Baby, please don't say good bye. I love you too much just to let you fly...
Fanya turun dari motor ninja milik
Haykal di halaman kecil puskesmas tersebut. Sebelum pergi tadi, Mama memaksa
mereka untuk naik motor saja agar bisa sampai lebih cepat. Untungnya, sepanjang
perjalanan mereka pun terlewati seperti biasa. Seakan tak pernah ada
pertengkaran sebelumnya.
“Aku masuk
duluan, ya!” ujar perempuan itu sambil menyerahkan helm yang tadi dipakainya ke
arah Haykal.
Sang tunangan
meraihnya dan menaruhnya begitu saja di jok motor. “Kita masuk bareng aja.
Yuk!” balasnya sembari menggenggam jemari Fanya erat. Seakan menunjukkan pada
dunia bahwa perempuan itu masih miliknya. Akan selalu menjadi miliknya.
Fanya menurut.
Tenggelam dalam genggaman hangat tersebut. Genggaman yang menenangkan dan tentu
saja sangat ia rindukan.
***
Perempuan
dengan long dress peach yang baru saja melepaskan stetoskop dari telinganya itu
spontan menoleh dan melihat pusat keramaian di bagian depan puskesmas. Ke arah
sepasang orang yang sama-sama mengenakan jas dokter dan kemeja hijau. Seketika,
dahinya berkerut maksimal. Kemudian mengedarkan pandangannya, mencari
seseorang.
“Farhan!”
serunya tertahan saat mendapati lelaki ber-polo shirt abu-abu tersebut juga
sedang menatap pemandangan yang sama.
Lelaki itu
langsung menoleh ketika Dokter Ita sudah berdiri di sebelahnya. Di dekat pintu
masuk ruang pemeriksaan gigi yang lumayan sepi.
“Kok mereka bisa
baikan lagi? Kenapa kamu gak ke sini bareng Fanya, sih?”
Farhan
mengembalikan pandangannya ke arah Fanya yang kini sedang tersipu karena
menjadi bahan godaan ibu-ibu yang sedang berada di ruang tunggu bagian depan
puskesmas. Lalu menghela nafas panjang. “Malah saya yang bikin mereka berdua
baikan, Dok.”
“Apa? Kamu udah
gila, ya?” pekik perempuan itu, shock.
“Maaf, Dok.
Bukannya malah Dokter Ita yang gila gara-gara Dokter Haykal?” Lelaki itu
menatap tepat ke manik mata coklat muda milik perempuan di depannya.
“Kamu! Siapa
yang ngajarin kamu gak sopan gitu ke saya? Saya ini dosen kamu, Farhan!” Dokter
Ita buru-buru menghela nafas untuk mengontrol emosinya, sebelum orang-orang di
sekitar mencurigai pembicaraan mereka. “Saya gak mau tau! Kita harus tetep
bikin mereka jauh. Kamu mau bahagia atau enggak, sih?”
“Dokter, maaf
beribu maaf, ya. Dokter tau arti bahagia yang sebenarnya gak, sih? Cinta itu
kan bahagia ngeliat orang yang dicintainya bahagia walau bukan sama dia. See?
Jadi Dokter bener-bener mau bahagia apa nyiksa diri sendiri karena obsesi?”
Deg! Perempuan
berambut lurus kecoklatan tersebut kontan melotot. Kedua tangannya terkepal,
kemudian sambil terkekeh pelan ia berkata, “Kamu mau berhenti dari perjanjian
kita? Okay, fine! Asal kamu jangan ngemis-ngemis ke saya kalo kamu nantinya
berubah pikiran!” Lalu membalikkan tubuh semampainya dan berjalan dengan
langkah lebar ke dalam ruang pemeriksaan.
***
“Eh,
lo ngapain niruin kata-kata gue semalem? Dasar tukang copy-paste!” Tyas
tiba-tiba sudah berdiri di belakang Farhan sambil cemberut dan melipat kedua tangan
di depan dada.
Lelaki itu
sontak berbalik dengan dahi berkerut. “Eh, elo keturunan jin apa emang suka
nguping, sih? Ngagetin aja!” balasnya, sewot.
Tyas langsung
cekikikan. Kemudian menepuk pundak kiri Farhan dengan tangan kanannya. “Gue
bangga sama lo. Semoga lo gak berubah pikiran kayak ancaman terakhirnya Dokter
Ita, ya!”
“Apaan sih lo!
Gak usah sok sweet, deh.” Ia memilih beranjak meninggalkan perempuan berlesung
pipi tersebut. Melangkah memasuki ruangan pemeriksaan gigi puskesmas.
Sepeninggalnya,
Tyas mengendikkan bahu tak acuh. Lalu menghampiri sahabatnya yang masih
dikelilingi ibu-ibu di depan sana.
***
Fanya
menghentikan langkahnya di depan pintu kamar yang ditempati Haykal dan Farhan.
Lalu melongok ke dalam.
“Kenapa,
sayang?” tanya lelaki berkacamata yang duduk di atas tempat tidur, menghadap
pintu kamar tersebut.
Perempuan yang
kini sudah mengenakan piyama polkadot berwarna kuning itu langsung masuk ke
dalam kamar tapa permisi. Kemudian naik ke atas ranjang dan duduk bersila di
depan tunangannya. “Aku bete. Tyas lagi ngurusin pembukuan dari puskesmas, aku
gak ada temen di kamar.”
Haykal tersenyum
menenangkan. Lalu melepaskan kacamata yang sudah seharian ini membingkai kedua
mata teduh miliknya. Ia menguap beberapa detik. “Gak sadar ya, kita udah mau
balik aja.”
Fanya
mengangguk. “Besok udah penutupan, kan? Dan aku bakal kembali ke rumah sakit
bunda. Huh!”
Lelaki itu
tertawa pelan. “Emang KKN kamu masih berapa lama lagi? Ngeluh mulu kerjaannya.”
“Tau, ah. Males
ngitung.” Fanya memilih berbaring di sana. “Kamu tidur di kamarmu lagi aja. Aku
sama Tyas di sini. Bosen di situ terus,” lanjutnya.
Haykal ikut
berbaring di sebelah tubuh mungil tunangannya. Menghadap Fanya dan menjadikan
tangan kiri sebagai penyangga kepala. “Hmm, gimana kalo kamu tidur di sini
aja?”
Fanya kontan
menoleh dengan senyum lebar. “Serius?”
Lelaki itu
mengangguk mantap. “Asal tidurnya sama aku.”
“Huh!” Perempuan
itu langsung mencubit pinggang tunangannya. “Kamu nih bener-bener, deh. Kapan
bisa seriusnya, sih?”
Haykal mencoba
mengelak sambil tertawa. Bukannya merasa sakit, ia malah menahan geli sekuat
tenaga. “Itu tadi akunya lagi serius loh, sayang. Hahaha...”
“Kamu bisa
bedain serius sama mesum, gak? Hah? Hah?” Fanya masih berusaha mencubiti
pinggang Haykal dengan jemarinya. Hingga laki-laki itu berteriak minta ampun
setengah mati. Sudut matanya pun sampai berair. Membuat perempuan tersebut
semakin semangat mengerjainya.
***
“Dokter
Haykal! Fanya!”
Dua orang yang
sedang asik bertukar tawa di dalam kamar itu sontak menoleh. Lalu menemukan
wajah shock milik seorang perempuan cantik di sana.
“Kalian...
ngapain berduaan di kamar begini?” tanyanya, sedikit teredam oleh telapak
tangan yang ia gunakan untuk menutup mulut.
Fanya buru-buru
merubah posisinya dari berbaring menjadi duduk dalam posisi tegak. Ekspresinya
tak kalah kaget dengan perempuan yang notabene adalah Dokter Ita tersebut.
Sedangkan di sebelahnya, Haykal hanya mengerutkan dahi.
“Ini ada apa,
sih?” Tiba-tiba, Mama muncul dari balik tubuh semampai Dokter Ita. Diikuti Tyas
dan Farhan di belakangnya. Seketika, tatapan beliau terpaku pada sang anak dan
calon menantu yang sedang duduk di atas ranjang bersama.
“Liat deh, Bu!
Mereka... Mereka berduaan di kamar ini. Tadi saya liat mereka... Mereka
guling-gulingan di atas ranjang, Bu. Mereka juga pelukan. Ini udah gak bener
kan, Bu?” Dokter Ita menjelaskan dengan tergesa-gesa. Nafasnya memburu, belum
bisa mengendalikan rasa kaget yang mendera.
Mama yang
memperhatikan perempuan itu berbicara kembali menoleh dan menatap sang
“tersangka” di dalam kamar. Fanya dengan muka merah yang menunduk. Dan Haykal
yang memasang wajah tak bersalah.
“Ma, aku sama
Fanya–”
Wanita paruh
baya yang mengenakan jilbab merah marun dan terusan senada tersebut mengibaskan
tangan kanannya. Menyuruh Haykal menghentikan belaan yang bahkan belum sempat
ia ucapkan. Kemudian menatap perempuan di sebelahnya. “Dokter Ita...”
Semua perhatian
ikut tertuju pada objek pembicaraan Ibu Septi.
“Haykal sama
Fanya itu udah dewasa. Mereka calon suami istri. Apa salahnya becanda di kamar
berdua? Yang penting pintunya dibiarin kebuka, kan? Lagian saya juga yakin
mereka bisa bertanggung jawab sama apapun pilihan mereka.Wong di sana aja mereka juga tinggal serumah, kok...” lanjut Mama,
cool.
Fanya sontak
mengangkat wajahnya yang semakin memerah.
Tyas, Farhan,
apalagi Dokter Ita, jangan ditanya lagi. Mulut mereka kompak menganga.
Bersamaan.
“Jadi Dokter Ita
gak usah musingin kehidupan mereka. Saya yang mamanya Haykal aja gak ambil
pusing,” tutup beliau. Seraya melenggang meninggalkan kamar tersebut. Menuju
kamarnya sendiri, tanpa menoleh sedikit pun.
Sepeninggal Ibu
Septi, Fanya dan Tyas bertukar pandang. Lalu sama-sama berusaha menahan tawa
melihat ekspresi Dokter Ita. Hidung mancungnya yang kembang-kempis, bahu
seksinya yang naik-turun, sampai wajah putih mulusnya yang berubah merah.
Menahan amarah sekuat tenaga.
Dengan satu
sentakan keras, perempuan itu balik badan dan meninggalkan keempat orang yang
langsung saja tertawa puas tanpa bisa dicegah lagi itu.
Tanpa kentara,
Tyas melirik Farhan yang sedang tertawa lebar di sebelahnya. Tawa lepas yang
pertama kali ia dapati dari lelaki itu. Sekaligus menjadi alasan sesuatu yang
tiba-tiba mengusik di hatinya. Entah apa.
***
“Udah
gak ada yang kelupaan kan, sayang?” tanya Mama yang duduk di samping Fanya.
Perempuan
ber-cardigan putih tulang itu kembali meneliti isi tasnya. Mengetuk-ngetuk dagu
sejenak, kemudian tersenyum simpul. “Udah lengkap kok, Ma...” balasnya. “Hmm,
sebenernya aku masih mau tinggal di sini. Tapi aku harus balik buat nyelesaiin
KKN, Ma.”
Mama langsung
memeluk tubuh mungil itu. Mendekapnya erat, seakan tak ingin dilepas. Tanpa
permisi pun, butiran bening sudah mengaliri pipi mulus keduanya.
“Loh, apa-apaan,
nih?” Suara Haykal kontan merusak moment haru kedua wanita tersebut.
Mama menyeka air
matanya pelan. “Haykal, abis ini kamu pasti bawa Fanya ke sini lagi, kan?”
tanyanya dengan suara serak. Khas orang yang baru saja menangis.
“Ya iyalah, Ma.
Mama jangan sentimental gitu, ah. Kayak rumah ini sama rumah Fanya nyeberang
benua aja.” Lelaki itu meraih koper milik tunangannya ke luar kamar.
Mama dan Fanya
mengikuti dari belakang.
“Kalian berdua
aja kan di mobilnya?” tanya Mama lagi, tepat saat mereka sudah sampai di depan
pintu rumah. “Mama udah gerah seminggu ini liat dokter ganjen itu.”
“Hus, Mama nih!”
tegur Haykal.
Fanya hanya
tersenyum sekilas.
“Iya, iya...
Kalian hati-hati, ya! Kamu nyetir mobilnya jangan ngebut. Pake seatbelt biar
safety. Jangan becanda yang heboh kalo di jalan. Trus–”
“Siap, Ma.”
Lelaki bersweater coklat itu buru-buru mencium pipi mamanya sebelum beliau
memperpanjang ceramah. “Mama tumben banget sih ngasih wejangan sebelum pergi
gini. Biasanya juga santai banget.”
Mama merangkul
bahu calon menantunya. “Gak tau. Kok rasanya Mama gak rela pisah sama Fanya, ya?
Kamu bisa tunda jadwal KKN-nya Fanya, gak? Kamu kan dosen, Kal.”
Perempuan mungil
tersebut buru-buru mengangguk mantap. Mengamini kata-kata sang calon mertua.
Dilengkapi wajah memelas, agar tunangannya ikut tergugah dan mengabulkan
keinginannya.
“Gak bisa, Ma.
Dia aja udah izin seminggu. Masa mau ditambah lagi? Kecuali dia mau ngulang
taun depan,” ujar Haykal sembari memasukkan kopernya dan koper Fanya ke dalam
bagasi mobil.
Di belakangnya,
kedua perempuan tersebut kembali berpelukan.
“Kamu hati-hati
ya, sayang...” lirih Mama sambil mengusap punggung Fanya.
“Iya. Mama juga
hati-hati di sini. Aku pasti bakalan rindu banget sama Mama...” Ia balas
berbisik. Sepenuh hati.
***
Hujan
deras mengiringi perjalanan pulang Haykal dan Fanya.
“Kamu gak mau
tidur?” tanya lelaki itu sambil melirik tunangannya yang sedang asik melukis
sesuatu di kaca mobil yang berembun.
Fanya langsung
menoleh. Memperlihatkan gambar seorang laki-laki dan perempuan sedang
bergenggaman tangan dan tersenyum lebar dengan gambar hati di sekitarnya.
“Enggak ngantuk.” Ia lalu membuka dashboard mobil, meraih CD Ten 2 Five.
Kemudian memasukkannya ke dalam pemutar musik di sana.
You stood in the rain
Packed up and ready to go
My tear are falling again
It’s because of you
Packed up and ready to go
My tear are falling again
It’s because of you
Lagu Don’t Say Goodbye terlantun perlahan.
Will you call me when you
get there?
Will you miss me everyday?
Cuz’ I’ll be waiting here at home
Till you knock on my door again
Will you miss me everyday?
Cuz’ I’ll be waiting here at home
Till you knock on my door again
Fanya dan Haykal
langsung bernyanyi bersama.
Baby please don’t say
goodbye
I love you too much just to let you fly
I need you to be my only one
Even if you’re thousand miles
Away from here… away from here
I love you too much just to let you fly
I need you to be my only one
Even if you’re thousand miles
Away from here… away from here
Sementara intro mengalun, Haykal
menggenggam jemari Fanya. Lalu mengecupnya perlahan. Penuh rasa sayang dan
kelembutan. Seakan tak ingin merusaknya. “I love you...”
Perempuan
di sebelahnya tersenyum lebar. Mengangguk, dan menjawab, “I... love you too.”
Tiba-tiba, dari
arah tikungan pada arah berlawanan, sebuah truk muncul dan mengambil jalur yang
dilalui mobil mereka. Sontak saja Haykal melepaskan genggaman pada tangan
tunangannya. Kemudian buru-buru menginjak rem, tapi... “Loh, ini kenapa? Remnya
blong, sayang!”
Fanya kontan
histeris. “Truknya makin deket, sayang! Putar stirnya! Cepetannn!”
Haykal langsung
memutar stir ke arah kiri. Kondisi jalanan yang licin karena hujan deras dan
rem yang tidak berfungsi malah membuat mobil berwarna silver metalik itu
tergelincir menabrak pembatas jalan sejauh sepuluh meter. Seakan tak cukup,
mobil tersebut berguling beberapa kali. Sampai berhenti dalam keadaan bagian
bawah mobil berada di atas. Dan ringsek sedemikian rupa.
Lelaki itu
mengembalikan kesadarannya saat mobil berhenti berguncang. Lalu melirik ke jok
di sebelahnya, mencari perempuan yang baru saja mengatakan ‘I love you’ padanya
beberapa saat lalu. Namun... “Fanya? FANYAAA? KAMU DIMANAA?”
Baby please don’t say
goodbye
I love you too much just to let you fly
I need you to be my only one
Even if you’re thousand miles
Away from here ♫♪
I love you too much just to let you fly
I need you to be my only one
Even if you’re thousand miles
Away from here ♫♪
Haykal langsung
membuka pintu mobil dengan bantuan bahunya yang kekar. Walaupun sempat meringis
beberapa kali, ia berhasil terbebas dari posisi tubuhnya di dalam mobil yang
terbalik.
“Fanya? Fanya?
Kamu dimana?” Ia berulang kali merapalkan kalimat yang sama. Dengan langkah
tertatih, ia terus berjalan. Melangkah ke sekitar tempat kejadian. Ia bahkan
tak peduli pada truk yang kini sudah menghilang entah kemana.
Semakin lama, suaranya memelan. Tubuhnya
pun sudah mati rasa karena kebanyakan luka. Namun ia benar-benar tak
mempedulikan hal lain selain keberadaan perempuan yang dicintainya saat ini.
Ketika
pandangannya mulai buram, akhirnya ia menangkap sesosok tubuh yang tergolek
lemah kira-kira belasan meter dari posisi kecelakaan beberapa menit lalu.
Membuatnya melangkah terseok-seok menghampiri tubuh tersebut.
“Fa... nya...” lirihnya seraya mencoba
merendahkan posisinya sekuat tenaga, mengingat tubuhnya yang sudah seperti
kebanjiran darah. Namun belum sempat melihat wajah perempuan itu, ia sudah
ambruk ke tanah. Tak sadarkan diri.
***
Mama
Haykal terisak di depan pintu ruang UGD. Sudah hampir dua jam putra dan calon
menantunya berada di dalam sana. Entah sedang berusaha bertahan, atau malah
meregang nyawa. Beliau sendiri hanya bisa mendoakan yang terbaik.
Kedua orangtua
Fanya belum bisa datang ke rumah sakit tersebut, berhubung ibu perempuan itu
shock berat dan tak sadarkan diri. Ibu Fanya memang masih trauma dengan
kecelakaan, apalagi jika putri satu-satunya kembali terlibat di dalamnya.
Karena itu mereka meminta Fanya secepatnya dipindahkan ke rumah sakit tempat
mereka bekerja jika kondisinya sudah memungkinkan.
Pintu ruang UGD
terbuka lebar.
Mama sontak
menghampiri dokter yang keluar dari sana. “Bagaimana keadaan mereka, Dok?
Mereka baik-baik aja, kan?” tanya wanita berjilbab tersebut.
Dokter di
depannya menyeka peluh yang mengaliri dahi sejenak. “Dokter Haykal sudah
melewati masa kritisnya, Bu...” Sepertinya ia mengenal dokter muda itu. “Tapi
perempuan yang bersamanya...”
“Fanya? Fanya
kenapa, Dok? Dia... gak kenapa-kenapa, kan?” Mama sampai mengguncang bahu
dokter tersebut.
“Kami belum bisa
memutuskan, Bu. Kondisinya sangat buruk. Sepertinya dia terlempar cukup jauh
dari lokasi kecelakaan sehingga tubuhnya mengalami luka yang cukup serius.
Apalagi bagian kepalanya,” jelas sang dokter. “Sampai sekarang, dia masih koma.
Kami belum bisa mengetahui kondisi selanjutnya sampai ia sadar. Dan kami tidak
tahu kapan ia bisa siuman dari koma ini,” tambahnya.
Tangis Mama
langsung pecah.
“Tapi Ibu tenang
saja. Setidaknya, Dokter Haykal masih bisa selamat.”
Tapi saya tau, Haykal lebih memilih ikut sekarat kalau
keadaan Fanya juga belum jelas, bisik wanita paruh baya itu dalam
hati.
***
Pandangan
Haykal membentur langit-langit kamar rawat tempatnya berada sekarang. Hampir
sekujur tubuhnya nyeri luar biasa, namun tak ada yang diacuhkannya selain sang
tunangan. Ia sempat histeris saat mengetahui perempuan yang dicintainya masih
dirawat di ruang ICU, lengkap dengan alat bantu pernafasan dan detak jantung.
Lelaki itu tak bisa –dan tak mau– membayangkan jika semua alat bantu penopang
hidup tersebut dilepas dari tubuh Fanya. Dunianya pasti sudah kiamat saat itu
juga.
“Kamu mau
kemana, Kal?” Mamanya buru-buru menahan lengan Haykal saat putranya bangkit
dari brankar.
“Aku mau
jengukin Fanya, Ma. Aku gak mau dia bangun dan gak ngeliat aku. Kasian kalo dia
nyari aku, tapi aku gak ada di dekat dia.” Ia mencoba meraih kruk di dinding
kamar. Namun sang mama menghalangi niatnya.
“Tapi kamu masih
lemah. Mama gak mau kamu juga jadi makin parah.”
“Aku udah
baikan, kok. Mama tenang aja,” balas Haykal keras kepala. Ia sudah memegangi
dua kruk untuk membantunya berjalan, berhubung kaki kanannya harus di-gips
sedemikian rupa agar tulang kakinya cepat pulih.
Saat Haykal
sudah mencoba berjalan dengan dua kruk diapit oleh lengan kanan dan kirinya,
tiba-tiba salah satu kruk tersebut terpeleset di atas lantai yang memang agak
licin. Kontan saja tubuh lelaki itu kembali bersandar di badan tempat tidur.
Untungnya ia belum melangkah terlalu jauh sehingga tubuhnya tidak sempat
mencium lantai.
“Haykal!” sorak
Mama sambil buru-buru menghampiri putranya. “Mama bilang juga apa! Kamu gak
usah kemana-mana dulu. Mama udah pesen ke pihak rumah sakit supaya kamu dan
Fanya mendapat pelayanan terbaik. Kamu gak usah khawatir, Kal!”
“Enggak!
Pokoknya aku mau liat keadaan Fanya. Kalo perlu, aku juga mau dipindahin ke
ruang ICU biar bisa satu ruangan sama dia. Dan bisa ngeliat keadaan dia setiap
saat. Mama jangan bikin aku tambah sakit, dong. Aku gak bisa jauh-jauh sama
Fanya, apalagi dalam kondisi kayak gini!”
Mau tak mau,
Mama menghela nafas panjang. Ia tahu benar tabiat darah dagingnya tersebut.
Haykal tak akan menyusutkan keinginannya, sekuat apapun orang lain menahan.
Terlebih lagi ini menyangkut perempuan yang paling dicintainya –setelah sang
Mama–.
“Ya udah. Mama
minta kursi roda dulu,” putus wanita itu akhirnya. Kemudian berjalan ke luar
kamar.
***
Lelaki
berpakaian hijau muda –ala pasien– tersebut memutar roda pada kursi yang ia
duduki. Sampai berhenti di sebelah brankar tempat seorang perempuan yang
terbaring tak berdaya di dalam ruangan tersebut. “Sayang, aku udah datang,”
bisiknya pelan.
Tak ada respon
dari perempuan yang tidak lain dan tidak bukan adalah Fanya itu. Wajahnya
dipasangi masker oksigen. Kedua tangannya ditempeli selang infus, cairan
penambah gula, dan sekantong darah. Di sampingnya, sebuah alat pendeteksi detak
jantung berbunyi konstan dengan gambar grafik yang naik-turun.
“Kamu capek
banget, ya? Sampe tidur seharian gini.” Haykal mencoba tertawa di ujung
kalimatnya. Hambar.
Jemarinya
mengusap rambut perempuan itu, lembut. Seakan takut menyakiti atau –lebih
parah– membuat tubuh Fanya hancur berkeping-keping akibat sentuhannya.
Lama ia memilih
terpaku dalam posisi itu. Hanya menatap wajah pucat di hadapannya, diiringi
suara alat pendeteksi detak jantung. Bagai menikmati bunyi itu, bunyi yang
menjadi tanda kehidupan bagi tunangannya.
“Nya...” lirih
Haykal seraya mendekatkan wajahnya ke telinga perempuan itu. “Aku akan selalu
di sini. Kamu juga jangan kemana-mana, ya! Aku... Aku masih mau denger kamu
ngomong ‘I love you’ ke aku.”
***
Sayangnya,
kondisi Fanya menurun drastis setelah itu. Dokter yang menanganinya sampai
harus keluar-masuk ruang ICU setiap menit untuk mengembalikan kondisi perempuan
itu agar membaik.
Keadaannya
semakin kritis malam ini. Detak jantungnya tak terkontrol, baru saja ia
terdengar normal, kemudian out of control, hingga sangat lemah sama sekali.
Sialnya, kabar
tersebut sampai ke telinga sang tunangan. Lelaki yang kondisinya juga masih
jauh dari sehat itu memaksa menangani Fanya dengan kemampuannya sebagai dokter.
Ia sudah menyingkirkan beberapa suster dan membentak semua dokter yang
menghalangi niatnya. Namun tetap saja ia tak diizinkan.
“Kalian kalo gak
mampu menangani satu pasien aja, langsung undurin diri! Indonesia gak butuh
dokter yang gak becus menyembuhkan, tapi selalu nuntut gaji tinggi!” teriak
Haykal penuh emosi. Ia berdiri tepat di depan pintu ruang ICU yang sudah
ditutup rapat setelah lelaki itu memaksa masuk berulang kali.
“Haykal, kamu
jangan ngomong begitu, dong! Itu sama aja kamu gak mempercayakan keadaan Fanya
di tangan dokter-dokter yang ada di sini,” tegur Mama, berusaha meredam
emosinya sendiri.
Laki-laki yang
masih mengenakan pakaian pasien tersebut langsung menarik kerah baju salah satu
perawat yang menjaga pintu ruang ICU. “Kalo sampe tunangan saya kenapa-kenapa
di dalam sana, kamu adalah salah satu orang yang harus tanggung jawab! Saya gak
akan tinggal diam! Ingat itu!” tandas Haykal, penuh penekanan. Matanya yang
biasa memandang teduh, kini berubah menyeramkan. Kondisi tubuhnya yang sedang
sakit pun tak mengurangi tenaganya yang disulut emosi yang meluap-luap.
Mama menatap
putranya, miris. Beliau pernah ditinggalkan orang yang dicintainya setengah
mati. Dan ia tahu rasanya. Beliau bahkan pernah mencekik leher seorang suster
beberapa tahun lalu, saat suaminya juga sedang berjuang di ruangan yang sama.
Yah, wanita paruh baya itu tahu rasanya...
***
Ibu
dan ayah Fanya tiba di rumah sakit saat keadaan putrinya berangsur membaik.
Setelah beberapa
jam penuh emosi dan perjuangan, perempuan mungil tersebut pun sudah dipindahkan
ke kamar rawat biasa. Dan atas paksaan Haykal, pihak rumah sakit memperbolehkan
mereka berdua mendiami satu kamar VIP
bersama.
Fanya belum juga
siuman sejak kecelakaan dua hari yang lalu. Sedangkan Haykal sedang terlelap
setelah disuntik obat penenang karena tak berhenti mengkhawatirkan kondisi
tunangannya, saat ia sendiri belum pulih sama sekali.
Haykal mengalami
gegar otak ringan –yang untungnya tidak terlalu parah–. Tulang kering kaki
kanannya bergeser sehingga harus di-gips beberapa minggu. Bagian tubuhnya yang
lain juga penuh luka memar yang tentu saja tidak bisa dianggap luka ringan.
Tapi entah mengapa ia seakan tak merasakan apa-apa. Pikirannya terlalu dipenuhi
Fanya.
“Apa gak
sebaiknya Fanya dan Haykal dipindahkan ke rumah sakit tempat kami bekerja aja,
Mbak?” tanya Ibu Fanya. Beliau menatap putri dan calon menantunya bergantian.
Tisu yang beliau genggam sudah basah, dipenuhi air mata.
“Saya terserah
kalian, kok. Kalian berdua pasti lebih mengerti masalah ini,” balas Mama
Haykal.
“Kita liat dulu
perkembangan mereka di sini,” sela Ayah Fanya.
Alat-alat yang
dipasang di tubuh Fanya pun sudah berkurang. Tersisa selang infus dan penambah
gula di kedua lengannya.
“Semoga
pemulihan Haykal berlangsung cepat. Saya butuh bantuannya untuk menangani
Fanya,” tambah lelaki yang rambutnya mulai memutih tersebut.
***
Haykal
duduk di sebelah ranjang tunangannya. Ia sudah melepas selang infus yang
menurutnya hanya membuat kepalanya semakin sakit. Lelaki itu bahkan memaksa
dokter yang menanganinya agar bisa segera rawat jalan, namun kaki dan luka-luka
di sekujur tubuhnya masih mengkhawatirkan.
“Kamu gak lapar,
sayang?” tanya Haykal seraya menyelipkan helaian rambut Fanya ke belakang
telinga.
Perempuan itu
masih pucat, bahkan tubuhnya semakin mungil dengan tulang pipi yang juga
semakin jelas terlihat.
“Aku sebenarnya
masih mau nemenin kamu di sini. Tidur sekamar biar bisa terus ngontrol keadaan
kamu dengan mata kepalaku sendiri. Tapi bener, deh. Sakit itu gak enak banget.
Padahal kan aku udah sehat, kenapa selalu dianggap kayak orang sakit, sih?
Bener-bener deh dokter di sini...” Lelaki itu menggeleng frustasi. Ia kembali
terkekeh pelan. Menghibur diri sendiri, sepertinya.
“Kamu sendiri,
kapan bisa ngeliat aku lagi? Apa gak capek tidur terus? Aku aja yang kayak gini
udah hampir gila,” lanjutnya sembari memainkan hidung perempuan itu.
“Aku kangen
banget loh sama suara cempreng kamu. Rasanya baru tadi kita nyanyiin lagu Ten 2
Five bareng, eh sekarang malah... kayak gini jadinya.”
Fanya tak
menunjukkan reaksi apa-apa. Hanya helaan nafas pelannya yang terdengar.
“I love you...”
bisik Haykal. Lalu mendaratkan bibirnya ke atas bibir pucat milik sang
tunangan. Penuh cinta.
***
Haykal
melangkah di sebelah brankar yang membawa tunangannya ke lobby rumah sakit.
Lelaki itu sudah menanggalkan status pasien dari dirinya. Tulang kakinya sudah
kembali ke posisi semula, walaupun ia masih harus berjalan agak pincang.
Luka-lukanya juga mulai mengering, hanya tinggal luka lebam yang belum pulih
dan masih menyisakan nyeri.
Hari ini, mereka
akan pulang. Bukan ke rumah yang menjadi tujuan akhir setiap perjalanan,
melainkan rumah sakit untuk memberi pelayanan terbaik bagi Fanya yang belum
menunjukkan tanda-tanda akan siuman.
Saat tubuh
tunangannya akan naik ke ambulance, ia mengecup kening perempuan itu. “Sampai
ketemu di rumah sakit, sayang...” gumamnya. Kemudian berbalik menuju mobil Ayah
Fanya –karena di ambulance sudah ada ibu dan mamanya yang menemani Fanya dalam
perjalanan nanti.
***
Ayah
Fanya dan Haykal duduk di depan meja Dokter Alan, selaku dokter yang menangani
perempuan itu di rumah sakit yang sekarang di tempatinya.
“Sepertinya luka
yang dialami Fanya ini cukup serius. Ada beberapa organ dalam yang mengalami
benturan. Tapi yang paling parah... bagian kepalanya,” jelas sang dokter sambil
menyerahkan hasil rontgen ke arah dua laki-laki di depannya.
Ayah Fanya yang
juga mengenakan jas dokter tersebut meneliti hasil rontgen yang kini telah
berpindah ke genggamannya. Ada tanda retak di kepala bagian belakang putrinya.
“Saya juga belum
tau pasti, Dok. Tapi kemungkinan besar, luka pada kepala Fanya ini bisa
berdampak pada memorinya.”
Haykal mendesah
putus asa di kursinya. Ia tak bisa membayangkan kemungkinan apapun, terlebih
apabila menyangkut memori Fanya. Sudah cukup perempuan itu mengidap amnesia dan
melupakannya, ia tak mau sesuatu yang lebih buruk malah terjadi lagi.
“Untuk saat ini,
kita hanya bisa berdoa dan berusaha keras sampai Fanya siuman. Setelah ia
sadar, baru kita bisa mengetahui perkembangan selanjutnya. Yah, semoga tidak
ada apa-apa,” lanjut Dokter Alan.
“Iya, semoga...”
Ayah Fanya mengamini.
***
Seorang
perempuan dengan long dress ungu muda duduk di sebelah ranjang milik Fanya.
Rambut coklatnya yang lurus tergerai tanpa hiasan. Ia menatap perempuan yang
tergolek lemah itu tanpa ekspresi.
“Saya gak tau
harus prihatin atau bahagia atas kejadian ini,” lirihnya seraya meremas
kesepuluh jemari lentik miliknya.
Bahu Fanya
naik-turun dengan konstan. Namun tak juga membuka mata.
“Kamu tau? Saya
benci banget sama kamu. Kamu cuma perempuan beruntung yang kebetulan bertemu
lebih dulu dengan Dokter Haykal. Sedangkan saya? Saya...” Perempuan itu
menghela nafas panjang, mengontrol emosinya. “Saya juga mencintainya, Fanya.
Tapi saya tidak sepicik kamu yang memanfaatkan kedekatan keluarga kalian demi
seorang laki-laki,” tandasnya. Ia berusaha meredam nada suaranya sekuat tenaga.
“Saya gak tau
apa rencana Tuhan selama ini. Kamu amnesia dan hanya melupakan Haykal, lalu
kembali kecelakaan dan koma seperti sekarang...” lanjutnya. “Kenapa... Kamu gak
sekalian meninggal aja, sih? Tuhan kayaknya terlalu bertele-tele menuliskan
takdir kamu, Fanya.”
Perempuan di
depannya masih bergeming.
“Atau... Apa
kamu butuh bantuanku untuk membuat takdirmu berjalan lebih mudah?” Senyumnya
perempuan ber-long dress tersebut mengembang. Senyum penuh arti. Jemarinya yang
lentik pun segera merealisasikan niatnya.
***
“Dokter
Ita?” seru Haykal sambil memasuki kamar rawat tunangannya dengan langkah lebar.
“Dokter sedang apa di sini?”
Dokter Ita yang
pagi itu mengenakan long dress berwarna ungu muda langsung tergeragap. Ia
sontak berdiri dari duduknya saking kaget. “Dok-Dokter Ha-Haykal?” ucapnya,
terbata-bata.
Lelaki berkaus
hijau tersebut mengerutkan dahinya seraya mendekatkan diri di sisi Fanya.
“Saya... sedang
menjenguk Fanya. Kebetulan tadi saya baru bertemu dengan Dokter Tio dan dia
memberitahu kalau Fanya sedang dirawat di sini,” jelas Dokter Ita. “Dokter
sendiri, tidak apa-apa, kan?” tambahnya sembari mengelus pipi kiri lelaki di
sampingnya –yang masih memar–.
Haykal tersenyum
tipis. Lalu memalingkan wajahnya yang disentuh perempuan itu. “Gak pa-pa, kok.”
“Syukurlah, Dok.
Saya khawatir sekali waktu dapat kabar kalau Dokter kecelakaan dan mobilnya
hancur.”
Haykal kembali
tersenyum. Ia memandangi tunangannya yang masih terbaring tak sadarkan diri
tersebut. Kemudian mengecek infus dan selang oksigen yang menempel di tubuh
Fanya. Setelah mengetahui bahwa semuanya masih normal, ia kembali menatap
Dokter Ita. “Dokter gak ada tugas hari ini?”
“Sebenarnya saya
harus ke rumah sakit kampus. Ada beberapa pasien yang harus ditangani. Tapi
saya masih mau menjenguk Fanya,” jawabnya. “Apa Dokter ada kepentingan lain?
Saya bisa menjaga Fanya, kok.”
“Oh, tidak
usah...” balas Haykal. “Terima kasih, Dokter. Tapi sebaiknya Dokter ke rumah
sakit saja. Takutnya nanti ada pasien yang terlantarkan. Saya juga mau berduaan
saja sama tunangan saya.”
Wajah Dokter Ita
langsung menegang saat mendengar kalimat terakhir lelaki di sebelahnya. “Ya
sudah. Saya pamit dulu, Dok. Semoga Fanya lekas sembuh. Selamat pagi...” ujar
perempuan cantik itu. Lalu berbalik menuju pintu masuk kamar tersebut.
***
Farhan
menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. “Udahlah, Yas... Kalo lo nangis
gitu, bagus kalo Fanya langsung bangun. Ini malah bikin sakit kepala, tau!”
Tyas semakin
sesenggukan. “Lo gak ngerti perasaan gue. Gue udah hampir empat taun sahabatan
sama Fanya. Gue gak tega ngeliat dia tiba-tiba koma dan penuh luka kayak gini.
Hiks...”
Lelaki dengan
sweater putih tersebut mendesah frustasi. “Gue pernah pacaran sama dia waktu SMP . Which is sembilan tahun yang lalu. Lebih lama
dari lo,” ucapnya. “Lagian, kita di sini bukan buat sedih-sedihan. Harusnya
kita doain Fanya biar cepet sembuh. Itu yang paling dia butuhin. Gue juga
yakin, pelayanan di rumah sakit ini yang terbaik.”
Perempuan
berlesung pipi itu tetap menangis. Walau tak sekeras tadi.
“Farhan bener,
Yas. Fanya butuh doa dari kita semua, sementara dokter di sini mengusahakan
yang terbaik buat dia.” Haykal ikut menatap nanar ke arah tunangannya.
Mereka bertiga
berdiri mengelilingi perempuan berbaju pasien tersebut. Sudah tiga hari Fanya
dirawat di rumah sakit ini, tapi belum ada tanda-tanda dirinya akan siuman.
Walaupun harus diakui, Fanya mengalami perkembangan yang signifikan selama di
sini. Bahkan beberapa lukanya mulai mengering.
Saat ketiganya
sibuk dengan pikiran masing-masing –diselingi isakan Tyas sesekali–, tiba-tiba
Farhan mendapati jemari perempuan di depannya bergerak. Memang sekilas awalnya,
ia bahkan berpikir hanya sedang berhalusinasi. Namun saat mata Fanya ikut
terbuka, ia pun langsung berseru, “FANYA?”
Haykal kontan
terhenyak dari lamunannya. “FANYA?” Ia ikut berseru. Kali ini, mengguncangkan
lengan mungil itu tanpa sadar –saking shock-nya–.
Perempuan yang
terbaring lemah itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Seperti mencoba
menetralisir rasa silau yang menyeruak ke dalam pandangannya. “Auw,” ringisnya
pelan. Kedua matanya kembali terpejam kuat.
“Farhan, cepet
panggil Dokter Alan ke sini!” perintah Haykal seraya memegangi kepala
tunangannya. Sebenarnya ia sangat ingin memeriksa keadaan Fanya dengan
tangannya sendiri, tapi ini di luar wewenangnya.
Farhan langsung
melesat ke luar.
Beberapa saat
kemudian, ia kembali bersama Dokter Alan dan beberapa suster.
“Permisi,
Dokter...” ujar dokter yang sudah berusia akhir empat puluhan tersebut. Membuat
Haykal segera menyingkir dari sisi tempat tidur.
Dokter Alan
segera mengenakan stetoskop ke telinganya, lalu memeriksa detak jantung Fanya.
Sedangkan perawat yang lain sibuk mengecek infus, oksigen, dan detak nadi di
pergelangan tangan kiri perempuan itu. Ada juga yang mencatat sesuatu, entah
apa.
Setelah itu,
dokter tersebut membuka mata Fanya dengan ibu jarinya. “Fanya, kamu bisa dengar
saya?” bisiknya sembari menyenteri bola mata perempuan itu, bergantian.
Fanya langsung
membuka mata saat Dokter Alan memundurkan tubuhnya. Kedua alisnya bertaut.
Kemudian menatap orang-orang di dalam ruangan tersebut satu per satu. Ia
berdehem sejenak, seakan memperbaiki pita suara miliknya yang sudah hampir
seminggu tak digunakan.
“Fanya, kamu
merasakan sesuatu?” tanya Dokter Alan lagi.
Beberapa pasang
mata di sana memandangi Fanya, sama-sama menunggu jawaban.
Bruk! Pintu
kamar dibuka dengan keras. Sosok ayah dan ibu perempuan itu menyeruak masuk.
Masih dengan jas dokter dan ekspresi cemas luar biasa.
“Fanya? Kamu
sudah sadar, Nak?” Ibu Fanya langsung berdiri di sebelah Dokter Alan. Sang
suami mengikuti di sampingnya.
Masih dengan
dahi berkerut, perempuan yang masih dalam posisi berbaring tersebut menatap
kedua orangtuanya.
“Fanya... Kok
kamu diem?” sela Haykal. Penasaran dengan respon tunangannya yang sedari tadi
tak juga membuka mulut.
Kali ini,
pandangan penuh keheranan dipusatkan perempuan itu pada Haykal. “Fa... Nya?” Ia
balik bertanya. Suaranya serak sekali.
Hening sejenak.
Bahkan tak ada suara desahan nafas sama sekali. Ruangan menjadi sarat akan
ketegangan.
“Fanya siapa?”
lanjut perempuan itu.
Mama sontak
menutup mulutnya dengan tangan kanan. Menyembunyikan rasa kagetnya. Di
belakangnya, Tyas mengerjapkan mata dengan mulut menganga.
“Kamu kenapa,
sayang?” Ayah Fanya memecah keheningan.
“Bapak...
siapa?” tanya Fanya lagi. “Siapa Fanya? Kalian... siapa?” Ia mengedarkan
pandangan ke semua orang yang ada di sekitarnya.
Kali ini,
ruangan benar-benar seperti terselimut awan mendung. Pekat.
“Saya... Siapa?”
tambah perempuan itu.
Bruk! Ibu Fanya
langsung roboh, tak sadarkan diri.