Rabu, 03 Desember 2014

Hai, kamu..., kalian....

Hai, kamu.

Satu angka baru saja menyambut di penanggalan bulan terakhir tahun ini. Satu buku lagi akan kita tutup kembali, tak lama lagi. Tapi apa kamu pernah membuka buku-buku lama, mencari kesalahan untuk kauperbaiki di buku baru? Atau buku lama itu kaubiarkan teronggok, haus perhatian, sementara kau sibuk menoreh kesalahan-kesalahan baru, atau mungkin mengulang yang lama, untuk kemudian dipindahkan ke buku baru?

Hari ini, aku terlibat pembicaraan dengan seorang sahabat, tentangmu yang senang mengulang salah di matanya. Kamu, yang kepadanyalah kupercayakan sesuatu yang berharga untukku. Kamu, yang gemar pergi, namun selalu menjadi yang pertama kali kembali. Kamu, tempatku menyetia kini.

Bukan satu-dua orang yang memintaku berpikir ulang tentang keputusanku memilihmu. Tentang kamu yang sudah berkali-kali diberi kesempatan, lalu mengkhianati. Tentang kamu yang menjadi satu-satunya alasanku berteman sedih. Tentang kamu, yang membuat mereka bosan mendapatiku menyumpah atas salahmu, kemudian kembali mengelu-elukanmu pada akhirnya.

Tenang, aku tidak menulis ini untuk menyalahkanmu. Kamu tahu? Aku bersedia berdebat dengan siapapun yang menyangsikanmu—meragukan kesungguhanmu yang entah untuk keberapa kali berjanji untuk tidak menyiakanku lagi.

Untuk berpaling dariku, aku mengaku memiliki andil dalam dustamu itu. Aku yang terlalu egois, terlalu gampang menyuarakan panas di hati, terlalu mudah menggerakkan jemari untuk menyakiti, dan aku memaafkan kesalahanmu yang lalu tersebut.

Untuk beberapa teman dekat yang sempat mengisi hari setiap aku sendiri, terima kasih. Terima kasih untuk kebaikan, tawa, pengertian, dan menjadi sosok sempurna—yang kemudian kusadari tak ada yang bisa menerimaku apa adanya selain kamu.

Untuk beberapa yang bahkan masih nekat mendekati setelah aku dan kamu kembali, aku juga berterimakasih. Karenanya, aku menyadari betapa kehadiran ini sangat dihargai.

Ada saat di mana aku—dan mungkin beberapa sahabat kecewa—karena kamu yang pertama mengkhianati, lalu kemudian sadar betapa aku sepertinya lebih mengecewakanmu karena telah begitu mudah meladeni sosok lain. Karena selalu dibanjiri perhatian dari orang lain yang kuterima dengan senang hati. Sementara di suatu tempat yang entah, bisa saja kamu sedang membandingkanku dengan perempuan lain yang juga sedang kaudekati.

Maaf yang kuberi percuma, berkali-kali, membawaku pada kemungkinan bahwa akulah yang sebenarnya membutuhkan maaf itu, untuk diriku sendiri. Maaf karena selalu menjadi korban di mata orang-orang, tanpa mereka sadari, bukan mustahil aku sedang tertawa bahagia dengan lelucon lelaki lain sementara dirimu barangkali tengah mengabaikan perempuan lain yang sibuk mencari perhatianmu—karena asyik memikirkan apa yang pada saat itu baru saja aku lakukan.

Mereka, orang-orang yang sering menyayangkan keputusanku untuk kembali padamu, tidak tahu bahwa dalam beberapa hal, seharusnya akulah yang beruntung karena kamu masih memberi kesempatan untuk bersama, lagi dan lagi.

Katanya, orang-orang di luar lingkaran kita lebih tahu segala, karena mereka melihat, dan kita kerap menutup mata serta telinga. Tidak salah, memang. Tapi yang harus orang-orang tahu, kitalah yang merasakan. Kita yang sebenarnya lebih tahu apa alasan di balik setiap keputusan. Dan kita—aku atau kamu—yang tahu kapan harus kembali, ataupun berhenti.

Di sini, aku bukannya menyalahkan setiap komentar sinis mereka tentang kebodohanku memilihmu lagi dan lagi. Bukan. Aku hanya meminta mereka berhenti menghakimi, dan mendukung keputusan orang yang menjalani. Kadang, kita memang sering gemas dengan hubungan orang lain yang tidak sesuai pemikiran kita. Wajar. Tapi kita tidak memilih hak untuk menentukan, karena kita sendiri memiliki masalah masing-masing, kan?



Ini, ada jawaban untuk beberapa pertanyaan dari mereka yang sering membuatku merasa membuat keputusan—yang anehnya untuk kebahagiaanku sendiri—tapi tidak mereka hargai dengan pertanyaan yang... begitulah.

“Memang yakin pacaran lama, terus jodohnya juga sama itu?”
Yang namanya sudah pilihan sendiri, ya harus diyakini. Toh Allah juga yang menentukan. Aku bukan orang yang merasa membuang-buang waktu untuk berhubungan lama denganmu, selama kita meyakini pilihan ini dan memiliki tujuan akhir yang sama nanti.

“Kenapa nggak sama si itu aja, yang lebih mapan dan ganteng.”
Ganteng itu relatif. Dan aku yakin setiap orang sudah punya rezeki masing-masing. Kalau sekarang belum mapan, insya Allah nanti. Roda berputar terus, kan?

“Kamu yang pacaran, yang mau nikah nantinya, kenapa harus ikuti pendapat Mama yang katamu sudah kepalang suka sama pacar yang ini?”
Pernah dengar kalau firasat seorang Ibu untuk anaknya jarang meleset? Aku pernah memutuskan hubungan dengan seseorang karena Mama tidak setuju. Kalaupun Mama memintaku berhenti memperjuangkan empat tahun dengan lelaki ini, aku ikuti. Tapi untungnya, Mama mendukung. Jadi, apa aku harus tetap berhenti?

“Kalian pacaran, tapi jarang teleponan atau sms-an. Mending sekalian nggak punya pacar aja.”
Telepon, sms, bbm, bertukar mention di twitter, saling sapa di facebook, dan memamerkan kemesraan di media sosial tersebut sudah kami nikmati di tahun pertama hubungan. Bukannya kita sudah cukup dewasa untuk saling tahu kesibukan masing-masing? Jadi, saling mendoakan saja. Lebih pilih mana: dia menelepon tapi bisa saja sedang bersama perempuan lain, atau dia yang tiba-tiba mengetuk pintu rumahmu di tengah kesibukan hanya untuk mengobrol sebentar atau membawakan makanan kesukaan? Aku bukannya memilih opsi kedua, hanya saja begitulah caranya membahagiakanku hingga sekarang.

“Kenapa nggak cepat-cepat nikah? Kan sudah pacaran lama. Kan keluarga sudah saling tahu.”
Setiap pasangan, menikah pasti sudah menjadi tujuan akhir. Bukannya menunda atau tidak mau, tapi—untungnya lagi—aku dan dia sama-sama masih ingin menikmati masa muda. Kalau sudah menikah, aku pastinya harus berbakti sepenuh hati ke suami. Aku sudah tidak bebas liburan bersama kalian, mengiyakan setiap ajakan kalian ke manapun, dan mendengar cerita-cerita kalian karena aku sudah sibuk berusaha menjadi istri soleha.

Hai, kamu.

Saat membaca ini, kamu pasti bangga memilikiku. Mengaku saja, agar aku bahagia.

Terima kasih untuk jarang berjanji, namun sering memberi bukti. Terima kasih telah menyediakan telinga untuk setiap cerita-cerita yang tidak tahu harus kutumpahkan pada siapa lagi. Terima kasih untuk menjadi saudara, sahabat, dan kekasih sekaligus. Dan, terima kasih untuk mengerti.

Mari tutup telinga untuk mereka yang belum sampai di tahap ini.