Just Ended
Makassar,
11 Juli 2013
Tiara melirik
jam yang melingkari pergelangan tangan kirinya, entah untuk yang keberapa kali.
Di luar rumah, tetesan air masih mengguyur dengan ramainya. Ia tidak pernah
membenci hujan jika saja tak datang untuk menghalangi perjalanan pentingnya,
seperti saat ini.
Handphone di
genggamannya pun tak henti-hentinya bernyanyi. Ia tahu, Dika pasti sama
paniknya dengan dirinya sekarang. Pesawat yang akan membawa lelaki itu ke
Jogjakarta akan lepas landas pukul enam petang, dan ia masih dihadang hujan
sementara kini jarum jam sudah hampir mengenai angka lima. Belum lagi
perjalanan ke bandara yang bisa memakan waktu satu jam atau lebih jika macet
ingin turut campur dengan harinya. Tanpa sadar, Tiara sudah menggigit handphone
berwarna putih di tangan kanannya tersebut—menahan amarah.
Lo
naik angkot ke depan kompleksnya Riri, ya.
Gue
gak bawa mantel, di sini masih deras.
Oh, bahkan
sahabat yang ia harapkan akan memperlancar perjalanannya pun turut berkonspirasi
untuk memakan waktu lama. Baru saja akan menelepon Rega—sahabat yang baru saja
mengiriminya pesan singkat itu—handphone miliknya kembali berdering. Dika calling...
Belum sempat
mengucapkan salam pembuka, lelaki itu sudah menyerangnya dengan rentetan
kalimat yang diredam suara hujan. Tiara mendengus pelan, mengapa lelaki yang
sudah menjadi kekasihnya hampir tiga tahun ini tak bisa menunggu dengan sabar?
“Iya, iya. Aku
naik angkot ke rumahnya Riri, pacar Rega. Habis itu baru diantar ke bandara.
Tunggu aja, aku pasti datang.”
***
Terima
kasih pada Rega yang seharusnya menjadi pembalap moto gp saja daripada
mahasiswa teknik, dia lebih ahli dalam menaklukkan jalanan raya daripada
perangkat-perangkat lunak komputer. Buktinya hanya dalam waktu setengah jam,
Tiara sudah melangkah menghampiri keluarga besar Dika yang duduk bersisian di
beranda depan bandara Sultan Hasanuddin.
“Kok lama, Ra?”
sapa Mbak Lia, kakak ipar Dika sembari bertukar ciuman pipi dengan Tiara.
“Iya, tadi di
rumah hujannya deras banget, Mbak.” Perempuan berjilbab dengan tubuh mungil itu
pun duduk di antara keluarga besar kekasihnya, membaur layaknya keluarga
sendiri. Yah, dirinya memang sudah dekat dengan keluarga tersebut sejak awal
masa pacarannya bersama Dika.
Sosok Dika
muncul tak lama kemudian, langsung mengambil tempat di sebelah kanan tubuh
mungil Tiara. Tiara menghela napas panjang, mencuri aroma parfum lelaki itu
agar tetap tinggal di indra penciumnya selama raga tersebut menetap di
Jogjakarta nanti. Ah, ia membenci dirinya yang berubah melankolis akhir-akhir
ini. Ini sudah kali kedua ia melepas kepergian Dika di bandara, namun mengapa
kini ada perasaan tak rela yang menyusup diam-diam? Bukankah pada akhirnya dia
juga akan kembali ke dalam pelukannya lagi?
“Daripada kalian
lihat-lihatan begitu, kenapa gak pelukan aja, sih? Mumpung pesawatnya belum
berangkat,” tegur Mas Fian, sepupu Dika.
Tiara kontan
menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah.
Sementara Dika
langsung mengelus puncak kepala yang tertutup jilbab polos berwarna kuning
tersebut. “Gak boleh, Kak. Kan lagi puasa.”
***
Makassar,
17 Juli 2013
Thanks
Tari J
Sms
yang baru saja masuk ke dalam kotak pesan pada handphone Tiara barusan sempat
membuatnya sulit bernapas untuk beberapa saat. Tari? Ia membenci nama itu.
Tidak ada yang salah memang, hanya saja tak ada perempuan lain bernama Tari di
kehidupan Dika selain sahabat semasa SMA lelaki itu. Sahabat yang juga
merupakan sahabat dari mantan kekasih Dika sebelum Tiara. Lalu mengapa
sekarang...
Sorry,
sayang. Tadi salah kirim.
Ini
sudah kali kedua Dika mengirimkan pesan berisi nama Tari ke handphone-nya.
Sesering itukah keduanya saling mengirimkan pesan singkat? Bukankah dirinya
sudah berulang kali melarang Dika berhubungan dengan perempuan itu? Yah,
silakan sebut ia egois. Ia hanya tak ingin ada perempuan lain yang menikmati
perhatian dari pacarnya sendiri. Ia tak ingin ada perempuan lain yang merasa
diistimewakan selain dirinya, tidak pula untuk kategori ‘hanya sahabat’ yang
selama ini dijadikan Dika sebagai tameng antara dia dan Tari-Tari ini.
Tidak,
Tiara tak pernah sekali pun menyangsikan cinta Dika padanya. Bagaimana ia bisa
ragu jika seluruh keluarga besar keduanya sudah merestui hubungan mereka?
Bagaimana ia bisa ragu jika Dika selalu membanggakannya di depan sahabat-sahabatnya?
Bagaimana ia bisa ragu jika Dika selalu mencurahkan semua perhatian dan kasih
sayang hanya pada dirinya? Dika menghabiskan waktu-waktu yang seharusnya ia
gunakan untuk beristirahat dari rutinitas kerja dengan bertukar kabar maupun
saling mengucap rindu melalui sambungan telepon atau internet, lalu bagian mana
yang ingin ia ragukan?
Ya, sebut ini
sebagai perasaannya saja. Tak mungkin Dika menyiakan kepercayaan darinya, dari
keluarganya, dari janji menghabiskan usia mereka sejak hampir tiga tahun yang
lalu. Persetan dengan ungkapan ‘insting perempuan tak pernah salah’, ia hanya
ingin memercayai Dika. Hanya Dika pusat rotasinya saat ini.
***
Makassar,
2 Agustus 2013
Tiara
pikir, kepulangan Dika ke Makassar adalah momen bahagianya setelah dipisah
jarak selama hampir satu bulan. Tak bertemu sehari saja dengan orang yang
dicintai serasa mencekik hingga nyaris memutus urat nadi. Ia benci perasaan
rindu yang menggebu-gebu, dan tak bisa bertemu untuk membunuh rindu itu. Namun
jika kembali bertemu, yang ia kira bisa melepas rindu tersebut berubah menjadi
ajang adu emosi, sepertinya sia-sia saja sabar menunggu.
Sepulang dari
acara buka puasa bersama dengan keluarga Dika, Tiara dan lelaki itu melanjutkan
pertengkaran mereka di rumah Tiara yang sepi.
“Pokoknya aku
gak akan pernah suka kalo kamu masih suka jalan bareng Rega, ya.”
“Rega itu
sahabatku dari SMP, Dik. Lagian
aku perginya rame-rame sama sahabatku yang lain, dia udah punya pacar. Bukannya
kalian juga udah kenal, kan?”
“Tetap aja aku
gak suka, dia kan cowok.”
“Terus apa
bedanya dia sama Tari? Dia juga cewek, dan kamu selalu bilang ‘kami cuma
sahabat’ kalo aku ngomongin dia. Seharusnya kamu juga mikir gitu kalo mau nuduh
aku sembarangan!”
Dika mendengus
pelan menanggapi rentetan kalimat Tiara yang disertai teriakan penuh emosi
barusan. Ini bukan kali pertama mereka beradu urat selama berpacaran. Tak
heran, putus pun selalu menjadi jalan akhir. Bukan mengakhiri cinta sebenarnya,
namun lebih untuk menahan ego sementara waktu. “Jadi, kamu lebih pilih Rega... atau
aku?” tandasnya kemudian.
“Dika, stop
berpikiran kekanak-kanakan, deh! Kamu juga mau, kalo aku suruh pilih Tari atau
aku? Hah?”
“Aku sekarang
minta kamu memilih, bukannya malah balik nanya.”
Tiara menatap
Dika dengan kedua mata menyipit, bahu naik-turun, dan napas yang mulai tak
beraturan. Ia membenci Dika yang berubah egois seperti ini, berubah egois
ketika dirinya sendiri juga tak mau mengalah.
“Oke, karena
kamu diam, aku rasa aku udah tahu jawabannya...” lelaki berkaus polo itu
bangkit dari sofa ruang tamu rumah Tiara yang biasanya menjadi saksi hari-hari
penuh cinta mereka. “Aku pergi, berhenti berhubungan sama keluargaku. Semoga
kamu bahagia sama pilihanmu.”
Tiara menatap
punggung yang menghilang di balik pintu rumahnya tersebut dengan nanar. Ia ikut
bangkit, berniat menyusul sosok Dika dan menjelaskan perasaannya. Namun
alih-alih melangkah, ia malah meluruh, bersatu dengan lantai marmer ruang tamu.
Tak bisakah
mereka menjalani hubungan seperti orang-orang berpikiran dewasa lain? Tak
bisakah Dika menyadari perasaannya yang tak tertandingi oleh apapun lagi? Tak
bisakah mereka berhenti saling menghakimi hal-hal yang sudah jelas dalam
hubungan mereka selama ini?
Perempuan itu
tak menyadari isakan yang sudah keluar dari bibir mungilnya, sementara ia
memeluk tubuhnya sendiri. Di antara wajahnya yang tersembunyi di balik kedua
lutut, ia berharap Dika datang lagi. Meminta maaf, dan menyalurkan hangat dari
rengkuhan kedua tangannya. Ia tak kuat memeluk dirinya sendiri saat ini. Ia
mencintai Dika dengan seluruh hidupnya, ia membutuhkannya.
***
Makassar, 10 September 2013
Tiara
membenci dirinya yang dengan mudah memberi maaf pada Dika. Ia membenci dirinya
yang tak bisa bertahan lama tanpa sosok lelaki itu. Ia membenci dirinya yang
terlalu percaya, terlalu menyayangi lelaki yang belum genap tiga tahun
dikenalnya. Ia membenci dirinya yang kini semakin lama, semakin sadar bahwa ia
tak bisa hidup tanpa kebiasaan-kebiasaannya selama menjalin hubungan dengan
Dika.
Dan di sinilah
ia sekarang, sebuah restoran fast food bersama Dika yang baru semalam
dimintanya kembali. Dengan menurunkan segala ego, harga diri, atau apapun yang
orang lain sebut, ia memang yang pertama kali meminta Dika kembali menjadi
kekasihnya. Sudah lewat sebulan dari perpisahan mereka, di malam anniversary
mereka yang ke-34 bulan, dan menunggu Dika yang menghubunginya duluan sama saja
dengan sia-sia.
“Kamu udah gak
sayang sama aku, kan? Makanya sampai sekarang kamu gak minta balikan kalo bukan
aku yang minta,” ujar Tiara sambil menggigit potongan kentang goreng di antara
telunjuk dan ibu jari tangan kanannya.
“Siapa bilang?
Kamu jangan bikin selera makanku hilang, deh.”
“Terus kenapa
kamu gak minta balikan duluan? Dulu-dulu kan biasanya begitu.”
“Masa hal kayak
begini harus kita debatkan lagi, sih? Capek, Ra.”
“Aku cuma nanya.
Aku gak mau bikin asumsi sendiri, karena aku gak mau sakit hati lagi sama
pikiranku yang macam-macam tentang perasaan kamu.”
Dika menyesap
cangkir yang masih mengepul di hadapannya. Kemudian menumpukan kedua sikunya ke
atas meja sembari menumpahkan seluruh perhatiannya pada Tiara. “Aku cuma mau
ngasih kamu sedikit pelajaran. Lagian aku tahu gimana kamu yangn gak bisa
jauh-jauh dari aku. Jadi cepat atau lambat, kamu yang ngehubungin aku duluan.
Iya, kan?”
Tiara menepis
jemari Dika yang berjalan di puncak kepalanya yang siang ini dihalangi jilbab
merah muda. “Oh, jadi karena kamu tahu aku gak bisa jauh dari kamu, makanya
kamu manfaatkan momennya, begitu? Aku jadi heran, jangan-jangan... kamu udah
gak sayang sama aku, ya?”
Lelaki berkemeja
biru dongker tersebut meletakkan garpu dan pisaunya di atas piring dalam
keadaan menelungkup. “Tiara, stop this topic, please. Udah, deh. Aku mau ke
kamar kecil dulu.”
Perempuan
berjilbab itu menatap punggung bidang yang menjauh tersebut hingga hilang di
bagian dalam restoran. Ia menghela napas panjang, memikirkan dirinya yang
terasa menyedihkan. Apa benar hanya dirinya yang bertahan? Apa lelaki itu sudah
lama berhenti memperjuangkan?
Bunyi singkat
dari smartphone di atas meja membuyarkan lamunan Tiara. Ia pun meraih gadget
milik Dika, lalu melihat notifikasi yang masuk; hanya broadcast tidak penting.
Jemarinya kini menari di atas touch-screen, melihat nama-nama yang berada di
daftar percakapan lelaki itu. Entah naluri dari mana, pandangannya langsung terpaku
pada satu nama di sana. Utari Ramadhani.
Utari
Ramadhani:
Oh,
jadi hubungan kita selama ini kamu anggap apa? Aku kecewa sama kamu, Dik.
Andika
Saputra:
Sorry,
Tar. Aku beneran gak ngerti juga, aku harap kamu ngerti sama keadaanku. Kita
lihat ke depannya gimana aja, ya.
“Kamu
ngapain?” tegur Dika sambil merebut paksa smartphone miliknya dari genggaman
Tiara yang balik menatapnya dengan mata yang mengerjap beberapa kali.
“Kamu... chat...
aku...” Tiara menelan ludah seraya bangkit dari duduknya. Ia harus berpegangan
pada meja saat menyampirkan tasnya, takut lututnya tak sanggup lagi menopang
tubuh. “Thanks, Dik.” Ia buru-buru berlalu sebelum butiran bening itu meluruh
dan membanjiri pipinya. Ia perempuan yang kuat, ia tak boleh membuat Dika
semakin bangga atas kelemahannya. Bukan perempuan namanya kalau tidak menangis
untuk meluapkan kekecewaan, ia membatin seraya terus melangkah ke tepi jalan
raya.
“Tiara! Stop act
like a kid, please!” Dika sudah mencekal lengannya, menyejajarkan langkah tepat
di sisi tubuh mungil perempuan itu.
“Lepas, Dika.
Jangan bikin aku sama kamu malu di tengah jalan begini.” Tiara membenci kata
kita untuk kalimatnya barusan.
“Kamu lihat apa
di handphone-ku? Chat sama Tari? Oh, God..., itu udah lama. Sejak aku masih di
Jogja. Sekarang kami udah gak ada apa-apa lagi.”
“Jadi dulu
kalian ada apa-apa, begitu?” Tiara memilih berhenti, memasang ekspresi yang
sukar dibaca, dengan suara pelan. Ia tak mau orang lain mencuri dengar, apalagi
di tengah keramaian seperti ini.
Dika melepaskan genggamannya pada lengan tirus
Tiara setelah yakin perempuan itu tak akan lari lagi. “Enggak sama sekali. Aku
sama dia cuma sahabat, dan seterusnya begitu. Kamu jangan mikir macem-macem,
deh.”
***
Makassar,
11 September 2013
Tiara
menatap kalimat demi kalimat yang memamerkan diri di layar handphone-nya dengan
sendu. Ia ingin menangis, sungguh. Tak ada obat paling manjur untuk meredakan
kekesalan, kekecewaan, atau amarah melebihi air mata. Namun mengapa sekarang
kelenjar di ujung bola matanya ini seakan sedang absen bekerja? Kemana perginya
ia saat dibutuhkan? Sebagai ganti, ia pun memilih meninju dan menginjak boneka
tanpa dosa di lantai kamarnya. Boneka dari orang yang ia pikir masih, atau
mungkin pernah mencintainya. Cinta-kah selama? Ah, ia juga sangsi.
Perempuan itu
tak pernah mengira akan berkirim pesan singkat dengan perempuan yang beberapa
menit lalu pun masih ia benci. Perempuan itu tak pernah mengira bahwa yang
seharusnya ia benci adalah orang yang selama ini ia cintai.
Aku kira kalian udah putus, Ra. Dia
sendiri yang ngaku udah jomblo, makanya aku juga ngasih respon. Sumpah ya,
Ra..., dia yang pertama ngehubungin aku. Kalo aku tahu dia seberengsek ini,
mana mau aku dekat lebih dari sahabat sama dia.
***
Jogjakarta,
17 Juli 2013
Dika
dengan cekatan membalas pesan singkat dari Tari yang baru saja menyapa
smartphone miliknya. Ada pesan dari Tiara yang lebih dulu masuk, namun ia
memilih mendahulukan pesan Tari untuk dibalasnya. Yah, bukan hidup namanya jika
tak ada lebih dari satu pilihan.
Kamu
doain aku aja semoga sukses sama pekerjaan di sini.
Kalo
aku udah beneran mapan nanti, kan kamu juga yang seneng.
Aku
tinggal langsung lamar kamu, gak perlu pacaran ngabisin waktu gak jelas.
Sending...
sent to: Utari Ramadhani.
From
: Utari Ramadhani
Iya,
aku selalu berdoa buat kamu kok.
Janjinya
aku pegang, ya. Cepetan balik J
Benda
yang masih setia berada di genggaman Dika itu kembali berbunyi. Tiara kembali
mengiriminya pesan, mungkin heran mengapa pesan sebelumnya belum dibalas juga.
Thanks
Tari J
Sending...
sent to: Tiara Pratiwi.
***
Makassar,
28 Oktober 2013
Tiara
sudah merasa dirinya membaik, lebih baik dari terakhir kali ia menatap dirinya
di cermin. Yah, ia bermusuhan dengan cermin dua bulan ini. Tak ingin bertukar
pandang dengan dirinya sendiri lewat media kaca tersebut. Tak ingin menyadari
bintik-bintik merah yang memenuhi wajah dan lingkaran hitam yang menguasai area
matanya, juga tulang pipi yang semakin kentara. Ah, ia membenci masa-masa
menyedihkannya itu.
Hampir semua
manusia—termasuk Tiara di dalamnya—memang membutuhkan tamparan untuk
disadarkan. Bertahun-tahun mempertahankan hanya karena hitungan hari yang sudah
kepalang banyak, merupakan hal paling bodoh yang pernah ia lakukan. Entah sudah
berapa kali Tuhan menegurnya dengan cara halus untuk berhenti berjuang
sendirian, hingga akhirnya ditampar dengan kenyataan. Perih memang, namun
setidaknya ia akhirnya bisa membuka mata dan melapangkan dada.
Mungkin salah
Tiara karena terlalu percaya pada Dika, walau hal itu adalah poin penting dalam
setiap hubungan. Tapi setiap saat, kepercayaan bisa menjadi bumerang paling
menyakitkan yang akan berbalik pada diri sendiri. Seberapa besarnya kepercayaan
dan komunikasi, Tuhan selalu punya cara untuk menunjukkan sela yang mungkin tak
dapat kita temukan seorang diri.
Jangan
sebut-sebut nama Dika lagi padanya, ia sedang dalam tahap meng-amnesia-kan diri
sendiri. Walau ia tahu bahwa berusaha kuat untuk melupakan tak ada bedanya
dengan terus mengingat.
Cinta memang
tetap menjadi rahasia. Tapi menurut Tiara, kata ‘saling cinta’ hanya untuk
orang-orang yang beruntung saja. Menurut Tiara, terserah dengan pikiranmu.