Rabu, 13 Maret 2013

Remember Me #1 - Tunangan?

Karena cinta... Tidak akan pernah saling melupakan.



Fanya keluar dari gedung Fakultas Kedokteran dengan setumpuk buku di genggamannya. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Dia harus buru-buru pulang ke rumah supaya bisa menyelesaikan semua tugas yang akan dikumpulkannya besok pagi.
            Tiba-tiba, seorang lelaki tinggi, berkulit kecoklatan, berkacamata dengan kemeja kotak-kotak berwarna putih serta celana panjang jeans hitam yang baru saja turun dari mobil silver langsung menghampirinya.
            “SURPRISEEEEE!!!” sorak lelaki itu sambil tersenyum manis dan merentangkan kedua tangannya. Tepat di hadapan Fanya.
            Fanya menatapnya dengan dahi berkerut. “Lo siapa?” herannya. Merasa aneh dengan tingkah lelaki tersebut.
            Si lelaki melepaskan kacamata bening yang tadi ia pakai. Dahinya ikut berkerut. “Kamu... Fanya, kan? Atau aku salah orang, ya?” Ia mulai ragu. Walaupun hati kecilnya menampik kemungkinan tersebut. Mana mungkin ia bisa melupakan wajah perempuan itu?
            “Gue emang Fanya. Trus, lo siapa? Emangnya kita pernah kenal, ya?” balas Fanya. Matanya mengamati lelaki yang sekarang berdiri di depannya. Mencoba mengingat-ingat. Tapi tidak berhasil.
            Lelaki itu memakai kacamatanya kembali. “Jangan becanda deh, Nya! Aku ini Haykal. Apa aku makin ganteng sampe kamu jadi lupa sama tunangan kamu ini? Gitu?” ujarnya, berniat bercanda seraya tersenyum lebar.
            Mata Fanya membulat. Lalu menggeleng perlahan. Dahinya semakin berlipat-lipat. “Elo tuh yang becanda! Gimana bisa lo jadi tunangan gue? Kenal aja enggak!”
            Deg! Jantung Haykal seakan berhenti berdetak. Perasaannya jadi tidak enak. Dan sekarang, ia hanya bisa berdiri mematung di tempatnya. Menatap Fanya. Tidak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan tunangannya tersebut.
***
            Tunangan? Haha... Fanya menggelengkan kepalanya berkali-kali sambil melangkah memasuki rumah. Terlalu banyak hal yang membuatnya letih hari ini. Sesekali, ia memijat dahinya sendiri dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya masih memegang beberapa buku yang dibawanya dari kampus tadi.
            “Kamu sudah pulang, Nak?” sapa Ayah. Beliau sedang duduk di sofa ruang tengah. Menyesap kopi panasnya.
            Fanya kontan menghampiri laki-laki paruh baya tersebut. Kemudian mencium punggung tangan kanannya dengan lesu.
            “Kamu kenapa? Kok kayaknya gak semangat banget?” tanya Ayah lembut, sembari mengelus puncak kepala putri satu-satunya tersebut.
            Zefanya Karenina Wirawan, putri tunggal keluarga Wirawan yang notabene adalah seorang dokter ahli bedah terkenal di Indonesia. Ibunya sendiri, Mayangsari, merupakan ahli psikiater anak. Sedangkan Fanya, sedang menyelesaikan studinya di Fakultas Kedokteran salah satu universitas negeri kota ini. Jadi bisa dikatakan, keluarga mereka memiliki basic di bidang kedokteran.
Bukannya menjawab, Fanya malah menyandarkan kepalanya ke bahu sang Ayah. Lalu menghela nafas panjang. “Capek, Yah...” jawabnya singkat.
            Ayah hanya tersenyum. Jemari hangatnya mengelus kepala anak semata wayangnya tersebut.
            “Capek kenapa, sayang?” Ibu muncul dari dapur. Masih mengenakan celemek biru, pertanda beliau baru saja selesai memasak.
            “Banyak tugas, dosen banyak maunya, kunjungan ke rumah sakit, dan ketemu orang gak jelas,” jawab Fanya. Wajahnya masih ditekuk.
            “Orang gak jelas?” tanya Ibu. Beliau bertukar pandang dengan Ayah. Penuh arti.
            Fanya cuma mengangguk.
            “Ya udah. Kamu istirahat dulu aja. Bentar lagi makan malam,” ucap Ibu, diikuti anggukan Ayah.
            Perempuan berusia dua puluh satu tahun itu mengangguk patuh. “Aku naik ke atas dulu yah, Bu... Yah...” Ia menciumi pipi kedua orangtuanya bergantian. Lalu bergegas menaiki tangga, menuju lantai dua rumah. Dengan tas di bahu kanannya dan setumpuk buku di genggamannya.
            Sesampainya di lantai atas, Fanya melirik sejenak ke arah pintu yang terletak tepat di seberang pintu kamarnya. Tempat kamar tamu berada. Dahinya berkerut mendapati pintu itu tertutup rapat tanpa kunci yang menggantung di bawah kenopnya. Tidak seperti biasa.
            Baru berencana masuk ke dalam sana, tiba-tiba ia menghentikan langkah. Ngapain, sih? Palingan tadi Ibu abis beres-beres. Mending aku mandi aja, batin Fanya. Kemudian memasuki kamarnya sendiri.
***
            Fanya menyandarkan punggung ke kursi yang didudukinya saat ini. Aroma masakan Ibu mengundang selera. Tanpa diperintah, telunjuk tangan kanannya mencolek bumbu ayam goreng di atas meja.
            “Husss!” Ibu sontak menyentil jemari mungil putrinya tersebut.
            Ayah menatapnya sambil geleng-geleng kepala.
            Sedangkan yang ditatap hanya mesem-mesem tidak jelas. “Udah laper, Bu... Ayah, ayo buruan pimpin doa,” ia merajuk.
            “Tunggu dulu, Haykal kan belum turun,” balas Ayah. Yang dibalas dengan tatapan penuh tanya dan dahi berkerut dari Fanya.
            Namun belum sempat mengungkapkan keheranannya, sesosok lelaki dengan kaos polos berwarna biru muda dan celana jeans hitam melangkah menuruni tangga. Lengkap dengan aroma musk dan senyum lebar.
            Fanya memicingkan matanya. Berusaha mengamati wajah itu. Kayaknya aku pernah liat, deh. Tapi dimana, ya? Ia bertanya-tanya dalam hati.
            “Maaf ya, Yah... Bu... Tadi aku mandi dulu. Soalnya gerah banget. Jadi kelamaan,” ucap lelaki tersebut dengan ekspresi menyesal.
            Yah? Bu? Kenapa dia manggil Ayah sama Ibu juga? Emang dia keluarga kami, ya? Tapi kok aku gak pernah liat sebelumnya, sih? batin Fanya.
“Iya, gak pa-pa, kok. Kita juga baru ngumpul,” balas Ayah. Beliau menatap istrinya dan sang anak bergantian. Lalu mendapati wajah putrinya yang melongo hebat. “Kamu kenapa, Nya?” tanyanya kemudian.
            Fanya mengalihkan pandangannya ke wajah sang Ayah. Kemudian menggeleng pelan. Walaupun ekspresi menyelidiknya belum berubah.
            “Ini Haykal, Nak. Bukannya tadi kalian udah ketemu di kampus, ya?” Ibu ikut bersuara.
            Haykal tersenyum tipis.
            Fanya tertegun. Ketemu di kampus? Tadi? Ia kembali mengamati wajah lelaki bernama Haykal yang masih berdiri di samping Ayahnya saat ini. Sesaat kemudian, matanya membulat. Ia pun langsung berdiri. “ELO? NGAPAIN LO DI SINI?” serunya.
            “Fanya ! Siapa yang ngajarin kamu teriak-teriak sama orang kayak gitu? Duduk!” hardik Ayah.
            “Tapi, Yah... Dia itu orang gak jelas yang tadi Fanya ceritain. Dia ngaku-ngaku tunangannya Fanya. Gak mungkin, kan? Trus, kenapa sekarang dia ada di sini?” Fanya tidak terima.
            “Fanya... Duduk, sayang.” Ibu menghampiri kursi Fanya. Lalu memegang kedua pundak anaknya tersebut dan memaksanya duduk. Walaupun dengan halus.
            Fanya menurut. Mukanya ditekuk maksimal.
            “Duduk, Nak. Kok daritadi berdiri, sih?” tanya Ibu sambil memandangi Haykal dan kembali ke kursinya di sebelah kiri Ayah.
            Haykal mengangguk. Kemudian menarik kursi di sebelah Fanya.
            “Eh, ngapain lo duduk di sini? Pindah!” bentak perempuan itu. Tangan mungil miliknya dengan senang hati mendorong tubuh Haykal menjauh dari kursi di sampingnya.
            “Fanya!” Ayah kembali bersuara. Matanya melotot. Sukses membuat Fanya bungkam.
            “Jangan bentak-bentak Haykal, sayang. Itu gak sopan,” sela Ibu.
            “Apa sih salahnya kalo aku mau duduk di sebelah tunanganku sendiri? Bukannya dari dulu aku selalu duduk di sini?” Haykal yang sedari tadi memilih diam, kini ikut bersuara. Sembari duduk di sebelah Fanya dengan tenang.
            “What?” Fanya kontan shock. “Ayah, Ibu... Liat, deh! Gimana aku gak ngatain dia orang gak jelas? Masa dia bilang kalo aku tunangannya?” Tangannya menunjuk wajah Haykal yang duduk di samping kirinya. Penuh emosi.
            “Tenang, sayang. Kita makan dulu. Abis makan, kita omongin sama-sama,” balas Ibu.
            “Tapi, Bu–”
            “Udah, Fanya. Ayah mau pimpin doa. Bukannya kamu udah lapar?” Ayah angkat suara.
            Haykal tersenyum penuh kemenangan di sampingnya.
            Di sebelah kiri lelaki itu, Fanya duduk dengan mata berkilat marah. Bibirnya manyun.
***
            “HAH? TUNANGAN?” sorak Fanya. Ia langsung berdiri dari duduknya. “Gak mungkin! Ibu sama Ayah jangan becanda, deh! Ini bener-bener gak lucu!”
            Ibu menghela nafas panjang. “Maafin Ibu, Nya.”
            Ayah langsung mengelus pundak Ibu yang berada di dalam rangkulannya.
            “Kalo Ibu nurutin kata Ayah buat naik taksi aja waktu itu. Kalo Ibu gak minta ditemenin sama kamu. Kalo Ibu gak maksa kamu buat bawa mobil. Kalo Ibu gak nyuruh kamu buru-buru dan nyalip kendaraan di depan kita, Nya. Kalo aja...” Ibu tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Beliau sudah sesenggukan.
Ayah sontak memeluk dan membiarkan istrinya tersebut tenang di dalam pelukannya. “Tenang, Bu... Semuanya udah takdir. Bukannya kita udah ikhlas beberapa tahun yang lalu?”
Fanya kembali duduk. Sesekali, ia memijat kepalanya yang terasa sakit. Lalu menatap Haykal yang duduk tepat di hadapannya. “Lo siapa?” tanyanya. Entah sudah keberapa kali sejak mengetahui kenyataan yang sebenarnya dari Ayah dan Ibunya sendiri beberapa menit yang lalu.
“Fanya, dia itu tunangan kamu, Nak.” Ayah yang menjawab. Beliau terdengar putus asa.
“Aku gak punya tunangan, Yah!”
Haykal ikut memijat kepalanya sejenak. Kemudian berdiri dari duduknya. “Maafin aku. Harusnya aku bisa nahan diri buat gak muncul di depan Fanya secepat ini,” ucapnya. “Tapi aku bener-bener gak bisa. Aku terlalu kangen sama dia. Aku bahkan lupa sama cerita Ayah dan Ibu kalo Fanya hilang ingatan. Aku gak bisa nerima kenyataan kalo semuanya berubah sesulit ini pas aku lagi jauh sama dia. Harusnya aku gak kuliah sejauh ini. Harusnya aku selalu ada di deket Fanya dan jagain dia. Maafin aku, Yah... Bu...”
Fanya semakin mengerutkan dahinya. Apalagi saat ia lihat Haykal membalikkan tubuh dan melangkah ke lantai dua. Lalu memasuki kamar tamu tepat di depan kamarnya dengan letih.
Kini, pandangannya beralih ke wajah Ayah dan Ibu yang masih duduk di sebelahnya. “Kalo bener dia itu tunangan aku, kenapa aku cuma gak inget sama dia?” tanyanya menuntut jawaban.
“Ayah juga gak ngerti, Nak. Yang Ayah tau, dokter bilang kalo kamu cuma lupa sama hal-hal yang selalu kamu inget waktu itu. Mungkin karna kamu selalu mikirin Haykal, jadi dia yang kamu lupain,” jelas Ayah.
Fanya lagi-lagi memijat kepalanya sendiri. “Kenapa selama ini Ayah sama Ibu gak cerita kalo aku amnesia? Kenapa kalian gak cerita kalo aku udah tunangan? Kenapa kalian gak pernah nyeritain tentang Haykal sama aku? Kenapaaa?” Nada suara Fanya meningkat.
“Itu semua juga demi kesehatan kamu, Nya. Kita gak boleh maksa kamu buat mengingat semuanya. Karna bukannya kembali, ingatan kamu malah bisa hilang semuanya. Kamu malah bisa ngelupain kita semua. Ibu dan Ayah gak mau itu semua kejadian, sayang.” Kali ini, Ibu yang menjawab. Air mata masih mengalir di pipi mulusnya.
Fanya menggeleng pelan. Kepalanya semakin sakit. Mungkin karena efek dari usaha Haykal dan kedua orangtuanya untuk mengembalikan ingatannya. Amnesia? Aku pikir ini cuma penyakit yang ada di sinetron. Ck, kenapa aku jadi sial begini, sih?
“Auw,” ringis Fanya seraya meremas rambutnya.
“Kamu kenapa, sayang? Apanya yang sakit? Bilang sama Ibu.” Kontan, Ibu dan Ayah menghampirinya. Wajah mereka berubah panik.
“Gak pa-pa kok, Bu... Yah... Kayaknya aku butuh istirahat, deh.” Fanya mencoba tersenyum.
“Ya udah. Sini, Ayah antar ke kamar,” Ayah membantu Fanya berdiri. Kemudian meletakkan tangan kanan Fanya melingkari bahu lebar miliknya.
Fanya hanya menurut.
“Fanya,” panggil Ibu saat melihat putri dan suaminya sudah berada di anak tangga. Menuju lantai atas.
Fanya dan Ayah menoleh bersamaan.
“Kamu jangan maksain diri buat ingat semuanya dulu, ya. Nanti kami bakal nyoba bantuin kamu pelan-pelan. Ibu gak mau kamu malah lupa sama kami semua, sayang...” sambung wanita itu. Matanya berkaca-kaca.
Fanya mengangguk. Lalu tersenyum. Terlalu lelah untuk membalasnya dengan kata-kata.
***
Fanya mengunyah roti bakar selai coklat kesukaannya dengan tatapan kosong. Berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya, ia memilih melewati pagi ini dalam diam. Sesekali melirik sang Ayah yang sibuk membaca koran di ujung meja sebelah kiri, lalu menatap Ibu yang ikut menikmati roti di seberang. Kemudian ke sosok baru di samping kanannya –yang katanya– merupakan tunangannya. Calon suaminya.
            “Fanya,” Ayah memecah keheningan.
            Perempuan itu langsung mengalihkan pandangannya dari susu coklat ke wajah lelaki berusia 50 tahun di sebelah kirinya tersebut.
            “Mulai hari ini, Pak Toro gak nganterin kamu lagi. Dia nganterin Ayah. Ayah udah capek nyetir mobil sendiri.”
            Fanya mengangguk pelan. “Ya udah. Kalo gitu, Fanya nyetir sendiri aja.”
            “Enggak, bukan gitu maksud Ayah, Nak. Maksudnya mulai sekarang, Haykal yang bakal nganter kamu ke kampus,” tambah Ayah.
            Fanya nyaris tersedak dan memuncratkan susu coklat yang baru saja ia minum kalau saja tidak cepat-cepat menelannya. “Ayah gak becanda, kan? Ayah lupa kalo aku bisa nyetir mobil sendiri? Aku bisa, kok.”
            “Enggak! Kamu gak boleh bawa mobil! Ibu gak bakal ngijinin kamu!” sergah Ibu cepat.
            “Aku bisa naik taksi,” jawab Fanya lagi. Ia betul-betul belum siap untuk menerima kehadiran orang baru di kehidupannya. Setidaknya bagi Fanya, ia belum mengenal Haykal sepenuhnya. Dan karena masih canggung serta takut untuk mencoba mendekatkan diri secara tiba-tiba seperti saat ini, ia lebih baik menghindar. Sampai ia siap lahir dan batin.
            “Ngapain kamu naik taksi kalo tujuan kalian sama?” tanya Ayah.
            Fanya langsung menoleh dan menatap Haykal yang sedari tadi tak bersuara di sebelahnya. Dengan dahi berkerut.
            Haykal ikut memandangi tunangannya itu. “Iya, aku bakal ke kampus kamu. Ini hari pertamaku kerja di sana,” jawabnya. Tanpa ditanya, ia sudah tahu apa isi pikiran Fanya.
            “Kerja?”
            Haykal mengangguk pelan. “Ntar kamu tau sendiri, kok...” balasnya. “Udah siang. Kita berangkat sekarang, yuk!” sambungnya sembari menghabiskan cappucino di atas meja makan hingga tandas.
            Fanya menghela nafas panjang. Lalu ikut menghabiskan susu coklatnya.
            “Ayah, Ibu... Kami berangkat dulu, ya! Assalamu alaikum,” pamit Haykal sambil menciumi punggung tangan kedua calon mertuanya.
            “Fanya pergi dulu, Yah... Bu... Assalamu alaikum,” Fanya berdiri dari duduknya. Kemudian mengekori Haykal yang telah lebih dulu berjalan ke pintu depan. Setelah menciumi tangan Ayah dan Ibunya.
            “Wa alaikum salam...” balas Ayah dan Ibu bersamaan. Dihiasi dengan senyum bahagia melihat putri semata wayang mereka mulai menurut. Berbeda dengan keadaan semalam.
***
            Fanya turun dari mobil Haykal saat lelaki itu membukakan pintu untuknya. Wajahnya tetap dingin. Belum bisa menerima kenyataan apapun seperti yang diceritakan kedua orangtuanya.
            Haykal menyetel alarm mobil. Menimbulkan bunyi singkat dari arah mobil keluaran terbaru berwarna silver metalik yang kini ditinggalkannya tersebut. Lalu melangkah beriringan dengan Fanya. Memasuki gedung Fakultas Kedokteran.
            “Aku gak nyangka kamu masih pake cincin pertunangan kita,” ucap Haykal, membuka percakapan. Seraya melirik sebuah cincin emas putih yang melingkari jari manis tangan kiri Fanya.
            Fanya ikut melirik tangan kirinya. Tempat sebuah benda indah yang bersemat sejak tiga tahun yang lalu. Saat ia baru sadar dari koma akibat insiden kecelakaan yang menimpanya. Ini.. cincin pertunangan kami?
            “Aku juga punya,” Haykal memamerkan cincin yang menghiasi jari manis tangan kirinya ke depan wajah Fanya. “Sama, kan? Di dalem cincin yang kamu pake itu, ada tiga huruf. H, P, dan S. Inisial namaku, Haykal Pradipta Saputra.”
            Fanya tersentak. Menyadari kebenaran ucapan Haykal. Dia memang pernah memperhatikan tiga huruf yang terukir indah di dalam cincinnya. Dan saat ia menanyakan hal itu pada Ibu, Ibu hanya memintanya menunggu. Sampai tiba saatnya beliau akan menjelaskan semua yang ingin ia ketahui.
            “Kalo di dalam cincin yang aku pake ini, ada inisial nama kamu. Z, K, dan W. Zefanya Karenina Wirawan,” tambah Haykal. Senyum masih setia bersarang di wajahnya. Membuatnya semakin menawan.
            Tiba-tiba, keseimbangan Fanya goyah. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Tangan kanannya memegangi kepalanya sembari meringis. Menahan rasa sakit.
            Dengan sigap, Haykal langsung menahan tubuh perempuan itu sebelum terjatuh ke tanah di bawah tubuh mereka. “Kamu kenapa? Apanya yang sakit?” Wajahnya terlihat sangat panik.
            Fanya menyingkirkan tangan tangan Haykal yang melingkar di punggungnya. Kemudian menghela nafas panjang dan menggeleng. “Gue gak pa-pa.”
            “Maafin aku, Nya. Aku gak bermaksud maksa kamu buat inget semuanya sekarang,” Haykal menunduk. “Kamu jangan maksain diri kamu, ya! Aku gak mau kekhawatiran Ayah sama Ibu malah terjadi. Bisa berabe kalo kamu malah lupa semuanya.”
            Fanya hanya terdiam.
            “Kamu ada kuliah, kan? Kita pisah di sini aja. Kalo kamu mau pulang, jangan lupa hubungin aku,” ucap Haykal. “Handphone kamu mana?”
            Perempuan itu merogoh saku rok panjang yang ia kenakan pagi ini. Lalu mengacungkan sebuah smartphone ke arah Haykal. Membuat Haykal kontan mengambilnya dan memencet tombol-tombolnya dengan cekatan.
            “Nih,” Haykal mengembalikan handphone Fanya ke genggaman perempuan itu. “Aku udah save nomorku. Jangan lupa, kalo kamu udah pulang langsung sms aku.”
            Fanya mengangguk pelan.
            “Ya udah. Masuk kelas, gih. Ntar kamu diomelin dosen,” tutup lelaki itu. Sebelum mengelus kepala Fanya dan menghilang di ujung koridor lantai satu gedung ini.
***
            “Muka lo kenapa, Nya?” tanya Tyas dengan alis bertaut. Tangannya yang tadi sibuk membolak-balik diktat kuliahnya, sontak berhenti dan terlipat dengan rapi di atas meja.
            “Kenapa?” Fanya balik bertanya sambil duduk di kursinya sendiri.
            “Muka lo tuh, muram banget. Lo kurang tidur?”
            Fanya menggeser kursinya ke arah Tyas. Lalu duduk menghadap perempuan itu. Merapatkan tubuhnya hingga menempel dengan lengan sahabatnya sejak duduk di bangku perguruan tinggi tersebut. “I have a big problem. You have to know. Tapi kayaknya bentar lagi dosen masuk, deh.”
            “Emang apaan, sih? Serius banget, ya? Sampe lo gak tidur semaleman?”
            “I think so.” Fanya menghela nafas panjang, berat. Kemudian mengeluarkan sebuah buku tebal yang brisi mata kuliah pertamanya hari ini. Sembari menunggu dosen memasuki kelas.
            “Eh, eh... Dosen barunya udah on the way ke sini. Gila, masih muda banget! Pasti seru deh diajarin sama dia. Wohoooo...” sorak Tika, salah satu teman kelasnya yang baru saja masuk ke dalam kelas sambil berlari.
            “Dosen baru?” gumam Fanya, heran.
            Tyas yang mendengar suara Fanya itu, langsung menoleh ke arah sahabatnya. “Iya, kita bakal diajar sama dosen baru. Pak Rasyid kan udah sibuk sejak diangkat jadi dekan, jadi dia gak bakal ngajar kita lagi,” jelasnya. “Oh iya, gue denger dosen kita ini baru lulus dan langsung diminta jadi dosen tetap di kampus ini. Pasti dia pinter banget,” lanjutnya. Sama berapi-apinya dengan Tika tadi.
            Fanya hanya manggut-manggut.
            “Selamat pagi adik-adik...” sapa sebuah suara yang terdengar serak dari arah pintu kelas. Terdengar bersemangat.
            “Pagi, Dokter...” balas seisi kelas. Kompak.
            Tuk! Pulpen yang dimain-mainkan oleh jemari Fanya tiba-tiba jatuh dari genggamannya. Otomatis, perempuan yang mengenakan kemeja polos hijau dan rok panjang bermotif bunga-bunga hijau itu pun menunduk. Mencari-cari pulpen berbentuk kepala chasper kesayangannya.
            Langkah dosen baru tersebut terhenti saat merasakan sesuatu yang menghalangi jalannya. Membuatnya harus menunduk dan meraih benda tersebut. Sebuah pulpen berwarna biru dengan wajah chasper di bagian atas. Seketika itu, senyumnya mengembang.
            “Yas, lo liat pulpen gue, gak?” bisik Fanya saat ia sudah putus asa dan memilih mengangkat kepalanya yang sudah cukup lama berada di bawah meja.
            Tyas menggeleng. Matanya menatap takjub ke arah sang dosen baru yang kini meletakkan buku-buku tebal yang dibawanya ke atas meja dosen di depan kelas.
            “Yaaah, masa hilang, sih? Kan baru aja jatuh. Gak mungkin banget hilang secepat itu. Huaaahhh, nyari benda yang bentuknya chasper kan susah banget sekarang. Udah jarang. Mana aku baru beli, lagi. Tyaaas, gimana dong? Gue gak relaaa...” cerocos Fanya. Masih sambil berbisik. Mengingat dosen yang dibicarakan teman-temannya itu baru saja memasuki kelas. Walaupun ia sendiri belum melihatnya.
            “Husss!” desis Tyas. Telunjuk tangan kanannya ia letakkan di depan bibir. Lengkap dengan mata melotot.
“Ada apa ini? Apa ini semacam penyambutan dari mahasiswa semester enam untuk dosen barunya? Sesopan inikah? Sampai tidak menghargai dosen yang sudah berdiri di depan?” Sebuah suara muncul dari samping kanan Fanya.
            Fanya memalingkan wajahnya dengan malas. Masih belum terima dengan insiden pulpen kesayangannya yang hilang dan kini harus dihadapkan oleh sang dosen baru. Namun belum sempat mengeluarkan sepatah katapun, matanya langsung membulat. “ELO?” serunya. tidak percaya.
            Sang dosen tersenyum tipis. “Ternyata selain tidak mempedulikan dosen baru, kamu juga terbiasa mengucapkan gue-elo kepada dosen? Hah?”
            Kali ini, Fanya menganga. “Elo dosen? Jangan becanda, deh! Elo bukannya ke sini buat kerja? Lo bukan dosen, kan?” Ia berdiri dari duduknya. Sukses membuat kelas hening dan semua tatapan mata tertuju ke arahnya.
            “Kamu pikir dosen itu bukan sebuah pekerjaan, saudari Zefanya Karenina Wirawan?” balas sang dosen. Ia melipat tangannya di depan dada.
            Fanya mendengus. Kesal. Mana mungkin?
            Belum sempat mengeluarkan kalimat selanjutnya, Haykal sudah berjalan ke whiteboard. Lalu menuliskan sesuatu di sana. dr. Haykal Pradipta Saputra, S.Ked. “Ini nama lengkap saya. Kalian boleh memanggil saya Dokter Haykal. Tapi kalau kita bertemu di luar wilayah kampus, kalian bisa memanggil saya Kak Haykal. Atau mungkin, ada yang mau menyebut saya ‘elo’ seperti yang dilakukan Fanya?” ucap lelaki berkacamata itu lantang.
            Lagi-lagi, seisi kelas menatap ke arah Fanya yang sudah siap melahap dosen di depannya tersebut. Kedua tangannya sudah terkepal di atas meja.
            “Nya, lo kenal sama dia?” lirih Tyas. Agak ngeri dengan ekspresi sahabatnya sekarang.
            “Do you still remember about our conversation a few minutes ago?” Fanya balik bertanya. Tatapannya tetap melekat pada sosok Haykal. “Actually, he’s my big problem!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar