Hai, kamu.
Satu angka baru saja
menyambut di penanggalan bulan terakhir tahun ini. Satu buku lagi akan kita
tutup kembali, tak lama lagi. Tapi apa kamu pernah membuka buku-buku lama, mencari
kesalahan untuk kauperbaiki di buku baru? Atau buku lama itu kaubiarkan
teronggok, haus perhatian, sementara kau sibuk menoreh kesalahan-kesalahan baru,
atau mungkin mengulang yang lama, untuk kemudian dipindahkan ke buku baru?
Hari ini, aku
terlibat pembicaraan dengan seorang sahabat, tentangmu yang senang mengulang salah
di matanya. Kamu, yang kepadanyalah kupercayakan sesuatu yang berharga untukku.
Kamu, yang gemar pergi, namun selalu menjadi yang pertama kali kembali. Kamu,
tempatku menyetia kini.
Bukan satu-dua orang
yang memintaku berpikir ulang tentang keputusanku memilihmu. Tentang kamu yang
sudah berkali-kali diberi kesempatan, lalu mengkhianati. Tentang kamu yang menjadi
satu-satunya alasanku berteman sedih. Tentang kamu, yang membuat mereka bosan
mendapatiku menyumpah atas salahmu, kemudian kembali mengelu-elukanmu pada akhirnya.
Tenang, aku tidak
menulis ini untuk menyalahkanmu. Kamu tahu? Aku bersedia berdebat dengan siapapun
yang menyangsikanmu—meragukan kesungguhanmu yang entah untuk keberapa kali berjanji
untuk tidak menyiakanku lagi.
Untuk berpaling dariku,
aku mengaku memiliki andil dalam dustamu itu. Aku yang terlalu egois, terlalu gampang
menyuarakan panas di hati, terlalu mudah menggerakkan jemari untuk menyakiti, dan
aku memaafkan kesalahanmu yang lalu tersebut.
Untuk beberapa
teman dekat yang sempat mengisi hari setiap aku sendiri, terima kasih. Terima kasih
untuk kebaikan, tawa, pengertian, dan menjadi sosok sempurna—yang kemudian kusadari
tak ada yang bisa menerimaku apa adanya selain kamu.
Untuk beberapa yang
bahkan masih nekat mendekati setelah aku dan kamu kembali, aku juga berterimakasih.
Karenanya, aku menyadari betapa kehadiran ini sangat dihargai.
Ada saat di mana aku—dan
mungkin beberapa sahabat kecewa—karena kamu yang pertama mengkhianati, lalu
kemudian sadar betapa aku sepertinya lebih mengecewakanmu karena telah begitu
mudah meladeni sosok lain. Karena selalu dibanjiri perhatian dari orang lain yang
kuterima dengan senang hati. Sementara di suatu tempat yang entah, bisa saja kamu
sedang membandingkanku dengan perempuan lain yang juga sedang kaudekati.
Maaf yang kuberi
percuma, berkali-kali, membawaku pada kemungkinan bahwa akulah yang sebenarnya
membutuhkan maaf itu, untuk diriku sendiri. Maaf karena selalu menjadi korban di
mata orang-orang, tanpa mereka sadari, bukan mustahil aku sedang tertawa bahagia
dengan lelucon lelaki lain sementara dirimu barangkali tengah mengabaikan
perempuan lain yang sibuk mencari perhatianmu—karena asyik memikirkan apa yang
pada saat itu baru saja aku lakukan.
Mereka, orang-orang
yang sering menyayangkan keputusanku untuk kembali padamu, tidak tahu bahwa dalam
beberapa hal, seharusnya akulah yang beruntung karena kamu masih memberi kesempatan
untuk bersama, lagi dan lagi.
Katanya, orang-orang
di luar lingkaran kita lebih tahu segala, karena mereka melihat, dan kita kerap
menutup mata serta telinga. Tidak salah, memang. Tapi yang harus orang-orang tahu,
kitalah yang merasakan. Kita yang sebenarnya lebih tahu apa alasan di balik
setiap keputusan. Dan kita—aku atau kamu—yang tahu kapan harus kembali, ataupun
berhenti.
Di sini, aku bukannya
menyalahkan setiap komentar sinis mereka tentang kebodohanku memilihmu lagi dan
lagi. Bukan. Aku hanya meminta mereka berhenti menghakimi, dan mendukung
keputusan orang yang menjalani. Kadang, kita memang sering gemas dengan hubungan
orang lain yang tidak sesuai pemikiran kita. Wajar. Tapi kita tidak memilih hak
untuk menentukan, karena kita sendiri memiliki masalah masing-masing, kan?
Ini, ada jawaban
untuk beberapa pertanyaan dari mereka yang sering membuatku merasa membuat
keputusan—yang anehnya untuk kebahagiaanku sendiri—tapi tidak mereka hargai
dengan pertanyaan yang... begitulah.
“Memang yakin pacaran
lama, terus jodohnya juga sama itu?”
Yang namanya sudah
pilihan sendiri, ya harus diyakini. Toh Allah juga yang menentukan. Aku bukan
orang yang merasa membuang-buang waktu untuk berhubungan lama denganmu, selama
kita meyakini pilihan ini dan memiliki tujuan akhir yang sama nanti.
“Kenapa nggak sama
si itu aja, yang lebih mapan dan ganteng.”
Ganteng itu relatif.
Dan aku yakin setiap orang sudah punya rezeki masing-masing. Kalau sekarang
belum mapan, insya Allah nanti. Roda berputar terus, kan?
“Kamu yang pacaran,
yang mau nikah nantinya, kenapa harus ikuti pendapat Mama yang katamu sudah kepalang
suka sama pacar yang ini?”
Pernah dengar kalau
firasat seorang Ibu untuk anaknya jarang meleset? Aku pernah memutuskan hubungan
dengan seseorang karena Mama tidak setuju. Kalaupun Mama memintaku berhenti
memperjuangkan empat tahun dengan lelaki ini, aku ikuti. Tapi untungnya, Mama
mendukung. Jadi, apa aku harus tetap berhenti?
“Kalian pacaran,
tapi jarang teleponan atau sms-an. Mending sekalian nggak punya pacar aja.”
Telepon, sms,
bbm, bertukar mention di twitter, saling sapa di facebook, dan memamerkan
kemesraan di media sosial tersebut sudah kami nikmati di tahun pertama hubungan.
Bukannya kita sudah cukup dewasa untuk saling tahu kesibukan masing-masing? Jadi,
saling mendoakan saja. Lebih pilih mana: dia menelepon tapi bisa saja sedang
bersama perempuan lain, atau dia yang tiba-tiba mengetuk pintu rumahmu di tengah
kesibukan hanya untuk mengobrol sebentar atau membawakan makanan kesukaan? Aku bukannya
memilih opsi kedua, hanya saja begitulah caranya membahagiakanku hingga sekarang.
“Kenapa nggak cepat-cepat
nikah? Kan sudah pacaran lama. Kan keluarga sudah saling tahu.”
Setiap pasangan,
menikah pasti sudah menjadi tujuan akhir. Bukannya menunda atau tidak mau, tapi—untungnya
lagi—aku dan dia sama-sama masih ingin menikmati masa muda. Kalau sudah menikah,
aku pastinya harus berbakti sepenuh hati ke suami. Aku sudah tidak bebas liburan
bersama kalian, mengiyakan setiap ajakan kalian ke manapun, dan mendengar cerita-cerita
kalian karena aku sudah sibuk berusaha menjadi istri soleha.
Hai, kamu.
Saat membaca ini,
kamu pasti bangga memilikiku. Mengaku saja, agar aku bahagia.
Terima kasih
untuk jarang berjanji, namun sering memberi bukti. Terima kasih telah menyediakan
telinga untuk setiap cerita-cerita yang tidak tahu harus kutumpahkan pada siapa
lagi. Terima kasih untuk menjadi saudara, sahabat, dan kekasih sekaligus. Dan,
terima kasih untuk mengerti.
Mari tutup telinga
untuk mereka yang belum sampai di tahap ini.