Aku membenci diriku yang masih setia merapal namamu di akhir
doa, di setiap pertemuan rahasiaku dengan Tuhan. Namamu yang seharusnya tak
menjadi bagian dari kehidupanku lagi setelah kau memutuskan pergi dan
meninggalkan pertama kali.
Aku membenci diriku yang selalu membentangkan tangan,
menyambutmu datang—lagi-dan lagi—setelah menyakiti sesuka hati. Bodohkah?
Tidak, sayang. Ini namanya cinta. Kau akan mati rasa ketika ia yang berkuasa.
Kini, di bawah kuasamu, aku memasrahkan diri. Aku tak tahu
mencintai akan semenyenangkan ini. Menikmati gelenyar aneh dengan tatapan
tajammu yang mengawasi. Dari jarak sedekat ini, setelah sekian lama tak saling
memandangi, membuatku tak ingin berhenti. Kau menjelma sosok tak nyata yang
sewaktu-waktu bisa saja menghilang dalam sekali kedip, dan aku tak akan
membiarkannya terjadi. Tak apa mata perih, asal kau menyetia di sisi.
Peduli setan dengan komentar orang-orang yang mencacimu
karena memanfaatkan cintaku yang menggunung. Tak apa, sayang... nikmatilah
selagi aku masih mampu memuaskanmu. Apa ruginya mereka dibanding diriku yang
harus menahan rindu bertubi ditinggalkanmu? Mereka tahu apa tentangku? Mereka
hanya tahu menghujat dari kepercayaan pada indra penglihat, katamu dulu.
Tenang, sayang... lanjutkanlah pekerjaanmu dengan bibirku.
Aku pun enggan mengacuhkan bunyi gadget milikmu yang meramaikan kamarku.
Berniat menanyakan pengirimnya yang tak sabaran itu pun, aku tak mau. Asal kau
tetap berkonsentrasi padaku.
Mencinta dan disakiti diciptakan untuk menjadi satu. Kurasa
siapapun tahu itu. Aku tak peduli bagaimana akhirnya, ketika saat ini kau dan
aku sendiri sudah bersatu. Yang kutahu hanya melewatkannya dengan senang hati.
Bukan, bukan melewatkan, melainkan menikmati detik demi detik hingga bertemu
akhir. Bukankah proses memang yang lebih penting?
Sayang, malam sudah nyaris menjelma pagi ketika aku tetap
terjaga di bawah tatapan, deru napas, dan suara gadget milikmu yang meramaikan.
Katamu, kau tak ingin malam ini pergi meninggalkan. Apa kau puas dengan
perempuan yang lebih sering kau sakiti ini? Akankah kau balik mencintai? Tidak,
tak usah kau jawab. Pandangan tajammu pun lebih menyiratkan gejolak lelaki
normal daripada cinta itu sendiri.
Hingga salakan binatang penguasa malam berganti kokok
penyambut pagi pada akhirnya, aku harus menerima kenyataan kau harus
meninggalkanku—lagi. Purnama sudah ditelan gumpalan awan, dan kau harus pulang.
Entah purnama keberapa lagi kau akan datang. Entah berapa lembar kalender lagi
yang harus kubalik, menunggumu bertandang. Entah berapa banyak lagi gunjingan
diperuntukkan pada perempuan penanti jalang. Entah berapa tumpuk lagi rasa
sakit yang kau ciptakan dari rindu sekuat karang. Entah seberapa banyak lagi
doa yang kupanjatkan, agar purnama cepat datang. Untukmu, yang muncul hanya
saat purnama menyerang.