Senin, 25 November 2013

My Perfect Morning

Gelas, Buku, dan Kecap
Sebuah bingkisan dari @kopdarfiksi Makassar bersama Bernard Batubara





Senyum Raina spontan menyambutku ketika lonceng di atas pintu Woody

Moody berdenting singkat kala kusingkap. Aku menghampirinya yang setia
berdiri di balik meja, lengkap dengan segaris senyum dan macbook di
pelukan.

"Segelas ice moccacino lagi?" sapa perempuan berseragam krem tersebut.

Kuanggukkan kepala satu kali. "Oh, iya. Ada sumbangan buku lagi hari ini?"

"Iya, bukan pasar malam-nya Pram. Harta karun yang kaucari selama
ini," jawab Raina seraya mengerling singkat ke rak mini di sudut
ruangan.

"Lalu..." Aku menaikkan sebelah alis, membiarkannya menebak ujung
kalimatku. Kalimat yang --aku tahu-- sudah bosan ia dengar setiap
hari, tepat jam tujuh pagi.

"Tunggu," Raina langsung menghilang ke balik pintu berbahan kayu di
belakangnya. "Ini, small pizza dengan kecap, sarapan ajaibmu. Sudah
kusiapkan sebelum kau datang."

"Kau memang yang terbaik. Andai ada lelaki sepertimu, pagiku pasti
akan lebih indah. Pusat hidupku bertambah."

"Bukankah kau bilang hanya butuh segelas moccacino dingin, buku, dan
pizza berkecap agar harimu bahagia?"

Aku kembali mengangguk, lebih semangat dari awal tadi. Kedua sudut
bibirku pun membentuk lengkung sempurna. "Yah, kau benar. Aku tak
butuh laki-laki ternyata."

Just Ended

Just Ended



Makassar, 11 Juli 2013

Tiara melirik jam yang melingkari pergelangan tangan kirinya, entah untuk yang keberapa kali. Di luar rumah, tetesan air masih mengguyur dengan ramainya. Ia tidak pernah membenci hujan jika saja tak datang untuk menghalangi perjalanan pentingnya, seperti saat ini.

Handphone di genggamannya pun tak henti-hentinya bernyanyi. Ia tahu, Dika pasti sama paniknya dengan dirinya sekarang. Pesawat yang akan membawa lelaki itu ke Jogjakarta akan lepas landas pukul enam petang, dan ia masih dihadang hujan sementara kini jarum jam sudah hampir mengenai angka lima. Belum lagi perjalanan ke bandara yang bisa memakan waktu satu jam atau lebih jika macet ingin turut campur dengan harinya. Tanpa sadar, Tiara sudah menggigit handphone berwarna putih di tangan kanannya tersebut—menahan amarah.

Lo naik angkot ke depan kompleksnya Riri, ya.
Gue gak bawa mantel, di sini masih deras.

Oh, bahkan sahabat yang ia harapkan akan memperlancar perjalanannya pun turut berkonspirasi untuk memakan waktu lama. Baru saja akan menelepon Rega—sahabat yang baru saja mengiriminya pesan singkat itu—handphone miliknya kembali berdering. Dika calling...

Belum sempat mengucapkan salam pembuka, lelaki itu sudah menyerangnya dengan rentetan kalimat yang diredam suara hujan. Tiara mendengus pelan, mengapa lelaki yang sudah menjadi kekasihnya hampir tiga tahun ini tak bisa menunggu dengan sabar?

“Iya, iya. Aku naik angkot ke rumahnya Riri, pacar Rega. Habis itu baru diantar ke bandara. Tunggu aja, aku pasti datang.”

***
            
Terima kasih pada Rega yang seharusnya menjadi pembalap moto gp saja daripada mahasiswa teknik, dia lebih ahli dalam menaklukkan jalanan raya daripada perangkat-perangkat lunak komputer. Buktinya hanya dalam waktu setengah jam, Tiara sudah melangkah menghampiri keluarga besar Dika yang duduk bersisian di beranda depan bandara Sultan Hasanuddin.

“Kok lama, Ra?” sapa Mbak Lia, kakak ipar Dika sembari bertukar ciuman pipi dengan Tiara.

“Iya, tadi di rumah hujannya deras banget, Mbak.” Perempuan berjilbab dengan tubuh mungil itu pun duduk di antara keluarga besar kekasihnya, membaur layaknya keluarga sendiri. Yah, dirinya memang sudah dekat dengan keluarga tersebut sejak awal masa pacarannya bersama Dika.

Sosok Dika muncul tak lama kemudian, langsung mengambil tempat di sebelah kanan tubuh mungil Tiara. Tiara menghela napas panjang, mencuri aroma parfum lelaki itu agar tetap tinggal di indra penciumnya selama raga tersebut menetap di Jogjakarta nanti. Ah, ia membenci dirinya yang berubah melankolis akhir-akhir ini. Ini sudah kali kedua ia melepas kepergian Dika di bandara, namun mengapa kini ada perasaan tak rela yang menyusup diam-diam? Bukankah pada akhirnya dia juga akan kembali ke dalam pelukannya lagi?

“Daripada kalian lihat-lihatan begitu, kenapa gak pelukan aja, sih? Mumpung pesawatnya belum berangkat,” tegur Mas Fian, sepupu Dika.

Tiara kontan menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah.

Sementara Dika langsung mengelus puncak kepala yang tertutup jilbab polos berwarna kuning tersebut. “Gak boleh, Kak. Kan lagi puasa.”

***

Makassar, 17 Juli 2013

Thanks Tari J

            Sms yang baru saja masuk ke dalam kotak pesan pada handphone Tiara barusan sempat membuatnya sulit bernapas untuk beberapa saat. Tari? Ia membenci nama itu. Tidak ada yang salah memang, hanya saja tak ada perempuan lain bernama Tari di kehidupan Dika selain sahabat semasa SMA lelaki itu. Sahabat yang juga merupakan sahabat dari mantan kekasih Dika sebelum Tiara. Lalu mengapa sekarang...

Sorry, sayang. Tadi salah kirim.

            Ini sudah kali kedua Dika mengirimkan pesan berisi nama Tari ke handphone-nya. Sesering itukah keduanya saling mengirimkan pesan singkat? Bukankah dirinya sudah berulang kali melarang Dika berhubungan dengan perempuan itu? Yah, silakan sebut ia egois. Ia hanya tak ingin ada perempuan lain yang menikmati perhatian dari pacarnya sendiri. Ia tak ingin ada perempuan lain yang merasa diistimewakan selain dirinya, tidak pula untuk kategori ‘hanya sahabat’ yang selama ini dijadikan Dika sebagai tameng antara dia dan Tari-Tari ini.

            Tidak, Tiara tak pernah sekali pun menyangsikan cinta Dika padanya. Bagaimana ia bisa ragu jika seluruh keluarga besar keduanya sudah merestui hubungan mereka? Bagaimana ia bisa ragu jika Dika selalu membanggakannya di depan sahabat-sahabatnya? Bagaimana ia bisa ragu jika Dika selalu mencurahkan semua perhatian dan kasih sayang hanya pada dirinya? Dika menghabiskan waktu-waktu yang seharusnya ia gunakan untuk beristirahat dari rutinitas kerja dengan bertukar kabar maupun saling mengucap rindu melalui sambungan telepon atau internet, lalu bagian mana yang ingin ia ragukan?

Ya, sebut ini sebagai perasaannya saja. Tak mungkin Dika menyiakan kepercayaan darinya, dari keluarganya, dari janji menghabiskan usia mereka sejak hampir tiga tahun yang lalu. Persetan dengan ungkapan ‘insting perempuan tak pernah salah’, ia hanya ingin memercayai Dika. Hanya Dika pusat rotasinya saat ini.

***

Makassar, 2 Agustus 2013

            Tiara pikir, kepulangan Dika ke Makassar adalah momen bahagianya setelah dipisah jarak selama hampir satu bulan. Tak bertemu sehari saja dengan orang yang dicintai serasa mencekik hingga nyaris memutus urat nadi. Ia benci perasaan rindu yang menggebu-gebu, dan tak bisa bertemu untuk membunuh rindu itu. Namun jika kembali bertemu, yang ia kira bisa melepas rindu tersebut berubah menjadi ajang adu emosi, sepertinya sia-sia saja sabar menunggu.

Sepulang dari acara buka puasa bersama dengan keluarga Dika, Tiara dan lelaki itu melanjutkan pertengkaran mereka di rumah Tiara yang sepi.

“Pokoknya aku gak akan pernah suka kalo kamu masih suka jalan bareng Rega, ya.”

“Rega itu sahabatku dari SMP, Dik. Lagian aku perginya rame-rame sama sahabatku yang lain, dia udah punya pacar. Bukannya kalian juga udah kenal, kan?”

“Tetap aja aku gak suka, dia kan cowok.”

“Terus apa bedanya dia sama Tari? Dia juga cewek, dan kamu selalu bilang ‘kami cuma sahabat’ kalo aku ngomongin dia. Seharusnya kamu juga mikir gitu kalo mau nuduh aku sembarangan!”

Dika mendengus pelan menanggapi rentetan kalimat Tiara yang disertai teriakan penuh emosi barusan. Ini bukan kali pertama mereka beradu urat selama berpacaran. Tak heran, putus pun selalu menjadi jalan akhir. Bukan mengakhiri cinta sebenarnya, namun lebih untuk menahan ego sementara waktu. “Jadi, kamu lebih pilih Rega... atau aku?” tandasnya kemudian.

“Dika, stop berpikiran kekanak-kanakan, deh! Kamu juga mau, kalo aku suruh pilih Tari atau aku? Hah?”

“Aku sekarang minta kamu memilih, bukannya malah balik nanya.”

Tiara menatap Dika dengan kedua mata menyipit, bahu naik-turun, dan napas yang mulai tak beraturan. Ia membenci Dika yang berubah egois seperti ini, berubah egois ketika dirinya sendiri juga tak mau mengalah.

“Oke, karena kamu diam, aku rasa aku udah tahu jawabannya...” lelaki berkaus polo itu bangkit dari sofa ruang tamu rumah Tiara yang biasanya menjadi saksi hari-hari penuh cinta mereka. “Aku pergi, berhenti berhubungan sama keluargaku. Semoga kamu bahagia sama pilihanmu.”

Tiara menatap punggung yang menghilang di balik pintu rumahnya tersebut dengan nanar. Ia ikut bangkit, berniat menyusul sosok Dika dan menjelaskan perasaannya. Namun alih-alih melangkah, ia malah meluruh, bersatu dengan lantai marmer ruang tamu.

Tak bisakah mereka menjalani hubungan seperti orang-orang berpikiran dewasa lain? Tak bisakah Dika menyadari perasaannya yang tak tertandingi oleh apapun lagi? Tak bisakah mereka berhenti saling menghakimi hal-hal yang sudah jelas dalam hubungan mereka selama ini?

Perempuan itu tak menyadari isakan yang sudah keluar dari bibir mungilnya, sementara ia memeluk tubuhnya sendiri. Di antara wajahnya yang tersembunyi di balik kedua lutut, ia berharap Dika datang lagi. Meminta maaf, dan menyalurkan hangat dari rengkuhan kedua tangannya. Ia tak kuat memeluk dirinya sendiri saat ini. Ia mencintai Dika dengan seluruh hidupnya, ia membutuhkannya.

***

Makassar, 10 September 2013

            Tiara membenci dirinya yang dengan mudah memberi maaf pada Dika. Ia membenci dirinya yang tak bisa bertahan lama tanpa sosok lelaki itu. Ia membenci dirinya yang terlalu percaya, terlalu menyayangi lelaki yang belum genap tiga tahun dikenalnya. Ia membenci dirinya yang kini semakin lama, semakin sadar bahwa ia tak bisa hidup tanpa kebiasaan-kebiasaannya selama menjalin hubungan dengan Dika.

Dan di sinilah ia sekarang, sebuah restoran fast food bersama Dika yang baru semalam dimintanya kembali. Dengan menurunkan segala ego, harga diri, atau apapun yang orang lain sebut, ia memang yang pertama kali meminta Dika kembali menjadi kekasihnya. Sudah lewat sebulan dari perpisahan mereka, di malam anniversary mereka yang ke-34 bulan, dan menunggu Dika yang menghubunginya duluan sama saja dengan sia-sia.

“Kamu udah gak sayang sama aku, kan? Makanya sampai sekarang kamu gak minta balikan kalo bukan aku yang minta,” ujar Tiara sambil menggigit potongan kentang goreng di antara telunjuk dan ibu jari tangan kanannya.

“Siapa bilang? Kamu jangan bikin selera makanku hilang, deh.”

“Terus kenapa kamu gak minta balikan duluan? Dulu-dulu kan biasanya begitu.”

“Masa hal kayak begini harus kita debatkan lagi, sih? Capek, Ra.”

“Aku cuma nanya. Aku gak mau bikin asumsi sendiri, karena aku gak mau sakit hati lagi sama pikiranku yang macam-macam tentang perasaan kamu.”

Dika menyesap cangkir yang masih mengepul di hadapannya. Kemudian menumpukan kedua sikunya ke atas meja sembari menumpahkan seluruh perhatiannya pada Tiara. “Aku cuma mau ngasih kamu sedikit pelajaran. Lagian aku tahu gimana kamu yangn gak bisa jauh-jauh dari aku. Jadi cepat atau lambat, kamu yang ngehubungin aku duluan. Iya, kan?”

Tiara menepis jemari Dika yang berjalan di puncak kepalanya yang siang ini dihalangi jilbab merah muda. “Oh, jadi karena kamu tahu aku gak bisa jauh dari kamu, makanya kamu manfaatkan momennya, begitu? Aku jadi heran, jangan-jangan... kamu udah gak sayang sama aku, ya?”

Lelaki berkemeja biru dongker tersebut meletakkan garpu dan pisaunya di atas piring dalam keadaan menelungkup. “Tiara, stop this topic, please. Udah, deh. Aku mau ke kamar kecil dulu.”

Perempuan berjilbab itu menatap punggung bidang yang menjauh tersebut hingga hilang di bagian dalam restoran. Ia menghela napas panjang, memikirkan dirinya yang terasa menyedihkan. Apa benar hanya dirinya yang bertahan? Apa lelaki itu sudah lama berhenti memperjuangkan?

Bunyi singkat dari smartphone di atas meja membuyarkan lamunan Tiara. Ia pun meraih gadget milik Dika, lalu melihat notifikasi yang masuk; hanya broadcast tidak penting. Jemarinya kini menari di atas touch-screen, melihat nama-nama yang berada di daftar percakapan lelaki itu. Entah naluri dari mana, pandangannya langsung terpaku pada satu nama di sana. Utari Ramadhani.

Utari Ramadhani:
Oh, jadi hubungan kita selama ini kamu anggap apa? Aku kecewa sama kamu, Dik.

Andika Saputra:
Sorry, Tar. Aku beneran gak ngerti juga, aku harap kamu ngerti sama keadaanku. Kita lihat ke depannya gimana aja, ya.

            “Kamu ngapain?” tegur Dika sambil merebut paksa smartphone miliknya dari genggaman Tiara yang balik menatapnya dengan mata yang mengerjap beberapa kali.

“Kamu... chat... aku...” Tiara menelan ludah seraya bangkit dari duduknya. Ia harus berpegangan pada meja saat menyampirkan tasnya, takut lututnya tak sanggup lagi menopang tubuh. “Thanks, Dik.” Ia buru-buru berlalu sebelum butiran bening itu meluruh dan membanjiri pipinya. Ia perempuan yang kuat, ia tak boleh membuat Dika semakin bangga atas kelemahannya. Bukan perempuan namanya kalau tidak menangis untuk meluapkan kekecewaan, ia membatin seraya terus melangkah ke tepi jalan raya.

“Tiara! Stop act like a kid, please!” Dika sudah mencekal lengannya, menyejajarkan langkah tepat di sisi tubuh mungil perempuan itu.

“Lepas, Dika. Jangan bikin aku sama kamu malu di tengah jalan begini.” Tiara membenci kata kita untuk kalimatnya barusan.

“Kamu lihat apa di handphone-ku? Chat sama Tari? Oh, God..., itu udah lama. Sejak aku masih di Jogja. Sekarang kami udah gak ada apa-apa lagi.”

“Jadi dulu kalian ada apa-apa, begitu?” Tiara memilih berhenti, memasang ekspresi yang sukar dibaca, dengan suara pelan. Ia tak mau orang lain mencuri dengar, apalagi di tengah keramaian seperti ini.

Dika  melepaskan genggamannya pada lengan tirus Tiara setelah yakin perempuan itu tak akan lari lagi. “Enggak sama sekali. Aku sama dia cuma sahabat, dan seterusnya begitu. Kamu jangan mikir macem-macem, deh.”

***

Makassar, 11 September 2013

            Tiara menatap kalimat demi kalimat yang memamerkan diri di layar handphone-nya dengan sendu. Ia ingin menangis, sungguh. Tak ada obat paling manjur untuk meredakan kekesalan, kekecewaan, atau amarah melebihi air mata. Namun mengapa sekarang kelenjar di ujung bola matanya ini seakan sedang absen bekerja? Kemana perginya ia saat dibutuhkan? Sebagai ganti, ia pun memilih meninju dan menginjak boneka tanpa dosa di lantai kamarnya. Boneka dari orang yang ia pikir masih, atau mungkin pernah mencintainya. Cinta-kah selama? Ah, ia juga sangsi.

Perempuan itu tak pernah mengira akan berkirim pesan singkat dengan perempuan yang beberapa menit lalu pun masih ia benci. Perempuan itu tak pernah mengira bahwa yang seharusnya ia benci adalah orang yang selama ini ia cintai.

Aku kira kalian udah putus, Ra. Dia sendiri yang ngaku udah jomblo, makanya aku juga ngasih respon. Sumpah ya, Ra..., dia yang pertama ngehubungin aku. Kalo aku tahu dia seberengsek ini, mana mau aku dekat lebih dari sahabat sama dia.

***

Jogjakarta, 17 Juli 2013

            Dika dengan cekatan membalas pesan singkat dari Tari yang baru saja menyapa smartphone miliknya. Ada pesan dari Tiara yang lebih dulu masuk, namun ia memilih mendahulukan pesan Tari untuk dibalasnya. Yah, bukan hidup namanya jika tak ada lebih dari satu pilihan.

Kamu doain aku aja semoga sukses sama pekerjaan di sini.
Kalo aku udah beneran mapan nanti, kan kamu juga yang seneng.
Aku tinggal langsung lamar kamu, gak perlu pacaran ngabisin waktu gak jelas.

            Sending... sent to: Utari Ramadhani.

From : Utari Ramadhani
Iya, aku selalu berdoa buat kamu kok.
Janjinya aku pegang, ya. Cepetan balik J

            Benda yang masih setia berada di genggaman Dika itu kembali berbunyi. Tiara kembali mengiriminya pesan, mungkin heran mengapa pesan sebelumnya belum dibalas juga.

Thanks Tari J

            Sending... sent to: Tiara Pratiwi.
***

Makassar, 28 Oktober 2013

            Tiara sudah merasa dirinya membaik, lebih baik dari terakhir kali ia menatap dirinya di cermin. Yah, ia bermusuhan dengan cermin dua bulan ini. Tak ingin bertukar pandang dengan dirinya sendiri lewat media kaca tersebut. Tak ingin menyadari bintik-bintik merah yang memenuhi wajah dan lingkaran hitam yang menguasai area matanya, juga tulang pipi yang semakin kentara. Ah, ia membenci masa-masa menyedihkannya itu.

Hampir semua manusia—termasuk Tiara di dalamnya—memang membutuhkan tamparan untuk disadarkan. Bertahun-tahun mempertahankan hanya karena hitungan hari yang sudah kepalang banyak, merupakan hal paling bodoh yang pernah ia lakukan. Entah sudah berapa kali Tuhan menegurnya dengan cara halus untuk berhenti berjuang sendirian, hingga akhirnya ditampar dengan kenyataan. Perih memang, namun setidaknya ia akhirnya bisa membuka mata dan melapangkan dada.

Mungkin salah Tiara karena terlalu percaya pada Dika, walau hal itu adalah poin penting dalam setiap hubungan. Tapi setiap saat, kepercayaan bisa menjadi bumerang paling menyakitkan yang akan berbalik pada diri sendiri. Seberapa besarnya kepercayaan dan komunikasi, Tuhan selalu punya cara untuk menunjukkan sela yang mungkin tak dapat kita temukan seorang diri.

Jangan sebut-sebut nama Dika lagi padanya, ia sedang dalam tahap meng-amnesia-kan diri sendiri. Walau ia tahu bahwa berusaha kuat untuk melupakan tak ada bedanya dengan terus mengingat.

Cinta memang tetap menjadi rahasia. Tapi menurut Tiara, kata ‘saling cinta’ hanya untuk orang-orang yang beruntung saja. Menurut Tiara, terserah dengan pikiranmu.