Rabu, 02 April 2014

Surat Untuk Mantan

1 April 2014, dini hari

Beberapa paragraf untukmu yang kenangannya masih jelas di ingatan

Ketika menulis surat ini, aku ingin kau mengingat bahwa aku adalah perempuan yang paling sulit memulai percakapan. Hai-kah? Halo? Apa kabar? Aku tak ingin terlihat kaku atau membosankan untukmu, seperti salah satu alasan yang membuatmu berpaling pada yang lebih menyenangkan, dulu. Karena itu, untuk menghilangkan canggungku,lebih baik kujelaskan saja daripada kau menertawakanku dan menyadari bahwa aku belum berubah juga.
Tak cukup setahun sejak kau meninggalkanku, aku mendapat kabar bahwa perempuan yang berhasil merebutmu dariku malah yang berbalik mencampakkanmu demi mantan kekasihnya. Apa boleh aku bertanya, bagaimana rasanya? Sesakit yang kurasa-kah? Bukan, aku jelas bukan orang yang mudah menertawakanmu karena mendapat karma—kau pun tahu itu. Hanya saja, jika kau ingin berbagi, ada aku di sini. Semoga kau tak lupa bahwa aku juga pernah merasakannya darimu.
Oh, iya. Kemarin ibuku masih menanyakan keadaanmu walau sudah berulang kali pula kujelaskan bahwa kita—maksudku aku dan kau—sudah lama tak bersama. Ibu hanya tak tahu bahwa putrinya ini sudah disakiti olehmu, mungkin. Kau juga pasti tahu aku bukan perempuan yang mudah menceritakan perasaanku dengan kata, apalagi pada perempuan yang sudah menganggapmu keluarganya. Tidak, aku tidak ingin membuatmu merasa bersalah atau memintamu bertandang ke rumah, cukup sekedar tahu saja.
Di paragraf keempat ini, rasanya aku ingin menulis semua kenangan empat tahun ketika aku dan dirimu masih berkedok kita. Tapi itu sama saja membuat rasa sendu yang selama ini kusembunyikan menyeruak, tumpah-ruah dari wadah yang tak mampu lagi menampungnya. Aku benci mengenang, karena tak ubahnya terus mengingat. Aku tahu aku tak seharusnya melupakan, karena waktu pasti bisa membuatnya suram. Tapi denganmu, tidak mencoba melupakan berarti terkungkung dalam bayang-bayang cinta dan sakit yang kauberi sepaket selama ini.
Kalau kaupikir kesendirianku setelah kepergianmu karena aku belum bisa benar-benar mengikhlaskan, kau salah. Aku sudah rela, bahkan sebelum kau menemukan yang baru dan aku mendapat firasat bahwa kau akan meninggalkanku, dulu. Kau sendiri bagaimana? Tak lelahkah berganti pasangan? Tak lelahkah memamerkan kemesraan pada dunia, lalu tak lama kemudian akhirnya berpisah dan berganti rekan berbagi cinta lagi secepat kedip mata? Bagaimana kau bisa menetap kalau tak bisa berhenti berjalan?
Mantan kekasih yang dulu sangat kucinta, berhentilah menyakiti hati perempuan. Kami juga punya perasaan yang tak ingin seenaknya kaupermainkan.
Di akhir surat ini, aku ingin memberitahumu sesuatu; aku yang masih memedulikanmu, bukan berarti masih mencintaimu. Aku yang masih setia sendiri, sebenarnya jauh lebih merasa baik-baik saja daripada hidupmu yang tak pernah terlihat sepi. Aku yang masih menyempatkan menulis surat, hanya agar apa yang tak dapat kuumbar lewat kata tak memiliki beribu makna tersirat. *)
*) tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth novel bernard batubara.