Karena cinta... Tidak akan pernah saling
melupakan.
Fanya keluar
dari gedung Fakultas Kedokteran dengan setumpuk buku di genggamannya. Jam sudah
menunjukkan pukul lima sore. Dia harus buru-buru pulang ke rumah supaya bisa
menyelesaikan semua tugas yang akan dikumpulkannya besok pagi.
Tiba-tiba,
seorang lelaki tinggi, berkulit kecoklatan, berkacamata dengan kemeja
kotak-kotak berwarna putih serta celana panjang jeans hitam yang baru saja
turun dari mobil silver langsung menghampirinya.
“SURPRISEEEEE!!!”
sorak lelaki itu sambil tersenyum manis dan merentangkan kedua tangannya. Tepat
di hadapan Fanya.
Fanya
menatapnya dengan dahi berkerut. “Lo siapa?” herannya. Merasa aneh dengan
tingkah lelaki tersebut.
Si
lelaki melepaskan kacamata bening yang tadi ia pakai. Dahinya ikut berkerut.
“Kamu... Fanya, kan? Atau aku salah orang, ya?” Ia mulai ragu. Walaupun hati
kecilnya menampik kemungkinan tersebut. Mana mungkin ia bisa melupakan wajah
perempuan itu?
“Gue
emang Fanya. Trus, lo siapa? Emangnya kita pernah kenal, ya?” balas Fanya.
Matanya mengamati lelaki yang sekarang berdiri di depannya. Mencoba
mengingat-ingat. Tapi tidak berhasil.
Lelaki
itu memakai kacamatanya kembali. “Jangan becanda deh, Nya! Aku ini Haykal. Apa
aku makin ganteng sampe kamu jadi lupa sama tunangan kamu ini? Gitu?” ujarnya,
berniat bercanda seraya tersenyum lebar.
Mata
Fanya membulat. Lalu menggeleng perlahan. Dahinya semakin berlipat-lipat. “Elo
tuh yang becanda! Gimana bisa lo jadi tunangan gue? Kenal aja enggak!”
Deg!
Jantung Haykal seakan berhenti berdetak. Perasaannya jadi tidak enak. Dan
sekarang, ia hanya bisa berdiri mematung di tempatnya. Menatap Fanya. Tidak
percaya dengan apa yang baru saja diucapkan tunangannya tersebut.
***
Tunangan? Haha... Fanya menggelengkan kepalanya
berkali-kali sambil melangkah memasuki rumah. Terlalu banyak hal yang
membuatnya letih hari ini. Sesekali, ia memijat dahinya sendiri dengan tangan
kiri. Sedangkan tangan kanannya masih memegang beberapa buku yang dibawanya
dari kampus tadi.
“Kamu
sudah pulang, Nak?” sapa Ayah. Beliau sedang duduk di sofa ruang tengah.
Menyesap kopi panasnya.
Fanya
kontan menghampiri laki-laki paruh baya tersebut. Kemudian mencium punggung
tangan kanannya dengan lesu.
“Kamu
kenapa? Kok kayaknya gak semangat banget?” tanya Ayah lembut, sembari mengelus
puncak kepala putri satu-satunya tersebut.
Zefanya
Karenina Wirawan, putri tunggal keluarga Wirawan yang notabene adalah seorang
dokter ahli bedah terkenal di Indonesia. Ibunya sendiri, Mayangsari, merupakan
ahli psikiater anak. Sedangkan Fanya, sedang menyelesaikan studinya di Fakultas
Kedokteran salah satu universitas negeri kota ini. Jadi bisa dikatakan,
keluarga mereka memiliki basic di
bidang kedokteran.
Bukannya
menjawab, Fanya malah menyandarkan kepalanya ke bahu sang Ayah. Lalu menghela
nafas panjang. “Capek, Yah...” jawabnya singkat.
Ayah
hanya tersenyum. Jemari hangatnya mengelus kepala anak semata wayangnya
tersebut.
“Capek
kenapa, sayang?” Ibu muncul dari dapur. Masih mengenakan celemek biru, pertanda
beliau baru saja selesai memasak.
“Banyak
tugas, dosen banyak maunya, kunjungan ke rumah sakit, dan ketemu orang gak
jelas,” jawab Fanya. Wajahnya masih ditekuk.
“Orang
gak jelas?” tanya Ibu. Beliau bertukar pandang dengan Ayah. Penuh arti.
Fanya
cuma mengangguk.
“Ya
udah. Kamu istirahat dulu aja. Bentar lagi makan malam,” ucap Ibu, diikuti
anggukan Ayah.
Perempuan
berusia dua puluh satu tahun itu mengangguk patuh. “Aku naik ke atas dulu yah,
Bu... Yah...” Ia menciumi pipi kedua orangtuanya bergantian. Lalu bergegas
menaiki tangga, menuju lantai dua rumah. Dengan tas di bahu kanannya dan
setumpuk buku di genggamannya.
Sesampainya
di lantai atas, Fanya melirik sejenak ke arah pintu yang terletak tepat di
seberang pintu kamarnya. Tempat kamar tamu berada. Dahinya berkerut mendapati
pintu itu tertutup rapat tanpa kunci yang menggantung di bawah kenopnya. Tidak
seperti biasa.
Baru
berencana masuk ke dalam sana, tiba-tiba ia menghentikan langkah. Ngapain, sih? Palingan tadi Ibu abis
beres-beres. Mending aku mandi aja, batin Fanya. Kemudian memasuki kamarnya
sendiri.
***
Fanya
menyandarkan punggung ke kursi yang didudukinya saat ini. Aroma masakan Ibu
mengundang selera. Tanpa diperintah, telunjuk tangan kanannya mencolek bumbu
ayam goreng di atas meja.
“Husss!”
Ibu sontak menyentil jemari mungil putrinya tersebut.
Ayah
menatapnya sambil geleng-geleng kepala.
Sedangkan
yang ditatap hanya mesem-mesem tidak jelas. “Udah laper, Bu... Ayah, ayo buruan
pimpin doa,” ia merajuk.
“Tunggu
dulu, Haykal kan belum turun,” balas Ayah. Yang dibalas dengan tatapan penuh
tanya dan dahi berkerut dari Fanya.
Namun
belum sempat mengungkapkan keheranannya, sesosok lelaki dengan kaos polos
berwarna biru muda dan celana jeans hitam melangkah menuruni tangga. Lengkap
dengan aroma musk dan senyum lebar.
Fanya
memicingkan matanya. Berusaha mengamati wajah itu. Kayaknya aku pernah liat, deh. Tapi dimana, ya? Ia bertanya-tanya
dalam hati.
“Maaf
ya, Yah... Bu... Tadi aku mandi dulu. Soalnya gerah banget. Jadi kelamaan,”
ucap lelaki tersebut dengan ekspresi menyesal.
Yah? Bu? Kenapa dia manggil Ayah sama Ibu juga?
Emang dia keluarga kami, ya? Tapi kok aku gak pernah liat sebelumnya, sih?
batin Fanya.
“Iya, gak pa-pa,
kok. Kita juga baru ngumpul,” balas Ayah. Beliau menatap istrinya dan sang anak
bergantian. Lalu mendapati wajah putrinya yang melongo hebat. “Kamu kenapa,
Nya?” tanyanya kemudian.
Fanya
mengalihkan pandangannya ke wajah sang Ayah. Kemudian menggeleng pelan.
Walaupun ekspresi menyelidiknya belum berubah.
“Ini
Haykal, Nak. Bukannya tadi kalian udah ketemu di kampus, ya?” Ibu ikut
bersuara.
Haykal
tersenyum tipis.
Fanya
tertegun. Ketemu di kampus? Tadi? Ia
kembali mengamati wajah lelaki bernama Haykal yang masih berdiri di samping
Ayahnya saat ini. Sesaat kemudian, matanya membulat. Ia pun langsung berdiri.
“ELO? NGAPAIN LO DI SINI?” serunya.
“Fanya ! Siapa yang ngajarin kamu teriak-teriak sama
orang kayak gitu? Duduk!” hardik Ayah.
“Tapi,
Yah... Dia itu orang gak jelas yang tadi Fanya ceritain. Dia ngaku-ngaku
tunangannya Fanya. Gak mungkin, kan? Trus, kenapa sekarang dia ada di sini?”
Fanya tidak terima.
“Fanya...
Duduk, sayang.” Ibu menghampiri kursi Fanya. Lalu memegang kedua pundak anaknya
tersebut dan memaksanya duduk. Walaupun dengan halus.
Fanya
menurut. Mukanya ditekuk maksimal.
“Duduk,
Nak. Kok daritadi berdiri, sih?” tanya Ibu sambil memandangi Haykal dan kembali
ke kursinya di sebelah kiri Ayah.
Haykal
mengangguk. Kemudian menarik kursi di sebelah Fanya.
“Eh,
ngapain lo duduk di sini? Pindah!” bentak perempuan itu. Tangan mungil miliknya
dengan senang hati mendorong tubuh Haykal menjauh dari kursi di sampingnya.
“Fanya!”
Ayah kembali bersuara. Matanya melotot. Sukses membuat Fanya bungkam.
“Jangan
bentak-bentak Haykal, sayang. Itu gak sopan,” sela Ibu.
“Apa
sih salahnya kalo aku mau duduk di sebelah tunanganku sendiri? Bukannya dari
dulu aku selalu duduk di sini?” Haykal yang sedari tadi memilih diam, kini ikut
bersuara. Sembari duduk di sebelah Fanya dengan tenang.
“What?”
Fanya kontan shock. “Ayah, Ibu...
Liat, deh! Gimana aku gak ngatain dia orang gak jelas? Masa dia bilang kalo aku
tunangannya?” Tangannya menunjuk wajah Haykal yang duduk di samping kirinya.
Penuh emosi.
“Tenang,
sayang. Kita makan dulu. Abis makan, kita omongin sama-sama,” balas Ibu.
“Tapi,
Bu–”
“Udah,
Fanya. Ayah mau pimpin doa. Bukannya kamu udah lapar?” Ayah angkat suara.
Haykal
tersenyum penuh kemenangan di sampingnya.
Di
sebelah kiri lelaki itu, Fanya duduk dengan mata berkilat marah. Bibirnya
manyun.
***
“HAH?
TUNANGAN?” sorak Fanya. Ia langsung berdiri dari duduknya. “Gak mungkin! Ibu
sama Ayah jangan becanda, deh! Ini bener-bener gak lucu!”
Ibu
menghela nafas panjang. “Maafin Ibu, Nya.”
Ayah
langsung mengelus pundak Ibu yang berada di dalam rangkulannya.
“Kalo
Ibu nurutin kata Ayah buat naik taksi aja waktu itu. Kalo Ibu gak minta
ditemenin sama kamu. Kalo Ibu gak maksa kamu buat bawa mobil. Kalo Ibu gak
nyuruh kamu buru-buru dan nyalip kendaraan di depan kita, Nya. Kalo aja...” Ibu
tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Beliau sudah sesenggukan.
Ayah sontak
memeluk dan membiarkan istrinya tersebut tenang di dalam pelukannya. “Tenang,
Bu... Semuanya udah takdir. Bukannya kita udah ikhlas beberapa tahun yang
lalu?”
Fanya kembali
duduk. Sesekali, ia memijat kepalanya yang terasa sakit. Lalu menatap Haykal
yang duduk tepat di hadapannya. “Lo siapa?” tanyanya. Entah sudah keberapa kali
sejak mengetahui kenyataan yang sebenarnya dari Ayah dan Ibunya sendiri
beberapa menit yang lalu.
“Fanya, dia itu
tunangan kamu, Nak.” Ayah yang menjawab. Beliau terdengar putus asa.
“Aku gak punya
tunangan, Yah!”
Haykal ikut
memijat kepalanya sejenak. Kemudian berdiri dari duduknya. “Maafin aku.
Harusnya aku bisa nahan diri buat gak muncul di depan Fanya secepat ini,”
ucapnya. “Tapi aku bener-bener gak bisa. Aku terlalu kangen sama dia. Aku
bahkan lupa sama cerita Ayah dan Ibu kalo Fanya hilang ingatan. Aku gak bisa
nerima kenyataan kalo semuanya berubah sesulit ini pas aku lagi jauh sama dia.
Harusnya aku gak kuliah sejauh ini. Harusnya aku selalu ada di deket Fanya dan
jagain dia. Maafin aku, Yah... Bu...”
Fanya semakin
mengerutkan dahinya. Apalagi saat ia lihat Haykal membalikkan tubuh dan
melangkah ke lantai dua. Lalu memasuki kamar tamu tepat di depan kamarnya
dengan letih.
Kini,
pandangannya beralih ke wajah Ayah dan Ibu yang masih duduk di sebelahnya.
“Kalo bener dia itu tunangan aku, kenapa aku cuma gak inget sama dia?” tanyanya
menuntut jawaban.
“Ayah juga gak
ngerti, Nak. Yang Ayah tau, dokter bilang kalo kamu cuma lupa sama hal-hal yang
selalu kamu inget waktu itu. Mungkin karna kamu selalu mikirin Haykal, jadi dia
yang kamu lupain,” jelas Ayah.
Fanya lagi-lagi
memijat kepalanya sendiri. “Kenapa selama ini Ayah sama Ibu gak cerita kalo aku
amnesia? Kenapa kalian gak cerita kalo aku udah tunangan? Kenapa kalian gak
pernah nyeritain tentang Haykal sama aku? Kenapaaa?” Nada suara Fanya
meningkat.
“Itu semua juga
demi kesehatan kamu, Nya. Kita gak boleh maksa kamu buat mengingat semuanya.
Karna bukannya kembali, ingatan kamu malah bisa hilang semuanya. Kamu malah
bisa ngelupain kita semua. Ibu dan Ayah gak mau itu semua kejadian, sayang.”
Kali ini, Ibu yang menjawab. Air mata masih mengalir di pipi mulusnya.
Fanya menggeleng
pelan. Kepalanya semakin sakit. Mungkin karena efek dari usaha Haykal dan kedua
orangtuanya untuk mengembalikan ingatannya.
Amnesia? Aku pikir ini cuma penyakit yang ada di sinetron. Ck, kenapa aku jadi
sial begini, sih?
“Auw,” ringis
Fanya seraya meremas rambutnya.
“Kamu kenapa,
sayang? Apanya yang sakit? Bilang sama Ibu.” Kontan, Ibu dan Ayah
menghampirinya. Wajah mereka berubah panik.
“Gak pa-pa kok,
Bu... Yah... Kayaknya aku butuh istirahat, deh.” Fanya mencoba tersenyum.
“Ya udah. Sini,
Ayah antar ke kamar,” Ayah membantu Fanya berdiri. Kemudian meletakkan tangan
kanan Fanya melingkari bahu lebar miliknya.
Fanya hanya
menurut.
“Fanya,” panggil
Ibu saat melihat putri dan suaminya sudah berada di anak tangga. Menuju lantai
atas.
Fanya dan Ayah
menoleh bersamaan.
“Kamu jangan
maksain diri buat ingat semuanya dulu, ya. Nanti kami bakal nyoba bantuin kamu
pelan-pelan. Ibu gak mau kamu malah lupa sama kami semua, sayang...” sambung
wanita itu. Matanya berkaca-kaca.
Fanya mengangguk.
Lalu tersenyum. Terlalu lelah untuk membalasnya dengan kata-kata.
***
Fanya mengunyah
roti bakar selai coklat kesukaannya dengan tatapan kosong. Berbeda dengan
pagi-pagi sebelumnya, ia memilih melewati pagi ini dalam diam. Sesekali melirik
sang Ayah yang sibuk membaca koran di ujung meja sebelah kiri, lalu menatap Ibu
yang ikut menikmati roti di seberang. Kemudian ke sosok baru di samping kanannya
–yang katanya– merupakan tunangannya. Calon suaminya.
“Fanya,”
Ayah memecah keheningan.
Perempuan
itu langsung mengalihkan pandangannya dari susu coklat ke wajah lelaki berusia
50 tahun di sebelah kirinya tersebut.
“Mulai
hari ini, Pak Toro gak nganterin kamu lagi. Dia nganterin Ayah. Ayah udah capek
nyetir mobil sendiri.”
Fanya
mengangguk pelan. “Ya udah. Kalo gitu, Fanya nyetir sendiri aja.”
“Enggak,
bukan gitu maksud Ayah, Nak. Maksudnya mulai sekarang, Haykal yang bakal
nganter kamu ke kampus,” tambah Ayah.
Fanya
nyaris tersedak dan memuncratkan susu coklat yang baru saja ia minum kalau saja
tidak cepat-cepat menelannya. “Ayah gak becanda, kan? Ayah lupa kalo aku bisa
nyetir mobil sendiri? Aku bisa, kok.”
“Enggak!
Kamu gak boleh bawa mobil! Ibu gak bakal ngijinin kamu!” sergah Ibu cepat.
“Aku
bisa naik taksi,” jawab Fanya lagi. Ia betul-betul belum siap untuk menerima
kehadiran orang baru di kehidupannya. Setidaknya bagi Fanya, ia belum mengenal
Haykal sepenuhnya. Dan karena masih canggung serta takut untuk mencoba
mendekatkan diri secara tiba-tiba seperti saat ini, ia lebih baik menghindar.
Sampai ia siap lahir dan batin.
“Ngapain
kamu naik taksi kalo tujuan kalian sama?” tanya Ayah.
Fanya
langsung menoleh dan menatap Haykal yang sedari tadi tak bersuara di
sebelahnya. Dengan dahi berkerut.
Haykal
ikut memandangi tunangannya itu. “Iya, aku bakal ke kampus kamu. Ini hari
pertamaku kerja di sana,” jawabnya. Tanpa ditanya, ia sudah tahu apa isi
pikiran Fanya.
“Kerja?”
Haykal
mengangguk pelan. “Ntar kamu tau sendiri, kok...” balasnya. “Udah siang. Kita
berangkat sekarang, yuk!” sambungnya sembari menghabiskan cappucino di atas
meja makan hingga tandas.
Fanya
menghela nafas panjang. Lalu ikut menghabiskan susu coklatnya.
“Ayah,
Ibu... Kami berangkat dulu, ya! Assalamu alaikum,” pamit Haykal sambil menciumi
punggung tangan kedua calon mertuanya.
“Fanya
pergi dulu, Yah... Bu... Assalamu alaikum,” Fanya berdiri dari duduknya.
Kemudian mengekori Haykal yang telah lebih dulu berjalan ke pintu depan.
Setelah menciumi tangan Ayah dan Ibunya.
“Wa
alaikum salam...” balas Ayah dan Ibu bersamaan. Dihiasi dengan senyum bahagia
melihat putri semata wayang mereka mulai menurut. Berbeda dengan keadaan semalam.
***
Fanya
turun dari mobil Haykal saat lelaki itu membukakan pintu untuknya. Wajahnya
tetap dingin. Belum bisa menerima kenyataan apapun seperti yang diceritakan
kedua orangtuanya.
Haykal
menyetel alarm mobil. Menimbulkan bunyi singkat dari arah mobil keluaran
terbaru berwarna silver metalik yang kini ditinggalkannya tersebut. Lalu
melangkah beriringan dengan Fanya. Memasuki gedung Fakultas Kedokteran.
“Aku
gak nyangka kamu masih pake cincin pertunangan kita,” ucap Haykal, membuka
percakapan. Seraya melirik sebuah cincin emas putih yang melingkari jari manis
tangan kiri Fanya.
Fanya
ikut melirik tangan kirinya. Tempat sebuah benda indah yang bersemat sejak tiga
tahun yang lalu. Saat ia baru sadar dari koma akibat insiden kecelakaan yang
menimpanya. Ini.. cincin pertunangan
kami?
“Aku
juga punya,” Haykal memamerkan cincin yang menghiasi jari manis tangan kirinya
ke depan wajah Fanya. “Sama, kan? Di dalem cincin yang kamu pake itu, ada tiga
huruf. H, P, dan S. Inisial namaku, Haykal Pradipta Saputra.”
Fanya
tersentak. Menyadari kebenaran ucapan Haykal. Dia memang pernah memperhatikan
tiga huruf yang terukir indah di dalam cincinnya. Dan saat ia menanyakan hal
itu pada Ibu, Ibu hanya memintanya menunggu. Sampai tiba saatnya beliau akan
menjelaskan semua yang ingin ia ketahui.
“Kalo
di dalam cincin yang aku pake ini, ada inisial nama kamu. Z, K, dan W. Zefanya
Karenina Wirawan,” tambah Haykal. Senyum masih setia bersarang di wajahnya.
Membuatnya semakin menawan.
Tiba-tiba,
keseimbangan Fanya goyah. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Tangan kanannya
memegangi kepalanya sembari meringis. Menahan rasa sakit.
Dengan
sigap, Haykal langsung menahan tubuh perempuan itu sebelum terjatuh ke tanah di
bawah tubuh mereka. “Kamu kenapa? Apanya yang sakit?” Wajahnya terlihat sangat
panik.
Fanya
menyingkirkan tangan tangan Haykal yang melingkar di punggungnya. Kemudian
menghela nafas panjang dan menggeleng. “Gue gak pa-pa.”
“Maafin
aku, Nya. Aku gak bermaksud maksa kamu buat inget semuanya sekarang,” Haykal
menunduk. “Kamu jangan maksain diri kamu, ya! Aku gak mau kekhawatiran Ayah
sama Ibu malah terjadi. Bisa berabe kalo kamu malah lupa semuanya.”
Fanya
hanya terdiam.
“Kamu
ada kuliah, kan? Kita pisah di sini aja. Kalo kamu mau pulang, jangan lupa
hubungin aku,” ucap Haykal. “Handphone
kamu mana?”
Perempuan
itu merogoh saku rok panjang yang ia kenakan pagi ini. Lalu mengacungkan sebuah
smartphone ke arah Haykal. Membuat
Haykal kontan mengambilnya dan memencet tombol-tombolnya dengan cekatan.
“Nih,”
Haykal mengembalikan handphone Fanya
ke genggaman perempuan itu. “Aku udah save
nomorku. Jangan lupa, kalo kamu udah pulang langsung sms aku.”
Fanya
mengangguk pelan.
“Ya
udah. Masuk kelas, gih. Ntar kamu diomelin dosen,” tutup lelaki itu. Sebelum
mengelus kepala Fanya dan menghilang di ujung koridor lantai satu gedung ini.
***
“Muka
lo kenapa, Nya?” tanya Tyas dengan alis bertaut. Tangannya yang tadi sibuk
membolak-balik diktat kuliahnya, sontak berhenti dan terlipat dengan rapi di
atas meja.
“Kenapa?”
Fanya balik bertanya sambil duduk di kursinya sendiri.
“Muka
lo tuh, muram banget. Lo kurang tidur?”
Fanya
menggeser kursinya ke arah Tyas. Lalu duduk menghadap perempuan itu. Merapatkan
tubuhnya hingga menempel dengan lengan sahabatnya sejak duduk di bangku perguruan
tinggi tersebut. “I have a big problem.
You have to know. Tapi kayaknya bentar lagi dosen masuk, deh.”
“Emang
apaan, sih? Serius banget, ya? Sampe lo gak tidur semaleman?”
“I think so.” Fanya menghela nafas
panjang, berat. Kemudian mengeluarkan sebuah buku tebal yang brisi mata kuliah
pertamanya hari ini. Sembari menunggu dosen memasuki kelas.
“Eh,
eh... Dosen barunya udah on the way ke
sini. Gila, masih muda banget! Pasti seru deh diajarin sama dia. Wohoooo...”
sorak Tika, salah satu teman kelasnya yang baru saja masuk ke dalam kelas
sambil berlari.
“Dosen
baru?” gumam Fanya, heran.
Tyas
yang mendengar suara Fanya itu, langsung menoleh ke arah sahabatnya. “Iya, kita
bakal diajar sama dosen baru. Pak Rasyid kan udah sibuk sejak diangkat jadi
dekan, jadi dia gak bakal ngajar kita lagi,” jelasnya. “Oh iya, gue denger
dosen kita ini baru lulus dan langsung diminta jadi dosen tetap di kampus ini.
Pasti dia pinter banget,” lanjutnya. Sama berapi-apinya dengan Tika tadi.
Fanya
hanya manggut-manggut.
“Selamat
pagi adik-adik...” sapa sebuah suara yang terdengar serak dari arah pintu
kelas. Terdengar bersemangat.
“Pagi,
Dokter...” balas seisi kelas. Kompak.
Tuk!
Pulpen yang dimain-mainkan oleh jemari Fanya tiba-tiba jatuh dari genggamannya.
Otomatis, perempuan yang mengenakan kemeja polos hijau dan rok panjang bermotif
bunga-bunga hijau itu pun menunduk. Mencari-cari pulpen berbentuk kepala
chasper kesayangannya.
Langkah
dosen baru tersebut terhenti saat merasakan sesuatu yang menghalangi jalannya.
Membuatnya harus menunduk dan meraih benda tersebut. Sebuah pulpen berwarna
biru dengan wajah chasper di bagian atas. Seketika itu, senyumnya mengembang.
“Yas,
lo liat pulpen gue, gak?” bisik Fanya saat ia sudah putus asa dan memilih
mengangkat kepalanya yang sudah cukup lama berada di bawah meja.
Tyas
menggeleng. Matanya menatap takjub ke arah sang dosen baru yang kini meletakkan
buku-buku tebal yang dibawanya ke atas meja dosen di depan kelas.
“Yaaah,
masa hilang, sih? Kan baru aja jatuh. Gak mungkin banget hilang secepat itu.
Huaaahhh, nyari benda yang bentuknya chasper kan susah banget sekarang. Udah
jarang. Mana aku baru beli, lagi. Tyaaas, gimana dong? Gue gak relaaa...”
cerocos Fanya. Masih sambil berbisik. Mengingat dosen yang dibicarakan
teman-temannya itu baru saja memasuki kelas. Walaupun ia sendiri belum
melihatnya.
“Husss!”
desis Tyas. Telunjuk tangan kanannya ia letakkan di depan bibir. Lengkap dengan
mata melotot.
“Ada apa ini?
Apa ini semacam penyambutan dari mahasiswa semester enam untuk dosen barunya?
Sesopan inikah? Sampai tidak menghargai dosen yang sudah berdiri di depan?” Sebuah
suara muncul dari samping kanan Fanya.
Fanya
memalingkan wajahnya dengan malas. Masih belum terima dengan insiden pulpen
kesayangannya yang hilang dan kini harus dihadapkan oleh sang dosen baru. Namun
belum sempat mengeluarkan sepatah katapun, matanya langsung membulat. “ELO?”
serunya. tidak percaya.
Sang
dosen tersenyum tipis. “Ternyata selain tidak mempedulikan dosen baru, kamu
juga terbiasa mengucapkan gue-elo kepada dosen? Hah?”
Kali
ini, Fanya menganga. “Elo dosen? Jangan becanda, deh! Elo bukannya ke sini buat
kerja? Lo bukan dosen, kan?” Ia berdiri dari duduknya. Sukses membuat kelas
hening dan semua tatapan mata tertuju ke arahnya.
“Kamu
pikir dosen itu bukan sebuah pekerjaan, saudari Zefanya Karenina Wirawan?”
balas sang dosen. Ia melipat tangannya di depan dada.
Fanya
mendengus. Kesal. Mana mungkin?
Belum
sempat mengeluarkan kalimat selanjutnya, Haykal sudah berjalan ke whiteboard. Lalu menuliskan sesuatu di
sana. dr. Haykal Pradipta Saputra, S.Ked. “Ini nama lengkap saya. Kalian boleh
memanggil saya Dokter Haykal. Tapi kalau kita bertemu di luar wilayah kampus,
kalian bisa memanggil saya Kak Haykal. Atau mungkin, ada yang mau menyebut saya
‘elo’ seperti yang dilakukan Fanya?” ucap lelaki berkacamata itu lantang.
Lagi-lagi,
seisi kelas menatap ke arah Fanya yang sudah siap melahap dosen di depannya
tersebut. Kedua tangannya sudah terkepal di atas meja.
“Nya,
lo kenal sama dia?” lirih Tyas. Agak ngeri dengan ekspresi sahabatnya sekarang.
“Do you still remember about our conversation
a few minutes ago?” Fanya balik bertanya. Tatapannya tetap melekat pada
sosok Haykal. “Actually, he’s my big
problem!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar