Dunia ini memang penuh dengan kebetulan. Tapi entah sesuai takdir Tuhan atau bukan.
Fanya
membalas senyum pelayan yang baru saja membawakan pesanan. Lalu mulai meracik
bumbu ke dalam kuah baksonya. Gara-gara Haykal harus menemui dekan, jadilah
mereka makan siang sesore ini.
“Jadi Dokter Sheila minta kamu ngegantiin dia di acara
penyuluhan nanti?” tanya lelaki yang sedang mengaduk mie kering itu.
Siang tadi, Dokter Sheila menemui dokter ganteng tersebut
untuk mengurus jadwal KKN Fanya agar dipindahkan ke hari lain karena ia meminta
gadis itu mengikuti penyuluhan kesehatan di salah satu daerah. Tanpa pikir
panjang, Haykal langsung mengiyakannya mengingat ia pun akan pergi ke daerah
penyuluhan yang tidak lain dan tidak bukan adalah tempat tinggal mamanya.
Yang ditanya hanya mengangguk pelan tanpa mengalihkan
pandangan dari mangkuk di depannya.
“Aku seneng, deh. Berarti kita bisa sekalian ketemu Mama.
Dia pasti kangen banget sama kamu.”
Fanya mengangguk kuat-kuat. “Aku juga udah kangen banget
sama Mama. Sekalian mau belajar masak. Kata Mama, aku mau diajarin masak
makanan kesukaan kamu,” jelasnya berapi-api. “Emang kamu suka makan apa, sih?”
Kedua mata perempuan itu membesar. Penuh tanya, dan rasa penasaran.
Haykal tersenyum getir. Menyadari tunangan yang sangat ia
cintai sudah melupakan segala hal tentangnya malah
membuatnya semakin sakit. Walaupun ia harus cepat-cepat menerima kenyataan,
bahwa semua ini bukan kemauan Fanya.
Tiba-tiba di tengah keheningan yang tercipta, Fanya
meringis sambil meremas rambut panjangnya.
Lelaki di hadapannya buru-buru meraih jemari Fanya dengan
panik. “Kamu kenapa, sayang? Apanya yang sakit? Kamu lupa minum obat lagi?”
Perempuan itu tidak menjawab. Di kepalanya terputar
beberapa potong peristiwa yang tiba-tiba hadir dan silih berganti. Seakan
berebutan masuk ke dalam memorinya.
***
“Kamu kayaknya
serius banget,” suara Haykal. Ia terlihat sedang memeluk pinggang Fanya dari
belakang. Tepat di depan kompor berisi panci dan wajan yang sedang ditekuni
tunangannya.
“Aku kan mau jadi
istri yang baik. Jadi aku bakal bikin ayam rica-rica sama sayur sup paling enak
sedunia.”
“Emang makanan
buatan kamu bakal lebih enak dari masakan Mama? Yakin?” Lelaki itu sedang
membenamkan wajahnya di leher Fanya, di antara helaian rambutnya yang dibiarkan
tergerai.
“We’ll see.”
Kemudian, mereka
tertawa bersama.
.....
“Gimana? Enak?”
Perempuan dengan mini dress bermotif anggrek putih tersebut duduk di depan
Haykal sambil menautkan kesepuluh jarinya di atas meja. Wajahnya terlihat
cemas.
Haykal memasukkan
sesendok nasi lengkap dengan potongan ayam rica-rica dan potongan kentang serta
wortel ke dalam mulutnya. Mengunyah sebentar, menerawang, mengerutkan dahi,
lalu mengalihkan tatapannya ke arah Fanya.
Fanya langsung
berubah tegang. Mulai dari raut wajah, hingga ke cara duduknya. “Kenapa? Rasanya...
aneh?”
Tatapan Haykal
masih setia melekat pada titik di depannya. Tanpa ekspresi. Sampai... “Kayaknya
sekarang aku bisa selingkuh dari masakan Mama yang udah setia nemenin aku 20
tahun ini.”
***
“Ayam rica-rica sama sayur sup,”
lirih Fanya di tengah ringisannya.
“Apa? Kamu kenapa, sayang?” Lelaki itu masih panik.
Beberapa menit yang lalu, ia mendapati tunangannya terdiam dengan raut yang
menahan rasa sakit sambil memejamkan kedua mata dengan erat dan meremas
rambutnya. Kemudian sekarang, perempuan yang dicintainya itu sedang meracau.
“Kamu... Suka... Ayam rica-rica... Sama sayur sup?” bisik
Fanya lagi. Kali ini, ia memandang Haykal dengan dahi berkerut.
Haykal mengangguk pelan. “Kamu tau darimana?” tanyanya
heran. “Kamu inget sesuatu?”
Giliran perempuan itu yang mengangguk.
Tapi baru saja hendak bertanya lebih banyak, Fanya sudah
ambruk ke pelukannya.
***
Fanya bangun keesokan harinya. Sejak pingsan kemarin
sore, tidurnya diramaikan oleh kepingan-kepingan masa lalu. Semuanya berisi
wajah Haykal. Namun saking banyaknya, ia sampai lupa apa saja isi mimpinya saat
sudah terjaga.
“Kamu udah bangun, sayang?”
Perempuan itu kontan menoleh ke sumber suara. Tempat sang
ibu berada.
“Alhamdulillah kalo kamu udah sadar. Sekarang gimana?
Kepala kamu masih sakit? Apa Ibu perlu panggilin Ayah sama Haykal?” lanjut
wanita setengah baya tersebut.
Fanya berusaha bangkit dan duduk sambil bersandar ke sisi
tempat tidurnya. “Gak usah, Bu. Aku malah ngerasa seger banget sekarang. Udah
lama aku gak tidur senyenyak dan selama ini.”
Ibu mengusap kepala putri semata wayangnya penuh rasa
sayang. Lalu, beliau tiba-tiba teringat sesuatu. “Oh, iya. Kamu berangkat jam
berapa, sayang?”
Alis Fanya kontan menyatu. “Berangkat? Emangnya aku mau
kemana, Bu?”
“Loh, bukannya Haykal bilang kalian mau ke rumah Mama
buat penyuluhan di puskesmas sana?”
Mendengar kata penyuluhan dan Mama, kerutan di dahi Fanya
sontak lenyap. “Ya ampun! Ini udah jam berapa, Bu? Aku belum siap-siap.
Perlengkapan buat seminggu belum di-pack. Aduh, Bu...” Ia langsung melompat
dari tempat tidur. Kemudian berlari pontang-panting memasuki kamar mandi di
sudut kamar, setelah sempat menendang kursi dan menyumpah tanpa sadar.
***
“Ada apa, Bu?” Haykal muncul di
depan pintu tepat saat Fanya menutup pintu kamar mandi dengan keras.
“Itu, tadi si Fanya heboh banget pas inget mau penyuluhan
ke tempat tinggal mama kamu. Sampe nendang kursi segala.” Ibu geleng-geleng
kepala. “Katanya dia belum packing, lagi. Ibu mau bantu sih, tapi Ibu sama Ayah
kan harus ke rumah sakit sekarang.”
“Ya udah, Bu. Biar aku aja yang nyiapin semuanya.
Kebetulan aku juga udah selesai packing.”
***
Hal pertama yang dilakukan Fanya
saat mendapati sesosok tubuh tinggi menjulang di tepi tempat tidurnya adalah...
“Aaaaarrrrrrrgggghhhhh!!!”
Sosok yang tidak lain dan tidak bukan merupakan
tunangannya tersebut kontan menoleh seraya menutupi telinganya dengan kedua
tangan.
“Ngapain kamu di sini? Aku lagi mandi, tau!” serunya
lagi. Berbeda dengan Haykal, ia malah menyilangkan kedua tangannya di depan
dada. Menutupi bagian tubuh yang menonjol di balik balutan sehelai handuk.
Lelaki itu menurunkan tangannya perlahan. “Udah selesai
teriaknya? Kamu ini udah kayak tarzan, deh.” Ia kembali sibuk dengan tas besar
di tepi tempat tidur milik tunangannya.
“Kamu bilang apa? Aku kayak tarzan?” Mata Fanya kontan
membesar. Tidak terima. “Kalo aku tarzan, kamu apa? Pemerkosa yang masuk kamar
orang tanpa izin? Pas calon korbannya lagi mandi, iya?”
Haykal sontak berbalik dan menatap perempuan di depannya.
“Pemerkosa, hah?” tanyanya datar. Lalu melangkah pelan mendekati perempuan
dengan rambut basah dan tubuh seksi berhanduk putih itu.
Radar Fanya spontan menangkap sinyal mesum pada aksi
lelaki tersebut. “Jangan deket-deket! Aku bakal teriak, nih! Stop there!”
soraknya sambil mengacungkan telunjuk ke arah Haykal.
“Wanna scream? Okay, just do it. Asal kamu tau, Ayah sama
Ibu udah berangkat ke rumah sakit pas kamu lagi mandi. Jadi sampe pita suara
kamu putus sekalipun, gak ada yang bakal nolong kamu, sayang.” Haykal
mempersempit jarak dengan langkahnya yang besar.
Tubuh Fanya menegang di hadapannya.
“Kenapa? Takut? Bukannya kamu sendiri yang ngatain aku
pemerkosa?” Jarak mereka sudah kurang dari satu meter sekarang. “Kalo kamu
berani nyebut aku kayak gitu, aku lebih berani lagi ngebuktiinnya. Are you
ready, darling?”
Baru saja Fanya hendak mencari alat yang bisa menghalangi
langkah lelaki mesum ini, dua tangan kokoh sudah mengurung dirinya yang
bersandar di tembok samping pintu kamar mandi.
Haykal tersenyum penuh kemenangan ketika mendapati wajah
tunangannya langsung memucat. Ia malah mendekatkan wajahnya, menutup mata, dan
menghirup aroma di depannya. Wangi shampoo, sabun mandi, juga pasta gigi khas
wanita berbaur menjadi satu. “Oh, damn! I miss this smell,” bisiknya tepat di
telinga kiri Fanya. Sengaja menciptakan sensasi geli di sana.
“Kal, kamu jangan macem-macem, ya! Aku... mau nikah dalam
keadaan suci,” balas Fanya. Suaranya terputus-putus karena ngeri.
Lelaki itu tertawa pelan. “Fanya sayang, kamu pikir aku
bisa janji gak macem-macem kalo ngeliat kamu kayak gini?” Ia menelusuri tiap
lekuk tubuh di hadapannya dengan pandangan penuh nafsu. “Aku bahkan yakin kamu
gak pake underwear apapun di sini,” lanjutnya sambil merapatkan tubuh mereka.
“Haykal, ka-kamu ma-mau apa, sih? Ja-jangan bikin a-aku
ta-takut...” Fanya sudah memejamkan kedua matanya rapat-rapat. Tidak berani
melihat ekspresi keji tunangannya. Ia bahkan bersumpah akan benar-benar
memutuskan hubungan mereka kalau sampai terjadi hal yang tidak diinginkan.
Dalam hati, tentunya.
Hening sesaat.
Hingga...
“Hahahahaha...” Tawa Haykal pecah ke udara. Ia sampai
harus memegangi perut dengan tangan kanan dan menepuk-nepuk pahanya sendiri
menggunakan tangan kiri saking geli.
“HAYKAL PRADIPTA SAPUTRA! MAKSUD KAMU APA , HAH?” teriak Fanya saat menyadari lelaki
berkaos biru langit tersebut menertawainya sampai hampir menangis.
“Kamu... Hahaha... Kamu lucu banget, sayang. Hahaha...
kamu harus liat gimana ekspresi kamu tadi. Udah kayak ayam mau dipotong, tau
gak! Hahaha...” Lelaki itu masih tergelak bahagia. Tanpa sadar perubahan raut
perempuan di depannya.
***
“Mana mungkin aku mau nyium kamu di depan banyak
orang? Kamu pikir aku bakalan biarin orang-orang liat gimana asiknya
ngenikmatin bibir kamu yang seksi ini?”
“Kamu gila! Pokoknya aku benci sama kamu! Sebel!
Huh!”
“Hahaha... Kamu harus liat gimana ekspesi kamu tadi.
Udah kayak ayam mau dipotong, tau gak! Hahaha...”
***
“Auw!”
Tiba-tiba, Fanya memegangi kepalanya dengan erat. Setelah sebuah peristiwa tiba-tiba memaksa masuk ke dalam
ingatannya.
Haykal sontak
menghentikan tawa. “Sayang, kamu kenapa? Kepalanya sakit lagi?” paniknya seraya
membantu memijat kepala perempuan tersebut.
Fanya menggeleng
pelan. “Udah mendingan, kok.” Ia menjauhkan jemari Haykal dari tubuhnya. Masih
trauma dengan sikap tunangannya barusan.
“Ya udah. Kamu
buruan pake baju. Perlengkapan buat seminggu udah aku siapin. Soalnya tadi Ibu
udah mau berangkat dan katanya kamu belum packing. Jadi aku bantu.”
Perempuan yang
masih mengenakan handuk itu bergeming. Membuat lelaki di hadapannya mengerutkan
kening.
“Trus ngapain
bengong gitu? Ini udah siang. Kamu mau ditinggalin sama rombongan?” Akhirnya
Haykal yang buka suara pertama kali.
“HEH! HARUSNYA
AKU YANG NANYA! BUKANNYA TADI KAMU NYURUH AKU GANTI BAJU? TRUS NGAPAIN KAMUNYA
MASIH DI SINI? KELUAR!!!”
Haykal
cengengesan mendengar teriakan tunangannya. Lalu berbalik, hendak melangkah ke
arah pintu. Namun dalam hitungan detik, ia membuat gerakan tidak terbaca.
CUP!
Fanya mematung.
Shock.
Lelaki tersebut
buru-buru berlari ke luar kamar dengan tawa mengambang di udara.
Saat kesadaran
perempuan itu kembali, ia meraba bibirnya. Tidak percaya telah kecolongan.
“HAYKAAAL! DASAR TUKANG NGAMBIL KESEMPATAAAN!!!” soraknya sembari menutup pintu
kamar dengan keras. Tak lupa menguncinya.
“Itu morning
kiss, sayang...” Haykal balas berteriak dari dalam kamarnya yang terletak tepat
di seberang kamar Fanya.
Fanya mencibir
sejenak. Kemudian membuka lemari pakaian dengan segenap emosi yang tersisa.
Saat menemukan
kemeja dan rok panjang yang akan dikenakannya, ia melirik tas besar berisi
pakaian yang tergeletak di tepi tempat tidur.
Haykal yang nyiapin semua ini, ya? batinnya seraya
membuka tas biru toska tersebut dan melihat isinya. Seketika, matanya membulat.
Di tumpukan pakaian yang paling atas, ada sebuah tas kecil bermotif tribal yang
memang selalu ia gunakan saat bepergian untuk menyimpan... pakaian dalam. Dan
kini, tas tersebut sudah terisi beberapa pasang pakaian dalam miliknya.
Kata-kata Haykal
tadi kembali terngiang. “Perlengkapan buat seminggu udah aku siapin.
Soalnya tadi Ibu udah mau berangkat dan katanya kamu belum packing. Jadi aku
bantu.”
Membayangkan
pakaian dalamnya dijamah oleh tangan laki-laki membuatnya bergidik ngeri. Lalu
menggeleng sekuat tenaga. Mengenyahkan senyum mesum Haykal yang mengejek di
dalam kepala.
***
“Tyas!” seru Fanya sambil berlari
menghampiri sahabatnya yang terlihat manis dengan mini dress bermotif mawar
kuning dan rambut yang dikuncir
rapi sedang berdiri di samping bus Fakultas Kedokteran.
Tyas spontan
menoleh. Kemudian menatap perempuan berkemeja putih dan rok panjang merah muda
tersebut sudah berada di sampingnya. “Lo darimana aja, sih? Lama banget.”
“Sorry. Gue
telat bangun soalnya.” Fanya cengengesan.
“Adik-adik,
silakan masuk ke dalam bus masing-masing. Kita berangkat sekarang,” suara
Dokter Tio –dokter muda yang menjadi koordinator acara ini– melalui TOA di
genggamannya.
“Lo satu bus sama gue, kan? Farhan juga di
sana, loh...” tanya Tyas. Entah bermaksud apa.
Baru saja
perempuan itu hendak menjawab, sebuah suara langsung menyela. “Zefanya, kamu
ngapain masih di sini? Kita kan udah mau berangkat.”
Fanya berbalik
dan menemukan sang tunangan sudah berdiri di belakang tubuh mungilnya.
“Dokter
Haykal...”
Sontak, Fanya
mengalihkan perhatiannya lagi saat
menyadari pemilik suara lembut tersebut. Dokter Ita.
Haykal ikut
menoleh. “Ada apa, Dokter?”
“Dokter bawa
mobil sendiri, kan?”
Lelaki itu
mengangguk pelan dengan raut heran.
“Saya bisa ikut
di mobil Dokter? Saya gak bawa mobil soalnya,” ujar Dokter Ita. Lengkap dengan
senyuman manis.
Haykal memandang
Fanya, seakan meminta persetujuan. Yang dipandang hanya mengendikkan bahu, acuh
tak acuh.
“Hmm boleh sih,
Dok. Tapi kita bertiga sama Fanya. Gak pa-pa, kan?”
“Fanya?”
Perempuan dengan long dress hijau dibalut jas dokter tersebut terdengar shock.
“Bukannya mahasiswi sudah disediakan bus dari fakultas, ya?”
“Iya, tapi dia
kan... tunangan saya, Dok. Lagipula, alasan saya bawa mobil pribadi karna ada
dia juga. Dia gak terbiasa disupirin sama orang lain sejak kecelakaan dulu.”
“Dokter Haykal,
biar bagaimanapun Fanya itu kan masih berstatus mahasiswi di sini. Dokter mau
kalo dosen-dosen atau mahasiswa yang lain heran? Atau ngerasa ada nepotisme di
kampus kita?”
Kedua alis Fanya
kontan menyatu. Apa-apaan, nih? Kenapa
pake acara bawa-bawa nepotisme segala? batinnya. Ia lalu mendapati beberapa
pasang mata mulai tertarik pada pembicaraan dua dokter di hadapannya.
“Dokter Haykal,
sebenarnya Dokter Ita bener juga. Aku kan udah bilang daritadi, aku mau naik
bus aja bareng Tyas.” Fanya buka suara. Mengingat perdebatannya dengan Haykal
sebelum berangkat. Dan ia harus mengalah setelah mengajukan syarat agar lelaki
itu tidak menggodanya sepanjang penyuluhan nanti.
“Enggak boleh.
Aku gak mau kamu naik kendaraan umum. Orangtua kamu kan pesen biar aku jagain
kamu. Tadi kamu juga udah setuju pergi bareng aku,” tolak Haykal. Rahangnya
mengeras.
“Itu kan tadi.
Sekarang aku udah berubah pikiran. Dokter Haykal naik mobil aja, kan ada Dokter
Ita yang nemenin. Aku mau naik bus. Yuk!” Fanya langsung menarik pergelangan
tangan Tyas tanpa menunggu balasan Haykal.
“Nya! Zefanya!”
teriak lelaki berkaos biru langit dan celana jeans biru dongker itu. Namun baru
saja berniat menyusul dan menggiring tunangannya untuk turun dari bus, sebuah
sentuhan lembut menahannya.
“Dokter, ini kan
udah siang. Gimana kalo kita berangkat sekarang?” ucap Dokter Ita, tanpa rasa
bersalah sedikitpun.
Haykal berdecak
kesal ketika menyadari bus yang ditempati Fanya sudah mulai melaju. Mau tak
mau, ia pun melangkah menuju mobilnya. Mendahului Dokter Ita.
Perempuan
berambut lurus kecoklatan tersebut mengikuti Haykal dengan wajah puas. Setelah
sebelumnya menyempatkan diri menoleh ke dalam bus tempat Fanya dan Tyas masuk
tadi. Lalu bertukar senyum dengan Farhan yang duduk di dekat jendela, tepat di
belakang Fanya. Senyum penuh arti. Senyum yang menjadi awal dari ‘kebahagiaan’
mereka.
***
Fanya
langsung buang muka saat mendapati mobil range rover sport milik Haykal berada
tepat di sebelah bus yang ia tempati. Membayangkan wajah Dokter Ita yang tersenyum
manis ke arah tunangannya, bermanja-manja, duduk bersebelahan, membuatnya ingin
mematahkan sesuatu sekarang juga.
Tiba-tiba,
sebuah jemari terulur dari belakang. Menyodorkan coklat almond kesukaannya. Ia
pun kontan menoleh. Lalu bertemu pandang dengan... “Farhan?”
Lelaki yang
terlihat santai dengan sweater abu-abu dan jeans hitam itu tersenyum
membalasnya. “Ini buat kamu.” Ia menggoyangkan tangan kanan, memberi isyarat
agar Fanya segera meraihnya.
Tanpa pikir
panjang, perempuan berambut ikal tersebut pun langsung mengambilnya. “Thankyou,
ya! Tau aja kalo aku lagi butuh mood booster,” ujarnya seraya membuka bungkus
coklat yang sudah berpindah ke genggamannya.
Farhan semakin
menyunggingkan kedua sudut bibir. “Aku kan masih inget semua tentang kamu dari
jaman SMP dulu.”
“Loh, buat gue
mana?” celetuk Tyas seraya menoleh ke belakang kursinya, tempat Farhan berada.
“Yah, gue cuma
bawa satu, Yas. Rejeki lo gak ada, sih.”
Tyas spontan
manyun. Kemudian mengembalikan posisi duduknya ke depan tanpa mempedulikan lelaki
itu lagi.
Fanya dan Farhan
tertawa bersamaan melihat aksi perempuan tersebut.
“Nih, buka
mulutnya. Aaa...” Fanya mengacungkan sepotong coklat di antara telunjuk dan ibu
jarinya ke bibir Tyas. Yang langsung disambut dengan senang hati olehnya.
“Eh, aku juga
dong! Masa aku yang ngasih tapi Tyas doang yang disuapin?” Farhan mencondongkan
tubuhnya ke depan. Lengkap dengan mulut terbuka lebar.
Tyas kontan
mencibir.
Fanya tertawa
pelan. “Iya, deh. Nih...” Ia pun menyuapi lelaki di belakangnya. Masih dengan
tawa geli. Berusaha melupakan kejadian sebelum berangkat tadi.
***
“Oh,
shit!” umpat Haykal pelan, sambil memukul stir di depannya.
“Dokter kenapa?”
tanya Dokter Ita, kedengaran kaget. Padahal ia sendiri ikut menyaksikan tingkah
Fanya dan Farhan melalui kaca bus yang transparan di sebelah mereka.
“Gak pa-pa, Dok.
Maaf, saya kelepasan.” Lelaki itu kembali memusatkan pandangannya ke depan. Ia
bahkan menyalip bus yang dikendarai Fanya. Tak mau berlama-lama melihat
tunangannya dekat dengan laki-laki lain.
“Di daerah
penyuluhan nanti, saya dengar Dokter dan Fanya akan menginap di rumah mamanya
Dokter Haykal, ya?” tanya Dokter Ita, mengalihkan pembicaraan.
“Iya, Dok.”
“Kira-kira saya
nginap dimana, ya?” Perempuan itu terlihat menerawang. “Semoga yang punya rumah
friendly, deh. Saya agak kikuk kalo sama orang baru soalnya.”
“Loh, bukannya
Dokter Tio udah ngasih tau nama-nama warga yang rumahnya akan kita tempati
nanti?” Haykal melirik perempuan itu sekilas.
“Iya, sih.”
“Trus, namanya
siapa, Dok? Kebetulan saya kenal hampir semua tetangga mama saya di sana. Siapa
tau saya bisa bantu ngenalin Dokter sama beliau.”
Dokter Ita
langsung merogoh isi tas tangan yang berada di pangkuannya. Kemudian
mengeluarkan handphone dan menekan beberapa tombol. “Nah, ini dia,” ucapnya saat
menemukan pesan singkat Dokter Tio semalam. “Namanya... Ibu Septiani.”
Kali ini, Haykal
sontak menoleh dengan ekspresi terkejut. “Ibu Septiani? Itu kan... mama saya!”
***
Fanya menuruni bus dengan wajah
kusut, khas baru bangun tidur. Rambut sepunggung miliknya dibiarkan
acak-acakan. Di belakangnya, sosok Farhan dan Tyas mengikuti.
“Fanyaaa!”
Seorang wanita berjilbab muncul dari dalam rumah bercat hijau-putih dengan
senyum mengembang.
Perempuan yang
merasa namanya dipanggil itu seketika menoleh. Senyumnya ikut mengembang saat
menyadari siapa yang meneriakkan namanya tadi. “Mamaaa!” Ia pun berlari dan
menghambur ke pelukan wanita yang tidak lain dan tidak bukan adalah Mama Haykal
tersebut.
Mama yang siang
itu mengenakan jilbab krem dan terusan coklat tua polos mengelus punggung calon
menantunya yang sedang beliau peluk. Kemudian melepaskannya beberapa saat
kemudian. “Gimana perjalanannya? Capek, ya?”
Fanya menggeleng
mantap. “Enggak kok, Ma. Kan mau ketemu sama Mama, jadi bawaannya semangat.”
“Aduh, sekarang
udah pinter ngegombal, ya!” Mama menjawil hidung perempuan itu, gemas.
“Ehem.”
Wanita berjilbab
tersebut langsung menoleh saat mendengar deheman yang khas itu. Milik putra
semata wayangnya. Membuat beliau kontan berbalik dan memeluk erat laki-laki
yang jelas lebih tinggi darinya tersebut.
Haykal
memeluknya dengan ekspresi datar. Begitupun ketika melepaskannya. “Aku
sebenarnya merasa tersakiti loh, Ma. Masa Mama gak nyadar anaknya nontonin
adegan temu kangen kalian?” gerutunya. Persis anak kecil yang sedang mengadu.
Mama terkekeh
pelan seraya menjitak kepala anaknya. Lalu, beliau merasa sesuatu yang ganjal.
“Kalian... ke sininya gak bareng, ya? Kok tadi Mama liat Fanya turun dari bus,
sih? Bukannya kamu bawa mobil?” tanyanya, mengungkapkan keheranan.
Haykal langsung
memandang Mama dan Fanya bergantian. Namun saat mengingat apa yang dilakukan
Fanya pada Farhan di bus tadi, rahangnya mengeras.
“Fanya kan
mahasiswi, Ma. Harus ngikutin peraturan kampus, jadi mau gak mau yaa mesti naik
bus sama temen-temen yang lain.” Perempuan itu yang menjawab. Lengkap dengan
senyum manis, namun tatapan menusuk ke arah seseorang yang berdiri tidak jauh
darinya.
***
Dokter Ita pura-pura tidak
melihat saat Fanya melemparkan tatapan sinis ke arahnya. Ia malah tertawa dalam
hati. Anak ingusan itu udah mau frontal
kayaknya. Liat aja selama
seminggu di sini. Kamu yang seneng, atau aku... bisiknya dalam hati.
Sembari menurunkan koper pakaiannya dari dalam mobil milik Haykal.
***
Fanya
menyeret kopernya dengan emosi. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa laki-laki
yang mengaku tunangannya ini bisa bersikap penuh perhatian pada perempuan lain.
Perempuan yang jelas-jelas sedang mencoba menarik perhatiannya. Entah tidak
peka, atau memang menikmatinya.
“Lo kenapa,
sih?” tanya Tyas sambil memasuki kamar yang ditunjukkan Mama Haykal tadi. Kamar
berwarna putih dengan aura nyaman.
“Gue sebel! Gila
aja! Gue dosa apa sih sampe harus serumah sama Dokter Ita? Gak mungkin
kebetulan gini. Dia pasti udah ngerencanain biar bisa serumah sama Haykal! Gue
yakin! Ck!”
Tyas meletakkan
tas miliknya ke depan pintu lemari besar di dalam sana. “Gue juga curiganya
kayak gitu. Kalaupun ini kebetulan, kemungkinannya kecil banget. Apalagi buat
Dokter Ita yang tadi aja udah usaha banget bikin lo gak semobil sama Dokter
Haykal.”
Perempuan
berambut ikal di depannya tidak menggubris. Ia malah sibuk merapikan beberapa
barang yang ia bawa ke atas meja kayu di samping tempat tidur.
“Eh, tapi... Kok
lo keliatan gak suka gitu, sih?” lanjut Tyas. “Jangan-jangan lo cemburu, ya?
Hayo, ngaku!”
Fanya spontan
menoleh. Wajahnya masih ditekuk. “Enak aja lo!”
“Trus, ngapain
daritadi ngomel gitu?” Perempuan berlesung pipi yang notabene adalah sahabatnya
itu terus menggoda.
“Ya... Gue gak
suka aja. Jadi dokter kok ganjen banget. Harusnya kan dia punya wibawa,
karisma, whatever-lah. Kalo lagaknya kayak gitu sih, kita-kita pasti jadi gak
respect lagi. Iya, kan?” Fanya menjawab dengan berapi-api.
Tyas tertawa
dalam hati. Mereka berdua sudah saling kenal tiga tahun terakhir ini. Jadi, ia
bahkan sudah bisa membedakan kejujuran dan kebohongan perempuan satu itu.
“Ngapain lo
senyum-senyum gak jelas gitu?” tanya Fanya. Masih dengan nada sewot.
“Siapa yang
senyum-senyum? Sok tau!” balas Tyas. Perempuan berlesung pipi tersebut
mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. “Ini kamar siapa, sih?” tanyanya
kemudian.
“Haykal.”
“What? Ini...
kamarnya Dokter Haykal? Trus ngapain kita tidur di sini? Emang gak ada kamar
lain?” Tyas kedengaran shock.
Fanya langsung
berbaring di atas tempat tidur dengan wajah penuh keletihan. “Gue gak suka
tidur di kamar tamu. Katanya dari dulu emang kayak gitu. Eh, malah kebawa sampe
pas amnesia gini . Mungkin karna kamar tamu jarang dipake kali, ya? Bawaannya
horor, sih.”
“Eh, jadi ntar
kita tidur sama Dokter Ita juga?” Tyas ikut berbaring di sebelah kanan
sahabatnya.
“Iya juga, ya?”
Fanya mendengus kesal. “Kenapa dia mesti tinggal di sini juga, sih? Ck!”
***
“Fanya?”
Perempuan yang
kini sudah mengenakan piyama bergambar chasper tersebut kontan menoleh.
Memastikan penglihatannya sejenak, lalu... “Farhan? Kamu tinggal di sini juga?”
Farhan yang juga
sudah mengenakan pakaian santai tersenyum tipis. “Iya, nih. Kebetulan banget.”
“Kebetulan apa
kebetulan?” Sebuah suara muncul dari arah dalam rumah.
Fanya dan Farhan
menoleh bersamaan. Kemudian mendapati lelaki tinggi berkulit kecoklatan sedang
berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana kargo yang ia kenakan.
Kacamata bening masih setia menghiasi kedua mata teduh miliknya.
“Saya shock
banget loh denger kata kebetulan hari ini,” sindir lelaki yang tidak lain dan
tidak bukan adalah Haykal tersebut. “Kebetulan gabung di acara penyuluhan ini,
kebetulan satu bus sama Fanya, sampe kebetulan nginap di rumah saya. Kebetulan
ternyata bisa datang terus-terusan ke kamu, ya?” lanjutnya dengan tatapan
tajam. Tentu saja ke arah Farhan.
“Bukannya dunia
ini emang penuh sama kebetulan, ya?” timpal Fanya. Ekor matanya melirik
perempuan lain yang juga baru muncul dari dalam kamar.
Perempuan yang
merupakan Dokter Ita itu menghentikan langkahnya tepat di sebelah Haykal.
Dengan piyama putih bergambar teddy bear. Menghadap Fanya dan Farhan di
depannya.
“Maksud kamu
apa?” tanya Dokter Ita. Tersinggung akan kalimat terakhir yang didengarnya saat
tiba di ruang tengah rumah Haykal.
“Gak pa-pa kok,
Dok. Saya cuma ngomongin fakta tentang kebetulan,” balas Fanya. Ia berdiri
dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Ekspresinya masih kesal. Mengingat
bayang-bayang Dokter Ita di mobil Haykal siang tadi.
“Kamu kenapa?
Sejak kapan cara bicara kamu jutek gitu sama dosen?” tegur Haykal. Merasa tidak
enak hati atas sikap tunangannya barusan.
“Aku kenapa?
Perasaan biasa aja, deh.”
“Fanya, cara
bicara kamu itu dipelanin dikit. Kesannya gak sopan banget,” ucap Haykal lagi.
“Mau-mau aku,
dong! Ini kan suaraku. Aku bukan putri keraton yang ngomongnya harus lembut
terus!” seru Fanya, antara emosi dan frustasi.
“Fanya! Kamu
tuh–”
“Dokter Haykal,
gak pa-pa, kok.” Dokter Ita langsung menyela sambil memegang lengan kiri milik
lelaki di sebelahnya.
Mata Fanya
sontak dibuat melebar mendapati kejadian di depannya tersebut. What? Yang barusan itu... Haykal... Lebih
ngebelain perempuan lain dibanding aku? geramnya dalam hati. Lalu buru-buru
meninggalkan ruang tengah dengan segenap emosi.
“Fanya! Kamu mau
kemana?” adalah teriakan terakhir dari Haykal yang ia dengar sebelum keluar
dari rumah.