“Ngapain
kamu senyam-senyum gitu?” tegur Tika. Yang kontan mengganggu kesenangan baruku.
Tapi aku memilih tak mengacuhkan cewek tinggi dan cantik itu.
“Kamu
stalking di timeline-nya Mas Rivi
lagi?” Dia kedengaran shock.
Aku
hanya mesem-mesem. Seraya terus melanjutkan aktifitasku.
Tika
pun cuma geleng-geleng kepala. Lalu beranjak ke kursi di sebelahku. Menunggu
dosen yang akan masuk sekitar satu jam lagi di kelas kami.
Aku
merasa beruntung hidup di era ini. Dimana semuanya serba gampang. Yah, sangat
gampang. Gak ada pulsa buat nelfon atau nge-sms, terus mau ngobrol sama temen?
Tinggal bbm-an, buka facebook, twitter, heello, atau social network yang lain.
Atau mau curhat? Eh, jangan bilang curhatnya masih di
buku diary yang ada gemboknya, ya? Sekarang sudah ada yang namanya blog, loh.
Yap, blog.
Seperti dia. Rivi Abdianto. Yah, dia yang seorang blogger.
Sumber inspirasiku dan juga banyak orang di luar sana. Yang suka mengenakan
celana pendek dan kemeja atau kaos oblong. Yang hobi pake kacamata. Yang punya
bekas luka di bawah mata kanannya dan seorang kucing lucu bernama Kudut, Sundae, dan Picolo. Aku sendiri sudah tidak pernah mendengar kabar tentang Kudut sejak dua kucing selanjutnya hadir. Yang ramah, lucu, serta pemilik senyum paling menawan yang pernah
kulihat.
Aku mengenalnya dari jejaring sosial bernama twitter.
Awalnya, aku tidak terlalu ngeh
tentang dirinya. Yang aku tau cuma dia itu seorang blogger dengan fans membludak
dan teman-temanku pun mengidolakannya.
Namun lambat-laun, aku iseng menjadi salah satu followers-nya. Mulai menikmati tweet
demi tweet dari dia yang muncul di timeline milikku. Yang tidak bisa aku sebut
#tweetnyampah seperti tweet lain yang mengotori twitterku. Dan aku... Yah, aku
sangat menikmatinya.
Aku mulai menjadi pengintai saking penasaran dengannya.
Mengunjungi blog miliknya tanpa meninggalkan komentar. Membuka timeline
twitternya untuk tahu apa saja yang dilakukannya dan tweet-tweet anehnya yang
dengan mudahnya mengundang senyuman, ledakan tawa, bahkan air mata. Yah, hanya
sekedar menikmati luapan perasaan dan pemikirannya. Tanpa berniat mengusik
harinya.
Aku menyukainya. Hanya lewat tulisan dan obrolan
orang-orang yang sudah pernah bertemu dengannya. Dia yang katanya rendah hati,
ramah, suka senyum, gak sombong, dan lain sebagainya. Membuatku iri. Kenapa
bukan aku yang menceritakan itu ke orang lain? Kenapa bukan aku yang punya
kesempatan untuk bertemu dengannya?
Betapa beruntungnya Tika. Yah, Tika. Sahabat dunia mayaku
sejak twitter mempertemukan kami yang notabene adalah sesama loyal reader seorang Rivi Abdianto.
Hanya saja, seperti yang aku katakan tadi. Cewek itu lebih beruntung. Ia yang
besar di Jakarta dan baru pindah ke Makassar saat lulus SMA karena ayahnya
dipindahtugaskan ke kota ini, sudah bertemu Rivi. Bahkan sering bertemu dengan
lelaki yang membuatku jatuh cinta itu. Andai aku juga tinggal di sana.
“Mas
Rivi itu baiiik banget. Dia gak pernah nganggep kita fans. Dia malah nyebut
kita loyal reader, kan? Sekaligus
keluarga katanya. Aku baru pertama kali liat orang terkenal yang rendah hati
kayak Mas Rivi,” cerita Tika saat kami pertama kali bertemu beberapa bulan yang
lalu.
Sounds amazing, right?
Aku dan Tika yang awalnya hanya akrab lewat dunia maya jelas saja tidak pernah
berpikir bahwa kami akan dipertemukan di dunia nyata. Lewat takdir Tuhan, sekarang
kami bahkan sama-sama memilih kuliah di salah satu universitas swasta di
Makassar, Fakultas Sastra Inggris.
“Kamu
sih enak! Gara-gara jago nulis, Mas Rivi sering ngomentarin postingan blogmu. Lah,
aku? Dia bahkan gak pernah bales mentionku selama ini. Nyesek, tau gak!”
ucapnya. Membuyarkan lamunanku.
Benar
juga. Aku yang mulanya hanya berstatus ‘pengintai gelap’ di blog dan twitter
Rivi, mencoba memberanikan diri mengirim link blog milikku yang rata-rata
berisi curhatan atau cerita pendek karanganku. Dan beruntungnya, Rivi sudah
mengomentari semua postinganku di sana. Entah dengan komentar-komentar nyeleneh hingga kata-kata yang
membuatku.. Terharu. Bagaimana tidak? Seorang penulis dan blogger terkenal
memiliki waktu untuk berkunjung di blogku yang sangat ‘biasa’.
Layar
laptopku masih menunjukkan tanda-tanda loading.
Aku pun memilih menoleh dan menatap Tika yang sedang menikmati coki-coki
kesukaannya. “Enakan kamu kali, Tik. Kamu udah sering ketemu sama dia. Udah
foto bareng berkali-kali, lagi. Aku sampe sekarang cuma ngobrol di dunia maya
aja udah histeris minta ampun. Apalagi ketemu, ya..” Aku menerawang. Mencoba
membayangkan seorang Rivi Abdianto berdiri di hadapanku. Lengkap dengan senyum
menawan miliknya.
Tika
tersenyum. Penuh arti. “Ntar aku ajak kamu ke Jakarta, deh. Apa ke Jogja, ya?
Dia kan sekarang udah lanjutin kuliah di sana lagi.”
“Serius,
Tik?” Aku mengguncangkan tubuhnya yang tinggi dan langsing. Selain karena
senang, sepertinya aku juga sedang menunjukkan bentuk rasa iriku padanya.
“Nyantai,
woi!” serunya sambil menepis kedua tanganku. Lalu memperbaiki jilbab ungu yang
melekat menutupi kepalanya. Sewot.
Aku
tertawa menatapnya. Dalam ekspresi marahpun, ia masih terlihat cantik. Dengan
tubuh langsing, tinggi, kulit putih, mata bulat berwarna coklat mudanya.
Wajahnya mulus. Kalau ada air mata yang menetes, pasti lancar banget. Gak kayak
mukaku yang jerawatan ini. Kasian juga air matanya mesti mampir ke jerawat dulu
*apasih*.
“Kamu
kenapa?” tanya Tika. Mungkin merasa aneh dengan tatapanku.
“Enggak.
Aku cuma mikir, apa Mas Rivi gak pernah naksir kamu? Kamu kan udah sering
ketemu dia, masa dia gak suka sama kamu? Kamu kan cantik,” ujarku. Tulus.
Gantian
Tika yang tertawa. “Ya ampun, Rasti.. Kamu ada-ada aja, deh. Kamu pikir loyal reader-nya Mas Rivi aku doang?
Banyak, kali. Dan mereka semua cantik-cantik!”
Aku
tertegun. Pandanganku kembali melekat ke layar laptop. Mencari foto-foto
terbaru Rivi Abdianto di google. Pikiranku terusik sembari terus menatap
wajahnya. Kalau ia memang dikelilingi cewek-cewek cantik melebihi Tika,
bagaimana bisa ia melirikku yang tidak ada apa-apanya ini?
***
Aku
membolak-balik isi buku catatanku. Sepertinya besok tidak ada tugas yang harus
dikumpulkan. Tidak ada kuis. Tidak ada respon. Tidak ada test atau semacamnya. Dan itu artinya, aku bisa online sepuasnya di dunia maya. Tanpa
sadar, aku sudah joget-joget di atas tempat tidur. Sembari menunggu modem
bekerja dan menyambungkanku ke internet.
Tidak
perlu menunggu lama, aku sudah membuka akun twitter milikku. And, guess what! Rivi Abdianto baru saja
membuat postingan baru di blognya. Tanpa dipertintah, aku buru-buru menekan link
yang muncul di timelineku. Dan segera saja tampilan blognya yang lucu dan unik
itu muncul. Lengkap dengan postingan barunya.
Gue...
Galau.
Mungkin
kalian rada heran sama tweet gue akhir-akhir ini. Bukan mungkin lagi sih,
soalnya hampir semua isi mention gue nanyain kenapa tweet-tweet gue mellow
banget. Oke, biar kalian semua ngerti dan gak neror gue lagi, jadi gue bakal
cerita di sini.
Kalo
gue bilang gue lagi jatuh cinta, apa kalian bakal percaya? HAHAHAHAHA
*ketawanyesek*. GUE LAGI JATUH CINTA GUYS!!! Apa perlu gue ulang biar lebih
dramatis? IYA! GUE LAGI JATUH CINTA!
Ah,
gila! Gue baru pertama kali ngerasain jatuh cinta yang nyesek kayak gini. Gue
yakin, abis ini gue pasti bakal dibully sama kalian semua. Bodo, deh. Emang gue
gak boleh suka sama cewek? *kalo ada yang nyangka cowok, bakal gue mutilasi!*.
Gue kan juga cewek normal. Eh, COWOK deng! Capek juga tiap hari cuma
ayang-ayangan sama si Kudut mulu.
Abis
gue cerita kayak gini, gue yakin kalo loyal reader gue *yang cewek pastinya*
pada cemburu. Iya kaaan? Tenang aja, dia belum tentu suka sama gue kok. Gimana
mau suka? Ketemu aja gak pernah. Apa perlu dramatisasi lagi pemirsa? IYA! GUE
SAMA DIA BELUM PERNAH KETEMUAN
SELAMA INI!!! PUAS?
Nyesek,
kan? Gue bilang juga apa! Giliran gue jatuh cinta sama cewek, gue sama dia gak
pernah ketemu. Kenapa sih Indonesia mesti terbagi-bagi sama lima pulau besar?
Kenapa gak satu pulau aja? Gak ngerti perasaan tuna asmara, deh. Sekarang gue
tau gimana perasaan korban LDR.
Pasti nyesek banget tuh. Gak beda jauh sama gue.
Udahlah.
Intinya, gue lagi galau. Silakan ketawain gue sepuasnya! Tapi sebelum itu,
pikirin dulu. Buat yang pacaran, yakin si dia nyaman sama hubungan kalian yang
berantem gak jelas mulu? Yang masih pedekate, yakin dia serius sama lo kalo gak
nembak-nembak sampe sekarang? Dan yang LDR,
yakin tuh dia masih setia? Pacaran sekota aja masih bisa punya pacar banyak,
apalagi kalo kalian gak pernah ketemu, kan? ;)
HAHAHAHAHAHAHAHA
*kali ini ketawa penuh kemenangan* :D
Setelah membacanya, aku merasa ada yang aneh di dalam
dadaku. Sesak. Apa aku... Cemburu? Cemburu pada lelaki yang tidak pernah ku
temui karena ia menemukan wanita lain? Oh, no!
Selama
ini, tulisan-tulisannya telah membuatku jatuh cinta. Tapi apa aku tidak terlalu
cepat menyebut ini... Cinta? Apa mungkin? Apa bisa mencintai seseorang hanya
karena tulisannya? Bisakah aku memberi jawaban.. Kenapa tidak? Karena aku sudah
merasakannya sekarang.
Yang aku pernah dengar, kalo kamu cinta sama seseorang,
jantungmu akan berdetak super kencang hanya karna mendengar namanya. Mendengar
namanya saja. Seperti yang kurasakan sekarang. Pada Rivi Abdianto.
Perasaanku semakin membuncah saat suatu hari dia
memberanikan diri menceritakan latar belakang keluarga dan kehidupan masa
lalunya di twitter dan blog. Sebelum akhirnya ia menjadikannya salah satu
bagian dalam novel keduanya. Yah, dia menceritakan SEMUANYA. Mulai dari yang
terkelam, sampai sisi inspiratifnya. Dari situ, aku merasakan getaran di hatiku
ini makin bertambah setiap detik untuknya. Hanya untuk Rivi Abdianto.
***
“Kamu
udah baca postingan baru di blognya Mas Rivi?” tanya Tika keesokan harinya.
Aku
hanya mengangguk sambil membaca materi mata kuliah selanjutnya. Mengingat
pengakuan Rivi bahwa ia mencintai wanita lain, lumayan membuatku patah hati.
Walaupun aku sadar, aku hanya satu dari sekian banyak loyal reader-nya yang pastinya akan cemburu berat menerima kenyataan
yang sama denganku.
“Kamu
ngerasa penasaran gak sih?” tanyanya. Lagi.
Membuatku
mengalihkan pandangan dari diktat ke wajah cantiknya. “Penasaran?”
“Iya,
penasaran! Rivi bilang kan dia belum pernah ketemuan sama cewek yang bikin dia
jatuh cinta ini. Trus, dia kenal darimana, coba? Apa mungkin.. Cewek itu salah satu
loyal reader kayak kita?”
Dahiku
berkerut. “Sok tau kamu! Bisa aja dia naksir sama artis. Penyanyi, pemain
sinetron, pembawa acara, pelawak, apapun itu. Dia mana mungkin naksir sama
orang biasa. Dia kan blogger, standup comedian, sama penulis terkenal di
Indonesia.” Aku kembali membaca-baca isi bukuku.
“Nothing impossible, Rasti.. Atau
jangan-jangan, dia naksir sama kamu, lagi! Kalian kan akrab banget di dunia
maya!” Tika hampir histeris di sebelahku.
“Jangan
bikin aku melayang, deh! Siapa yang mau sama cewek pendek, gendut, jerawatan,
pake kacamata, gak modis, dan gak ada bagus-bagusnya kayak aku ini?” balasku.
“Idih,
lebay! Kamu lupa sama Agus, senior teknik perkapalan yang nembak kamu pake
seribu mawar itu? Atau Steven, yang nembak kamu di tengah jalan raya pake TOA
kayak orang lagi demo? Trus Teddy, temen SMA kamu yang nyewa band buat nyanyi
lagu romantis sambil nyatain cinta? Belum lagi Angga, Ardi, Zul, siapa lagi,
ya? Aku sampe lupa saking banyaknya.”
Aku
tertawa geli mendengarnya. “Mereka itu cuma lagi khilaf, kali.”
“Tau,
ah. Kamu terlalu ngerendahin diri apa cuma mau dipuji sama aku? Hah?” sewot
Tika. Yang sukses membuatku semakin tertawa kegelian.
***
Jari-jariku
menari lentik di atas keyboard laptop. Membuat cerita baru. Selain suka curhat
di blog, aku juga kadang memasukkan hasil cerita pendekku di sana. Tidak
terlalu bagus menurutku. Aku hanya hobi berkhayal dan sayang sekali jika semua imajinasi
ini cuma terkubur di memori otakku. Seperti kata Mas Rivi di salah satu
postingan blognya, “Tulisan itu adalah mesin waktu yang sesungguhnya.
Karena tulisan mampu membawa cerita-cerita masa lalu untuk dipelajari oleh
generasi penerus kita di masa depan.”
Oh,
iya. Besok, Mas Rivi akan datang ke Makassar. Salah satu Fakultas Sastra
universitas negeri di kota ini mengundangnya untuk menjadi pembicara di acara talk show yang mereka adakan. Selain
jago menulis, ia memang pintar berbicara dan mengirimkan sugesti positif ke
alam bawah sadar pendengarnya –mungkin bisa disebut loyal listener–. Aku yakin kalian tidak bisa membedakan ia lebih
mirip Romi Rafael atau Mario Teguh saat ini.
Haaah,
aku sudah tidak sabar bertemu dengannya. Dia. Rivi Abdianto. Lelaki yang telah
membuatku jatuh cinta hanya lewat tulisannya.
***
1
tahun kemudian...
Tidak
ada hal penting dan menarik yang terjadi satu tahun terakhir ini. Hidupku tetap
membosankan. Untung ada sosok Tika yang selalu di sisiku. Juga... Rivi.
Masih
lekat di ingatanku kejadian setahun yang lalu itu. Saat aku dan Tika dengan
semangat menghadiri acara talk show
yang menghadirkan Rivi sebagai pembicara. The
best part, waktu ia menyapaku dan Tika di saat acaranya sudah selesai. Ia
bahkan menghampiri tempat duduk kami dan mengajak kami ngobrol.
Ah,
setiap mengingatnya aku sangat bahagia. Bayangkan! Dia mengenalku! Oke, dia
juga mengenal Tika. Tapi bukankah mereka berdua sudah sering bertemu waktu Tika
masih tinggal di Jakarta? Tapi aku? Aku dan dia hanya berkomunikasi lewat
internet. DAN DIA MENGENALKU DARI
SEKIAN BANYAK LOYAL READER-NYA!
Aku
juga punya satu berita. Berita baik, menurutku. Entahlah bagi kalian.
“I’m feeling sexy and free... Like glitters
raining on me...” Belum selesai bait pertama dari lagu Jessie J. tersebut,
aku sudah menekan tombol hijau di handphone
milikku setelah melihat nama seseorang yang tertera di layarnya.
“Iya,
assalamu alaikum, Mas..” sapaku saat ponsel itu sudah menempel di telinga
kiriku.
“Bisa
berhenti manggil aku Mas, gak? Aku serasa penjual bakso, tau! Lagian, aku kan orang
Padang, bukan orang Jawa!” protes suara di seberang sana.
Aku
tertawa pelan mendengar gerutuan Mas Rivi. Yah, dia yang sedang meneleponku
sekarang. Dia. Rivi Abdianto. Seseorang yang membuatku jatuh cinta dan patah
hati dalam waktu bersamaan. Dulu.
“Iya,
maaf deh..” balasku akhirnya. Mencoba menghentikan omelannya. “Ada apa, Uda?
Kok nelfon pagi-pagi gini?”
“Bisa
gak sih kamu manggilnya Rivi aja? Hobi banget bikin orang marah-marah!”
“Iya,
iyaaa...” Tawaku kembali meledak. Bisa kubayangkan ekspresinya saat ini. Dengan
alis bertaut, dahi berkerut, dan bibir tipis yang komat-kamit tidak jelas.
“Kamu
lagi dimana, sih?” tanyanya.
“Kamar.
Kenapa?”
“Bukain
pintu, dong! Aku kepanasan di luar, nih!”
Aku
yang tadinya dalam posisi telentang, sontak bangkit dari tidurku. Duduk di atas
tempat tidur dengan mulut menganga. “Kamu dimana?”
“Di
luar! Depan rumah kamu.”
Kaki
mungilku buru-buru melangkah ke jendela. Menyingkap gorden di sana. Lalu
langsung menemukan sosok lelaki tinggi berkulit putih, memakai topi hitam, polo
shirt merah, dan celana pendek
berwarna hitam. Tidak lupa kacamata bening di atas hidungnya. Sedang berdiri di
depan pagar rumahku sambil menggendong seekor kucing berbulu putih dengan warna coklat di sekitar matanya.
“Sampai
kapan kamu mau ngeliatin aku terus? Aku bisa meleleh gara-gara sinar matahari,
nih! Picolo juga udah berisik banget!” keluhnya.
Aku
langsung memutuskan sambungan telepon. Kemudian berlari keluar dari kamar.
Menuju pintu depan.
Setelah
membuka pagar dan melempar senyum paling manis ke arahnya, aku segera mengambil
alih Picolo dari gendongan Rivi. Lalu menciuminya seraya kembali memasuki rumah.
Takut kucing ganteng ini semakin kepanasan.
“Rasti!
Kamu lebih milih nyiumin kucing songong itu daripada nyambut aku?” seru Rivi saat
sudah berada di ruang tengah rumahku. Lengkap dengan sebuah ransel hitam di
punggung tegapnya.
Tawaku
pecah. Lagi. Yah, tak tau mengapa lelaki ini sangat membenci peliharaannya
sendiri. Katanya, orang-orang lebih menyayangi kucing itu melebihi pemiliknya.
Tidak terkecuali Bu Tina, ibunya sendiri. Beliau selalu menanyakan keadaan
Kudut, Picolo, dan Sundae sebelum keadaan Rivi.
“Iya,
maaf...” kataku sembari membiarkan kucing tersebut bermain di sofa
rumahku. Kemudian menghampiri lelaki itu dan menariknya untuk duduk di
sebelahku. “By the way, kamu ngapain
ke sini? Ada acara talk show lagi?
Atau meet and greet?” tanyaku.
“Gak
ada.” Sepertinya ia masih ngambek. Bibir tipisnya tetap maju beberapa senti di
dekatku.
“Trus?”
“Kamu
lupa apa pura-pura lupa, sih?” Kerutan di dahinya semakin banyak. Entah
pengaruh umur atau dia memang sedang marah.
“Aku
gak tau. Makanya aku nanya,” jawabku cengengesan. Mataku melirik Picolo yang
sedang menggeliat di sandaran sofa.
“KAMU
BENER-BENER LUPA KALO HARI INI ANNIVERSARY KITA YANG PERTAMA?” soraknya. Untung
Papa dan Mama sudah berangkat kerja dan rumah sedang kosong. Kalau tidak, mereka
pasti langsung heboh.
“Emang
ini tanggal berapa?” Aku masih bertanya dengan polosnya.
Rivi
mendengus. Kesal. Ia membuang pandangannya dari wajahku. Kemudian melipat kedua
tangan di depan dada. Huh, dasar!
“Iya,
iyaaa. Aku inget, kok. Tunggu dulu, ya!” Tanpa menunggu suaranya, aku langsung
berlari menaiki tangga. Menuju ke kamarku.
“Nih,”
ucapku sambil menyerahkan sebuah kotak ke depan wajahnya saat kembali dari
kamar. “Kado dari kamu mana?” lanjutku sambil menengadahkan tangan ke arahnya.
Bukannya
mengansurkan sesuatu, Rivi malah menggenggam jemariku. Lalu menariknya dan tak
tahu bagaimana caranya, kini aku sudah duduk di atas pangkuannya. “Aku udah
dateng jauh-jauh dari Jogja dan cuti kerja seminggu buat tinggal di Makassar
sama kamu. Kadoku romantis banget, kan?” bisiknya. Tepat di telingaku.
Menciptakan sensasi geli luar biasa.
“Iya,
romantis banget..” balasku. Menyerah dengan aksinya. “Ya udah. Lepasin aku,
dong! Picolo ngeliatin, tuh. Aku kan jadi maluuu!”
Rivi
ikut menoleh dan menatap kucing miliknya. Kemudian melempari Picolo dengan sebuah bantal kursi sampai seluruh tubuh kucing yang lumayan ceking itu
tertutupi.
“Ih,
kasian tau! Ntar kalo dia gak bisa nafas, gimana?” protesku. Berusaha mengambil
bantal tersebut. Tapi kalah cepat dengan tangan Rivi yang sudah menggenggam
kedua tanganku dengan erat.
“Kamu
mau ngapain, sih?” tanyaku. Mulai risih dengan posisi kami.
Ia
terdiam. Memandangiku dari balik kacamata yang ia gunakan. Dari jarak sedekat
ini, aku bisa melihat dengan jelas bekas luka di bawah mata kanannya.
“I love you,” lirihnya. Lagi. Mata
teduhnya membuaiku ke dalam dekap hangatnya. Perjalanan dari Jogja ke Makassar
tak membuat wangi tubuhnya yang khas memudar. Dan entah bagaimana caranya,
sekarang kami sudah saling bertukar rasa rindu lewat bahasa tubuh.
Dari
awal aku mengenalnya di dunia maya sampai sekarang, saat kami sudah sepakat menjalin
hubungan, aku masih jatuh cinta padanya. Tidak tanggung-tanggung, ia datang ke
rumahku dan meminta izin pada kedua orangtuaku untuk melangsungkan pertunangan kami
selama ia masih berada di Makassar. Dan aku tak mengerti ia memakai pelet apa,
Papa dan Mama langsung menerimanya dengan senang hati. Mereka semua malah
terlihat sangat akrab. Jadilah sejak setahun yang lalu –sejak ia mengaku bahwa
cewek yang ia maksud telah membuatnya jatuh cinta dan sayangnya tidak pernah
ditemuinya waktu itu adalah aku–, kami memakai cincin yang sama untuk membuktikan
keseriusan hubungan kami ini.
Sejujurnya,
kami belum memikirkan banyak hal tentang pernikahan. Aku masih kuliah.
Sedangkan Rivi juga baru saja bekerja di salah satu universitas swasta di Jogja
sebagai dosen Sastra Inggris. “Just let
it flow, and enjoy it!” ucapnya saat itu.
Aku
–selalu– mencintai dia yang apa adanya. Yang jujur, rendah hati, ramah, dan
selalu memandang segala sesuatu secara objektif. Persis dengan kata-kata orang
selama aku belum pernah bertemu dengannya dulu. Sampai sekarang. Ketika aku
masuk ke dalam hidupnya. Dan menyandang status sebagai calon istrinya.
“Kamu masih inget kata-kata kamu di blog dulu? Yang
tentang aku itu?” tanya Rivi saat ia memberiku waktu untuk bernafas banyak di
sela aksinya.
Aku
tersenyum malu. Mengingat isi postinganku beberapa tahun yang lalu tersebut.
“Aku
bahkan udah hafal di luar kepala,” suaranya lagi. “Aku... Mencintaimu. Lewat
tulisan-tulisanmu. Kamu gak perlu tau seberapa besar rasa ini. Karna aku yakin,
gak ada satuan apapun yang dapat menggambarkan bagaimana kadarnya. Yang perlu kamu
tau, aku gak pernah mau menuntut balas. Karna aku menamakan perasaan ini ‘tulus’.
Setulus Kasih Ibu, yang hanya memberi dan tak harap kembali,” lanjutnya.
Kami lalu tertawa. Bersamaan.
“Kamu
sendiri, kenapa bisa suka sama aku? Kita kan belum ketemu waktu itu.” Gantian
aku yang bertanya.
Ia
mengeratkan pelukannya di pinggangku yang masih setia duduk di atas pahanya
tersebut. Matanya yang sudah bebas dari kacamata itu terlihat menerawang.
“Kenapa, ya? Aku juga gak tau, sih. Mungkin karna... Cinta sejati emang gak
butuh alasan, kali yaa?”
Aku
serasa hampir saja melayang kalau saja Rivi tidak segera menarikku untuk
menempel di dada bidangnya. Kemudian, kami kembali saling ‘bertukar rindu’.
Kini,
bahagiaku sudah benar-benar tak terkira. Aku hanya mau Rivi terus menulis.
Berbicara tentang apapun di sekitarnya yang bisa mengubah pandangan dunia
terhadap hal-hal yang kecil sedikitpun. Yah, lewat tulisannya yang telah membuatku
jatuh cinta itu.
***
Ps: Sebenarnya, cerita ini udah pernah diposting ke sini. Tapi non fiksi, alias aku menceritakannya secara nyata. Kali ini, sudah aku edit sehingga lebih banyak porsi fiksi daripada non fiksinya.
Thanks buat mas Alitt
@shitlicious atas sumbangan 'benih' cerita ini. Maaf juga kalo ceritanya jelek -_- Aku masih belajar soalnya.
Trus, makasih juga buat mpok
@atikariyani yang sudah rela menyumbangkan namanya di sini. Sorry yah, kali ini mas Alitt jadinya sama aku :p