum manis. Lalu meletakkan kedua siku miliknya di atas meja, sebagai pilar telapak tangan yang menangkup wajahnya sendiri.
“Kata-kata kamu itu, lebih berasa kayak kanibal daripada ngegombal,” sungut Fanya sambil mengolesi roti tersebut dengan selai kacang.
Haykal tertawa pelan. Kemudian mencomot roti yang baru saja diletakkan tunangannya ke atas piring. “Hari ini kamu ke rumah sakit Bunda lagi?” tanyanya, dengan mulut yang asik mengunyah.
“Enggak. Aku mau ngurus nilai di kampus. Katanya Dokter Sheila juga mau ketemu sama aku,” jawab Fanya. Ia ikut mengunyah roti selai coklat, sambil sesekali meneguk susu coklatnya.
“Baguslah.” Haykal menyesap cappucino panas buatan tunangannya.
Dahi Fanya berkerut. “Maksudnya?”
“Ya, bagus. Artinya kita bisa lebih sering ketemu. Kalo kamu di rumah sakit Bunda, aku jadi susah ngedeketin kamu. Banyak dokter kepo. Malesin.”
***
            Fanya membuka diktat tebal di tangannya sembari melangkah menyusuri koridor utama lantai dasar Fakultas Kedokteran.
“Hai, Fanya.” Tiba-tiba sebuah suara muncul di sebelahnya.
Perempuan itu langsung mengangkat wajah. Lalu menemukan senyum lebar milik Farhan di sana. “Hai...”
“Kamu lagi ngapain? Sibuk banget keliatannya.”
Fanya mengacungkan diktat di genggamannya dengan wajah manyun. “Iya, nih. aku abis konsultasi masalah akademik sama Dokter Sheila. Eh, malah dikasih tugas.” Ia mendesah keras di ujung kalimatnya.
“Beruntung banget dong kamu,” balas Farhan, berniat mengejek.
“Huh, sialan!” Fanya mengerucutkan bibir mungilnya.
“Ehem.”
Perempuan dan lelaki berjas dokter yang tadinya saling tukar tawa tersebut seketika menoleh. Kemudian mendapati Haykal sedang berdiri sambil melipat kedua tangannya di depan dada tepat di belakang Fanya.
“Selamat pagi, Dok...” sapa Farhan. Lengkap dengan senyum manis seraya membungkukkan sedikit tubuhnya.
“Pagi,” balas Haykal. Terdengar ketus dengan raut wajah yang kaku. Pandangannya beralih ke arah tunangannya. “Kamu ngapain di sini? Bukannya mau ketemu Dokter Sheila?”
“Ini, abis ketemu. Tapi aku dikasih tugas, jadi mau balik ke kelas lagi,” jawab Fanya sembari mengacungkan diktat di tangan kanannya.
“Ya udah. Kamu balik ke kelas aja. Ntar siang kita lunch bareng, ya!” Haykal mengelus poni tunangannya yang agak berantakan, sebelum perempuan itu buru-buru beranjak karena takut memancing perhatian orang-orang gara-gara tingkah calon suaminya tersebut.
Setelah Fanya menghilang di tikungan koridor, Haykal ganti menatap Farhan, asistennya sebulan terakhir ini. Memandanginya dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan pandangan tajam, lalu berkata, “Kamu itu sebaiknya ngurusin mahasiswa-mahasiswi saya, bukannya malah tunangan saya. Ngerti?”
***
            “Ck! Sial!” Farhan menendang kerikil di dekat mobilnya dengan segenap emosi yang sedari tadi minta diluapkan.
“Kamu kenapa, sih? Ngumpat-ngumpat gak jelas gitu.”
Lelaki itu langsung menoleh. “Maaf, Dok. Saya lagi badmood,” balasnya ke arah seorang wanita cantik yang berdiri di sampingnya saat ini. Wanita yang tidak lain dan tidak bukan adalah Dokter Ita.
“Saya liat kok waktu Dokter Haykal negur kamu tadi,” ujarnya. “Kamu sabar aja. Bukannya waktu kamu untuk jadi asisten Dokter Haykal tinggal sebulan lagi? Abis itu, kamu bisa bebas ngedeketin Fanya secara frontal.”
“Dokter Ita sendiri, gimana?”
Wanita dengan kemeja jingga dan rok panjang motif pelangi tersebut hanya tersenyum. “Kita mainnya pakai cara yang halus aja, Farhan. Biarin mereka bahagia dulu, baru kita yang ngerasain kebahagiaan itu.”
Farhan bersandar ke body mobil mini miliknya tanpa suara.
“Lagian, saya heran. Bukannya kita abis jalan bareng sama mereka? Kenapa mereka malah gak berantem? Mereka kan sama-sama cemburuan. Apalagi malem itu kamu nganterin Fanya pulang, sementara Dokter Haykal kelimpungan nyari dia di rumah sakit. Saya bahkan yakin sekali kalo mereka pasti bertengkar hebat. Tapi kenapa... jadi begini?”
“Saya juga gak ngerti, Dok. Kayaknya kita harus berusaha maksimal kalo mau misahin Dokter Haykal sama Fanya.”
“Saya setuju. Kita lanjutin rencana selanjutnya aja.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar