Kamis, 12 Desember 2013

Diam

Kau pasti tak tahu apa yang kulakukan kini
Ketika mentari pun masih lelap dalam mimpi
Masih seperti hari kemarin, menantimu hadir di sini
Walau tak pernah kau sadari

Tak mungkin aku yang terlebih dulu menyapa
Lidahku terlalu kelu untuk sekedar menyebut nama
Dan kau terlalu tinggi untuk kujaga
Namun tetap saja, terima kasih pernah ada
Walau tak pernah menyadari, aku pun ada

Aku meletakkan note book ketika kau akhirnya datang, berlari-lari kecil menyusuri jalanan di antara peluk pepohonan taman. Aku tetap mengamati, duduk bersanggahkan kursi besi, beberapa meter dari tubuh tegapmu yang kini melakukan stretching di seberang. Masih dengan setumpuk harapan yang sama dari hari ke hari, agar kau bisa menoleh dan sadar akan hadirku.
Setiap hari, bahkan ketika embun masih menguasai mulut dedaunan, aku selalu di sini. Tak usah menanyakan sejak kapan, bahkan angka-angka yang berbaris pada penanggalan tak mampu menjabarkan. Dan kau, alasan keberadaanku tak sedikit pun menyadarinya. Tak apa, asal sosokmu bisa kunikmati saja.
Kubuka lagi lembar demi lembar pada buku catatan mini yang menjadi objek segala curahan hati selama ini, yang hanya kutulis tanpa bisa kuungkapkan—sampai kapan jua. Pada lembar pertama, ada setitik noda yang membuat satu kata di sana menjadi buram. Noda bekas air mata yang kulepas untuk seseorang yang bahkan tak kutahu namanya.

Sebelumnya, aku tak pernah berani untuk jatuh cinta
Untuk apa membiarkan diri jatuh, sementara tak ada yang menyambut?
Sia-sia
Aku terlalu takut jika ada yang menyadari perasaanku nanti
Takut ia akan menanyakan sesuatu tentang hati

Bagaimana aku bisa menjawab pada akhirnya?
Bagaimana jika ia menyadari aku bahkan tak bisa untuk sekedar melafalkan namaku sendiri?
Bagaimana jika ia tak beda dengan lelaki lain, pergi begitu saja?

Karena itu, aku tak pernah berani untuk jatuh cinta
Karena itu juga, tak apa jika kau tak pernah menyadari hadir
Agar aku tak susah-susah meladenimu nanti
Dengan bibir yang tak akan menyapa—bahkan tak bisa sekedar mengucap nama
Bahagiaku cukup duduk di sini, menanti. Menikmati. Tanpa minta disadari.

Selasa, 03 Desember 2013

Review #SeribuKerinduan - Stiletto Book

“Sudah, jangan lagi kamu menghakimiku. Jangan lagi kamu memperolokku. Percuma saja. Aku sudah tak bisa merasakan apa-apa lagi, kecuali rasa kebas ini. Dan sekarang, biarlah kehidupan memilihkan jalan untukku. Menjadi pelacur.”
Renata, seorang fashion editor dengan karier cemerlang di kantornya, harus pasrah pada keadaan. Setelah berpisah dengan Panji, lelaki yang sudah dipacari selama empat tahun karena perjodohan biadab itu, dia pergi ke semua tempat yang pernah mereka singgahi untuk menelusuri jejak-jejak kebersamaan. Hidup menjadi sangat membosankan baginya, karena hari-harinya kini hanya dihabiskan untuk mengenang Panji. Dia pun lantas memilih menjadi pelacur, karena dengan profesi barunya itu, dia kembali merasa dicintai, dihargai, dibutuhkan, dan disanjung.
Namun, ia sadar, menjadi pelacur hanyalah sebuah persinggahan sebelum dia benar-benar melanjutkan hidup sesuai keinginannya. Lantas, kehidupan seperti apa yang sebenarnya ingin dijalaninya? Tanpa Panji? Bisakah?

Blurb yang sukses membuat kita menahan napas beberapa kali, memang. Siapa yang sangka Mbak Dewi mau mengusung pekerjaan serupa prostitute di novelnya ini? Tabu, jelas saja. Tapi nikmatilah, dan kita bisa memetik banyak ‘pelajaran’ dari hidup Renata tersebut.
Jika kita mencari prolog, bab demi bab, apalagi epilog, tak akan ditemukan di novel berjudul #SeribuKerinduan ini. Semuanya melebur menjadi satu, hanya dipisah judul yang mewakili isi cerita selanjutnya. Yang saya sayangkan dari segi tata letak adalah tak adanya pembeda jenis font pada peristiwa di masa kini dan flashback-flashback yang sering dilakukan Renata di awal cerita. Jadi pembaca diwajibkan untuk bisa membedakan; apakah peristiwa itu terjadi sekarang, dua tahun lalu, atau bahkan dua minggu di belakang.
Novel ini sepertinya memang diperuntukkan bagi orang-orang (termasuk saya) yang sedang sibuk berpindah hati. Dari awal mencecap kisah Renata, kita tak dibiarkan tersenyum terlalu lama, karena plot selanjutnya akan kembali menjatuhkan kita pada kenyataan pahit yang tengah dirasakan mojang Bandung tersebut. Saya bahkan baru bisa tertawa di pertengahan cerita, ketika Renata bertemu Dion dalam keadaan mabuk. Selebihnya? Jika kalian pernah merasa ditinggalkan seperti yang dialami Renata, kalian pasti tahu bagaimana nasib saya ketika membacanya *buang tisu*
Seperti kata Dion, “Kalau kita terus-terusan menyalahkan masa lalu, kita justru akan terus hidup bersamanya, dan semakin sulit membebaskan diri.” Yah, silakan ikuti kata-kata Kak Dion yan brengsek waktu pertama ketemu Renata ini, adik-adik :)
Walaupun saya sempat membandingkan #SeribuKerinduan ini dengan novel lain bertema serupa di awal-awal cerita, namun novel karya Mbak Dewi ini jelas berbeda dan memiliki cita rasa sendiri. Apalagi menurut saya, alurnya mendayu-dayu dan seakan memiliki makna tersirat, “Menangislah, sayang.... Menangislah....” Mungkin karena ditinggal nikah bukan lagi hal tabu, ya? :’
“Tak usah banyak komentar, Febri,” mungkin menjadi batin orang-orang yang membaca review ini. Baiklah, silakan baca sendiri #SeribuKerinduan karya Mbak Dewi, pemimpin redksi Stiletto Book. Siapa tahu kalian bisa belajar tegar dari kisah Renata tanpa menjerumuskan diri sendiri, lebih bisa tegas daripada Panji, bisa menjadi teman yang lebih baik dari Dion, menjadi sahabat sehangat Diana dan Erika, dan membuat happy ending sendiri. Jangan sampai kehabisan di toko buku dan menyesal belakangan, loh.
Pssst, jika endingnya “lebih” di luar dugaan lagi, mungkin saya dengan senang hati memberi 4 dari 5 bintang ;)
Ditunggu (kiriman) novel selanjutnya, @Stiletto_book :p :* ({})

Senin, 25 November 2013

My Perfect Morning

Gelas, Buku, dan Kecap
Sebuah bingkisan dari @kopdarfiksi Makassar bersama Bernard Batubara





Senyum Raina spontan menyambutku ketika lonceng di atas pintu Woody

Moody berdenting singkat kala kusingkap. Aku menghampirinya yang setia
berdiri di balik meja, lengkap dengan segaris senyum dan macbook di
pelukan.

"Segelas ice moccacino lagi?" sapa perempuan berseragam krem tersebut.

Kuanggukkan kepala satu kali. "Oh, iya. Ada sumbangan buku lagi hari ini?"

"Iya, bukan pasar malam-nya Pram. Harta karun yang kaucari selama
ini," jawab Raina seraya mengerling singkat ke rak mini di sudut
ruangan.

"Lalu..." Aku menaikkan sebelah alis, membiarkannya menebak ujung
kalimatku. Kalimat yang --aku tahu-- sudah bosan ia dengar setiap
hari, tepat jam tujuh pagi.

"Tunggu," Raina langsung menghilang ke balik pintu berbahan kayu di
belakangnya. "Ini, small pizza dengan kecap, sarapan ajaibmu. Sudah
kusiapkan sebelum kau datang."

"Kau memang yang terbaik. Andai ada lelaki sepertimu, pagiku pasti
akan lebih indah. Pusat hidupku bertambah."

"Bukankah kau bilang hanya butuh segelas moccacino dingin, buku, dan
pizza berkecap agar harimu bahagia?"

Aku kembali mengangguk, lebih semangat dari awal tadi. Kedua sudut
bibirku pun membentuk lengkung sempurna. "Yah, kau benar. Aku tak
butuh laki-laki ternyata."

Just Ended

Just Ended



Makassar, 11 Juli 2013

Tiara melirik jam yang melingkari pergelangan tangan kirinya, entah untuk yang keberapa kali. Di luar rumah, tetesan air masih mengguyur dengan ramainya. Ia tidak pernah membenci hujan jika saja tak datang untuk menghalangi perjalanan pentingnya, seperti saat ini.

Handphone di genggamannya pun tak henti-hentinya bernyanyi. Ia tahu, Dika pasti sama paniknya dengan dirinya sekarang. Pesawat yang akan membawa lelaki itu ke Jogjakarta akan lepas landas pukul enam petang, dan ia masih dihadang hujan sementara kini jarum jam sudah hampir mengenai angka lima. Belum lagi perjalanan ke bandara yang bisa memakan waktu satu jam atau lebih jika macet ingin turut campur dengan harinya. Tanpa sadar, Tiara sudah menggigit handphone berwarna putih di tangan kanannya tersebut—menahan amarah.

Lo naik angkot ke depan kompleksnya Riri, ya.
Gue gak bawa mantel, di sini masih deras.

Oh, bahkan sahabat yang ia harapkan akan memperlancar perjalanannya pun turut berkonspirasi untuk memakan waktu lama. Baru saja akan menelepon Rega—sahabat yang baru saja mengiriminya pesan singkat itu—handphone miliknya kembali berdering. Dika calling...

Belum sempat mengucapkan salam pembuka, lelaki itu sudah menyerangnya dengan rentetan kalimat yang diredam suara hujan. Tiara mendengus pelan, mengapa lelaki yang sudah menjadi kekasihnya hampir tiga tahun ini tak bisa menunggu dengan sabar?

“Iya, iya. Aku naik angkot ke rumahnya Riri, pacar Rega. Habis itu baru diantar ke bandara. Tunggu aja, aku pasti datang.”

***
            
Terima kasih pada Rega yang seharusnya menjadi pembalap moto gp saja daripada mahasiswa teknik, dia lebih ahli dalam menaklukkan jalanan raya daripada perangkat-perangkat lunak komputer. Buktinya hanya dalam waktu setengah jam, Tiara sudah melangkah menghampiri keluarga besar Dika yang duduk bersisian di beranda depan bandara Sultan Hasanuddin.

“Kok lama, Ra?” sapa Mbak Lia, kakak ipar Dika sembari bertukar ciuman pipi dengan Tiara.

“Iya, tadi di rumah hujannya deras banget, Mbak.” Perempuan berjilbab dengan tubuh mungil itu pun duduk di antara keluarga besar kekasihnya, membaur layaknya keluarga sendiri. Yah, dirinya memang sudah dekat dengan keluarga tersebut sejak awal masa pacarannya bersama Dika.

Sosok Dika muncul tak lama kemudian, langsung mengambil tempat di sebelah kanan tubuh mungil Tiara. Tiara menghela napas panjang, mencuri aroma parfum lelaki itu agar tetap tinggal di indra penciumnya selama raga tersebut menetap di Jogjakarta nanti. Ah, ia membenci dirinya yang berubah melankolis akhir-akhir ini. Ini sudah kali kedua ia melepas kepergian Dika di bandara, namun mengapa kini ada perasaan tak rela yang menyusup diam-diam? Bukankah pada akhirnya dia juga akan kembali ke dalam pelukannya lagi?

“Daripada kalian lihat-lihatan begitu, kenapa gak pelukan aja, sih? Mumpung pesawatnya belum berangkat,” tegur Mas Fian, sepupu Dika.

Tiara kontan menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah.

Sementara Dika langsung mengelus puncak kepala yang tertutup jilbab polos berwarna kuning tersebut. “Gak boleh, Kak. Kan lagi puasa.”

***

Makassar, 17 Juli 2013

Thanks Tari J

            Sms yang baru saja masuk ke dalam kotak pesan pada handphone Tiara barusan sempat membuatnya sulit bernapas untuk beberapa saat. Tari? Ia membenci nama itu. Tidak ada yang salah memang, hanya saja tak ada perempuan lain bernama Tari di kehidupan Dika selain sahabat semasa SMA lelaki itu. Sahabat yang juga merupakan sahabat dari mantan kekasih Dika sebelum Tiara. Lalu mengapa sekarang...

Sorry, sayang. Tadi salah kirim.

            Ini sudah kali kedua Dika mengirimkan pesan berisi nama Tari ke handphone-nya. Sesering itukah keduanya saling mengirimkan pesan singkat? Bukankah dirinya sudah berulang kali melarang Dika berhubungan dengan perempuan itu? Yah, silakan sebut ia egois. Ia hanya tak ingin ada perempuan lain yang menikmati perhatian dari pacarnya sendiri. Ia tak ingin ada perempuan lain yang merasa diistimewakan selain dirinya, tidak pula untuk kategori ‘hanya sahabat’ yang selama ini dijadikan Dika sebagai tameng antara dia dan Tari-Tari ini.

            Tidak, Tiara tak pernah sekali pun menyangsikan cinta Dika padanya. Bagaimana ia bisa ragu jika seluruh keluarga besar keduanya sudah merestui hubungan mereka? Bagaimana ia bisa ragu jika Dika selalu membanggakannya di depan sahabat-sahabatnya? Bagaimana ia bisa ragu jika Dika selalu mencurahkan semua perhatian dan kasih sayang hanya pada dirinya? Dika menghabiskan waktu-waktu yang seharusnya ia gunakan untuk beristirahat dari rutinitas kerja dengan bertukar kabar maupun saling mengucap rindu melalui sambungan telepon atau internet, lalu bagian mana yang ingin ia ragukan?

Ya, sebut ini sebagai perasaannya saja. Tak mungkin Dika menyiakan kepercayaan darinya, dari keluarganya, dari janji menghabiskan usia mereka sejak hampir tiga tahun yang lalu. Persetan dengan ungkapan ‘insting perempuan tak pernah salah’, ia hanya ingin memercayai Dika. Hanya Dika pusat rotasinya saat ini.

***

Makassar, 2 Agustus 2013

            Tiara pikir, kepulangan Dika ke Makassar adalah momen bahagianya setelah dipisah jarak selama hampir satu bulan. Tak bertemu sehari saja dengan orang yang dicintai serasa mencekik hingga nyaris memutus urat nadi. Ia benci perasaan rindu yang menggebu-gebu, dan tak bisa bertemu untuk membunuh rindu itu. Namun jika kembali bertemu, yang ia kira bisa melepas rindu tersebut berubah menjadi ajang adu emosi, sepertinya sia-sia saja sabar menunggu.

Sepulang dari acara buka puasa bersama dengan keluarga Dika, Tiara dan lelaki itu melanjutkan pertengkaran mereka di rumah Tiara yang sepi.

“Pokoknya aku gak akan pernah suka kalo kamu masih suka jalan bareng Rega, ya.”

“Rega itu sahabatku dari SMP, Dik. Lagian aku perginya rame-rame sama sahabatku yang lain, dia udah punya pacar. Bukannya kalian juga udah kenal, kan?”

“Tetap aja aku gak suka, dia kan cowok.”

“Terus apa bedanya dia sama Tari? Dia juga cewek, dan kamu selalu bilang ‘kami cuma sahabat’ kalo aku ngomongin dia. Seharusnya kamu juga mikir gitu kalo mau nuduh aku sembarangan!”

Dika mendengus pelan menanggapi rentetan kalimat Tiara yang disertai teriakan penuh emosi barusan. Ini bukan kali pertama mereka beradu urat selama berpacaran. Tak heran, putus pun selalu menjadi jalan akhir. Bukan mengakhiri cinta sebenarnya, namun lebih untuk menahan ego sementara waktu. “Jadi, kamu lebih pilih Rega... atau aku?” tandasnya kemudian.

“Dika, stop berpikiran kekanak-kanakan, deh! Kamu juga mau, kalo aku suruh pilih Tari atau aku? Hah?”

“Aku sekarang minta kamu memilih, bukannya malah balik nanya.”

Tiara menatap Dika dengan kedua mata menyipit, bahu naik-turun, dan napas yang mulai tak beraturan. Ia membenci Dika yang berubah egois seperti ini, berubah egois ketika dirinya sendiri juga tak mau mengalah.

“Oke, karena kamu diam, aku rasa aku udah tahu jawabannya...” lelaki berkaus polo itu bangkit dari sofa ruang tamu rumah Tiara yang biasanya menjadi saksi hari-hari penuh cinta mereka. “Aku pergi, berhenti berhubungan sama keluargaku. Semoga kamu bahagia sama pilihanmu.”

Tiara menatap punggung yang menghilang di balik pintu rumahnya tersebut dengan nanar. Ia ikut bangkit, berniat menyusul sosok Dika dan menjelaskan perasaannya. Namun alih-alih melangkah, ia malah meluruh, bersatu dengan lantai marmer ruang tamu.

Tak bisakah mereka menjalani hubungan seperti orang-orang berpikiran dewasa lain? Tak bisakah Dika menyadari perasaannya yang tak tertandingi oleh apapun lagi? Tak bisakah mereka berhenti saling menghakimi hal-hal yang sudah jelas dalam hubungan mereka selama ini?

Perempuan itu tak menyadari isakan yang sudah keluar dari bibir mungilnya, sementara ia memeluk tubuhnya sendiri. Di antara wajahnya yang tersembunyi di balik kedua lutut, ia berharap Dika datang lagi. Meminta maaf, dan menyalurkan hangat dari rengkuhan kedua tangannya. Ia tak kuat memeluk dirinya sendiri saat ini. Ia mencintai Dika dengan seluruh hidupnya, ia membutuhkannya.

***

Makassar, 10 September 2013

            Tiara membenci dirinya yang dengan mudah memberi maaf pada Dika. Ia membenci dirinya yang tak bisa bertahan lama tanpa sosok lelaki itu. Ia membenci dirinya yang terlalu percaya, terlalu menyayangi lelaki yang belum genap tiga tahun dikenalnya. Ia membenci dirinya yang kini semakin lama, semakin sadar bahwa ia tak bisa hidup tanpa kebiasaan-kebiasaannya selama menjalin hubungan dengan Dika.

Dan di sinilah ia sekarang, sebuah restoran fast food bersama Dika yang baru semalam dimintanya kembali. Dengan menurunkan segala ego, harga diri, atau apapun yang orang lain sebut, ia memang yang pertama kali meminta Dika kembali menjadi kekasihnya. Sudah lewat sebulan dari perpisahan mereka, di malam anniversary mereka yang ke-34 bulan, dan menunggu Dika yang menghubunginya duluan sama saja dengan sia-sia.

“Kamu udah gak sayang sama aku, kan? Makanya sampai sekarang kamu gak minta balikan kalo bukan aku yang minta,” ujar Tiara sambil menggigit potongan kentang goreng di antara telunjuk dan ibu jari tangan kanannya.

“Siapa bilang? Kamu jangan bikin selera makanku hilang, deh.”

“Terus kenapa kamu gak minta balikan duluan? Dulu-dulu kan biasanya begitu.”

“Masa hal kayak begini harus kita debatkan lagi, sih? Capek, Ra.”

“Aku cuma nanya. Aku gak mau bikin asumsi sendiri, karena aku gak mau sakit hati lagi sama pikiranku yang macam-macam tentang perasaan kamu.”

Dika menyesap cangkir yang masih mengepul di hadapannya. Kemudian menumpukan kedua sikunya ke atas meja sembari menumpahkan seluruh perhatiannya pada Tiara. “Aku cuma mau ngasih kamu sedikit pelajaran. Lagian aku tahu gimana kamu yangn gak bisa jauh-jauh dari aku. Jadi cepat atau lambat, kamu yang ngehubungin aku duluan. Iya, kan?”

Tiara menepis jemari Dika yang berjalan di puncak kepalanya yang siang ini dihalangi jilbab merah muda. “Oh, jadi karena kamu tahu aku gak bisa jauh dari kamu, makanya kamu manfaatkan momennya, begitu? Aku jadi heran, jangan-jangan... kamu udah gak sayang sama aku, ya?”

Lelaki berkemeja biru dongker tersebut meletakkan garpu dan pisaunya di atas piring dalam keadaan menelungkup. “Tiara, stop this topic, please. Udah, deh. Aku mau ke kamar kecil dulu.”

Perempuan berjilbab itu menatap punggung bidang yang menjauh tersebut hingga hilang di bagian dalam restoran. Ia menghela napas panjang, memikirkan dirinya yang terasa menyedihkan. Apa benar hanya dirinya yang bertahan? Apa lelaki itu sudah lama berhenti memperjuangkan?

Bunyi singkat dari smartphone di atas meja membuyarkan lamunan Tiara. Ia pun meraih gadget milik Dika, lalu melihat notifikasi yang masuk; hanya broadcast tidak penting. Jemarinya kini menari di atas touch-screen, melihat nama-nama yang berada di daftar percakapan lelaki itu. Entah naluri dari mana, pandangannya langsung terpaku pada satu nama di sana. Utari Ramadhani.

Utari Ramadhani:
Oh, jadi hubungan kita selama ini kamu anggap apa? Aku kecewa sama kamu, Dik.

Andika Saputra:
Sorry, Tar. Aku beneran gak ngerti juga, aku harap kamu ngerti sama keadaanku. Kita lihat ke depannya gimana aja, ya.

            “Kamu ngapain?” tegur Dika sambil merebut paksa smartphone miliknya dari genggaman Tiara yang balik menatapnya dengan mata yang mengerjap beberapa kali.

“Kamu... chat... aku...” Tiara menelan ludah seraya bangkit dari duduknya. Ia harus berpegangan pada meja saat menyampirkan tasnya, takut lututnya tak sanggup lagi menopang tubuh. “Thanks, Dik.” Ia buru-buru berlalu sebelum butiran bening itu meluruh dan membanjiri pipinya. Ia perempuan yang kuat, ia tak boleh membuat Dika semakin bangga atas kelemahannya. Bukan perempuan namanya kalau tidak menangis untuk meluapkan kekecewaan, ia membatin seraya terus melangkah ke tepi jalan raya.

“Tiara! Stop act like a kid, please!” Dika sudah mencekal lengannya, menyejajarkan langkah tepat di sisi tubuh mungil perempuan itu.

“Lepas, Dika. Jangan bikin aku sama kamu malu di tengah jalan begini.” Tiara membenci kata kita untuk kalimatnya barusan.

“Kamu lihat apa di handphone-ku? Chat sama Tari? Oh, God..., itu udah lama. Sejak aku masih di Jogja. Sekarang kami udah gak ada apa-apa lagi.”

“Jadi dulu kalian ada apa-apa, begitu?” Tiara memilih berhenti, memasang ekspresi yang sukar dibaca, dengan suara pelan. Ia tak mau orang lain mencuri dengar, apalagi di tengah keramaian seperti ini.

Dika  melepaskan genggamannya pada lengan tirus Tiara setelah yakin perempuan itu tak akan lari lagi. “Enggak sama sekali. Aku sama dia cuma sahabat, dan seterusnya begitu. Kamu jangan mikir macem-macem, deh.”

***

Makassar, 11 September 2013

            Tiara menatap kalimat demi kalimat yang memamerkan diri di layar handphone-nya dengan sendu. Ia ingin menangis, sungguh. Tak ada obat paling manjur untuk meredakan kekesalan, kekecewaan, atau amarah melebihi air mata. Namun mengapa sekarang kelenjar di ujung bola matanya ini seakan sedang absen bekerja? Kemana perginya ia saat dibutuhkan? Sebagai ganti, ia pun memilih meninju dan menginjak boneka tanpa dosa di lantai kamarnya. Boneka dari orang yang ia pikir masih, atau mungkin pernah mencintainya. Cinta-kah selama? Ah, ia juga sangsi.

Perempuan itu tak pernah mengira akan berkirim pesan singkat dengan perempuan yang beberapa menit lalu pun masih ia benci. Perempuan itu tak pernah mengira bahwa yang seharusnya ia benci adalah orang yang selama ini ia cintai.

Aku kira kalian udah putus, Ra. Dia sendiri yang ngaku udah jomblo, makanya aku juga ngasih respon. Sumpah ya, Ra..., dia yang pertama ngehubungin aku. Kalo aku tahu dia seberengsek ini, mana mau aku dekat lebih dari sahabat sama dia.

***

Jogjakarta, 17 Juli 2013

            Dika dengan cekatan membalas pesan singkat dari Tari yang baru saja menyapa smartphone miliknya. Ada pesan dari Tiara yang lebih dulu masuk, namun ia memilih mendahulukan pesan Tari untuk dibalasnya. Yah, bukan hidup namanya jika tak ada lebih dari satu pilihan.

Kamu doain aku aja semoga sukses sama pekerjaan di sini.
Kalo aku udah beneran mapan nanti, kan kamu juga yang seneng.
Aku tinggal langsung lamar kamu, gak perlu pacaran ngabisin waktu gak jelas.

            Sending... sent to: Utari Ramadhani.

From : Utari Ramadhani
Iya, aku selalu berdoa buat kamu kok.
Janjinya aku pegang, ya. Cepetan balik J

            Benda yang masih setia berada di genggaman Dika itu kembali berbunyi. Tiara kembali mengiriminya pesan, mungkin heran mengapa pesan sebelumnya belum dibalas juga.

Thanks Tari J

            Sending... sent to: Tiara Pratiwi.
***

Makassar, 28 Oktober 2013

            Tiara sudah merasa dirinya membaik, lebih baik dari terakhir kali ia menatap dirinya di cermin. Yah, ia bermusuhan dengan cermin dua bulan ini. Tak ingin bertukar pandang dengan dirinya sendiri lewat media kaca tersebut. Tak ingin menyadari bintik-bintik merah yang memenuhi wajah dan lingkaran hitam yang menguasai area matanya, juga tulang pipi yang semakin kentara. Ah, ia membenci masa-masa menyedihkannya itu.

Hampir semua manusia—termasuk Tiara di dalamnya—memang membutuhkan tamparan untuk disadarkan. Bertahun-tahun mempertahankan hanya karena hitungan hari yang sudah kepalang banyak, merupakan hal paling bodoh yang pernah ia lakukan. Entah sudah berapa kali Tuhan menegurnya dengan cara halus untuk berhenti berjuang sendirian, hingga akhirnya ditampar dengan kenyataan. Perih memang, namun setidaknya ia akhirnya bisa membuka mata dan melapangkan dada.

Mungkin salah Tiara karena terlalu percaya pada Dika, walau hal itu adalah poin penting dalam setiap hubungan. Tapi setiap saat, kepercayaan bisa menjadi bumerang paling menyakitkan yang akan berbalik pada diri sendiri. Seberapa besarnya kepercayaan dan komunikasi, Tuhan selalu punya cara untuk menunjukkan sela yang mungkin tak dapat kita temukan seorang diri.

Jangan sebut-sebut nama Dika lagi padanya, ia sedang dalam tahap meng-amnesia-kan diri sendiri. Walau ia tahu bahwa berusaha kuat untuk melupakan tak ada bedanya dengan terus mengingat.

Cinta memang tetap menjadi rahasia. Tapi menurut Tiara, kata ‘saling cinta’ hanya untuk orang-orang yang beruntung saja. Menurut Tiara, terserah dengan pikiranmu.

Senin, 02 September 2013

Ingatan, bisakah kau dilumpuhkan?

Lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia
Hapuskan memoriku tentangnya
Hilangkanlah ingatanku jika itu tentang dia
Kuingin melupakannya  ♫♪

Akhir-akhir ini, banyak orang yang berkali-kali merapalkan lagu baru dari Geisha tersebut. Sembari berharap ada malaikat yang meng-aamiin-i kalimat-kalimat itu dan Allah swt. sudi mengabulkannya, mungkin.

Aku salah satu orang yang termasuk di dalamnya. Aku, yang berdoa sepenuh hati untuk melupakan sesuatu yang tak lagi harus diingat. Namun sayangnya, aku bukan tipe orang yang mudah melupakan. Sialnya lagi, batin yang mudah goyah ini selalu dengan bodohnya terus-menerus mengenang.

Seandainya melupakan semudah itu. Seandainya tak lagi mengingatmu seperti mengedipkan kedua mataku. Seandainya tak banyak kenangan yang tercipta. Seandainya tak banyak waktu yang tersita ketika aku dan kau masih menjadi kita. Seandainya waktu bisa berputar kembali. Seandainya ingatan dapat dilumpuhkan hanya dengan menyanyi.

Sampai detik ini pun, aku masih berharap ingatan ini bisa dilumpuhkan. Agar tak ada lagi air mata yang terbuang sia-sia. Jika kita mempertahankan sesuatu yang membuat kita tersakiti, tak usah menyalahkan keadaan. Karena hakikatnya, kita yang telah memilihnya, bukan? Lalu mengapa sampai sekarang masih ada perasaan tak ikhlas?

Jadi...

Pernahkah kau mencintai sedemikian rupa—kemudian disia-siakan?

Pernahkah kau telah memberikan segala yang kau punya sebisamu—lalu dicampakkan?

Pernahkah kau meyakini suatu hubungan, menumpahkan segala perasaanmu di dalamnya, mempertahankannya sekian lama, sekuat tenaga—dan akhirnya harus berhenti di tengah jalan?

Pernahkah kau menjauhi segala macam godaan atau sesuatu yang kau takuti akan menghancurkan hubungan tersebut, tapi malah dia yang melakukannya—dan kau tetap bersabar?

Pernahkah kau memiliki pasangan yang lebih mementingkan keegoisannya daripada hubungan kalian, daripada cintamu yang sudah sedemikian dalam padanya—dan kau tetap menantinya?

Pernahkah kau tetap dan akan menunggunya kembali, setia menangisi kepergiannya setiap saat—dan dia pun tetap tak menggubrismu?

Belum pernahkah? Tak usah sok-sok mengemis, bernyanyi sambil menangis meraung-raung ingin melumpuhkan ingatan, kalau begitu.


Selasa, 04 Juni 2013

Remember Me - Ending :")

Perempuan itu bisa merasakan kesibukan di sekitarnya. Ia bisa merasakan tubuhnya sedang ditangani dengan intens oleh beberapa orang sekaligus. Ia bisa merasakan keributan, bahkan teriakan dokter di dekatnya. Namun tak bisa memberi repon, pun membuka mata. Mungkin efek obat bius atau apa, entahlah.
Tiba-tiba, beberapa potong kejadian memasuki memorinya. Tidak lagi berdesakan dan berebutan masuk seperti beberapa tahun terakhir, semuanya kini teratur. Mengalir, seakan benar-benar kembali pada tempat semula yang telah lama ditinggalkannya. Diam-diam, perempuan yang tidak lain adalah Fanya itu tersenyum tipis. Sakit itu ia dilupakan. Yang paling penting, kini ia sudah bisa mengingat.
***
I remember, the way you glanced at me
Yes I remember
I remember, when we caught a shooting star
Yes I remember
“Kamu kalo ngambek gitu cakepnya makin keliatan, deh.” Lelaki dengan celana pendek kargo dan kaus bergambar The Beatles tersebut ikut berbaring d sebelah Fanya. Langit malam dari atas rumput taman belakang rumah perempuan itu memang merupakan tujuan rutin keduanya setiap hari. Tak boleh terlewatkan.
“Lo pacaran aja sana sama tugas kampus! Lupain aja gue!” Fanya sontak menepis tangan Haykal yang mengelus kepalanya.
Haykal menghela napas panjang. “Tugasku lagi bener-bener numpuk, sayang. Semuanya harus selesai besok, baru aku boleh ngajuin proposal tugas akhir. Aku mesti jelasin berapa kali, sih?”
“Bodo.” Perempuan dengan terusan polkadot tersebut membelakangi tubuh kekasihnya.
“Jadi ngambek, nih?” Lelaki yang malam itu menanggalkan kacamatanya malah mencolek pinggang Fanya, membuat perempuan berambut ikal tersebut tersentak. Kaget bercampur geli.
“Apaan, sih! Nyebelin!”
“Balik sini kalo gitu,” rajuk Haykal tanpa menghentikan aksi telunjuknya di pinggang sang kekasih.
“Gak mau! Sana lo! Balik aja pacaran sama tugas!”
“Beneran gak mau?”
“Menurut lo?”
“Oke.”
Hening.
Fanya kontan mengerutkan keningnya. What? Jangan bilang dia... beneran balik dan kerja tugas? Oh, God! Kapan sih cowok itu bisa peka dikit? Ck! batinnya. Lalu membalikkan tubuh, berniat kembali berbaring dalam posisi telentang dan menikmati langit malam yang penuh bintang.
Namun tiba-tiba, ia menoleh dan merasakan tubuh mungilnya ditarik paksa ke dalam rengkuhan hangat milik seseorang yang ternyata masih berbaring tepat di sebelah kirinya. Membuatnya berontak, apalagi saat sosok itu mendekatkan wajah dan sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya. Sesuatu yang sebenarnya saat ia kenal, sangat akrab dengan kesehariannya tiga tahun ini. Diikuti desakan lidah yang memaksa masuk ke dalam mulutnya, juga jemari yang tersisip di antara rambut panjangnya.
Fanya terpaku. Entah mengikuti naluri atau apa, ia malah menikmati hal tersebut. Matanya terpejam, sedangkan kedua tangannya meremas lengan lelaki itu.
Saat napas keduanya mulai tak beraturan, pemilik bibir yang tak lain adalah Haykal itu langsung menarik dirinya –sebelum kehilangan terkontrol. “Apa aku harus nyium kamu dulu, baru kamu mau berhenti ngambek?”
Wajah Fanya seketika memerah. Kedua pipinya menggembung, tanda ia sedang menahan malu.
Haykal kontan tertawa. Ia lalu meraih tubuh kekasihnya mendekat, merapat dalam dadanya yang hangat. “Tapi aku gak keberatan kok kalo kamu ngambek terus, asal bisa sering-sering nyium kamu.”
I remember, all the things that we shared
and the promise we made, just you and I
I remember, all the laughter we shared
All the wishes we made, upon the roof at dawn
Do you remember?
When we were dancing in the rain in that december
And I remember, when my father thought you were a burglar
“Fanya! Ini hujan, kamu bisa berhenti kekanak-kanakan, gak? Mau sakit?” Teriakan lelaki itu teredam derasnya hujan.
Di depannya, sosok Fanya terus berjalan membelah hujan yang membasahi jalanan dekat sekolahnya. Dengan Haykal yang mengikuti dari belakang.
“Nya!!!” Haykal langsung mencekal pergelangan tangan kekasihnya tersebut, sebelum ia semakin jauh. Kemudian menariknya ke teras ruko yang tertutup untuk berteduh. Pakaian mereka berdua sudah basah kuyup. Ia dengan kemeja dan celana katun, sedangkan Fanya dengan seragam putih abu-abu.
“Lo kalo gak niat jemput gue, bilang! Gak usah bikin gue nunggu kelamaan sampe dikira satpam sekolah!” sorak Fanya sambil menyentakkan genggaman kekasihnya dengan kasar. Meluapkan amarah.
“Bukannya aku udah bilang kalo mata kuliahku baru selesai pas sore? Kamu sendiri yang bilang mau nunggu, kan?” Emosi lelaki itu pun ikut terpancing. Pandangan teduhnya menghilang entah kemana.
“Oh, jadi sekarang lo ngelimpahin kesalahannya sama gue? Gitu? Hebat banget!!!”
Baru saja Fanya hendak berlalu, lelaki yang kemejanya sudah berantakan tersebut kembali mencekal tangannya. “Oke! Oke! Aku yang salah. Puas?”
“Udah, deh. Gue udah gak tahan. Mending kita udahan aja sampe di sini.” Perempuan yang kunciran rambutnya sudah awut-awutan itu kembali berusaha membebaskan tangannya, namun kali ini tidak berhasil. “Lepasin! Sakit, tau gak! Kasar banget sih jadi cowok!”
“Gak bakalan kalo kamu masih emosi gini.” Haykal menatap perempuan di depannya dengan tajam. Guntur menyela beberapa kali. “Coba liat mata aku. Dan ngomong kalo kamu udah gak sayang sama aku.”
Fanya kontan mengangkat wajahnya. Kemudian bertukar pandang dengan lelaki berkumis tipis dan hidung mancung tersebut. Ia menyadari, ada sesuatu yang berdesir di dadanya setiap bertatapan dengan pemilik mata teduh itu.
“Coba, aku mau denger kamu ngomong kayak yang aku bilang tadi,” ulang Haykal.
Fanya membuka mulutnya sejenak, namun segera mengatupkannya kembali. Lidahnya kelu. Ia tidak terbiasa berbohong selama ini.
“Kenapa? Kok diem?”
“A-aku...” Perempuan itu langsung menunduk. Menghindari tatapan kekasihnya, lebih memilih terpaku pada kedua flat shoes miliknya yang dipenuhi bercak lumpur.
“Kamu nih... Ck!” Haykal tak jadi melanjutkan kalimatnya. Lelaki bertubuh tegap dengan dada bidang dan perut rata tersebut memilih menarik tubuh kekasihnya ke dalam pelukan. Membiarkan tubuh mereka berbaur dalam keadaan basah kuyup.
Fanya menurut. Ia malah menyandarkan kepalanya ke dada Haykal. Memejamkan mata saat ciuman menenangkan milik lelaki itu mendarat di puncak kepalanya.
“Maafin aku, ya...” bisik Haykal.
Perempuan bertubuh mungil tersebut mengangguk pelan.
Haykal melepaskan pelukannya. “Kita pulang sekarang, yuk!”
Fanya mengangguk sambil tersenyum. Namun ia masih bergeming saat kekasihnya melangkah menjauhi ruko tempat mereka berteduh. Membuat langkah lebar Haykal terhenti –masih di bawah guyuran hujan.
“Kok masih di situ? Buruan!” Lelaki itu mengulurkan tangannya, minta diraih.
“Gendong,” rajuk Fanya.
Haykal buru-buru kembali ke naungan atap teras ruko. “Kamu jangan becanda, deh. Ini udah hampir magrib.”
“Siapa yang becanda?” Perempuan berseragam SMA tersebut melipat kedua tangannya di depan dada. “Karna kamu udah bikin aku nunggu hampir tiga jam, jadi sekarang kamu harus gendong aku sampe ke mobil. Titik.”
“Nya, aku markirnya jauh, loh. Gak usah macem-macem maunya.”
“Gak mau? Ya udah. Aku gak mau pulang bareng kamu. Mending jalan kaki sambil hujan-hujanan.”
“Fanyaaa...” Haykal menggeram di akhir kalimatnya. Antara menahan gemas dan kesal.
“Apa?”
Lelaki itu pun langsung berjongkok di depan kekasihnya –dengan berat hati. Kontan saja membuat Fanya dengan senang hari menjatuhkan tubuh ke punggung bidangnya. Ia lalu berusaha berdiri. Walaupun mungil, menggendong Fanya ternyata butuh tenaga keras juga.
“Jalannya jangan cepet-cepet. Aku lagi ngenikmatin hujan.” Perempuan itu harus menepuk pundak Haykal berulang kali untuk mengikuti kemauannya.
“Hujannya deras banget, sayang. Mobilnya juga masih di depan sana,” balas Haykal.
“Biarin. Pokoknya aku mau lama-lama di bawah hujan.”
“Kalo kamu sakit, gimana?”
“Apa gunanya aku pacaran sama calon dokter kalo sama sakit aja takut?”
Haykal langsung menoleh. Kemudian tersenyum penuh arti dan menghentikan langkahnya. Mereka berdua bertatapan dalam diam. Lalu entah siapa yang memulai, bibir mereka sudah menyatu. Dibingkai oleh hujan deras.
I remember, the way you read your books
Yes I remember, the way you tied your shoes
Yes I remember, the cake you loved the most
Yes I remember, the way you drank you coffee
I remember, the way you glanced at me
Yes I remember, when we caught a shooting star
Yes I remember, when we were dancing in the rain in that december
And the way you smile at me, yes I remember
(Mocca – I Remember) ♫♪
***
            Hal pertama yang didengar Fanya setelah membuka matanya adalah mesin pendeteksi detak jantung yang sepertinya terletak tepat di sebelah telinganya. Sedang yang pertama dilihatnya adalah cahaya lampu di atas tempat tidur. Membuatnya harus mengerjapkan mata beberapa kali untuk menetralisir sinar yang tiba-tiba merasuk indra penglihat miliknya.
“Nya? Fanya? Kamu udah sadar, sayang?” Merupakan suara kedua yang ia dengar, berasal dari sebelah kanannya. Ia pun menoleh sekuat tenaga, setelah sebelumnya menyadari bahwa lehernya di-gips sedemikian rupa.
“Kamu kenapa? Ada yang sakit? Aku panggil dokter dulu, ya!” Pemilik suara bernada khawatir tersebut berniat membalikkan tubuh, namun diurungkan saat mendengar deheman dari sosok yang masih terbaring di atas tempat tidur rumah sakit itu.
“Kenapa?” Lelaki yang tak lain adalah Haykal tersebut langsung mendekatkan telinganya ke arah sang tunangan.
“A...ir...” ujar Fanya dengan suara yang serak.
Haykal pun kontan menyodorkan segelas air putih lengkap dengan sedotan ke depan bibir Fanya. Tangan kanannya menopang kepala bagian belakang perempuan itu, memudahkannya untuk minum.
Fanya menghabiskan setengah dari isi gelas tersebut. Lalu kembali berbaring. Napasnya mulai teratur.
“Aku panggil dokter dulu.”
“Gak usah,” sela Fanya cepat.
Kedua alis Haykal menyatu.
“Aku udah baikan, kok. Kamu di sini aja.”
Alis tebal milik lelaki itu masih bertaut, namun ia memilih menuruti kemauan perempuan di depannya. Kemudian kembali duduk di kursi samping tempat tidur, tempatnya menjaga sang tunangan sejak kondisinya membaik sehari yang lalu.
“Aku gak pernah ngerasa sesehat dan sebahagia ini sebelumnya,” ucap Fanya. Memecah keheningan yang sempat tercipta.
Haykal belum berani angkat bicara. Setahunya, dua hari yang lalu tunangannya ini bangun dari koma dengan raut heran. Lalu mengapa sekarang dirinya yang dibuat demikian?
“Haykal Pradipta Saputra...”
Jantung lelaki itu langsung berdetak dua kali lebih cepat saat mendengar nama lengkapnya disebut.
“Aku... udah inget semuanya.”
Hening. Sedetik. Tiga puluh detik. Semenit.
“Se... Serius?” Suaranya bahkan tercekat di tenggorokoan.
Dan anggukan lemah Fanya-lah yang menjadi awal dari pelukan eratnya. Pelukan yang sarat akan rindu. Disertai kecupan berulang kali di dahi dan puncak kepala perempuan yang sangat dicintainya itu.
***
            “Saya sudah dengar cerita dari mereka.”
Suara berat itu kontan membuat tubuh jenjang milik Dokter Ita menyingkir dari depan pintu ruangan dimana Fanya dirawat. Tempat ia menyaksikan adegan –sok romantis menurutnya– sejak beberapa saat lalu.
Pemilik suara berat tersebut menghampiri Dokter Ita yang seketika langsung memasang ekspresi tegang. “Dokter yang sengaja memanipulasi mobil Haykal sampai remnya blong. Iya, kan?”
“Dok-Dokter tau darimana?” Dan saat itu juga, perempuan dengan long dress hitam itu langsung menyesali kalimatnya.
Lelaki berjas dokter di depannya spontan tertawa pelan. “Saya punya banyak mata, Dokter Ita. Apa sebesar itu perasaan Dokter pada calon menantu saya, sampai-sampai hampir menghilangkan nyawa anak saya sendiri?”
Dokter Ita sontak menyandarkan tubuhnya ke dinding rumah sakit tempat Dokter Wirawan –ayah Fanya– bekerja. Lunglai. “Saya... juga mencintainya, Dokter. Apa salah? Toh mereka belum menikah,” sahutnya lemah, dengan kepala tertunduk.
“Cinta itu tidak selamanya bisa memiliki, Dokter. Apalagi cinta yang dipaksakan, tidak ada indahnya sama sekali.”
“Tapi bukannya cinta juga perlu diperjuangkan?”
“Iya, jika keduanya sama-sama saling cinta. Kalau hanya satu yang memperjuangkan, sama saja dengan kesia-siaan.”
Perempuan itu tersenyum sinis. “Coba Fanya yang ada di posisi saya, apa Dokter masih bisa ngomong begitu?”
“Jelas. Saya tidak mau melihat Fanya memperjuangkan laki-laki, apalagi dengan tindakan bodoh menjurus kriminal seperti Dokter Ita,” balas Dokter Wirawan. “Saya sebenarnya sudah berniat melaporkan tindakan ini ke polisi, saya sudah punya bukti dan saksi. Tapi karena istri saya tidak mau memperpanjang masalah, jadi saya juga cukup mengasihani anda.”
Dokter Ita bergeming.
“Dokter ini cantik. Bukan hal yang sulit untuk mencintai laki-laki lain. Dokter cuma butuh orang yang tepat.”
Tubuh perempuan bertubuh jenjang tersebut kembali tegak. Kemudian berbalik, hendak meninggalkan dokter senior itu.
“Saya cuma memberikan masukan, Dokter. Dan, oh iya. Saya harap Dokter membiarkan Haykal dan Fanya bahagia. Kebahagiaan Dokter bukan ditentukan oleh hubungan mereka,” tandas ayah Fanya. Sebelum Dokter Ita berlalu dari hadapannya.
***
Satu minggu kemudian...
            Tak ada hal-hal seru yang terjadi sepanjang minggu ini, kecuali Fanya yang terus merengek untuk dibawa pulang. Perempuan itu harus mogok makan dulu, baru diizinkan meninggalkan rumah sakit tempatnya dirawat selama sebulan terakhir ini.
Ia begitu merindukan suasana dan segala macam hal tentang rumah. Dan begitu ia kembali, entah mengapa tubuhnya jadi sehat. Semangatnya kembali.
“Sayang, kamu naik tangganya jangan sambil lompat-lompat gitu, dong! Ntar jahitannya kebuka, gimana?” Teriakan Haykal muncul dari bawah.
“Apaan, sih? Emangnya aku abis melahirkan? Jangan lebay, deh! Aku udah sembuh, tau!” sahutnya, cuek.
Haykal berdecak gemas seraya ikut menaiki tangga menuju kamarnya yang terletak tepat di seberang kamar Fanya di lantai atas. Ayah dan ibu perempuan itu masih sibuk di rumah sakit. Jadi –lagi-lagi– hanya mereka berdua di rumah ini.
Lelaki dengan baju kaus putih bertuliskan ‘engagement with pretty woman’ tersebut menyandarkan tubuh tegap miliknya ke sisi pintu kamar Fanya sejenak. Kemudian ikut memasuki kamar itu, menghampiri tunangannya di atas tempat tidur.
“Aku bahagia banget loh sekarang. Gak pa-pa deh kecelakaan sampe badan penuh luka gini kalo akhirnya bisa inget sama kamu,” ujar perempuan berkaus putih bertuliskan ‘engagement with awesome man’ tersebut. Sepasang kaus yang mereka buat beberapa tahun lalu, sebelum Haykal memutuskan pindah ke Australia. Senyumnya merekah.
Di sebelahnya, senyum Haykal tak kalah lebar. “Aku lebih bahagia lagi. Lebih dari apapun di muka bumi saat ini.”
Hening.
Fanya sibuk mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar, sedangkan Haykal sendiri sibuk menatap wajah perempuan itu.
Dan entah naluri darimana, lelaki yang rambutnya mulai menyentuh tengkuk tersebut memutuskan jarak dengan tunangannya. Hingga kedua tubuh mereka saling menyentuh, bibir keduanya saling bertaut, dan jemari yang sibuk mennyampaikan rindu lewat genggaman.
Tiba-tiba, Fanya menarik wajahnya yang merona dan napas terengah.
Haykal menatapnya dengan dahi berkerut.
“Aku... buatin kamu cappucino dulu. Kamu belum sarapan, kan? Hm, sekalian roti bakar selai kacangnya, gak?”
Lelaki itu kontan tersenyum, lalu mengangguk. “Aku selalu suka masakan kamu, yang jelas segala sesuatu yang ada kamu-nya. Oh, iya. Bikinnya pake cinta, ya! Itu yang paling penting, jangan lupa!”
Fanya tertawa sekilas, kemudian melangkah –setengah berlari– meninggalkan kamar setelah bibirnya kembali dikecup mesra oleh sang tunangan.
Saat langkahnya mencapai pintu kamar, perempuan mungil tersebut kembali berbalik. “Kamu jangan kebanyakan gombal. Aku udah kenyang,” ujarnya seraya memilin ujung rambut ikalnya.
“Trus, maunya apa?” Kedua alis tebal Haykal dibuat bertaut.
“Dilamar, dong. Siapa yang gak mau ganti status dari tunangan jadi istri, coba?” jawab Fanya. Lalu buru-buru berlari menuju dapur di lantai bawah. Sebelum rona merah di kedua pipinya bisa membakar wajahnya.
Di dalam kamar, Haykal tersenyum lebar. Istri? Okay, secepatnya! batin lelaki itu. Kemudian menyusul tunangannya dengan langkah lebar.
I remember, the way you read your books
Yes I remember, the way you tied your shoes
Yes I remember, the cake you loved the most
Yes I remember, the way you drank you coffee
I remember, the way you glanced at me
Yes I remember, when we caught a shooting star
Yes I remember, when we were dancing in the rain in that december
And the way you smile at me, yes I remember ♫♪