Selasa, 17 Februari 2015

Dear Future Husband...



Dear future husband...

Halo. Hai. Assalamu alaikum.

Hmmm, maafkan aku yang memang tidak pandai menyapa terlebih dahulu. Mungkin saat kita pertama bertemu nanti, entah lewat keluarga, teman, atau malah mantan pacar, aku hanya melirikmu dengan kikuk. Ya, aku bukan orang yang pandai berbasa-basi. Butuh waktu yang lama untukku dekat dengan seseorang. Kuharap saat kita bertemu nanti, kamu mengerti. Itu pun kalau kamu orang baru, bukan kekasihku sekarang atau seseorang yang pernah kusapa dengan panggilan sayang dahulu.

Calon suamiku, sekarang aku hanya ingin meminta maaf dulu. Karena saat kita bersama nanti, kamu akan dihadapkan dengan perempuan paling egois yang akan kamu temani sampai akhir hidup nanti. Aku senang jika kamu membiarkanku menang atas segala sesuatu. Untuk pilihan warna dinding kamar, untuk motif gorden ruang tamu, untuk model seprai, atau restoran mana yang akan sesekali kita datangi.

Kamu juga harus tahu, aku bukan tipe orang yang gampang akrab dengan orang lain. Besar kemungkinan aku akan berubah pendiam di depan keluargamu, atau suaraku mencicit. Kuharap kalau keluarga atau teman-teman dekatmu mengeluh, kamu ada di sana dan menjawab, “Dia memang pendiam. Tapi kalau sudah dekat, aslinya cerewet, kok.” Pokoknya, apapun yang dikeluhkan orang-orang terdekatmu tentangku, aku tahu kamu pasti akan membelaku kalau kamu benar-benar mencintaiku, kan?

Aku belum bisa memasak, by the way. Tapi nasi goreng buatanku bisa membuat siapapun menagihnya lagi setelah sekali mencicipi (asal kamu suka asin dan pedas sekaligus). Semoga sebelum kamu memutuskan menjadikanku istri, aku sudah bisa membuatkan makanan kesukaanmu. Untuk yang satu itu, aku akan berusaha dengan tekun. Tenang saja.

Apa kamu tipe pekerja keras? Walaupun aku sudah terbiasa hidup sederhana, aku ingin kehidupan keluargaku nanti tercukupi. Aku juga akan bekerja, asal kamu mengizinkan. Bukan karena gajimu tidak membuatku puas, bukan. Aku memang ingin bekerja dari dulu, kok. Masalah rumah dan anak, nanti kita bicarakan lebih rinci.

Kalau kamu pulang bekerja, aku mohon... jangan sekali-sekali membawa pekerjaan sampai rumah. Aku ingin rumah dijadikan tempat beristirahat, dan kita bisa memiliki waktu yang berkualitas bersama-sama. Aku juga akan mencari pekerjaan yang membuatku bisa berada di rumah sebelum kamu berangkat kerja, dan pulang sebelum kamu sudah ada di rumah. Nikmat mana lagi yang bisa ditolak suami kalau disambut istri sepulang bekerja, kan?

Oh, iya. Aku suka liburan. Setiap bulan nanti, mari kita liburan bersama-sama. Atau paling tidak, dua bulan sekali. Kita bisa mendatangi tempat-tempat liburan di Sulawesi Selatan. Lalu kalau ada waktu lebih banyak, kita bisa liburan keliling Indonesia. Kalau bisa, ke luar negeri sesekali. Semoga impianku untuk keliling dunia bisa terwujud denganmu, dan anak-anak kita nanti.

Kamu mau anak berapa? Tunggu, aku tertawa dulu. Lucu juga ya, membicarakan hal ini dengan orang yang bahkan aku tak tahu siapa. Ngomong-ngomong, aku mau tiga anak. Banyak, ya? Dua juga tidak apa, asal tidak satu. Aku sudah merasakan jadi anak tunggal soalnya, dan kesepian itu tidak enak.

Surprise! Perempuan manapun pasti senang dengan kejutan. Bolehlah, sekali-dua kali kamu datang dengan buket bunga, atau buku, atau kue kesukaanku, walau bukan di hari spesial. Aku selalu membayangkan; saat sibuk di dapur atau menemani anak-anak bermain, kamu memasuki rumah diam-diam, lalu memelukku dari belakang sambil memegang bunga. Ah, sepertinya aku terlalu banyak membaca buku dan menonton drama Korea. Oke, lupakan saja.

Kalau nanti aku masih suka ngambek seperti sekarang, kamu jangan memarahiku, ya. Biasanya, aku akan menyakitimu—secara fisik—untuk meluapkan amarahku. Setelah itu, gantian aku yang merasa bersalah dan balik membanjirimu dengan cium dan peluk. Ya, seperti itulah aku. Apalagi di waktu-waktu PMS. Jadi, semoga kamu bisa menjadi suami yang sabar.

Jika kita bertengkar hebat, aku meminta dengan sangat jangan sampai kamu menceritakannya pada orang lain. Bagaimanapun, masalah di dalam rumah kita harus diselesaikan di sana juga. Tidak boleh ada orang lain yang ikut campur, apalagi keluarga sendiri. Aku tidak tanggung jawab kalau mereka menginginkan kita berpisah, lalu aku menyanggupi. Ya, aku tidak bisa berpikir jernih kalau sedang emosi. Dan perpisahan adalah momok paling menyeramkan dalam keluarga yang kutahu, dan tidak akan pernah ingin aku lalui.

Aku gampang menangis di depan orang yang benar-benar aku sayang. Karena kamu suamiku, jadi jangan heran kalau aku bisa menangis hanya karena kamu tinggal tidur duluan atau tidak kamu telepon seharian. Kalau sudah seperti itu, kamu jangan malah memarahiku, ya. Cukup usap kepalaku, kemudian memelukku dengan erat. Aku juga suka dicium, kok. Tenang saja. Haha.

Kalau nanti kita kehabisan bahan obrolan atau terlalu lelah seharian, aku malah akan senang jika kita berbaring di atas tempat tidur dalam diam. Aku akan melekatkan kepalaku di dadamu, dan kamu akan sesekali menciumi puncak kepalaku. Begitu saja, sampai kita tertidur pulas.

Mungkin aku bukan pacar yang baik (kalau kita sempat berpacaran), tapi insyaAllah aku akan menjadi istri terbaik untukmu. Membangunkanmu untuk berangkat bekerja, menyiapkan air hangat kalau kamu benci mandi dengan air dingin, menyiapkan pakaian dan peralatan yang akan kamu bawa, membuatkanmu sarapan, hingga mengantarkanmu sampai depan rumah. Juga merawatmu sepenuh hati kalau sedang sakit. Kalau sesekali aku tidak melakukannya dengan baik, mari kita tertawakan saja kebodohanku. Dan kuminta, jangan sekali-sekali membentakku. Karena semakin dibentak, aku bisa saja semakin menjadi pembangkang.

Aku berharap kamu pun bisa menjadi suami dan Bapak yang baik. Kamu bisa diandalkan untuk mendidik anak bersama, kan? Aku tidak mau anakku nanti takut dengan sosok seorang Bapak. Aku ingin Bapak dari anak-anakku bisa menjadi sahabat mereka sekaligus. Karena kalau aku sudah punya anak, kamu harus siap-siap aku nomorduakan. Bagaimanapun, kebutuhan mereka harus menjadi yang utama. Aku ingin mereka kritis dan tidak takut untuk mengeluarkan pendapat. Kecuali kalau kamu mau anak kita nanti mengidolakan orang lain, bukan kedua orantuanya.

Hmmm, kita bicara apa lagi, ya?

Mungkin untuk saat ini, begitu saja dulu. Semoga setelah membaca ini, kamu tetap ingin menjadikan perempuan paling egois dan banyak maunya ini sebagai istri. Hihi.
Sampai jumpa beberapa tahun lagi, calon suami.

Makassar, 15 Februari 2015, 16.23 WITA.
Ditulis dengan penuh cinta,



Calon istrimu.