Selasa, 25 Februari 2014

Menunggu Purnama

Aku membenci diriku yang masih setia merapal namamu di akhir doa, di setiap pertemuan rahasiaku dengan Tuhan. Namamu yang seharusnya tak menjadi bagian dari kehidupanku lagi setelah kau memutuskan pergi dan meninggalkan pertama kali.
Aku membenci diriku yang selalu membentangkan tangan, menyambutmu datang—lagi-dan lagi—setelah menyakiti sesuka hati. Bodohkah? Tidak, sayang. Ini namanya cinta. Kau akan mati rasa ketika ia yang berkuasa.
Kini, di bawah kuasamu, aku memasrahkan diri. Aku tak tahu mencintai akan semenyenangkan ini. Menikmati gelenyar aneh dengan tatapan tajammu yang mengawasi. Dari jarak sedekat ini, setelah sekian lama tak saling memandangi, membuatku tak ingin berhenti. Kau menjelma sosok tak nyata yang sewaktu-waktu bisa saja menghilang dalam sekali kedip, dan aku tak akan membiarkannya terjadi. Tak apa mata perih, asal kau menyetia di sisi.
Peduli setan dengan komentar orang-orang yang mencacimu karena memanfaatkan cintaku yang menggunung. Tak apa, sayang... nikmatilah selagi aku masih mampu memuaskanmu. Apa ruginya mereka dibanding diriku yang harus menahan rindu bertubi ditinggalkanmu? Mereka tahu apa tentangku? Mereka hanya tahu menghujat dari kepercayaan pada indra penglihat, katamu dulu.
Tenang, sayang... lanjutkanlah pekerjaanmu dengan bibirku. Aku pun enggan mengacuhkan bunyi gadget milikmu yang meramaikan kamarku. Berniat menanyakan pengirimnya yang tak sabaran itu pun, aku tak mau. Asal kau tetap berkonsentrasi padaku.
Mencinta dan disakiti diciptakan untuk menjadi satu. Kurasa siapapun tahu itu. Aku tak peduli bagaimana akhirnya, ketika saat ini kau dan aku sendiri sudah bersatu. Yang kutahu hanya melewatkannya dengan senang hati. Bukan, bukan melewatkan, melainkan menikmati detik demi detik hingga bertemu akhir. Bukankah proses memang yang lebih penting?
Sayang, malam sudah nyaris menjelma pagi ketika aku tetap terjaga di bawah tatapan, deru napas, dan suara gadget milikmu yang meramaikan. Katamu, kau tak ingin malam ini pergi meninggalkan. Apa kau puas dengan perempuan yang lebih sering kau sakiti ini? Akankah kau balik mencintai? Tidak, tak usah kau jawab. Pandangan tajammu pun lebih menyiratkan gejolak lelaki normal daripada cinta itu sendiri.
Hingga salakan binatang penguasa malam berganti kokok penyambut pagi pada akhirnya, aku harus menerima kenyataan kau harus meninggalkanku—lagi. Purnama sudah ditelan gumpalan awan, dan kau harus pulang. Entah purnama keberapa lagi kau akan datang. Entah berapa lembar kalender lagi yang harus kubalik, menunggumu bertandang. Entah berapa banyak lagi gunjingan diperuntukkan pada perempuan penanti jalang. Entah berapa tumpuk lagi rasa sakit yang kau ciptakan dari rindu sekuat karang. Entah seberapa banyak lagi doa yang kupanjatkan, agar purnama cepat datang. Untukmu, yang muncul hanya saat purnama menyerang.


Minggu, 23 Februari 2014

Paragraf-paragraf Untukmu, dan Untuk Kalian.

Terima kasih pada kebetulan yang telah membuatku jatuh ke dalam pelukanmu. Yang membuatku pada akhirnya berani membuka diri yang selama ini terkunci dalam satu hati, bukan kamu tentunya. Yang membuatku memasrahkan jiwa dan raga hanya pada sosokmu. Yang membuatku menjadikan objek terakhir dalam setiap kalimat di paragraf pertama ini dengan pokok yang sama, kamu.
Terima kasih pada waktu, yang telah menciptakan sesuatu berawal cinta berakhir benci, pun sebaliknya. Yang menciptakan tawa dan tangis berganti secepat kedipan mata. Yang menciptakan pelangi setelah kemarau panjang. Yang menciptakan badai setelahnya, juga secepat embusan angin kencang.
Terima kasih pada dirimu, yang telah mengenalkanku arti cinta sepenuhnya. Yang mengenalkan rasanya cinta menguasai, sementara awalnya tak ada arti. Yang mengenalkan perasaan bersalah dari mengkhianati. Yang mengenalkanku jatuh-bangun mengejar hati.
Terima kasih pada takdir, yang telah mengajarkan bagaimana seharusnya menerima kenyataan. Yang mengajarkan hati untuk menentukan pilihan. Yang mengajarkan untuk bersabar, atas segala peristiwa memilukan. Yang mengajarkan melihat segala sesuatunya bukan hanya dari apa yang bisa dilihat mata, namun juga perasaan.
Terima kasih pada kalian, yang telah menyeduh benci sedemikian rupa dari bumbu kasih. Yang membuatku terbiasa menikmati lengkung dari sudut bibir yang menyimpan sakit hati. Yang tak pernah mengerti, seseorang yang kau sebut-sebut sahabat ini. Yang tak berbeda dengan dirinya yang kalian caci, sama-sama menoreh luka perih.
Kamu, kalian, terima kasih.

Jumat, 21 Februari 2014

Date a Girl Who Reads.

a quote by Rosemarie Urquico. the first time I read it, the first time I fall into it. 


“You should date a girl who reads.
Date a girl who reads. Date a girl who spends her money on books instead of clothes, who has problems with closet space because she has too many books. Date a girl who has a list of books she wants to read, who has had a library card since she was twelve.

Find a girl who reads. You’ll know that she does because she will always have an unread book in her bag. She’s the one lovingly looking over the shelves in the bookstore, the one who quietly cries out when she has found the book she wants. You see that weird chick sniffing the pages of an old book in a secondhand book shop? That’s the reader. They can never resist smelling the pages, especially when they are yellow and worn.

She’s the girl reading while waiting in that coffee shop down the street. If you take a peek at her mug, the non-dairy creamer is floating on top because she’s kind of engrossed already. Lost in a world of the author’s making. Sit down. She might give you a glare, as most girls who read do not like to be interrupted. Ask her if she likes the book.

Buy her another cup of coffee.

Let her know what you really think of Murakami. See if she got through the first chapter of Fellowship. Understand that if she says she understood James Joyce’s Ulysses she’s just saying that to sound intelligent. Ask her if she loves Alice or she would like to be Alice.

It’s easy to date a girl who reads. Give her books for her birthday, for Christmas, for anniversaries. Give her the gift of words, in poetry and in song. Give her Neruda, Pound, Sexton, Cummings. Let her know that you understand that words are love. Understand that she knows the difference between books and reality but by god, she’s going to try to make her life a little like her favorite book. It will never be your fault if she does.

She has to give it a shot somehow.

Lie to her. If she understands syntax, she will understand your need to lie. Behind words are other things: motivation, value, nuance, dialogue. It will not be the end of the world.

Fail her. Because a girl who reads knows that failure always leads up to the climax. Because girls who read understand that all things must come to end, but that you can always write a sequel. That you can begin again and again and still be the hero. That life is meant to have a villain or two.

Why be frightened of everything that you are not? Girls who read understand that people, like characters, develop. Except in the Twilight series.

If you find a girl who reads, keep her close. When you find her up at 2 AM clutching a book to her chest and weeping, make her a cup of tea and hold her. You may lose her for a couple of hours but she will always come back to you. She’ll talk as if the characters in the book are real, because for a while, they always are.

You will propose on a hot air balloon. Or during a rock concert. Or very casually next time she’s sick. Over Skype.

You will smile so hard you will wonder why your heart hasn’t burst and bled out all over your chest yet. You will write the story of your lives, have kids with strange names and even stranger tastes. She will introduce your children to the Cat in the Hat and Aslan, maybe in the same day. You will walk the winters of your old age together and she will recite Keats under her breath while you shake the snow off your boots.

Date a girl who reads because you deserve it. You deserve a girl who can give you the most colorful life imaginable. If you can only give her monotony, and stale hours and half-baked proposals, then you’re better off alone. If you want the world and the worlds beyond it, date a girl who reads.

Or better yet, date a girl who writes.”


Kamis, 13 Februari 2014

Pisah dan Temu

Aku tahu segala temu, akan menjadi pisah pada akhirnya
Seperti mentari yang ditelan laut kala senja
Kemudian esok hari kembali bersanding dengan awan cerah
Tetap ada, walau tak selamanya bersama

Aku tahu segala yang digenggam erat, akan lepas pada akhirnya
Seperti uap air dari laut yang dijaga awan sepenuh raga
Kemudian suatu hari akan luruh, kembali ke muara
Relakanlah, kita memang hanya perlu pulang di akhir hari yang lelah

 Aku tahu kita tak selalu tentang tawa
Seperti balita yang bahagia dengan lelucon sama
Dan kita yang bertahan walau disakiti dengan orang yang sama
Asal bahagia. Bahagiakah?

Aku tahu kita tak lebih dari orang-orang yang enggan berteman sunyi
Bersama, berpisah, mengumbar cinta, lalu saling membelakangi lagi
Tak kenal lelah, asal tak sendiri
Saling menyakiti, bertahan di lingkaran tak bertepi
Hanya karena membenci sepi. Bahagiakah ini?

Segala temu, harus berpisah
Tak peduli dengan bahagia
Masa bodoh dengan sepi pada akhirnya
Karena begitulah mestinya hukum semesta bekerja