Kamis, 15 Oktober 2015

Membunuhmu


Ada waktu-waktu ketika aku ingin membunuhmu
Dari dalam dada, pun kepala
Bersama airmata yang menderas di Agustus
Juga amarah yang meletus-letus

Aku pernah membunuhmu di dalam cerita-cerita dari jemari
Hingga kau akhirnya tak lagi menjadi yang terus bahagia
Lalu aku kembali sesenggukan, meraung-raung, merintih, meratapi
Tak mampu menahan pedih karena ditinggalkan lagi

Semakin tua tahun, semakin tak terhingga hitungan kebersamaan,
aku semakin lelah menghidupkanmu di dalam kepala
Aku ingin kau mati saja, bersama bulir peluh yang keluar dari pori
Atau bergabung dengan sisa makanan yang berhasil kucerna
Tapi aku tak tega

Aku mencintaimu sedalam-dalamnya, sedalam dirimu setiap menembusku
Namun kau hanya sebatas itu, membuat keinginan membunuhku tak
habis-habis,
walau belum bisa menandingi banyaknya kasih yang selama ini mampu
kuberi

Aku ingin membuatmu merasakan mati,
seperti yang ramah kurasa setiap dini hari, kala kau mematikan telepon
terlebih dahulu sebelum nada-nada rinduku terbalas
seperti yang akrab menyapa hariku dalam jelma noda bekas airmata yang
tak hilang-hilang dari bantal
seperti yang karib merasuki dada dalam perih tanpa luka, tapi lebih pedih
dari baret yang berdarah-darah

Tenang saja, aku akan membunuhmu dengan cara sederhana
Bukan melukaimu, seperti yang selama ini dengan mudah kaulakukan
padaku
Bukan pula dengan meninggalkanmu, karena aku tak bisa menjadi yang
pertama membalikkan tubuh
Bukan juga dengan melupakan, seperti alasan berujung maaf yang sudah
kuhafal hingga ke sudut terdalam kepala

Suatu saat, semoga ada waktu di mana aku mampu membunuhmu
Lewat kata cinta yang perlahan memudar
Tawa yang lenyap
Atau tatap mata yang kering akan kasih setiap menemuimu
Suatu saat nanti

Atau semoga kau panjang umur
Terpelihara, renta, dan mati dengan sendirinya tanpa cinta
Agar aku tidak perlu berpura-pura menjadi jahat yang bukan aku
Dan kau membusuk dari dahi, kaki, hingga hati
yang tak pernah untukku

Minggu, 11 Oktober 2015

Menjadi Dewasa 2

Menjadi dewasa mewajibkanku menjadi sempurna
Bekerja di balik meja, berpakaian rapi, bersepatu hak tinggi, wangi, putih,
mulus tanpa noda, dibalut kosmetik mahal, dengan senyum selebar
mungkin
Tak peduli dada tercekik kemeja ketat, juga kaki yang berdarah-darah
Atau debum sesuatu di dalam kepala pada akhir hari yang melelahkan

Menjadi dewasa membuatku begitu patuh memenuhi permintaan orang lain
Ketika keluarga menyuruhku menikah
Aku memaksa kekasih yang baru kukenal untuk melamar
Dan tanpa sadar, bersedia menyerahkan seluruh hidupku selanjutnya
pada seseorang yang mungkin saja belum tahu tujuan hidupnya apa

Menjadi dewasa memaksaku mendaulat kesendirian sebagai
satu-satunya teman
Setelah sekian hari dikelilingi orang-orang yang hanya ingin
didengarmengerti
Atau kertas-kertas yang lebih penting dari kesehatan punggung, mata,
bahkan jiwa
Sementara segala gelisah dan masalah meledak di kepala sendiri,
tanpa ada yang menaruh rasa prihatin, atau iba, atau setitik saja perhatian

Menjadi dewasa menuntutku untuk mengikuti norma-norma 
Mengikuti perkembangan mode, produk teknologi, atau
kendaraan model terbaru
Hanya untuk membuktikan banyaknya deretan angka nol di belakang
bilangan asli yang masuk ke rekening tiap bulannya
Seakan norma bukan lagi tentang agama, sosial, dan susila

Menjadi dewasa menyadarkanku bahwa semakin banyak usia, semakin
kita lupa makna hidup yang sebenarnya
Kalau tahu menjadi dewasa menjauhkanku dengan bahagia, aku tetap
menjadi anak kecil saja
Yang tawanya mengucur seperti Desember yang rinai
Yang tangisnya hanya terbit karena jatuh kala berlari

Menjadi dewasa, belum tentu menjadikan kita manusia.

Selasa, 06 Oktober 2015

Menjadi Dewasa

Menjadi dewasa adalah hal yang mengerikan
Kita tak akan lagi puas berlarian di bawah hujan
Saling bertukar cipratan demi berkantong-kantong tawa
Lalu pulang, disambut omelan Ibu, dan tetap bahagia

Menjadi dewasa tidak selalu menjadi fase yang ditunggu
Kita tak pernah tahu kapan lagi akan menangis
Karena kalaupun perlu mencurahkan persediaan airmata
Tidak akan ada yang peduli

Menjadi dewasa berarti kesendirian
Mencari kehidupan dalam setelan kerja, wajah lusuh, dan hari yang penuh keluhan
Dengan amarah menumpuk, yang hanya mampu ditelan
Juga malam-malam penuh tangis dengan pelukan jemari sendiri

Menjadi dewasa bukan tentang pilihan
Menjadi dewasa adalah suratan. Ketentuan. Satu-satunya jalan.

Menjadi dewasa membuat waktu, beserta seluruh ingatan berlalu
begitu saja,
bahkan ketika kita belum sempat memenuhi paru-paru dengan udara

Ketika dewasa, tak ada yang abadi. Teman. Keluarga. Tetangga.
Pun kekasih.

Ketika dewasa, yang abadi hanya diri sendiri.

Minggu, 06 September 2015

Cinta

Aku akan mengajakmu berkenalan dengan seorang perempuan. Sama seperti perempuan lainnya, ia memiliki perasaan yang lemah. Aku sering mendengar cerita-ceritanya sambil menangis bersama. Kadang kuusap lengan tirusnya, walau aku sendiri larut bersama genangan yang meluap dari kedua mata kami. Kadang pula ia bercerita sambil tertawa, namun perih di telinga. Kadang aku hanya menatapnya sambil berpikir, “Mungkin ia hanya mengarang. Mungkin ia hanya terhibur oleh airmataku yang dengan mudahnya mengalir untuk kisah-kisahnya.”

Malam ini, ia kembali memulai cerita-ceritanya yang tak pernah habis, untukku.

“Aku mencintai seorang lelaki, sudah bertahun-tahun. Awalnya, lelaki itu mengaku mencintaiku juga, hingga kami memutuskan bersama. Bayangkan betapa bahagianya aku kala itu. Akhirnya ada yang berbagi tawa denganku, ada yang membuat dadaku berdebar-debar setiap hening menguasai karena kedua matanya mengunciku. Kala itu, aku menyebutnya tatapan penuh cinta. Ia setia mendengarkan keluhanku tentang sekitar, bahkan rahasia-rahasia yang selama ini hanya murni rahasia kubagi juga dengannya. Kala itu, kupikir ia benar-benar mencintaiku.

Kalau kau jadi aku, kau akan berpikir begitu juga, kan?

Hingga akhirnya, aku berani menangis di hadapannya. Menangis untuknya. Aku mengakui betapa aku telah jatuh sejatuh-jatuhnya, cinta secinta-cintanya, dan berani sakit sesakit-sakitnya, asal itu berarti aku masih bisa menyebut kita untuk merujuk pada hubungan ini. Pada kita tersebut, aku memberikan seluruh harapan untuk kebahagiaanku hingga nanti. Kau tahu betapa berani aku kala itu? Aku telah menyerahkan segala yang kupunya, pada seorang lelaki yang kala itu mengaku mencintaiku, dan kupercaya seluruh janji-janjinya. Aku  telah mengakui kekalahanku. Kala itu, ia menang atas segalanya. Tapi kupikir, kala itu, tak apa. Toh dia mencintaiku.

Kalau kau jadi aku, kau akan berpikir begitu juga, kan?

Tahun demi tahun berlalu, seperti pohon-pohon yang terlewati begitu saja ketika kita di atas kereta, ia mengaku masih mencintaiku. Suatu waktu, aku kembali menangis. Ya, aku sering menangis karena hal-hal kecil di depannya. Seakan seluruh airmata yang membeku di balik kedok perempuan kuat yang kujaga sepenuh tenaga, luruh hanya untuknya. Ia yang dulunya mendengar ceritaku di antara isak sambil mengelus kepalaku, kini mulai membentak. Kau mungkin tak tahu bagaimana rasanya seorang perempuan dewasa diperintah untuk berhenti menangis, apalagi dengan alasan airmataku ini mengganggunya.

Katakan padaku, salahkah kalau aku menangis? Aku lelah dengan hari-hari yang berat, penat, dan bertemu dengannya membuat seluruh lelahku luruh menjadi airmata, menjadikanku manusia, jadi salahkah aku menumpahkannya di hadapannya? Aku hanya ingin ditenangkan dengan peluk. Aku lelah memeluk diriku sendiri di pertengahan malam, membekap mulutku agar tak ada yang bertanya, agar sedihku kutelan sendiri, menyembunyikannya karena aku harus berjuang menjadi perempuan kuat di depan orang-orang keesokan harinya.

Katakan padaku, salahkah kalau aku menangis? Aku tidak pernah memintanya mendengar lelahku. Menangis di hadapannya adalah satu-satunya caraku menjadi manusia, menjadi perempuan lemah, karena hanya kepadanya akan kutunjukkan itu. Aku bukan perempuan kuat seperti yang kuperlihatkan pada dunia—pada dunia yang jika diriku tak kulindungi, tak ada yang kusembunyikan, mereka akan menginjakku hingga remuk tak berupa.

Karena itu hanya padanya, hanya di hadapannya, aku bisa menangis.

Namun seberapa kesalnya ia pada airmataku, aku tak jua berhenti menangis. Karena aku mencintainya. Karena katanya, ia juga mencintaiku. Ia jelas masih mencintaiku karena tak pernah pergi.

Kalau kau jadi aku, kau akan berpikir begitu juga, kan?

Tahun demi tahun berlalu, membolak-balik kalender tak lagi membuatku resah karena waktu bergulir terlalu tergesa, ia mengaku masih mencintaiku. Kau tahu apa yang kulakukan? Aku memberinya ujian. Aku mulai kasar. Aku marah untuk hal-hal sepele. Aku menuduhnya untuk perihal yang hidup di kepalaku. Aku meninggalkan bekas luka dan lebam di tubuhnya setiap kesal. Dia? Tentu saja dia masih di sini, tak juga meninggalkanku.

Dia masih mencintaiku.

Kalau kau jadi aku, kau akan berpikir begitu juga, kan?

Tahun demi tahun berlalu, anak kecil yang kemarin masih kesusahan mengeja nama kini sudah mampu membedakan integrasi dan integritas, ia mengaku masih mencintaiku. Entah sudah kali keberapa aku memohon untuk berpisah, tapi ia tetap mempertahankan. Kami sudah terlalu lama bersama, aku sudah menerima seluruh sifat dan sikapnya apa adanya, bahkan keluarga yang sudah telanjur saling tahu, selalu menjadi alasannya. Terus diulang-ulang setiap kali kami bertengkar hebat dan berakhir teriakanku meneriakkan pisah.

Hingga bertahun-tahun, ia tidak pernah menjadikan cinta sebagai alasannya masih di sini, bersamaku.
Ia, lelaki yang menjadikan cinta sebagai alasannya memilihku bertahun-tahun lalu, tidak pernah sekalipun menyebutkan alasannya mempertahankanku, memperjuangkan kita, adalah karena masih cinta.

Salahkah jika aku menuntutnya merapalkan kata itu untukku lagi? Kami sudah bersama selama sekian tahun, memang. Tapi kalau ia masih cinta, setidaknya aku bisa menaruh kepercayaan pada kata itu lagi dan benar-benar tinggal.

Kalau kau jadi aku, kau akan berpikir begitu juga, kan?”

“Lalu, bagaimana kalian sekarang?” tanyaku saat ia menghentikan cerita, menyesap kopi yang kuseduh untuknya tadi.

Perempuan itu mengedikkan bahu, sebelum menghela napas panjang, kemudian mengembuskannya dalam sekali sentak.

“Kami? Baik-baik saja. Ia tidak mengizinkanku pergi, jadi aku menuruti,” akunya.

“Tapi bukannya—”

“Kau boleh menyebutku bodoh. Tapi, cobalah jatuh cinta. Jatuh sejatuh-jatuhnya, cinta secinta-cintanya, hingga sakit sesakit-sakitnya. Kalau sudah merasakan sakit sesakit-sakitnya, kau akan menjadi perempuan paling kebal yang pernah ada. Percayalah.”

“Jadi..., kalian sekarang...?”

“Kami? Tidak ada yang berubah. Kami masih bersama. Aku sudah bercerita, kan? Dia tidak ingin berpisah.

Dan..., tidak. Dia tidak juga menyebut cinta sebagai alasannya.”

“Lalu kau masih bertahan? Kenapa tidak menuntutnya?” cecarku.

Oh, ayolah. Aku mulai membenci lelaki yang bersamanya sekarang, siapapun itu, walau mengenalnya hanya melalui cerita-cerita perempuan ini. Lelaki itu tidak pantas untuk perempuan ini.

Ia pantas mendapatkan yang lebih baik. Ia harus pergi dan bertemu banyak orang. Ia harus bahagia.

“Sekali lagi; cobalah jatuh cinta.
Saat dirimu sudah menyerahkan jiwa dan raga ke dalam perangkapnya, seluruh pertanyaanmu tentang segala yang kulakukan saat ini akan tertelan sendiri.
Aku, kau, kita, tidak membutuhkan jawaban ketika jatuh cinta. Percayalah.”

Malam ini, aku tak lagi menangis mendengar kisah-kisahnya.

Aku kesal.
Aku berjanji tidak akan jatuh cinta.
Aku tidak ingin menjadi perempuan lemah, dan bodoh sekaligus seperti dia.


Jumat, 12 Juni 2015

aku pernah menjadi kanak-kanak

Aku pernah menjadi kanak-kanak
Yang tawanya tumpah ruah dari cerek ibu di dalam rumah
Hingga akhirnya
Tawa yang tak bisa lagi ditampung cerek ibu di dalam rumah
akan meluapkan kesedihan tiada tara

Tangan mereka dibalut tanah basah
Kemerahan, lembab, persis pakaian seseorang yang lelah mencariku ke mana-mana
hingga berakhir menunggu di beranda
Sedang yang ditunggu asyik menyeka tubuh seseorang lain di berantah
Sementara tangan mereka yang dibalut tanah basah
belum jua puas walau disoraki ibu dari dalam rumah

Rambut mereka menempeli pelipis hingga pipi
Berkat rinai yang dicipta awan dari uap yang mendaki tertatih dari samudra
atau dari sungai
atau dari telaga
atau dari mataku
Entah

Aku pernah seperti mereka
Yang tawanya tumpah ruah dari cerek ibu di dalam rumah
Menjelma airmata yang datangnya entah dari mana
Mungkin dari samudra
Mungkin dari sungai
Mungkin dari telaga
Mungkin dari mataku
Mungkin dari peluh orang asing yang baru kutemui
atas nama birahi miliknya
atas nama ekonomi milikku
Mungkin dari mata ibu yang tertidur di  beranda
Entah.

Selasa, 19 Mei 2015

Jauh

Aku pernah menjadi penanti setia
Untuk dering singkat pencipta bahagia
Untuk kata demi kata pengundang tawa
Untuk satu-satunya suara yang mampu mengentak dada

Aku pernah memupuk harap
Pada seseorang yang kukagumi garis wajahnya
Pada seseorang yang namanya kuhafal di luar kepala
Pada seseorang yang senyum lebarnya sanggup membuatku kalap

Aku pernah percaya
Dengan kalimat yang ramah di mata, pun telinga
Dengan bahagia yang ditawarkan seseorang nun jauh di sana
Dengan kedatangan, meski masih berupa janji-janji semata

Aku pernah mengamini
Bahwa jarak hanya kisaran angka
Bahwa perbedaan waktu tak akan menjadi masalah
Bahwa segala sesuatu tentang jauh pasti bisa dilalui, asal kita bersama

Tanpa pernah mengerti
Yang kunanti
Yang kuharap
Yang kupercaya
Yang janji-janjinya kuamini
Tak pernah sekalipun bisa kujangkau sosoknya hingga kini


Sabtu, 16 Mei 2015

You Left Me

“Aku tak ke mana-mana
Melangkah menjauhimu
Bukan pergi namanya
Aku hanya beranjak ke arah yang berbeda,”
katamu kala itu

Katamu, aku harus percaya apapun yang kau ucap
Katamu, mimpi-mimpi ini pasti akan terbangun dari lelap
Katamu, janji-janji ini pasti akan terpenuhi
Katamu, kita masih akan menjadi orang yang sama nanti

Suatu saat dari hari ini
Aku kemudian mendapati diri masih memercayaimu
Beberapa tahun dari hari itu
Aku masih di sini, terlena oleh janji dan mimpi

Namun di suatu saat tersebut
Aku tak tahu; apa kau masih di sini
Atau hanya bualanmu yang setia menemani


Selasa, 17 Februari 2015

Dear Future Husband...



Dear future husband...

Halo. Hai. Assalamu alaikum.

Hmmm, maafkan aku yang memang tidak pandai menyapa terlebih dahulu. Mungkin saat kita pertama bertemu nanti, entah lewat keluarga, teman, atau malah mantan pacar, aku hanya melirikmu dengan kikuk. Ya, aku bukan orang yang pandai berbasa-basi. Butuh waktu yang lama untukku dekat dengan seseorang. Kuharap saat kita bertemu nanti, kamu mengerti. Itu pun kalau kamu orang baru, bukan kekasihku sekarang atau seseorang yang pernah kusapa dengan panggilan sayang dahulu.

Calon suamiku, sekarang aku hanya ingin meminta maaf dulu. Karena saat kita bersama nanti, kamu akan dihadapkan dengan perempuan paling egois yang akan kamu temani sampai akhir hidup nanti. Aku senang jika kamu membiarkanku menang atas segala sesuatu. Untuk pilihan warna dinding kamar, untuk motif gorden ruang tamu, untuk model seprai, atau restoran mana yang akan sesekali kita datangi.

Kamu juga harus tahu, aku bukan tipe orang yang gampang akrab dengan orang lain. Besar kemungkinan aku akan berubah pendiam di depan keluargamu, atau suaraku mencicit. Kuharap kalau keluarga atau teman-teman dekatmu mengeluh, kamu ada di sana dan menjawab, “Dia memang pendiam. Tapi kalau sudah dekat, aslinya cerewet, kok.” Pokoknya, apapun yang dikeluhkan orang-orang terdekatmu tentangku, aku tahu kamu pasti akan membelaku kalau kamu benar-benar mencintaiku, kan?

Aku belum bisa memasak, by the way. Tapi nasi goreng buatanku bisa membuat siapapun menagihnya lagi setelah sekali mencicipi (asal kamu suka asin dan pedas sekaligus). Semoga sebelum kamu memutuskan menjadikanku istri, aku sudah bisa membuatkan makanan kesukaanmu. Untuk yang satu itu, aku akan berusaha dengan tekun. Tenang saja.

Apa kamu tipe pekerja keras? Walaupun aku sudah terbiasa hidup sederhana, aku ingin kehidupan keluargaku nanti tercukupi. Aku juga akan bekerja, asal kamu mengizinkan. Bukan karena gajimu tidak membuatku puas, bukan. Aku memang ingin bekerja dari dulu, kok. Masalah rumah dan anak, nanti kita bicarakan lebih rinci.

Kalau kamu pulang bekerja, aku mohon... jangan sekali-sekali membawa pekerjaan sampai rumah. Aku ingin rumah dijadikan tempat beristirahat, dan kita bisa memiliki waktu yang berkualitas bersama-sama. Aku juga akan mencari pekerjaan yang membuatku bisa berada di rumah sebelum kamu berangkat kerja, dan pulang sebelum kamu sudah ada di rumah. Nikmat mana lagi yang bisa ditolak suami kalau disambut istri sepulang bekerja, kan?

Oh, iya. Aku suka liburan. Setiap bulan nanti, mari kita liburan bersama-sama. Atau paling tidak, dua bulan sekali. Kita bisa mendatangi tempat-tempat liburan di Sulawesi Selatan. Lalu kalau ada waktu lebih banyak, kita bisa liburan keliling Indonesia. Kalau bisa, ke luar negeri sesekali. Semoga impianku untuk keliling dunia bisa terwujud denganmu, dan anak-anak kita nanti.

Kamu mau anak berapa? Tunggu, aku tertawa dulu. Lucu juga ya, membicarakan hal ini dengan orang yang bahkan aku tak tahu siapa. Ngomong-ngomong, aku mau tiga anak. Banyak, ya? Dua juga tidak apa, asal tidak satu. Aku sudah merasakan jadi anak tunggal soalnya, dan kesepian itu tidak enak.

Surprise! Perempuan manapun pasti senang dengan kejutan. Bolehlah, sekali-dua kali kamu datang dengan buket bunga, atau buku, atau kue kesukaanku, walau bukan di hari spesial. Aku selalu membayangkan; saat sibuk di dapur atau menemani anak-anak bermain, kamu memasuki rumah diam-diam, lalu memelukku dari belakang sambil memegang bunga. Ah, sepertinya aku terlalu banyak membaca buku dan menonton drama Korea. Oke, lupakan saja.

Kalau nanti aku masih suka ngambek seperti sekarang, kamu jangan memarahiku, ya. Biasanya, aku akan menyakitimu—secara fisik—untuk meluapkan amarahku. Setelah itu, gantian aku yang merasa bersalah dan balik membanjirimu dengan cium dan peluk. Ya, seperti itulah aku. Apalagi di waktu-waktu PMS. Jadi, semoga kamu bisa menjadi suami yang sabar.

Jika kita bertengkar hebat, aku meminta dengan sangat jangan sampai kamu menceritakannya pada orang lain. Bagaimanapun, masalah di dalam rumah kita harus diselesaikan di sana juga. Tidak boleh ada orang lain yang ikut campur, apalagi keluarga sendiri. Aku tidak tanggung jawab kalau mereka menginginkan kita berpisah, lalu aku menyanggupi. Ya, aku tidak bisa berpikir jernih kalau sedang emosi. Dan perpisahan adalah momok paling menyeramkan dalam keluarga yang kutahu, dan tidak akan pernah ingin aku lalui.

Aku gampang menangis di depan orang yang benar-benar aku sayang. Karena kamu suamiku, jadi jangan heran kalau aku bisa menangis hanya karena kamu tinggal tidur duluan atau tidak kamu telepon seharian. Kalau sudah seperti itu, kamu jangan malah memarahiku, ya. Cukup usap kepalaku, kemudian memelukku dengan erat. Aku juga suka dicium, kok. Tenang saja. Haha.

Kalau nanti kita kehabisan bahan obrolan atau terlalu lelah seharian, aku malah akan senang jika kita berbaring di atas tempat tidur dalam diam. Aku akan melekatkan kepalaku di dadamu, dan kamu akan sesekali menciumi puncak kepalaku. Begitu saja, sampai kita tertidur pulas.

Mungkin aku bukan pacar yang baik (kalau kita sempat berpacaran), tapi insyaAllah aku akan menjadi istri terbaik untukmu. Membangunkanmu untuk berangkat bekerja, menyiapkan air hangat kalau kamu benci mandi dengan air dingin, menyiapkan pakaian dan peralatan yang akan kamu bawa, membuatkanmu sarapan, hingga mengantarkanmu sampai depan rumah. Juga merawatmu sepenuh hati kalau sedang sakit. Kalau sesekali aku tidak melakukannya dengan baik, mari kita tertawakan saja kebodohanku. Dan kuminta, jangan sekali-sekali membentakku. Karena semakin dibentak, aku bisa saja semakin menjadi pembangkang.

Aku berharap kamu pun bisa menjadi suami dan Bapak yang baik. Kamu bisa diandalkan untuk mendidik anak bersama, kan? Aku tidak mau anakku nanti takut dengan sosok seorang Bapak. Aku ingin Bapak dari anak-anakku bisa menjadi sahabat mereka sekaligus. Karena kalau aku sudah punya anak, kamu harus siap-siap aku nomorduakan. Bagaimanapun, kebutuhan mereka harus menjadi yang utama. Aku ingin mereka kritis dan tidak takut untuk mengeluarkan pendapat. Kecuali kalau kamu mau anak kita nanti mengidolakan orang lain, bukan kedua orantuanya.

Hmmm, kita bicara apa lagi, ya?

Mungkin untuk saat ini, begitu saja dulu. Semoga setelah membaca ini, kamu tetap ingin menjadikan perempuan paling egois dan banyak maunya ini sebagai istri. Hihi.
Sampai jumpa beberapa tahun lagi, calon suami.

Makassar, 15 Februari 2015, 16.23 WITA.
Ditulis dengan penuh cinta,



Calon istrimu.