Rabu, 03 Desember 2014

Hai, kamu..., kalian....

Hai, kamu.

Satu angka baru saja menyambut di penanggalan bulan terakhir tahun ini. Satu buku lagi akan kita tutup kembali, tak lama lagi. Tapi apa kamu pernah membuka buku-buku lama, mencari kesalahan untuk kauperbaiki di buku baru? Atau buku lama itu kaubiarkan teronggok, haus perhatian, sementara kau sibuk menoreh kesalahan-kesalahan baru, atau mungkin mengulang yang lama, untuk kemudian dipindahkan ke buku baru?

Hari ini, aku terlibat pembicaraan dengan seorang sahabat, tentangmu yang senang mengulang salah di matanya. Kamu, yang kepadanyalah kupercayakan sesuatu yang berharga untukku. Kamu, yang gemar pergi, namun selalu menjadi yang pertama kali kembali. Kamu, tempatku menyetia kini.

Bukan satu-dua orang yang memintaku berpikir ulang tentang keputusanku memilihmu. Tentang kamu yang sudah berkali-kali diberi kesempatan, lalu mengkhianati. Tentang kamu yang menjadi satu-satunya alasanku berteman sedih. Tentang kamu, yang membuat mereka bosan mendapatiku menyumpah atas salahmu, kemudian kembali mengelu-elukanmu pada akhirnya.

Tenang, aku tidak menulis ini untuk menyalahkanmu. Kamu tahu? Aku bersedia berdebat dengan siapapun yang menyangsikanmu—meragukan kesungguhanmu yang entah untuk keberapa kali berjanji untuk tidak menyiakanku lagi.

Untuk berpaling dariku, aku mengaku memiliki andil dalam dustamu itu. Aku yang terlalu egois, terlalu gampang menyuarakan panas di hati, terlalu mudah menggerakkan jemari untuk menyakiti, dan aku memaafkan kesalahanmu yang lalu tersebut.

Untuk beberapa teman dekat yang sempat mengisi hari setiap aku sendiri, terima kasih. Terima kasih untuk kebaikan, tawa, pengertian, dan menjadi sosok sempurna—yang kemudian kusadari tak ada yang bisa menerimaku apa adanya selain kamu.

Untuk beberapa yang bahkan masih nekat mendekati setelah aku dan kamu kembali, aku juga berterimakasih. Karenanya, aku menyadari betapa kehadiran ini sangat dihargai.

Ada saat di mana aku—dan mungkin beberapa sahabat kecewa—karena kamu yang pertama mengkhianati, lalu kemudian sadar betapa aku sepertinya lebih mengecewakanmu karena telah begitu mudah meladeni sosok lain. Karena selalu dibanjiri perhatian dari orang lain yang kuterima dengan senang hati. Sementara di suatu tempat yang entah, bisa saja kamu sedang membandingkanku dengan perempuan lain yang juga sedang kaudekati.

Maaf yang kuberi percuma, berkali-kali, membawaku pada kemungkinan bahwa akulah yang sebenarnya membutuhkan maaf itu, untuk diriku sendiri. Maaf karena selalu menjadi korban di mata orang-orang, tanpa mereka sadari, bukan mustahil aku sedang tertawa bahagia dengan lelucon lelaki lain sementara dirimu barangkali tengah mengabaikan perempuan lain yang sibuk mencari perhatianmu—karena asyik memikirkan apa yang pada saat itu baru saja aku lakukan.

Mereka, orang-orang yang sering menyayangkan keputusanku untuk kembali padamu, tidak tahu bahwa dalam beberapa hal, seharusnya akulah yang beruntung karena kamu masih memberi kesempatan untuk bersama, lagi dan lagi.

Katanya, orang-orang di luar lingkaran kita lebih tahu segala, karena mereka melihat, dan kita kerap menutup mata serta telinga. Tidak salah, memang. Tapi yang harus orang-orang tahu, kitalah yang merasakan. Kita yang sebenarnya lebih tahu apa alasan di balik setiap keputusan. Dan kita—aku atau kamu—yang tahu kapan harus kembali, ataupun berhenti.

Di sini, aku bukannya menyalahkan setiap komentar sinis mereka tentang kebodohanku memilihmu lagi dan lagi. Bukan. Aku hanya meminta mereka berhenti menghakimi, dan mendukung keputusan orang yang menjalani. Kadang, kita memang sering gemas dengan hubungan orang lain yang tidak sesuai pemikiran kita. Wajar. Tapi kita tidak memilih hak untuk menentukan, karena kita sendiri memiliki masalah masing-masing, kan?



Ini, ada jawaban untuk beberapa pertanyaan dari mereka yang sering membuatku merasa membuat keputusan—yang anehnya untuk kebahagiaanku sendiri—tapi tidak mereka hargai dengan pertanyaan yang... begitulah.

“Memang yakin pacaran lama, terus jodohnya juga sama itu?”
Yang namanya sudah pilihan sendiri, ya harus diyakini. Toh Allah juga yang menentukan. Aku bukan orang yang merasa membuang-buang waktu untuk berhubungan lama denganmu, selama kita meyakini pilihan ini dan memiliki tujuan akhir yang sama nanti.

“Kenapa nggak sama si itu aja, yang lebih mapan dan ganteng.”
Ganteng itu relatif. Dan aku yakin setiap orang sudah punya rezeki masing-masing. Kalau sekarang belum mapan, insya Allah nanti. Roda berputar terus, kan?

“Kamu yang pacaran, yang mau nikah nantinya, kenapa harus ikuti pendapat Mama yang katamu sudah kepalang suka sama pacar yang ini?”
Pernah dengar kalau firasat seorang Ibu untuk anaknya jarang meleset? Aku pernah memutuskan hubungan dengan seseorang karena Mama tidak setuju. Kalaupun Mama memintaku berhenti memperjuangkan empat tahun dengan lelaki ini, aku ikuti. Tapi untungnya, Mama mendukung. Jadi, apa aku harus tetap berhenti?

“Kalian pacaran, tapi jarang teleponan atau sms-an. Mending sekalian nggak punya pacar aja.”
Telepon, sms, bbm, bertukar mention di twitter, saling sapa di facebook, dan memamerkan kemesraan di media sosial tersebut sudah kami nikmati di tahun pertama hubungan. Bukannya kita sudah cukup dewasa untuk saling tahu kesibukan masing-masing? Jadi, saling mendoakan saja. Lebih pilih mana: dia menelepon tapi bisa saja sedang bersama perempuan lain, atau dia yang tiba-tiba mengetuk pintu rumahmu di tengah kesibukan hanya untuk mengobrol sebentar atau membawakan makanan kesukaan? Aku bukannya memilih opsi kedua, hanya saja begitulah caranya membahagiakanku hingga sekarang.

“Kenapa nggak cepat-cepat nikah? Kan sudah pacaran lama. Kan keluarga sudah saling tahu.”
Setiap pasangan, menikah pasti sudah menjadi tujuan akhir. Bukannya menunda atau tidak mau, tapi—untungnya lagi—aku dan dia sama-sama masih ingin menikmati masa muda. Kalau sudah menikah, aku pastinya harus berbakti sepenuh hati ke suami. Aku sudah tidak bebas liburan bersama kalian, mengiyakan setiap ajakan kalian ke manapun, dan mendengar cerita-cerita kalian karena aku sudah sibuk berusaha menjadi istri soleha.

Hai, kamu.

Saat membaca ini, kamu pasti bangga memilikiku. Mengaku saja, agar aku bahagia.

Terima kasih untuk jarang berjanji, namun sering memberi bukti. Terima kasih telah menyediakan telinga untuk setiap cerita-cerita yang tidak tahu harus kutumpahkan pada siapa lagi. Terima kasih untuk menjadi saudara, sahabat, dan kekasih sekaligus. Dan, terima kasih untuk mengerti.

Mari tutup telinga untuk mereka yang belum sampai di tahap ini.

Rabu, 29 Oktober 2014

apa saja

aku selalu senang duduk di sini
menatap ombak menggoda jemari kaki
dengan toskanya yang genit
seakan meminta melupakan segala sakit

katamu, kamu mencintai laut
tempat teriakan sarat rindumu bersahut-sahut
sedang kala itu aku telanjur jatuh hati pada langit
dia selalu sanggup meredakan konflik antara logika dan hati yang sengit

di sini, aku tengah menikmati kesukaanmu
apa kamu mencintainya lebih dari rasamu pada perempuan itu?
kalau iya, aku bisa menjadi laut
tempatmu melupakan kalut

aku juga bisa menjadi langit
nanti kuajari kamu mencintainya juga
atau... kamu mau aku jadi apa?
asal bisa merasakan cinta darimu, aku bisa jadi apa saja.


Selasa, 21 Oktober 2014

Selamat, Mama.

21 Oktober 2014, 21.28 WITA

Mama, sudah keempat puluh delapan kalinya Mama melewati tanggal ini sepanjang hidup. Empat puluh delapan, bukan angka yang kecil dalam hitungan. Sudah sejauh ini, adakah yang masih mengganjal di hidup Mama? Atau... adakah harapan Mama yang belum terwujud? Karena aku, jika sudah seusia Mama nanti, berharap segala yang kutulis dan kugulung rapi di stoples berisi impian-impianku sudah menjelma nyata.

Mama, maaf karena di empat puluh delapan tahun hidup Mama, aku belum memberi sesuatu yang berarti, sesuatu yang membuat Mama bahagia sekaligus bangga sekali. Maaf karena telah menjadi satu-satunya anak yang lebih sering menyusahkan daripada menggembirakan. Maaf karena terlalu banyak mau, bahkan terkadang tak mengerti keadaan. Maaf karena tidak selalu ada, di akhir hari yang lelah maupun awal hari yang cerah. Maaf, maaf untuk segala salah dan keliru selama ini.

Mama, terima kasih karena di empat puluh delapan tahun hidup Mama, Mama telah menjadi ibu paling sempurna bagiku. Terima kasih karena mengerti tanpa perlu kujelaskan. Terima kasih karena selalu ada, walau aku masih abai. Terima kasih karena mengajarkanku kuat, walau kadang lewat kalimat demi kalimat yang tegas. Terima kasih karena telah mendidikku menjadi perempuan tegar, dan mandiri sehingga tak pernah menuntut banyak seperti anak tunggal yang manja di luar sana. Terima kasih karena sudah membesarkanku, memberiku segala tanpa mengharap lebih.

Mama, semoga masih ada empat puluh sembilan, bahkan sembilan puluh sembilan tahun untuk Mama. Untuk kita habiskan bersama. Untukku membuat Mama bangga, membuktikan bahwa segala kasih Mama dulu bisa kubalas dengan manis. Untukku melihat Mama menangis bangga dan semakin memamerkanku pada dunia. Untukku memberitahu, bahwa aku juga bisa sukses dengan jalan yang kupilih sendiri, dan impian-impian yang terwujud karena peluh diri. Untukku melihat Mama menghabiskan waktu dengan istirahat dan membiarkanku mengerjakan semua di rumah.

Mama, maaf untuk beberapa hal yang mungkin telah membuat kecewa. Maaf karena bukannya memberi ucapan dengan peluk hangat dan kecup di pipi, aku malah memilih menyendiri dan menulis surat yang belum Mama baca ini. Maaf karena menjadi anak satu-satunya yang tidak pernah menunjukkan cinta dengan gamblang seperti anak perempuan lain. Maaf karena aku lebih banyak diam, memendam, mencurahkan lewat tulisan, daripada menceritakan pada Mama segala kesah—mengharap peluk atau cium di dahi dengan pipi basah.

Mama, terima kasih untuk segala hal dalam dua puluh satu tahun hidupku, hidup perempuan yang hadir dari dalam diri Mama.

Selamat mengulang tanggal 21 Oktober, Mama. Selamat menikmati usia empat puluh delapan tahun. Suatu saat, bacalah ini, Ma. Karena aku mencintaimu lebih dari siapapun di dunia, lebih banyak dari jumlah kata yang dicipta dua puluh enam alfabet di bumi kita.


Sabtu, 18 Oktober 2014

I called it love, and you?

Jika kabar hanya deretan huruf yang menyuratkan rindu, sesulit itukah memberiku?
Jika kabar hanya tulisan abstrak dalam kertas kusut, sesusah itukah agar tak membiarkanku kalut?
Jika kabar hanya berisi, “Aku baik-baik saja,” sesukar itukah untuk membuatku lega?
Jika kabar hanya sekadar tentang menunggu, apa selama ini hanya aku yang merindu?

Kebersamaan kita yang awet hanya kisaran angka tanpa kabar
Aku yang kelihatannya selalu bahagia hanya bersembunyi dari kehausanku akan kabar
Kebersamaan yang berakar saling percaya, pada akhirnya juga membutuhkan kabar
Aku masih percaya bahwa jika kau merasakan rindu yang sama, kau pasti memberi kabar

Nyatanya?
Kabar hanya tentang deretan huruf dan dan tulisan di layar ponselmu

Sementara bagiku, bagi kami—perempuan, kabar adalah segala sesuatu tentang cinta
Tentang bagaimana kau merasa rindu yang sama
Tentang bagaimana kadar cinta yang juga kaupunya
Tentang bagaimana kau pun tak mampu menumpuk rasa untuk berjumpa
Tentang bagaimana kau menghargai hubungan yang tak melulu mengenai bertukar telepati di kepala
Bukan semata tentang saling percaya.

Jika kabar adalah saling percaya tanpa kabar darimu, apakah status kauanggap sebagai rantai agar aku terus di sisimu?
Kalau iya, terima kasih, karena kini kau berhasil membuatku tak ke mana-mana.

Tapi, izinkan aku mengingatkanmu—yang entah sudah keberapa kali
Bila suatu saat aku letih, tak usah bertanya mengapa aku pergi
Jika tiba-tiba ada yang menghujani perhatian, jangan heran karena aku meladeni
Mungkin pada saat itu, suatu hari nanti, yang masih entah, aku pasti akan berhenti.

Selasa, 07 Oktober 2014

Untukmu. Iya, kamu.

Untuk diriku... sepuluh tahun mendatang,

Malam ini, aku ingin berbicara dan memastikan suatu hal yang akan terjadi nanti saat usiamu sudah tiga puluh satu tahun. Sudahkah kamu menikah? Dengannya-kah? Belum? Ah, kau pasti kepalang bahagia dengan kebebasan yang disajikan kesendirianmu. Menikahlah, Feb. Suami adalah pintu surga bagimu, menurut sebuah hadist yang pernah kubaca.

Jangan menutup surat ini kalau kau benci melihatku membahas pernikahan. Tidak, aku tidak akan membahasnya kalau kau belum menikah.

Atau kau sudah disanding olehnya? Jadi... bagaimana? Bahagia-kah? Aku tersenyum membayangkanmu membaca ini nanti, saat usiamu sudah tiga puluh satu tahun. Sepuluh tahun lalu, kau masih perempuan kecil yang hobi mengkhayal dan berbicara pada diri sendiri, ingat?

Malam ini, 7 Oktober 2014, aku ingin berbincang denganmu, kalau-kalau kau lupa tentang sesuatu yang seharusnya sudah kamu miliki saat usiamu sudah tiga puluh satu tahun; rumah idaman.

Saat kau masih dua puluh satu tahun, kau hobi mengoleksi gambar dari google, terutama yang berkaitan dengan interior. Sedang tiga hal yang harus ada di gambar-gambar tersebut; rak buku, lampu gantung, dan warna seafoam. Adakah suamimu (atau calon suami) tahu tentang itu? Tentang keinginanmu sepuluh tahun lalu?



Panggilkan aku lelaki itu, biar kuberitahu lebih detail. Bahwa kau yang masih berumur dua puluh satu tahun, memimpikan rumah yang luas namun sederhana. Bukan luas dalam arti mewah, tapi lapang.

Lapang dengan halaman depan untuk menanami bunga dan pohon rindang, sedangkan halaman belakang berumput hijau untuk anak-anakmu puas bermain, atau pesta kebun untuk keluarga.

Lapang dengan jendela besar di mana-mana agar kau dan keluarga bisa akrab dengan ramahnya cahaya matahari, demi mengurangi penggunaan listrik di hari yang terik.

Lapang dengan ruang tamu yang nyaman nan hangat. Dua set sofa berbahan kulit dengan warna karamel atau kayu manis, dinding putih, foto keluarga berukuran besar dengan senyum bahagia di dalamnya, bunga di sudut ruangan, dan bingkai demi bingkai berisi foto di atas meja mini yang memuat beberapa buku di sudut lainnya.

Ruang tengah berdinding putih yang dikelilingi mebel kayu berukir, memuat koleksi guci atau barang antik pecah belah (aku selalu percaya perempuan yang sudah menjadi istri dan ibu akan mengoleksi sesuatu seperti itu), dan peralatan elektronik lengkap—agar kau dan keluarga tak menghabiskan waktu di luar rumah.

Ruang keluarga di lantai atas, berlapis karpet berbulu warna karamel atau kayu manis dengan dinding seafoam, lampu gantung berbagai bentuk dengan cahaya remang, rak buku unik berbentuk abstrak yang memenuhi dinding, atap dari kaca dengan pemandangan langit bersih di siang hari dan terpaan kilau bintang di malamnya—agar kau dan keluarga nyaman untuk bertukar cerita dan menghabiskan waktu.

Kamar tidur? Untuk yang satu ini, kuserahkan pada keputusanmu dan suami. Kalian yang akan menempatinya, kan?

Oh, iya, satu lagi hal penting dari dirimu yang masih dua puluh satu tahun. Sudahkah kauberitahu suamimu bahwa kau memimpikan sebuah ruangan sendiri? Tak usah terlalu luas, cukup bercat putih, polos, seperti anak kecil yang hanya tahu bermain dan tertawa, dengan sebuah stopkontak dan sofa persegi agar tubuh mungilmu bisa melemaskan otot. Untukmu membaca, menulis—semoga dunia belum merebut dewasamu dari kehidupan yang kaucinta, menyesap kopi, mendengar musik laun kala kau butuh tenang, nada mengentak saat kau ingin berteriak mencurahkan penat di kepala, atau sekadar rintik hujan yang mengetuk jendela karena diabaikan dunia. Ah, surga, bukan?

Di dalam ruangan ‘me-time’ milikmu tersebut, harus ada satu dari empat bagian dinding yang kaupenuhi dengan foto-foto dari kamera polaroid—atau setidaknya berukuran seperti itu. Tempel wajah-wajah penuh tawa dan kenangan manis di sana; kau, suami, anak-anak, mama, sahabat, teman kerja, semua orang yang kau sayang. Kalau kau keasyikan menikmati dunia sendiri di dalam ruangan itu, cukup menoleh ke sisi dinding yang dibanjiri potret tersebut dan ingat: keluarlah, ada dunia di luar sana yang menunggumu kembali.



Malam ini, aku yang tengah dipenuhi gamang karena tugas akhir kuliah, hanya butuh berbicara denganmu yang akan menjadi diriku sepuluh tahun lagi. Kau yang paling mengerti, yang paling setia mendengarku, yang paling percaya membicarakan rahasia padaku, yang paling kuandalkan untuk kehidupan di masa depan.

Mimpi tentang rumah idaman yang baru saja kuingatkan padamu, jangan hanya hidup di kepala. Selamat malam, aku (pasti akan) mencintaimu, sepuluh tahun mendatang.

Senin, 29 September 2014

Surat Balasan Untukmu yang Ingin Kukenal.

Hai, Erd. Sudah lewat sebulan lebih sejak aku menemukan suratmu di kotak masuk surelku. Aku ingat kala itu aku masih anak ibu yang pemalu dan selalu berpikir panjang sebelum membalas pesanmu, hingga akhirnya berubah menjadi perempuan yang hobi mencekikmu secara virtual. Ya, hanya lewat kata, karena jarak memisah kita dalam sekian ribu kilometer di peta Indonesia—yang skalanya sudah diubah agar kita terlihat tak terlalu jauh pada kenyataannya.

Aku sudah lupa bagaimana awalnya kita saling tahu, berkenalan, sampai memutuskan berkirim surat seperti ini. Tapi... sudahlah. Mungkin memang ada beberapa hal yang tak usah terus diingat, cukup dinikmati adanya saat ini.

Oh, iya. Maaf karena suratmu kubiarkan begitu saja selama hampir dua bulan. Kamu tahu alasannya, kan?  Yang jelas bukan maksudku mengabaikan, namun banyak kegiatan yang menyita waktu dan pikiranku, yang kamu pun mungkin sudah bosan mendengar keluhanku di sela waktumu.

Erd, kamu masih ingat isi suratmu itu? Ada satu bagian di mana kamu menyebutku menyukai film horor. Aku adalah perempuan yang rajin menghidupkan halusinasi di kepala. Aku sering membayangkan tokoh-tokoh hantu atau psikopat di film-film itu hidup, lalu mendadak muncul di belakangku dan menggorok leherku, memutilasi, lalu membagikanku ke binatang peliharaan tetangga. Ya, begitulah isi kepalaku setiap selesai menonton film horor dan genre sejenis. Namun tetap saja aku menontonnya, walau harus menahan napas beberapa kali dan menerima risiko untuk susah tidur.

Berbincang mengenai film, aku paling suka science fiction. Yang terakhir kutonton adalah Lucy. Apa kamu sudah menontonnya juga? Aku bahkan rela meninggalkan kewajibanku untuk mengabdi pada masyarakat pedesaan demi ke kotaku dan menontonnya. Kalau belum, tontonlah, Erd. Konflik percintaannya memang kurang greget, tapi visualisasinya sanggup membuatmu berdecak kagum. Bagaimana seorang manusia bisa membaca pikiran, mengendalikan benda, bahkan tubuh orang lain, dan bisa melihat kejadian di masa depan. Sayang, endingnya tidak bahagia menurutku. Sepertinya, akhir yang bahagia memang hanya di dongeng Disney, ya?

Aku baru sampai di Makassar siang tadi, meninggalkan desa yang tak terlalu menyenangkan namun mampu membuatku tepekur sejak memasuki rumah karena kenangan yang tumpah-ruah di kepala. Desa itu tak pernah dikunjungi hujan sejak empat puluh dua hari lalu, Erd. Namun hatiku selalu dingin dengan sinis yang kutumpahkan pada sekitar. Tapi sekarang, aku sendu saat jauh. Pepatah, “kita baru menyadari sesuatu itu berharga saat ia sudah tiada” memang tidak pernah salah.

Sekian dulu surat dariku. Maaf karena aku juga banyak bicara, menulis lebih tepatnya.

Dari sahabat mayamu, di kota yang merindukan gerimis yang romantis.*


*balasan untuk seseorang yang mengirimiku surat ini.

Rabu, 02 April 2014

Surat Untuk Mantan

1 April 2014, dini hari

Beberapa paragraf untukmu yang kenangannya masih jelas di ingatan

Ketika menulis surat ini, aku ingin kau mengingat bahwa aku adalah perempuan yang paling sulit memulai percakapan. Hai-kah? Halo? Apa kabar? Aku tak ingin terlihat kaku atau membosankan untukmu, seperti salah satu alasan yang membuatmu berpaling pada yang lebih menyenangkan, dulu. Karena itu, untuk menghilangkan canggungku,lebih baik kujelaskan saja daripada kau menertawakanku dan menyadari bahwa aku belum berubah juga.
Tak cukup setahun sejak kau meninggalkanku, aku mendapat kabar bahwa perempuan yang berhasil merebutmu dariku malah yang berbalik mencampakkanmu demi mantan kekasihnya. Apa boleh aku bertanya, bagaimana rasanya? Sesakit yang kurasa-kah? Bukan, aku jelas bukan orang yang mudah menertawakanmu karena mendapat karma—kau pun tahu itu. Hanya saja, jika kau ingin berbagi, ada aku di sini. Semoga kau tak lupa bahwa aku juga pernah merasakannya darimu.
Oh, iya. Kemarin ibuku masih menanyakan keadaanmu walau sudah berulang kali pula kujelaskan bahwa kita—maksudku aku dan kau—sudah lama tak bersama. Ibu hanya tak tahu bahwa putrinya ini sudah disakiti olehmu, mungkin. Kau juga pasti tahu aku bukan perempuan yang mudah menceritakan perasaanku dengan kata, apalagi pada perempuan yang sudah menganggapmu keluarganya. Tidak, aku tidak ingin membuatmu merasa bersalah atau memintamu bertandang ke rumah, cukup sekedar tahu saja.
Di paragraf keempat ini, rasanya aku ingin menulis semua kenangan empat tahun ketika aku dan dirimu masih berkedok kita. Tapi itu sama saja membuat rasa sendu yang selama ini kusembunyikan menyeruak, tumpah-ruah dari wadah yang tak mampu lagi menampungnya. Aku benci mengenang, karena tak ubahnya terus mengingat. Aku tahu aku tak seharusnya melupakan, karena waktu pasti bisa membuatnya suram. Tapi denganmu, tidak mencoba melupakan berarti terkungkung dalam bayang-bayang cinta dan sakit yang kauberi sepaket selama ini.
Kalau kaupikir kesendirianku setelah kepergianmu karena aku belum bisa benar-benar mengikhlaskan, kau salah. Aku sudah rela, bahkan sebelum kau menemukan yang baru dan aku mendapat firasat bahwa kau akan meninggalkanku, dulu. Kau sendiri bagaimana? Tak lelahkah berganti pasangan? Tak lelahkah memamerkan kemesraan pada dunia, lalu tak lama kemudian akhirnya berpisah dan berganti rekan berbagi cinta lagi secepat kedip mata? Bagaimana kau bisa menetap kalau tak bisa berhenti berjalan?
Mantan kekasih yang dulu sangat kucinta, berhentilah menyakiti hati perempuan. Kami juga punya perasaan yang tak ingin seenaknya kaupermainkan.
Di akhir surat ini, aku ingin memberitahumu sesuatu; aku yang masih memedulikanmu, bukan berarti masih mencintaimu. Aku yang masih setia sendiri, sebenarnya jauh lebih merasa baik-baik saja daripada hidupmu yang tak pernah terlihat sepi. Aku yang masih menyempatkan menulis surat, hanya agar apa yang tak dapat kuumbar lewat kata tak memiliki beribu makna tersirat. *)
*) tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth novel bernard batubara.

Jumat, 14 Maret 2014

angsa di telaga

Ketika hari memamerkan pendar jingga
Aku memasrahkan diri di bibir telaga
Ujung kaki mencumbu riak
Angsa-angsa menyapa, menatap dengan binar cintanya

Angsa-angsa membentuk lingkaran di antara arus
Kaki-kaki bergerak, namun tak aus
Sayap-sayap basah, menetap di telaga, menggerus
Dan aku di sini, menyetia pada senja yang menirus

Setiap langit mengurai pendar jingga
Aku bercengkerama dengan angsa-angsa
Mereka menghibur, namun kenanganku enggan terkubur
Keping kisah telah kabur, sementara aku masih setia menyusur

Pada angsa-angsa yang menyapa di bibir telaga
Untuk apa datang jika tak sanggup menyembuhkan luka?
Pada dia yang berjanji selalu ada kala suka-duka
Ke mana gerangan kala perih menyelimuti raga?

Angsa di tubuh telaga, terima kasih karena telah menyetia
Walau ada, tanpa pernah berucap cinta
Walau ada, tanpa pernah menebar kata
Walau ada, tanpa pernah menyemai asa

Tak seperti dia yang pergi
Membawa hati, dan tak pernah kembali


Sabtu, 08 Maret 2014

Review Galuh Hati - Randu (Moka Media)



A
ku memiliki rahasia. Kau memiliki rahasia. Bahkan langit pun memiliki rahasia. Kau tahu Senja Kuning di langit Cempaka sore itu? Dia menyimpan rahasia tentangku, tentang sebuah Galuh Hati.
Aku adalah satu-satunya riwayat tua yang diperbincangkan di rumah para pendulang intan di Cempaka. Kekuatan dan keindahanku selalu menjadi teka-teki yang diturunkan hingga ke anak-cucu mereka.
Namun, tahukah kau bahwa di balik gemerlap cahaya yang aku pancarkan ada rahasia tentang persahabatan, cinta, dan sebuah pengkhianatan?

Galuh Hati, sebutan untuk sebuah intan paling indah dan besar yang pernah ditemukan di Cempaka, daerah penghasil intan terbaik di seluruh dunia yang terletak di Kalimantan Selatan. Namun tak ada pendulang yang tahu di mana gerangan intan yang melegenda tersebut, bahkan banyak yang menyangsikan keberadaannya sampai saat ini.

Hingga suatu hari, Kai Amak yang merupakan sepuh di pendulangan kembali mencari intan di Cempaka pada malam hari di daerah terlarang dibantu Abul, yang disudutkan oleh orang-orang desa karena satu-satunyanak laki-laki tak mampu mendulang dan ayahnya yang tak bisa mendulang lagi setelah insiden yang merenggut tangannya. Di luar dugaan, mereka tak menemukan intan dan Kai Amak menceritakan perihal Galuh Hati dan kisah persahabatannya dengan Antas, hingga muncul Sarah yang menjadi pemicu pecahnya persahabatan mereka, dalam keadaan mabuk.

Abul menunggu kelanjutan kisah yang dipotong malam yang larut itu hingga keesokan harinya, sebelum berita kematian Kai Amak menyebar. Dari sini, cerita mengenai legenda Galuh Hati dan cinta segitiga bermula. Dibantu Gil, Abul mencari tahu perihal intan terbesar dan terindah itu ke mana-mana, hingga nyaris kehilangan nyawanya sendiri.

Selasa, 25 Februari 2014

Menunggu Purnama

Aku membenci diriku yang masih setia merapal namamu di akhir doa, di setiap pertemuan rahasiaku dengan Tuhan. Namamu yang seharusnya tak menjadi bagian dari kehidupanku lagi setelah kau memutuskan pergi dan meninggalkan pertama kali.
Aku membenci diriku yang selalu membentangkan tangan, menyambutmu datang—lagi-dan lagi—setelah menyakiti sesuka hati. Bodohkah? Tidak, sayang. Ini namanya cinta. Kau akan mati rasa ketika ia yang berkuasa.
Kini, di bawah kuasamu, aku memasrahkan diri. Aku tak tahu mencintai akan semenyenangkan ini. Menikmati gelenyar aneh dengan tatapan tajammu yang mengawasi. Dari jarak sedekat ini, setelah sekian lama tak saling memandangi, membuatku tak ingin berhenti. Kau menjelma sosok tak nyata yang sewaktu-waktu bisa saja menghilang dalam sekali kedip, dan aku tak akan membiarkannya terjadi. Tak apa mata perih, asal kau menyetia di sisi.
Peduli setan dengan komentar orang-orang yang mencacimu karena memanfaatkan cintaku yang menggunung. Tak apa, sayang... nikmatilah selagi aku masih mampu memuaskanmu. Apa ruginya mereka dibanding diriku yang harus menahan rindu bertubi ditinggalkanmu? Mereka tahu apa tentangku? Mereka hanya tahu menghujat dari kepercayaan pada indra penglihat, katamu dulu.
Tenang, sayang... lanjutkanlah pekerjaanmu dengan bibirku. Aku pun enggan mengacuhkan bunyi gadget milikmu yang meramaikan kamarku. Berniat menanyakan pengirimnya yang tak sabaran itu pun, aku tak mau. Asal kau tetap berkonsentrasi padaku.
Mencinta dan disakiti diciptakan untuk menjadi satu. Kurasa siapapun tahu itu. Aku tak peduli bagaimana akhirnya, ketika saat ini kau dan aku sendiri sudah bersatu. Yang kutahu hanya melewatkannya dengan senang hati. Bukan, bukan melewatkan, melainkan menikmati detik demi detik hingga bertemu akhir. Bukankah proses memang yang lebih penting?
Sayang, malam sudah nyaris menjelma pagi ketika aku tetap terjaga di bawah tatapan, deru napas, dan suara gadget milikmu yang meramaikan. Katamu, kau tak ingin malam ini pergi meninggalkan. Apa kau puas dengan perempuan yang lebih sering kau sakiti ini? Akankah kau balik mencintai? Tidak, tak usah kau jawab. Pandangan tajammu pun lebih menyiratkan gejolak lelaki normal daripada cinta itu sendiri.
Hingga salakan binatang penguasa malam berganti kokok penyambut pagi pada akhirnya, aku harus menerima kenyataan kau harus meninggalkanku—lagi. Purnama sudah ditelan gumpalan awan, dan kau harus pulang. Entah purnama keberapa lagi kau akan datang. Entah berapa lembar kalender lagi yang harus kubalik, menunggumu bertandang. Entah berapa banyak lagi gunjingan diperuntukkan pada perempuan penanti jalang. Entah berapa tumpuk lagi rasa sakit yang kau ciptakan dari rindu sekuat karang. Entah seberapa banyak lagi doa yang kupanjatkan, agar purnama cepat datang. Untukmu, yang muncul hanya saat purnama menyerang.