Perempuan
itu bisa merasakan kesibukan di sekitarnya. Ia bisa merasakan tubuhnya sedang
ditangani dengan intens oleh beberapa orang sekaligus. Ia bisa merasakan keributan, bahkan
teriakan dokter di dekatnya. Namun tak bisa memberi repon, pun membuka mata.
Mungkin efek obat bius atau apa, entahlah.
Tiba-tiba, beberapa potong kejadian memasuki memorinya.
Tidak lagi berdesakan dan berebutan masuk seperti beberapa tahun terakhir,
semuanya kini teratur. Mengalir, seakan benar-benar kembali pada tempat semula
yang
telah lama ditinggalkannya.
Diam-diam, perempuan yang tidak lain adalah Fanya itu tersenyum tipis. Sakit
itu ia dilupakan. Yang
paling penting, kini ia sudah bisa mengingat.
***
I
remember, the way you glanced at me
Yes
I remember
I
remember, when we caught a shooting star
Yes
I remember
“Kamu kalo ngambek gitu
cakepnya makin keliatan, deh.” Lelaki dengan celana pendek kargo dan kaus
bergambar The Beatles tersebut ikut berbaring d sebelah Fanya. Langit malam
dari atas rumput taman belakang rumah perempuan itu memang merupakan tujuan
rutin keduanya setiap hari. Tak boleh terlewatkan.
“Lo pacaran aja sana sama
tugas kampus! Lupain aja gue!” Fanya sontak menepis tangan Haykal yang mengelus
kepalanya.
Haykal menghela napas
panjang. “Tugasku lagi bener-bener numpuk, sayang. Semuanya harus selesai
besok, baru aku boleh ngajuin proposal tugas akhir. Aku mesti jelasin berapa
kali, sih?”
“Bodo.” Perempuan dengan
terusan polkadot tersebut membelakangi tubuh kekasihnya.
“Jadi ngambek, nih?” Lelaki
yang malam itu menanggalkan kacamatanya malah mencolek pinggang Fanya, membuat
perempuan berambut ikal tersebut tersentak. Kaget bercampur geli.
“Apaan, sih! Nyebelin!”
“Balik sini kalo gitu,”
rajuk Haykal tanpa menghentikan aksi telunjuknya di pinggang sang kekasih.
“Gak mau! Sana lo! Balik aja
pacaran sama tugas!”
“Beneran gak mau?”
“Menurut lo?”
“Oke.”
Hening.
Fanya kontan mengerutkan
keningnya. What? Jangan bilang dia...
beneran balik dan kerja tugas? Oh, God! Kapan sih cowok itu bisa peka dikit?
Ck! batinnya. Lalu membalikkan tubuh, berniat kembali berbaring dalam posisi
telentang dan menikmati langit malam yang penuh bintang.
Namun tiba-tiba, ia menoleh
dan merasakan tubuh mungilnya ditarik paksa ke dalam rengkuhan hangat milik
seseorang yang ternyata masih berbaring tepat di sebelah kirinya. Membuatnya
berontak, apalagi saat sosok itu mendekatkan wajah dan sesuatu yang lembut
menyentuh bibirnya. Sesuatu yang sebenarnya saat ia kenal, sangat akrab dengan
kesehariannya tiga tahun ini. Diikuti desakan lidah yang memaksa masuk ke dalam
mulutnya, juga jemari yang tersisip di antara rambut panjangnya.
Fanya terpaku. Entah mengikuti
naluri atau apa, ia malah menikmati hal tersebut. Matanya terpejam, sedangkan
kedua tangannya meremas lengan lelaki itu.
Saat napas keduanya mulai
tak beraturan, pemilik bibir yang tak lain adalah Haykal itu langsung menarik
dirinya –sebelum kehilangan terkontrol. “Apa aku harus nyium kamu
dulu, baru kamu mau berhenti ngambek?”
Wajah Fanya seketika
memerah. Kedua pipinya menggembung, tanda ia sedang menahan malu.
Haykal kontan tertawa. Ia
lalu meraih tubuh kekasihnya mendekat, merapat dalam dadanya yang hangat. “Tapi
aku gak keberatan kok kalo kamu ngambek terus, asal bisa sering-sering nyium kamu.”
I
remember, all the things that we shared
and
the promise we made, just you and I
I
remember, all the laughter we shared
All
the wishes we made, upon the roof at dawn
Do
you remember?
When
we were dancing in the rain in that december
And
I remember, when my father thought you were a burglar
“Fanya! Ini hujan, kamu bisa
berhenti kekanak-kanakan, gak? Mau sakit?” Teriakan lelaki itu teredam derasnya
hujan.
Di depannya, sosok Fanya
terus berjalan membelah hujan yang membasahi jalanan dekat sekolahnya. Dengan
Haykal yang mengikuti dari belakang.
“Nya!!!” Haykal langsung
mencekal pergelangan tangan kekasihnya tersebut, sebelum ia semakin jauh.
Kemudian menariknya ke teras ruko yang tertutup untuk berteduh. Pakaian mereka
berdua sudah basah kuyup. Ia dengan kemeja dan celana katun, sedangkan Fanya
dengan seragam putih abu-abu.
“Lo kalo gak niat jemput
gue, bilang! Gak usah bikin gue nunggu kelamaan sampe dikira satpam sekolah!”
sorak Fanya sambil menyentakkan genggaman kekasihnya dengan kasar. Meluapkan
amarah.
“Bukannya aku udah bilang
kalo mata kuliahku baru selesai pas sore? Kamu sendiri yang bilang mau nunggu,
kan?” Emosi lelaki itu pun ikut terpancing. Pandangan teduhnya menghilang entah
kemana.
“Oh, jadi sekarang lo ngelimpahin
kesalahannya sama gue? Gitu? Hebat banget!!!”
Baru saja Fanya hendak
berlalu, lelaki yang kemejanya sudah berantakan tersebut kembali mencekal
tangannya. “Oke! Oke! Aku yang salah. Puas?”
“Udah, deh. Gue udah gak
tahan. Mending kita udahan aja sampe di sini.” Perempuan yang kunciran
rambutnya sudah awut-awutan itu kembali berusaha membebaskan tangannya, namun
kali ini tidak berhasil. “Lepasin! Sakit, tau gak! Kasar banget sih jadi
cowok!”
“Gak bakalan kalo kamu masih
emosi gini.” Haykal menatap perempuan di depannya dengan tajam. Guntur menyela
beberapa kali. “Coba liat mata aku. Dan ngomong kalo kamu udah gak sayang sama
aku.”
Fanya kontan mengangkat wajahnya.
Kemudian bertukar pandang dengan lelaki berkumis tipis dan hidung mancung
tersebut. Ia menyadari, ada sesuatu yang berdesir di dadanya setiap bertatapan
dengan pemilik mata teduh itu.
“Coba, aku mau denger kamu ngomong
kayak yang aku bilang tadi,” ulang Haykal.
Fanya membuka mulutnya
sejenak, namun segera mengatupkannya kembali.
Lidahnya kelu. Ia tidak terbiasa berbohong selama ini.
“Kenapa? Kok diem?”
“A-aku...” Perempuan itu
langsung menunduk. Menghindari tatapan kekasihnya, lebih memilih terpaku pada
kedua flat shoes miliknya yang dipenuhi bercak lumpur.
“Kamu nih... Ck!” Haykal tak
jadi
melanjutkan kalimatnya. Lelaki bertubuh tegap dengan dada bidang dan
perut rata tersebut memilih menarik tubuh kekasihnya ke dalam pelukan.
Membiarkan tubuh mereka berbaur dalam keadaan basah kuyup.
Fanya menurut. Ia malah
menyandarkan kepalanya ke dada Haykal. Memejamkan mata saat ciuman menenangkan
milik lelaki itu mendarat di puncak kepalanya.
“Maafin aku, ya...” bisik
Haykal.
Perempuan bertubuh mungil
tersebut mengangguk pelan.
Haykal melepaskan
pelukannya. “Kita pulang sekarang, yuk!”
Fanya mengangguk sambil
tersenyum. Namun ia masih bergeming saat kekasihnya melangkah menjauhi ruko
tempat mereka berteduh. Membuat langkah lebar Haykal terhenti –masih di bawah
guyuran hujan.
“Kok masih di situ? Buruan!”
Lelaki itu mengulurkan tangannya, minta diraih.
“Gendong,” rajuk Fanya.
Haykal buru-buru kembali ke
naungan atap teras ruko. “Kamu jangan becanda, deh. Ini udah hampir magrib.”
“Siapa yang becanda?”
Perempuan berseragam SMA tersebut melipat kedua tangannya di depan dada. “Karna
kamu udah bikin aku nunggu hampir tiga jam, jadi sekarang kamu harus gendong
aku sampe ke mobil. Titik.”
“Nya, aku markirnya jauh,
loh. Gak usah macem-macem maunya.”
“Gak mau? Ya udah. Aku gak
mau pulang bareng kamu. Mending jalan kaki sambil hujan-hujanan.”
“Fanyaaa...” Haykal
menggeram di akhir kalimatnya. Antara menahan gemas dan kesal.
“Apa?”
Lelaki itu pun langsung
berjongkok di depan kekasihnya –dengan berat hati. Kontan saja membuat Fanya dengan
senang hari menjatuhkan tubuh ke punggung bidangnya. Ia lalu berusaha berdiri.
Walaupun mungil, menggendong Fanya ternyata butuh tenaga keras juga.
“Jalannya jangan
cepet-cepet. Aku lagi ngenikmatin hujan.” Perempuan itu harus menepuk pundak
Haykal berulang kali untuk mengikuti kemauannya.
“Hujannya deras banget,
sayang. Mobilnya juga masih di depan sana,” balas Haykal.
“Biarin. Pokoknya aku mau
lama-lama di bawah hujan.”
“Kalo kamu sakit, gimana?”
“Apa gunanya aku pacaran
sama calon dokter kalo sama sakit aja takut?”
Haykal langsung menoleh.
Kemudian tersenyum penuh arti dan menghentikan langkahnya. Mereka berdua
bertatapan dalam diam. Lalu entah siapa yang memulai, bibir mereka sudah
menyatu. Dibingkai oleh hujan deras.
I
remember, the way you read your books
Yes
I remember, the way you tied your shoes
Yes
I remember, the cake you loved the most
Yes
I remember, the way you drank you coffee
I
remember, the way you glanced at me
Yes
I remember, when we caught a shooting star
Yes
I remember, when we were dancing in the rain in that december
And
the way you smile at me, yes
I remember
(Mocca – I Remember) ♫♪
***
Hal pertama yang didengar Fanya setelah membuka matanya adalah
mesin pendeteksi detak jantung yang sepertinya terletak tepat di sebelah telinganya.
Sedang yang pertama dilihatnya adalah cahaya lampu di atas tempat tidur.
Membuatnya harus mengerjapkan mata beberapa kali untuk menetralisir sinar yang tiba-tiba
merasuk indra penglihat miliknya.
“Nya? Fanya? Kamu udah
sadar, sayang?” Merupakan suara kedua yang ia dengar, berasal dari sebelah
kanannya. Ia pun menoleh sekuat tenaga, setelah sebelumnya menyadari bahwa
lehernya di-gips sedemikian rupa.
“Kamu kenapa? Ada yang
sakit? Aku panggil dokter dulu, ya!” Pemilik suara bernada khawatir tersebut
berniat membalikkan tubuh, namun diurungkan saat mendengar deheman dari sosok
yang masih terbaring di atas tempat tidur rumah sakit itu.
“Kenapa?” Lelaki yang tak
lain adalah Haykal tersebut langsung mendekatkan telinganya ke arah sang
tunangan.
“A...ir...” ujar Fanya
dengan suara yang serak.
Haykal pun kontan
menyodorkan segelas air putih lengkap dengan sedotan ke depan bibir Fanya.
Tangan kanannya menopang kepala bagian belakang perempuan itu, memudahkannya
untuk minum.
Fanya menghabiskan
setengah dari isi gelas tersebut. Lalu kembali berbaring. Napasnya mulai
teratur.
“Aku panggil dokter dulu.”
“Gak usah,” sela Fanya
cepat.
Kedua alis Haykal menyatu.
“Aku udah baikan, kok. Kamu
di sini aja.”
Alis tebal milik lelaki itu
masih bertaut, namun ia memilih menuruti kemauan perempuan di depannya.
Kemudian kembali duduk di kursi samping tempat tidur, tempatnya menjaga sang
tunangan sejak kondisinya membaik sehari yang lalu.
“Aku gak pernah ngerasa
sesehat dan sebahagia ini sebelumnya,” ucap Fanya. Memecah keheningan yang
sempat tercipta.
Haykal belum
berani angkat bicara. Setahunya, dua hari yang lalu tunangannya ini bangun dari
koma dengan raut heran. Lalu mengapa sekarang dirinya yang dibuat demikian?
“Haykal Pradipta Saputra...”
Jantung lelaki itu
langsung berdetak dua kali lebih cepat saat mendengar nama lengkapnya disebut.
“Aku... udah inget
semuanya.”
Hening. Sedetik. Tiga puluh
detik. Semenit.
“Se... Serius?” Suaranya
bahkan tercekat di tenggorokoan.
Dan anggukan lemah
Fanya-lah yang menjadi awal dari pelukan eratnya. Pelukan yang sarat akan
rindu. Disertai kecupan berulang kali di dahi dan puncak kepala perempuan yang
sangat dicintainya itu.
***
“Saya sudah dengar cerita dari mereka.”
Suara berat itu kontan
membuat tubuh jenjang milik Dokter Ita menyingkir dari depan pintu ruangan
dimana Fanya dirawat. Tempat ia menyaksikan adegan –sok romantis menurutnya–
sejak beberapa saat lalu.
Pemilik suara
berat tersebut menghampiri Dokter Ita yang seketika langsung memasang ekspresi
tegang. “Dokter yang sengaja memanipulasi mobil Haykal sampai remnya blong.
Iya, kan?”
“Dok-Dokter tau darimana?”
Dan saat itu juga, perempuan dengan long dress hitam itu langsung menyesali
kalimatnya.
Lelaki berjas dokter di
depannya spontan tertawa pelan. “Saya punya banyak mata, Dokter Ita. Apa
sebesar itu perasaan Dokter pada calon menantu saya, sampai-sampai hampir
menghilangkan nyawa anak saya sendiri?”
Dokter Ita sontak
menyandarkan tubuhnya ke dinding rumah sakit tempat Dokter Wirawan –ayah Fanya–
bekerja. Lunglai. “Saya... juga mencintainya, Dokter. Apa salah? Toh mereka
belum menikah,” sahutnya lemah, dengan kepala tertunduk.
“Cinta itu tidak
selamanya bisa memiliki, Dokter. Apalagi cinta yang dipaksakan, tidak ada
indahnya sama sekali.”
“Tapi bukannya cinta juga
perlu diperjuangkan?”
“Iya, jika
keduanya sama-sama saling cinta. Kalau hanya satu yang memperjuangkan, sama
saja dengan kesia-siaan.”
Perempuan itu tersenyum
sinis. “Coba Fanya yang ada di posisi saya, apa Dokter masih bisa ngomong
begitu?”
“Jelas. Saya tidak
mau melihat Fanya memperjuangkan laki-laki, apalagi dengan tindakan bodoh
menjurus kriminal seperti Dokter Ita,” balas Dokter Wirawan. “Saya sebenarnya
sudah berniat melaporkan tindakan ini ke polisi, saya sudah punya bukti dan
saksi. Tapi karena istri saya tidak mau memperpanjang masalah, jadi saya juga
cukup mengasihani anda.”
Dokter Ita bergeming.
“Dokter ini cantik. Bukan
hal yang sulit untuk mencintai laki-laki lain. Dokter cuma butuh orang yang
tepat.”
Tubuh perempuan bertubuh
jenjang tersebut kembali tegak. Kemudian berbalik, hendak meninggalkan dokter senior
itu.
“Saya cuma memberikan
masukan, Dokter. Dan, oh iya. Saya harap Dokter membiarkan Haykal dan Fanya
bahagia. Kebahagiaan Dokter bukan ditentukan oleh hubungan mereka,” tandas ayah
Fanya. Sebelum Dokter Ita berlalu dari hadapannya.
***
Satu
minggu kemudian...
Tak ada hal-hal
seru yang terjadi sepanjang minggu ini, kecuali Fanya yang terus merengek untuk
dibawa pulang. Perempuan itu harus mogok makan dulu, baru diizinkan
meninggalkan rumah sakit tempatnya dirawat selama sebulan terakhir ini.
Ia begitu merindukan suasana
dan segala macam hal tentang rumah. Dan begitu ia kembali, entah mengapa
tubuhnya jadi sehat. Semangatnya kembali.
“Sayang, kamu naik tangganya
jangan sambil lompat-lompat gitu, dong! Ntar jahitannya kebuka, gimana?”
Teriakan Haykal muncul dari bawah.
“Apaan, sih?
Emangnya aku abis melahirkan? Jangan lebay, deh! Aku udah sembuh, tau!”
sahutnya, cuek.
Haykal berdecak gemas seraya
ikut menaiki tangga menuju kamarnya yang terletak tepat di seberang kamar Fanya
di lantai atas. Ayah dan ibu perempuan itu masih sibuk di rumah sakit. Jadi
–lagi-lagi– hanya mereka berdua di rumah ini.
Lelaki dengan baju
kaus putih bertuliskan ‘engagement with pretty woman’ tersebut menyandarkan
tubuh tegap miliknya ke sisi pintu kamar Fanya sejenak. Kemudian ikut memasuki
kamar itu, menghampiri tunangannya di atas tempat tidur.
“Aku bahagia
banget loh sekarang. Gak pa-pa deh kecelakaan sampe badan penuh luka gini kalo
akhirnya bisa inget sama kamu,” ujar perempuan berkaus putih bertuliskan
‘engagement with awesome man’ tersebut. Sepasang kaus yang mereka buat beberapa
tahun lalu, sebelum Haykal memutuskan pindah ke Australia. Senyumnya merekah.
Di sebelahnya, senyum Haykal
tak kalah lebar. “Aku lebih bahagia lagi. Lebih dari apapun di muka bumi saat
ini.”
Hening.
Fanya sibuk
mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar, sedangkan Haykal sendiri sibuk
menatap wajah perempuan itu.
Dan entah naluri darimana,
lelaki yang rambutnya mulai menyentuh tengkuk tersebut memutuskan jarak dengan
tunangannya. Hingga kedua tubuh mereka saling menyentuh, bibir keduanya saling
bertaut, dan jemari yang sibuk mennyampaikan rindu lewat genggaman.
Tiba-tiba, Fanya menarik
wajahnya yang merona dan napas terengah.
Haykal menatapnya dengan
dahi berkerut.
“Aku... buatin kamu
cappucino dulu. Kamu belum sarapan, kan? Hm, sekalian roti bakar selai
kacangnya, gak?”
Lelaki itu kontan tersenyum,
lalu mengangguk. “Aku selalu suka masakan kamu, yang jelas segala
sesuatu yang ada kamu-nya. Oh, iya. Bikinnya pake cinta,
ya! Itu yang paling penting, jangan lupa!”
Fanya tertawa sekilas,
kemudian melangkah –setengah berlari– meninggalkan kamar setelah bibirnya
kembali dikecup mesra oleh sang tunangan.
Saat langkahnya
mencapai pintu kamar, perempuan mungil tersebut kembali berbalik. “Kamu jangan
kebanyakan gombal. Aku udah kenyang,” ujarnya seraya memilin ujung rambut ikalnya.
“Trus, maunya apa?”
Kedua alis tebal Haykal dibuat bertaut.
“Dilamar, dong. Siapa
yang gak mau ganti status dari tunangan jadi istri, coba?” jawab Fanya. Lalu buru-buru
berlari menuju dapur di lantai bawah. Sebelum rona merah di kedua pipinya bisa
membakar wajahnya.
Di dalam kamar,
Haykal tersenyum lebar. Istri? Okay,
secepatnya! batin lelaki itu. Kemudian menyusul tunangannya dengan langkah
lebar.
I
remember, the way you read your books
Yes
I remember, the way you tied your shoes
Yes
I remember, the cake you loved the most
Yes
I remember, the way you drank you coffee
I
remember, the way you glanced at me
Yes
I remember, when we caught a shooting star
Yes
I remember, when we were dancing in the rain in that december
And
the way you smile at me, yes
I remember ♫♪