Kamis, 09 Mei 2013

Remember Me #9 - Don't Say Goodbye

Baby, please don't say good bye. I love you too much just to let you fly...



Fanya turun dari motor ninja milik Haykal di halaman kecil puskesmas tersebut. Sebelum pergi tadi, Mama memaksa mereka untuk naik motor saja agar bisa sampai lebih cepat. Untungnya, sepanjang perjalanan mereka pun terlewati seperti biasa. Seakan tak pernah ada pertengkaran sebelumnya.
“Aku masuk duluan, ya!” ujar perempuan itu sambil menyerahkan helm yang tadi dipakainya ke arah Haykal.
Sang tunangan meraihnya dan menaruhnya begitu saja di jok motor. “Kita masuk bareng aja. Yuk!” balasnya sembari menggenggam jemari Fanya erat. Seakan menunjukkan pada dunia bahwa perempuan itu masih miliknya. Akan selalu menjadi miliknya.
Fanya menurut. Tenggelam dalam genggaman hangat tersebut. Genggaman yang menenangkan dan tentu saja sangat ia rindukan.
***
            Perempuan dengan long dress peach yang baru saja melepaskan stetoskop dari telinganya itu spontan menoleh dan melihat pusat keramaian di bagian depan puskesmas. Ke arah sepasang orang yang sama-sama mengenakan jas dokter dan kemeja hijau. Seketika, dahinya berkerut maksimal. Kemudian mengedarkan pandangannya, mencari seseorang.
“Farhan!” serunya tertahan saat mendapati lelaki ber-polo shirt abu-abu tersebut juga sedang menatap pemandangan yang sama.
Lelaki itu langsung menoleh ketika Dokter Ita sudah berdiri di sebelahnya. Di dekat pintu masuk ruang pemeriksaan gigi yang lumayan sepi.
“Kok mereka bisa baikan lagi? Kenapa kamu gak ke sini bareng Fanya, sih?”
Farhan mengembalikan pandangannya ke arah Fanya yang kini sedang tersipu karena menjadi bahan godaan ibu-ibu yang sedang berada di ruang tunggu bagian depan puskesmas. Lalu menghela nafas panjang. “Malah saya yang bikin mereka berdua baikan, Dok.”
“Apa? Kamu udah gila, ya?” pekik perempuan itu, shock.
“Maaf, Dok. Bukannya malah Dokter Ita yang gila gara-gara Dokter Haykal?” Lelaki itu menatap tepat ke manik mata coklat muda milik perempuan di depannya.
“Kamu! Siapa yang ngajarin kamu gak sopan gitu ke saya? Saya ini dosen kamu, Farhan!” Dokter Ita buru-buru menghela nafas untuk mengontrol emosinya, sebelum orang-orang di sekitar mencurigai pembicaraan mereka. “Saya gak mau tau! Kita harus tetep bikin mereka jauh. Kamu mau bahagia atau enggak, sih?”
“Dokter, maaf beribu maaf, ya. Dokter tau arti bahagia yang sebenarnya gak, sih? Cinta itu kan bahagia ngeliat orang yang dicintainya bahagia walau bukan sama dia. See? Jadi Dokter bener-bener mau bahagia apa nyiksa diri sendiri karena obsesi?”
Deg! Perempuan berambut lurus kecoklatan tersebut kontan melotot. Kedua tangannya terkepal, kemudian sambil terkekeh pelan ia berkata, “Kamu mau berhenti dari perjanjian kita? Okay, fine! Asal kamu jangan ngemis-ngemis ke saya kalo kamu nantinya berubah pikiran!” Lalu membalikkan tubuh semampainya dan berjalan dengan langkah lebar ke dalam ruang pemeriksaan.
***
            “Eh, lo ngapain niruin kata-kata gue semalem? Dasar tukang copy-paste!” Tyas tiba-tiba sudah berdiri di belakang Farhan sambil cemberut dan melipat kedua tangan di depan dada.
Lelaki itu sontak berbalik dengan dahi berkerut. “Eh, elo keturunan jin apa emang suka nguping, sih? Ngagetin aja!” balasnya, sewot.
Tyas langsung cekikikan. Kemudian menepuk pundak kiri Farhan dengan tangan kanannya. “Gue bangga sama lo. Semoga lo gak berubah pikiran kayak ancaman terakhirnya Dokter Ita, ya!”
“Apaan sih lo! Gak usah sok sweet, deh.” Ia memilih beranjak meninggalkan perempuan berlesung pipi tersebut. Melangkah memasuki ruangan pemeriksaan gigi puskesmas.
Sepeninggalnya, Tyas mengendikkan bahu tak acuh. Lalu menghampiri sahabatnya yang masih dikelilingi ibu-ibu di depan sana.
***
            Fanya menghentikan langkahnya di depan pintu kamar yang ditempati Haykal dan Farhan. Lalu melongok ke dalam.
“Kenapa, sayang?” tanya lelaki berkacamata yang duduk di atas tempat tidur, menghadap pintu kamar tersebut.
Perempuan yang kini sudah mengenakan piyama polkadot berwarna kuning itu langsung masuk ke dalam kamar tapa permisi. Kemudian naik ke atas ranjang dan duduk bersila di depan tunangannya. “Aku bete. Tyas lagi ngurusin pembukuan dari puskesmas, aku gak ada temen di kamar.”
Haykal tersenyum menenangkan. Lalu melepaskan kacamata yang sudah seharian ini membingkai kedua mata teduh miliknya. Ia menguap beberapa detik. “Gak sadar ya, kita udah mau balik aja.”
Fanya mengangguk. “Besok udah penutupan, kan? Dan aku bakal kembali ke rumah sakit bunda. Huh!”
Lelaki itu tertawa pelan. “Emang KKN kamu masih berapa lama lagi? Ngeluh mulu kerjaannya.”
“Tau, ah. Males ngitung.” Fanya memilih berbaring di sana. “Kamu tidur di kamarmu lagi aja. Aku sama Tyas di sini. Bosen di situ terus,” lanjutnya.
Haykal ikut berbaring di sebelah tubuh mungil tunangannya. Menghadap Fanya dan menjadikan tangan kiri sebagai penyangga kepala. “Hmm, gimana kalo kamu tidur di sini aja?”
Fanya kontan menoleh dengan senyum lebar. “Serius?”
Lelaki itu mengangguk mantap. “Asal tidurnya sama aku.”
“Huh!” Perempuan itu langsung mencubit pinggang tunangannya. “Kamu nih bener-bener, deh. Kapan bisa seriusnya, sih?”
Haykal mencoba mengelak sambil tertawa. Bukannya merasa sakit, ia malah menahan geli sekuat tenaga. “Itu tadi akunya lagi serius loh, sayang. Hahaha...”
“Kamu bisa bedain serius sama mesum, gak? Hah? Hah?” Fanya masih berusaha mencubiti pinggang Haykal dengan jemarinya. Hingga laki-laki itu berteriak minta ampun setengah mati. Sudut matanya pun sampai berair. Membuat perempuan tersebut semakin semangat mengerjainya.
***
            “Dokter Haykal! Fanya!”
Dua orang yang sedang asik bertukar tawa di dalam kamar itu sontak menoleh. Lalu menemukan wajah shock milik seorang perempuan cantik di sana.
“Kalian... ngapain berduaan di kamar begini?” tanyanya, sedikit teredam oleh telapak tangan yang ia gunakan untuk menutup mulut.
Fanya buru-buru merubah posisinya dari berbaring menjadi duduk dalam posisi tegak. Ekspresinya tak kalah kaget dengan perempuan yang notabene adalah Dokter Ita tersebut. Sedangkan di sebelahnya, Haykal hanya mengerutkan dahi.
“Ini ada apa, sih?” Tiba-tiba, Mama muncul dari balik tubuh semampai Dokter Ita. Diikuti Tyas dan Farhan di belakangnya. Seketika, tatapan beliau terpaku pada sang anak dan calon menantu yang sedang duduk di atas ranjang bersama.
“Liat deh, Bu! Mereka... Mereka berduaan di kamar ini. Tadi saya liat mereka... Mereka guling-gulingan di atas ranjang, Bu. Mereka juga pelukan. Ini udah gak bener kan, Bu?” Dokter Ita menjelaskan dengan tergesa-gesa. Nafasnya memburu, belum bisa mengendalikan rasa kaget yang mendera.
Mama yang memperhatikan perempuan itu berbicara kembali menoleh dan menatap sang “tersangka” di dalam kamar. Fanya dengan muka merah yang menunduk. Dan Haykal yang memasang wajah tak bersalah.
“Ma, aku sama Fanya–”
Wanita paruh baya yang mengenakan jilbab merah marun dan terusan senada tersebut mengibaskan tangan kanannya. Menyuruh Haykal menghentikan belaan yang bahkan belum sempat ia ucapkan. Kemudian menatap perempuan di sebelahnya. “Dokter Ita...”
Semua perhatian ikut tertuju pada objek pembicaraan Ibu Septi.
“Haykal sama Fanya itu udah dewasa. Mereka calon suami istri. Apa salahnya becanda di kamar berdua? Yang penting pintunya dibiarin kebuka, kan? Lagian saya juga yakin mereka bisa bertanggung jawab sama apapun pilihan mereka.Wong di sana aja mereka juga tinggal serumah, kok...” lanjut Mama, cool.
Fanya sontak mengangkat wajahnya yang semakin memerah.
Tyas, Farhan, apalagi Dokter Ita, jangan ditanya lagi. Mulut mereka kompak menganga. Bersamaan.
“Jadi Dokter Ita gak usah musingin kehidupan mereka. Saya yang mamanya Haykal aja gak ambil pusing,” tutup beliau. Seraya melenggang meninggalkan kamar tersebut. Menuju kamarnya sendiri, tanpa menoleh sedikit pun.
Sepeninggal Ibu Septi, Fanya dan Tyas bertukar pandang. Lalu sama-sama berusaha menahan tawa melihat ekspresi Dokter Ita. Hidung mancungnya yang kembang-kempis, bahu seksinya yang naik-turun, sampai wajah putih mulusnya yang berubah merah. Menahan amarah sekuat tenaga.
Dengan satu sentakan keras, perempuan itu balik badan dan meninggalkan keempat orang yang langsung saja tertawa puas tanpa bisa dicegah lagi itu.
Tanpa kentara, Tyas melirik Farhan yang sedang tertawa lebar di sebelahnya. Tawa lepas yang pertama kali ia dapati dari lelaki itu. Sekaligus menjadi alasan sesuatu yang tiba-tiba mengusik di hatinya. Entah apa.
***
            “Udah gak ada yang kelupaan kan, sayang?” tanya Mama yang duduk di samping Fanya.
Perempuan ber-cardigan putih tulang itu kembali meneliti isi tasnya. Mengetuk-ngetuk dagu sejenak, kemudian tersenyum simpul. “Udah lengkap kok, Ma...” balasnya. “Hmm, sebenernya aku masih mau tinggal di sini. Tapi aku harus balik buat nyelesaiin KKN, Ma.”
Mama langsung memeluk tubuh mungil itu. Mendekapnya erat, seakan tak ingin dilepas. Tanpa permisi pun, butiran bening sudah mengaliri pipi mulus keduanya.
“Loh, apa-apaan, nih?” Suara Haykal kontan merusak moment haru kedua wanita tersebut.
Mama menyeka air matanya pelan. “Haykal, abis ini kamu pasti bawa Fanya ke sini lagi, kan?” tanyanya dengan suara serak. Khas orang yang baru saja menangis.
“Ya iyalah, Ma. Mama jangan sentimental gitu, ah. Kayak rumah ini sama rumah Fanya nyeberang benua aja.” Lelaki itu meraih koper milik tunangannya ke luar kamar.
Mama dan Fanya mengikuti dari belakang.
“Kalian berdua aja kan di mobilnya?” tanya Mama lagi, tepat saat mereka sudah sampai di depan pintu rumah. “Mama udah gerah seminggu ini liat dokter ganjen itu.”
“Hus, Mama nih!” tegur Haykal.
Fanya hanya tersenyum sekilas.
“Iya, iya... Kalian hati-hati, ya! Kamu nyetir mobilnya jangan ngebut. Pake seatbelt biar safety. Jangan becanda yang heboh kalo di jalan. Trus–”
“Siap, Ma.” Lelaki bersweater coklat itu buru-buru mencium pipi mamanya sebelum beliau memperpanjang ceramah. “Mama tumben banget sih ngasih wejangan sebelum pergi gini. Biasanya juga santai banget.”
Mama merangkul bahu calon menantunya. “Gak tau. Kok rasanya Mama gak rela pisah sama Fanya, ya? Kamu bisa tunda jadwal KKN-nya Fanya, gak? Kamu kan dosen, Kal.”
Perempuan mungil tersebut buru-buru mengangguk mantap. Mengamini kata-kata sang calon mertua. Dilengkapi wajah memelas, agar tunangannya ikut tergugah dan mengabulkan keinginannya.
“Gak bisa, Ma. Dia aja udah izin seminggu. Masa mau ditambah lagi? Kecuali dia mau ngulang taun depan,” ujar Haykal sembari memasukkan kopernya dan koper Fanya ke dalam bagasi mobil.
Di belakangnya, kedua perempuan tersebut kembali berpelukan.
“Kamu hati-hati ya, sayang...” lirih Mama sambil mengusap punggung Fanya.
“Iya. Mama juga hati-hati di sini. Aku pasti bakalan rindu banget sama Mama...” Ia balas berbisik. Sepenuh hati.
***
            Hujan deras mengiringi perjalanan pulang Haykal dan Fanya.
“Kamu gak mau tidur?” tanya lelaki itu sambil melirik tunangannya yang sedang asik melukis sesuatu di kaca mobil yang berembun.
Fanya langsung menoleh. Memperlihatkan gambar seorang laki-laki dan perempuan sedang bergenggaman tangan dan tersenyum lebar dengan gambar hati di sekitarnya. “Enggak ngantuk.” Ia lalu membuka dashboard mobil, meraih CD Ten 2 Five. Kemudian memasukkannya ke dalam pemutar musik di sana.
You stood in the rain
Packed up and ready to go
My tear are falling again
It’s because of you
           
            Lagu Don’t Say Goodbye terlantun perlahan.
Will you call me when you get there?
Will you miss me everyday?
Cuz’ I’ll be waiting here at home
Till you knock on my door again
            Fanya dan Haykal langsung bernyanyi bersama.
Baby please don’t say goodbye
I love you too much just to let you fly
I need you to be my only one
Even if you’re thousand miles
Away from here… away from here
Sementara intro mengalun, Haykal menggenggam jemari Fanya. Lalu mengecupnya perlahan. Penuh rasa sayang dan kelembutan. Seakan tak ingin merusaknya. “I love you...”
            Perempuan di sebelahnya tersenyum lebar. Mengangguk, dan menjawab, “I... love you too.”
Tiba-tiba, dari arah tikungan pada arah berlawanan, sebuah truk muncul dan mengambil jalur yang dilalui mobil mereka. Sontak saja Haykal melepaskan genggaman pada tangan tunangannya. Kemudian buru-buru menginjak rem, tapi... “Loh, ini kenapa? Remnya blong, sayang!”
Fanya kontan histeris. “Truknya makin deket, sayang! Putar stirnya! Cepetannn!”
Haykal langsung memutar stir ke arah kiri. Kondisi jalanan yang licin karena hujan deras dan rem yang tidak berfungsi malah membuat mobil berwarna silver metalik itu tergelincir menabrak pembatas jalan sejauh sepuluh meter. Seakan tak cukup, mobil tersebut berguling beberapa kali. Sampai berhenti dalam keadaan bagian bawah mobil berada di atas. Dan ringsek sedemikian rupa.
Lelaki itu mengembalikan kesadarannya saat mobil berhenti berguncang. Lalu melirik ke jok di sebelahnya, mencari perempuan yang baru saja mengatakan ‘I love you’ padanya beberapa saat lalu. Namun... “Fanya? FANYAAA? KAMU DIMANAA?”
Baby please don’t say goodbye
I love you too much just to let you fly
I need you to be my only one
Even if you’re thousand miles
Away from here ♫♪
            Haykal langsung membuka pintu mobil dengan bantuan bahunya yang kekar. Walaupun sempat meringis beberapa kali, ia berhasil terbebas dari posisi tubuhnya di dalam mobil yang terbalik.
“Fanya? Fanya? Kamu dimana?” Ia berulang kali merapalkan kalimat yang sama. Dengan langkah tertatih, ia terus berjalan. Melangkah ke sekitar tempat kejadian. Ia bahkan tak peduli pada truk yang kini sudah menghilang entah kemana.
Semakin lama, suaranya memelan. Tubuhnya pun sudah mati rasa karena kebanyakan luka. Namun ia benar-benar tak mempedulikan hal lain selain keberadaan perempuan yang dicintainya saat ini.
Ketika pandangannya mulai buram, akhirnya ia menangkap sesosok tubuh yang tergolek lemah kira-kira belasan meter dari posisi kecelakaan beberapa menit lalu. Membuatnya melangkah terseok-seok menghampiri tubuh tersebut.
“Fa... nya...” lirihnya seraya mencoba merendahkan posisinya sekuat tenaga, mengingat tubuhnya yang sudah seperti kebanjiran darah. Namun belum sempat melihat wajah perempuan itu, ia sudah ambruk ke tanah. Tak sadarkan diri.
***
            Mama Haykal terisak di depan pintu ruang UGD. Sudah hampir dua jam putra dan calon menantunya berada di dalam sana. Entah sedang berusaha bertahan, atau malah meregang nyawa. Beliau sendiri hanya bisa mendoakan yang terbaik.
Kedua orangtua Fanya belum bisa datang ke rumah sakit tersebut, berhubung ibu perempuan itu shock berat dan tak sadarkan diri. Ibu Fanya memang masih trauma dengan kecelakaan, apalagi jika putri satu-satunya kembali terlibat di dalamnya. Karena itu mereka meminta Fanya secepatnya dipindahkan ke rumah sakit tempat mereka bekerja jika kondisinya sudah memungkinkan.
Pintu ruang UGD terbuka lebar.
Mama sontak menghampiri dokter yang keluar dari sana. “Bagaimana keadaan mereka, Dok? Mereka baik-baik aja, kan?” tanya wanita berjilbab tersebut.
Dokter di depannya menyeka peluh yang mengaliri dahi sejenak. “Dokter Haykal sudah melewati masa kritisnya, Bu...” Sepertinya ia mengenal dokter muda itu. “Tapi perempuan yang bersamanya...”
“Fanya? Fanya kenapa, Dok? Dia... gak kenapa-kenapa, kan?” Mama sampai mengguncang bahu dokter tersebut.
“Kami belum bisa memutuskan, Bu. Kondisinya sangat buruk. Sepertinya dia terlempar cukup jauh dari lokasi kecelakaan sehingga tubuhnya mengalami luka yang cukup serius. Apalagi bagian kepalanya,” jelas sang dokter. “Sampai sekarang, dia masih koma. Kami belum bisa mengetahui kondisi selanjutnya sampai ia sadar. Dan kami tidak tahu kapan ia bisa siuman dari koma ini,” tambahnya.
Tangis Mama langsung pecah.
“Tapi Ibu tenang saja. Setidaknya, Dokter Haykal masih bisa selamat.”
Tapi saya tau, Haykal lebih memilih ikut sekarat kalau keadaan Fanya juga belum jelas, bisik wanita paruh baya itu dalam hati.
***
            Pandangan Haykal membentur langit-langit kamar rawat tempatnya berada sekarang. Hampir sekujur tubuhnya nyeri luar biasa, namun tak ada yang diacuhkannya selain sang tunangan. Ia sempat histeris saat mengetahui perempuan yang dicintainya masih dirawat di ruang ICU, lengkap dengan alat bantu pernafasan dan detak jantung. Lelaki itu tak bisa –dan tak mau– membayangkan jika semua alat bantu penopang hidup tersebut dilepas dari tubuh Fanya. Dunianya pasti sudah kiamat saat itu juga.
“Kamu mau kemana, Kal?” Mamanya buru-buru menahan lengan Haykal saat putranya bangkit dari brankar.
“Aku mau jengukin Fanya, Ma. Aku gak mau dia bangun dan gak ngeliat aku. Kasian kalo dia nyari aku, tapi aku gak ada di dekat dia.” Ia mencoba meraih kruk di dinding kamar. Namun sang mama menghalangi niatnya.
“Tapi kamu masih lemah. Mama gak mau kamu juga jadi makin parah.”
“Aku udah baikan, kok. Mama tenang aja,” balas Haykal keras kepala. Ia sudah memegangi dua kruk untuk membantunya berjalan, berhubung kaki kanannya harus di-gips sedemikian rupa agar tulang kakinya cepat pulih.
Saat Haykal sudah mencoba berjalan dengan dua kruk diapit oleh lengan kanan dan kirinya, tiba-tiba salah satu kruk tersebut terpeleset di atas lantai yang memang agak licin. Kontan saja tubuh lelaki itu kembali bersandar di badan tempat tidur. Untungnya ia belum melangkah terlalu jauh sehingga tubuhnya tidak sempat mencium lantai.
“Haykal!” sorak Mama sambil buru-buru menghampiri putranya. “Mama bilang juga apa! Kamu gak usah kemana-mana dulu. Mama udah pesen ke pihak rumah sakit supaya kamu dan Fanya mendapat pelayanan terbaik. Kamu gak usah khawatir, Kal!”
“Enggak! Pokoknya aku mau liat keadaan Fanya. Kalo perlu, aku juga mau dipindahin ke ruang ICU biar bisa satu ruangan sama dia. Dan bisa ngeliat keadaan dia setiap saat. Mama jangan bikin aku tambah sakit, dong. Aku gak bisa jauh-jauh sama Fanya, apalagi dalam kondisi kayak gini!”
Mau tak mau, Mama menghela nafas panjang. Ia tahu benar tabiat darah dagingnya tersebut. Haykal tak akan menyusutkan keinginannya, sekuat apapun orang lain menahan. Terlebih lagi ini menyangkut perempuan yang paling dicintainya –setelah sang Mama–.
“Ya udah. Mama minta kursi roda dulu,” putus wanita itu akhirnya. Kemudian berjalan ke luar kamar.
***
            Lelaki berpakaian hijau muda –ala pasien– tersebut memutar roda pada kursi yang ia duduki. Sampai berhenti di sebelah brankar tempat seorang perempuan yang terbaring tak berdaya di dalam ruangan tersebut. “Sayang, aku udah datang,” bisiknya pelan.
Tak ada respon dari perempuan yang tidak lain dan tidak bukan adalah Fanya itu. Wajahnya dipasangi masker oksigen. Kedua tangannya ditempeli selang infus, cairan penambah gula, dan sekantong darah. Di sampingnya, sebuah alat pendeteksi detak jantung berbunyi konstan dengan gambar grafik yang naik-turun.
“Kamu capek banget, ya? Sampe tidur seharian gini.” Haykal mencoba tertawa di ujung kalimatnya. Hambar.
Jemarinya mengusap rambut perempuan itu, lembut. Seakan takut menyakiti atau –lebih parah– membuat tubuh Fanya hancur berkeping-keping akibat sentuhannya.
Lama ia memilih terpaku dalam posisi itu. Hanya menatap wajah pucat di hadapannya, diiringi suara alat pendeteksi detak jantung. Bagai menikmati bunyi itu, bunyi yang menjadi tanda kehidupan bagi tunangannya.
“Nya...” lirih Haykal seraya mendekatkan wajahnya ke telinga perempuan itu. “Aku akan selalu di sini. Kamu juga jangan kemana-mana, ya! Aku... Aku masih mau denger kamu ngomong ‘I love you’ ke aku.”
***
            Sayangnya, kondisi Fanya menurun drastis setelah itu. Dokter yang menanganinya sampai harus keluar-masuk ruang ICU setiap menit untuk mengembalikan kondisi perempuan itu agar membaik.
Keadaannya semakin kritis malam ini. Detak jantungnya tak terkontrol, baru saja ia terdengar normal, kemudian out of control, hingga sangat lemah sama sekali.
Sialnya, kabar tersebut sampai ke telinga sang tunangan. Lelaki yang kondisinya juga masih jauh dari sehat itu memaksa menangani Fanya dengan kemampuannya sebagai dokter. Ia sudah menyingkirkan beberapa suster dan membentak semua dokter yang menghalangi niatnya. Namun tetap saja ia tak diizinkan.
“Kalian kalo gak mampu menangani satu pasien aja, langsung undurin diri! Indonesia gak butuh dokter yang gak becus menyembuhkan, tapi selalu nuntut gaji tinggi!” teriak Haykal penuh emosi. Ia berdiri tepat di depan pintu ruang ICU yang sudah ditutup rapat setelah lelaki itu memaksa masuk berulang kali.
“Haykal, kamu jangan ngomong begitu, dong! Itu sama aja kamu gak mempercayakan keadaan Fanya di tangan dokter-dokter yang ada di sini,” tegur Mama, berusaha meredam emosinya sendiri.
Laki-laki yang masih mengenakan pakaian pasien tersebut langsung menarik kerah baju salah satu perawat yang menjaga pintu ruang ICU. “Kalo sampe tunangan saya kenapa-kenapa di dalam sana, kamu adalah salah satu orang yang harus tanggung jawab! Saya gak akan tinggal diam! Ingat itu!” tandas Haykal, penuh penekanan. Matanya yang biasa memandang teduh, kini berubah menyeramkan. Kondisi tubuhnya yang sedang sakit pun tak mengurangi tenaganya yang disulut emosi yang meluap-luap.
Mama menatap putranya, miris. Beliau pernah ditinggalkan orang yang dicintainya setengah mati. Dan ia tahu rasanya. Beliau bahkan pernah mencekik leher seorang suster beberapa tahun lalu, saat suaminya juga sedang berjuang di ruangan yang sama. Yah, wanita paruh baya itu tahu rasanya...
***
            Ibu dan ayah Fanya tiba di rumah sakit saat keadaan putrinya berangsur membaik.
Setelah beberapa jam penuh emosi dan perjuangan, perempuan mungil tersebut pun sudah dipindahkan ke kamar rawat biasa. Dan atas paksaan Haykal, pihak rumah sakit memperbolehkan mereka berdua mendiami satu kamar VIP bersama.
Fanya belum juga siuman sejak kecelakaan dua hari yang lalu. Sedangkan Haykal sedang terlelap setelah disuntik obat penenang karena tak berhenti mengkhawatirkan kondisi tunangannya, saat ia sendiri belum pulih sama sekali.
Haykal mengalami gegar otak ringan –yang untungnya tidak terlalu parah–. Tulang kering kaki kanannya bergeser sehingga harus di-gips beberapa minggu. Bagian tubuhnya yang lain juga penuh luka memar yang tentu saja tidak bisa dianggap luka ringan. Tapi entah mengapa ia seakan tak merasakan apa-apa. Pikirannya terlalu dipenuhi Fanya.
“Apa gak sebaiknya Fanya dan Haykal dipindahkan ke rumah sakit tempat kami bekerja aja, Mbak?” tanya Ibu Fanya. Beliau menatap putri dan calon menantunya bergantian. Tisu yang beliau genggam sudah basah, dipenuhi air mata.
“Saya terserah kalian, kok. Kalian berdua pasti lebih mengerti masalah ini,” balas Mama Haykal.
“Kita liat dulu perkembangan mereka di sini,” sela Ayah Fanya.
Alat-alat yang dipasang di tubuh Fanya pun sudah berkurang. Tersisa selang infus dan penambah gula di kedua lengannya.
“Semoga pemulihan Haykal berlangsung cepat. Saya butuh bantuannya untuk menangani Fanya,” tambah lelaki yang rambutnya mulai memutih tersebut.
***
            Haykal duduk di sebelah ranjang tunangannya. Ia sudah melepas selang infus yang menurutnya hanya membuat kepalanya semakin sakit. Lelaki itu bahkan memaksa dokter yang menanganinya agar bisa segera rawat jalan, namun kaki dan luka-luka di sekujur tubuhnya masih mengkhawatirkan.
“Kamu gak lapar, sayang?” tanya Haykal seraya menyelipkan helaian rambut Fanya ke belakang telinga.
Perempuan itu masih pucat, bahkan tubuhnya semakin mungil dengan tulang pipi yang juga semakin jelas terlihat.
“Aku sebenarnya masih mau nemenin kamu di sini. Tidur sekamar biar bisa terus ngontrol keadaan kamu dengan mata kepalaku sendiri. Tapi bener, deh. Sakit itu gak enak banget. Padahal kan aku udah sehat, kenapa selalu dianggap kayak orang sakit, sih? Bener-bener deh dokter di sini...” Lelaki itu menggeleng frustasi. Ia kembali terkekeh pelan. Menghibur diri sendiri, sepertinya.
“Kamu sendiri, kapan bisa ngeliat aku lagi? Apa gak capek tidur terus? Aku aja yang kayak gini udah hampir gila,” lanjutnya sembari memainkan hidung perempuan itu.
“Aku kangen banget loh sama suara cempreng kamu. Rasanya baru tadi kita nyanyiin lagu Ten 2 Five bareng, eh sekarang malah... kayak gini jadinya.”
Fanya tak menunjukkan reaksi apa-apa. Hanya helaan nafas pelannya yang terdengar.
“I love you...” bisik Haykal. Lalu mendaratkan bibirnya ke atas bibir pucat milik sang tunangan. Penuh cinta.
***
            Haykal melangkah di sebelah brankar yang membawa tunangannya ke lobby rumah sakit. Lelaki itu sudah menanggalkan status pasien dari dirinya. Tulang kakinya sudah kembali ke posisi semula, walaupun ia masih harus berjalan agak pincang. Luka-lukanya juga mulai mengering, hanya tinggal luka lebam yang belum pulih dan masih menyisakan nyeri.
Hari ini, mereka akan pulang. Bukan ke rumah yang menjadi tujuan akhir setiap perjalanan, melainkan rumah sakit untuk memberi pelayanan terbaik bagi Fanya yang belum menunjukkan tanda-tanda akan siuman.
Saat tubuh tunangannya akan naik ke ambulance, ia mengecup kening perempuan itu. “Sampai ketemu di rumah sakit, sayang...” gumamnya. Kemudian berbalik menuju mobil Ayah Fanya –karena di ambulance sudah ada ibu dan mamanya yang menemani Fanya dalam perjalanan nanti.
***
            Ayah Fanya dan Haykal duduk di depan meja Dokter Alan, selaku dokter yang menangani perempuan itu di rumah sakit yang sekarang di tempatinya.
“Sepertinya luka yang dialami Fanya ini cukup serius. Ada beberapa organ dalam yang mengalami benturan. Tapi yang paling parah... bagian kepalanya,” jelas sang dokter sambil menyerahkan hasil rontgen ke arah dua laki-laki di depannya.
Ayah Fanya yang juga mengenakan jas dokter tersebut meneliti hasil rontgen yang kini telah berpindah ke genggamannya. Ada tanda retak di kepala bagian belakang putrinya.
“Saya juga belum tau pasti, Dok. Tapi kemungkinan besar, luka pada kepala Fanya ini bisa berdampak pada memorinya.”
Haykal mendesah putus asa di kursinya. Ia tak bisa membayangkan kemungkinan apapun, terlebih apabila menyangkut memori Fanya. Sudah cukup perempuan itu mengidap amnesia dan melupakannya, ia tak mau sesuatu yang lebih buruk malah terjadi lagi.
“Untuk saat ini, kita hanya bisa berdoa dan berusaha keras sampai Fanya siuman. Setelah ia sadar, baru kita bisa mengetahui perkembangan selanjutnya. Yah, semoga tidak ada apa-apa,” lanjut Dokter Alan.
“Iya, semoga...” Ayah Fanya mengamini.
***
            Seorang perempuan dengan long dress ungu muda duduk di sebelah ranjang milik Fanya. Rambut coklatnya yang lurus tergerai tanpa hiasan. Ia menatap perempuan yang tergolek lemah itu tanpa ekspresi.
“Saya gak tau harus prihatin atau bahagia atas kejadian ini,” lirihnya seraya meremas kesepuluh jemari lentik miliknya.
Bahu Fanya naik-turun dengan konstan. Namun tak juga membuka mata.
“Kamu tau? Saya benci banget sama kamu. Kamu cuma perempuan beruntung yang kebetulan bertemu lebih dulu dengan Dokter Haykal. Sedangkan saya? Saya...” Perempuan itu menghela nafas panjang, mengontrol emosinya. “Saya juga mencintainya, Fanya. Tapi saya tidak sepicik kamu yang memanfaatkan kedekatan keluarga kalian demi seorang laki-laki,” tandasnya. Ia berusaha meredam nada suaranya sekuat tenaga.
“Saya gak tau apa rencana Tuhan selama ini. Kamu amnesia dan hanya melupakan Haykal, lalu kembali kecelakaan dan koma seperti sekarang...” lanjutnya. “Kenapa... Kamu gak sekalian meninggal aja, sih? Tuhan kayaknya terlalu bertele-tele menuliskan takdir kamu, Fanya.”
Perempuan di depannya masih bergeming.
“Atau... Apa kamu butuh bantuanku untuk membuat takdirmu berjalan lebih mudah?” Senyumnya perempuan ber-long dress tersebut mengembang. Senyum penuh arti. Jemarinya yang lentik pun segera merealisasikan niatnya.
***
            “Dokter Ita?” seru Haykal sambil memasuki kamar rawat tunangannya dengan langkah lebar. “Dokter sedang apa di sini?”
Dokter Ita yang pagi itu mengenakan long dress berwarna ungu muda langsung tergeragap. Ia sontak berdiri dari duduknya saking kaget. “Dok-Dokter Ha-Haykal?” ucapnya, terbata-bata.
Lelaki berkaus hijau tersebut mengerutkan dahinya seraya mendekatkan diri di sisi Fanya.
“Saya... sedang menjenguk Fanya. Kebetulan tadi saya baru bertemu dengan Dokter Tio dan dia memberitahu kalau Fanya sedang dirawat di sini,” jelas Dokter Ita. “Dokter sendiri, tidak apa-apa, kan?” tambahnya sembari mengelus pipi kiri lelaki di sampingnya –yang masih memar–.
Haykal tersenyum tipis. Lalu memalingkan wajahnya yang disentuh perempuan itu. “Gak pa-pa, kok.”
“Syukurlah, Dok. Saya khawatir sekali waktu dapat kabar kalau Dokter kecelakaan dan mobilnya hancur.”
Haykal kembali tersenyum. Ia memandangi tunangannya yang masih terbaring tak sadarkan diri tersebut. Kemudian mengecek infus dan selang oksigen yang menempel di tubuh Fanya. Setelah mengetahui bahwa semuanya masih normal, ia kembali menatap Dokter Ita. “Dokter gak ada tugas hari ini?”
“Sebenarnya saya harus ke rumah sakit kampus. Ada beberapa pasien yang harus ditangani. Tapi saya masih mau menjenguk Fanya,” jawabnya. “Apa Dokter ada kepentingan lain? Saya bisa menjaga Fanya, kok.”
“Oh, tidak usah...” balas Haykal. “Terima kasih, Dokter. Tapi sebaiknya Dokter ke rumah sakit saja. Takutnya nanti ada pasien yang terlantarkan. Saya juga mau berduaan saja sama tunangan saya.”
Wajah Dokter Ita langsung menegang saat mendengar kalimat terakhir lelaki di sebelahnya. “Ya sudah. Saya pamit dulu, Dok. Semoga Fanya lekas sembuh. Selamat pagi...” ujar perempuan cantik itu. Lalu berbalik menuju pintu masuk kamar tersebut.
***
            Farhan menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. “Udahlah, Yas... Kalo lo nangis gitu, bagus kalo Fanya langsung bangun. Ini malah bikin sakit kepala, tau!”
Tyas semakin sesenggukan. “Lo gak ngerti perasaan gue. Gue udah hampir empat taun sahabatan sama Fanya. Gue gak tega ngeliat dia tiba-tiba koma dan penuh luka kayak gini. Hiks...”
Lelaki dengan sweater putih tersebut mendesah frustasi. “Gue pernah pacaran sama dia waktu SMP. Which is sembilan tahun yang lalu. Lebih lama dari lo,” ucapnya. “Lagian, kita di sini bukan buat sedih-sedihan. Harusnya kita doain Fanya biar cepet sembuh. Itu yang paling dia butuhin. Gue juga yakin, pelayanan di rumah sakit ini yang terbaik.”
Perempuan berlesung pipi itu tetap menangis. Walau tak sekeras tadi.
“Farhan bener, Yas. Fanya butuh doa dari kita semua, sementara dokter di sini mengusahakan yang terbaik buat dia.” Haykal ikut menatap nanar ke arah tunangannya.
Mereka bertiga berdiri mengelilingi perempuan berbaju pasien tersebut. Sudah tiga hari Fanya dirawat di rumah sakit ini, tapi belum ada tanda-tanda dirinya akan siuman. Walaupun harus diakui, Fanya mengalami perkembangan yang signifikan selama di sini. Bahkan beberapa lukanya mulai mengering.
Saat ketiganya sibuk dengan pikiran masing-masing –diselingi isakan Tyas sesekali–, tiba-tiba Farhan mendapati jemari perempuan di depannya bergerak. Memang sekilas awalnya, ia bahkan berpikir hanya sedang berhalusinasi. Namun saat mata Fanya ikut terbuka, ia pun langsung berseru, “FANYA?”
Haykal kontan terhenyak dari lamunannya. “FANYA?” Ia ikut berseru. Kali ini, mengguncangkan lengan mungil itu tanpa sadar –saking shock-nya–.
Perempuan yang terbaring lemah itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Seperti mencoba menetralisir rasa silau yang menyeruak ke dalam pandangannya. “Auw,” ringisnya pelan. Kedua matanya kembali terpejam kuat.
“Farhan, cepet panggil Dokter Alan ke sini!” perintah Haykal seraya memegangi kepala tunangannya. Sebenarnya ia sangat ingin memeriksa keadaan Fanya dengan tangannya sendiri, tapi ini di luar wewenangnya.
Farhan langsung melesat ke luar.
Beberapa saat kemudian, ia kembali bersama Dokter Alan dan beberapa suster.
“Permisi, Dokter...” ujar dokter yang sudah berusia akhir empat puluhan tersebut. Membuat Haykal segera menyingkir dari sisi tempat tidur.
Dokter Alan segera mengenakan stetoskop ke telinganya, lalu memeriksa detak jantung Fanya. Sedangkan perawat yang lain sibuk mengecek infus, oksigen, dan detak nadi di pergelangan tangan kiri perempuan itu. Ada juga yang mencatat sesuatu, entah apa.
Setelah itu, dokter tersebut membuka mata Fanya dengan ibu jarinya. “Fanya, kamu bisa dengar saya?” bisiknya sembari menyenteri bola mata perempuan itu, bergantian.
Fanya langsung membuka mata saat Dokter Alan memundurkan tubuhnya. Kedua alisnya bertaut. Kemudian menatap orang-orang di dalam ruangan tersebut satu per satu. Ia berdehem sejenak, seakan memperbaiki pita suara miliknya yang sudah hampir seminggu tak digunakan.
“Fanya, kamu merasakan sesuatu?” tanya Dokter Alan lagi.
Beberapa pasang mata di sana memandangi Fanya, sama-sama menunggu jawaban.
Bruk! Pintu kamar dibuka dengan keras. Sosok ayah dan ibu perempuan itu menyeruak masuk. Masih dengan jas dokter dan ekspresi cemas luar biasa.
“Fanya? Kamu sudah sadar, Nak?” Ibu Fanya langsung berdiri di sebelah Dokter Alan. Sang suami mengikuti di sampingnya.
Masih dengan dahi berkerut, perempuan yang masih dalam posisi berbaring tersebut menatap kedua orangtuanya.
“Fanya... Kok kamu diem?” sela Haykal. Penasaran dengan respon tunangannya yang sedari tadi tak juga membuka mulut.
Kali ini, pandangan penuh keheranan dipusatkan perempuan itu pada Haykal. “Fa... Nya?” Ia balik bertanya. Suaranya serak sekali.
Hening sejenak. Bahkan tak ada suara desahan nafas sama sekali. Ruangan menjadi sarat akan ketegangan.
“Fanya siapa?” lanjut perempuan itu.
Mama sontak menutup mulutnya dengan tangan kanan. Menyembunyikan rasa kagetnya. Di belakangnya, Tyas mengerjapkan mata dengan mulut menganga.
“Kamu kenapa, sayang?” Ayah Fanya memecah keheningan.
“Bapak... siapa?” tanya Fanya lagi. “Siapa Fanya? Kalian... siapa?” Ia mengedarkan pandangan ke semua orang yang ada di sekitarnya.
Kali ini, ruangan benar-benar seperti terselimut awan mendung. Pekat.
“Saya... Siapa?” tambah perempuan itu.
Bruk! Ibu Fanya langsung roboh, tak sadarkan diri.

Selasa, 07 Mei 2013

Something New

Beberapa saat lalu aku dibuat terpaku pada beberapa foto teman yang dengan gamblangnya memamerkan kemesraan di dunia maya. Bukan, aku bukannya tak setuju –karena diriku sendiri pun hobi melakukannya–. Hanya saja, ada perasaan aneh yang menyusup di hatiku.
Seingatku, dulu mereka juga pernah memamerkan foto serupa di hampir semua media sosial tempatku memperluas koneksi. Namun dengan orang lain, bukan kekasihnya yang sekarang setia ia rangkul dan bertukar senyum lewat gambar saat ini. Membuatku terhenyak, merenung sejenak. Jika kemesraan saja bisa dengan mudahnya dipindahtangankan, apa perasaan cinta pun demikian?
Aku tak berniat menyalahkan siapapun atas fenomena tersebut. Karena aku tahu, perasaan tak bisa dikontrol, tak dapat ditentukan akan terpusat pada siapa. Salah satu bukti nyata, tak lain merupakan diriku sendiri.
Beberapa bulan lalu, hubunganku dengan seseorang yang sudah terjalin dua tahun lebih harus kandas hanya karena hal sepele. Yah, kejadian kecil malah bisa jadi pemicu paling kuat untuk berakhirnya sebuah hubungan :’)
Selang lima hari setelah kami berpisah, aku dengan mudahnya menerima kehadiran sosok lain. Sosok yang benar-benar baru dalam duniaku. Namun termasuk lama juga jika ditilik dari perkenalan kami di masa putih abu-abu dulu. Aku yang langsung saja menjawab, “Iya...” ketika ia memintaku berada di sisinya. Mengemban status sebagai kekasih barunya, walau harus dijalani tanpa sepengetahuan publik –mengingat diriku yang belum cukup seminggu berpisah dengan lelaki yang dua tahun lamanya memberiku hangat menenangkan itu.
Dia –lelaki baru tersebut– menawarkan banyak hal indah di awalnya. Tawaku tak pernah luntur setiap mendengar cerita maupun komentarnya. Ia menjanjikan banyak hal yang mampu membuatku melayang. Aku bahkan mengira kami benar-benar memiliki banyak kesamaan. Tapi apa daya... Tak cukup seminggu, aku pun –lagi-lagi– memilih untuk menikmati kesendirian.
Ia yang awalnya membanjiriku perhatian dan harapan, malah yang pertama kali berhenti mengacuhkan. Tak ada lagi pesan singkat yang mesra dan sarat gombalan menggelikan. Tak ada lagi nada dering yang khusus ku peruntukkan untuk panggilannya di handphone milikku. Yang muncul kemudian hanya sms di tengah malam, memberitahu bahwa sepanjang harinya dipenuhi kesibukan. Dan aku... Aku hanya mencoba pasrah dan menerima kenyataan. Sampai akhirnya aku kewalahan. Haus kasih sayang dan tentu saja perhatian. Sehingga kata ‘putus’ pun menjadi akhir dari segala perjalanan.
Kini, dengan bangga aku kembali memusatkan cintaku pada kekasih lama yang dua tahun lebih ini menemani hariku. Entah sampai kapan. Yang jelas hingga saat ini, masih dia yang terbaik. Dan semoga tidak ada dia-dia yang lain lagi. Aku sudah lelah.
Terakhir, semoga mereka yang memiliki ‘dia’ yang baru tak mengalami hal sepertiku. Karena segala sesuatu yang baru, tak selamanya lebih indah dari yang dulu :’)



Senin, 06 Mei 2013

Remember Me #8 - Fate

Kita cuma manusia yang bisanya merencanakan. Sedang takdir Tuhan tak bisa ditentang.



“Sebel! Sebel! Sebeeel!!!” Perempuan berpiyama chasper itu menginjak-injak tanah sekuat tenaga. Ia duduk di atas saung dekat puskesmas yang besok pagi akan menjadi tempat penyuluhan kesehatan dari dokter dan mahasiswa kampusnya.
“Heh, berisik banget!” Sebuah suara tiba-tiba muncul di sampingnya. Suara berat khas laki-laki. Tanpa menoleh pun, Fanya sudah tahu bahwa itu adalah suara Farhan.
“Kamu pasti kesel banget gara-gara Dokter Haykal sama Dokter Ita tadi. Iya, kan?” lanjut Farhan. Ia ikut duduk di sebelah perempuan berwajah cemberut tersebut.
“Bukan sebel lagi. Aku malah pengen bikin orang babak belur sekarang.” Fanya mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Membuat buku-buku jarinya memutih. Kukunya yang mulai panjang sedikit melukai telapak tangannya, namun tak ia pedulikan sama sekali.
“Aku juga sempet shock pas Dokter Haykal ngebelain Dokter Ita dan malah ngebentak kamu. Padahal, biasanya kalian kan mesra banget,” komentar Farhan. “Kok Dokter Haykal bisa berubah gitu, ya? Aku aja pasti gak bakalan tega ngelakuin itu ke kamu. Apalagi kalo kamu itu... tunangan aku.”
“Apa sebelum ini, dia juga suka ngomong kasar ke aku, ya?” gumam Fanya pelan. Lebih untuk dirinya sendiri. Pandangannya menerawang, mencoba mengingat masa lalu. Namun tetap tak membuahkan hasil apapun.
Farhan meliriknya dengan senyum lebar. “Kalo kamu butuh bahu, aku selalu ada buat kamu.”
Tanpa suara, perempuan itu langsung menjatuhkan kepalanya ke bahu kanan Farhan. Menenangkan memang, namun tetap hangat dari Haykal yang terbaik.
***
            Fanya memasuki rumah dalam diam. Tubuhnya sudah dibalut jaket tebal berwarna khaki milik Farhan.
“Kamu darimana aja?” Haykal langsung berdiri dari sofa ruang tamu. Menghampiri sang tunangan. Ekspresinya jangan ditanya lagi. Sudah mengalahkan istilah kebakaran jenggot saking cemas dan merahnya.
Perempuan itu melanjutkan langkah ke bagian dalam rumah dengan tatapan datar. Seolah-olah tidak mendengar pertanyaan lelaki berkacamata itu.
Merasa tak diacuhkan, Haykal langsung mencekal lengan kanan Fanya. Membuat tubuh mungil tersebut terhuyung ke belakang. “Kalo aku nanya, kamu jawab, dong!”
Fanya menoleh dan sontak melemparkan tatapan tajam ke dalam mata lelaki yang kini menggenggam lengan miliknya. “Mau kamu apa, sih?” tanyanya.
“Harusnya aku yang nanya. Mau kamu apa? Tiba-tiba pergi dari rumah, trus pulangnya sama cowok lain!” Haykal melirik Farhan dengan pandangan tidak suka yang sangat kentara.
“Apa peduli kamu? Hah?” sorak Fanya. Ia menyentakkan tangannya dengan kasar. Membuat genggaman Haykal spontan terlepas.
“Fanya!”
“Kenapa? Teriak aja! Bentak aku sampe kamu puas!!!” seru perempuan itu.
Sedetik kemudian, Tyas dan Dokter Ita keluar dari kamar. Disusul Mama dengan wajah khas bangun tidur.
“Kalian kenapa, sih?” tanya wanita paruh baya tersebut.
Haykal malah meremas kepalanya sendiri. Lalu melangkah memasuki kamar tempatnya dan Farhan tidur bersama untuk satu minggu ke depan. Meninggalkan kelima sosok yang masih bergeming di ruang tamu.
Sepeninggal putranya, Mama langsung mendekati dan merangkul pundak calon menantunya yang sedang memijat kepala tersebut. “Kalian kenapa sih, sayang?”
“Gak tau, Ma. Aku juga gak ngerti,” balasnya. “Oh iya, Ma. Aku... boleh tidur sama Mama, gak?”
Mama mengerutkan dahinya sejenak. Kemudian mengangguk pelan, dan menggandeng Fanya menuju kamar.
***
            Fanya menaruh piring berisi omlet untuk sarapan di pagi pertama mereka di sini. Lalu duduk di kursi kosong yang terletak antara Haykal dan Tyas. Di seberang, duduk Farhan dan Dokter Ita. Sedangkan Mama duduk di ujung meja sebelah kanan Haykal seorang diri.
Mereka menyendok nasi goreng, omlet, dan nugget ayam ke piring masing-masing dalam diam.
“Oh iya, Dok...” Dokter Ita yang pagi itu terlihat lebih fresh dengan rambut kuncir kuda dan long dress merah muda memecah keheningan. “Kita langsung ngumpul di puskesmasnya jam sepuluh, ya?”
Haykal menyelesaikan kunyahannya terlebih dahulu sebelum menjawab, “Iya, Dok. Ada apa?”
“Enggak pa-pa, sih. Tapi kita ke sana naik apa? Kemarin saya liat tempatnya lumayan jauh juga kalo jalan kaki.”
Fanya melirik perempuan di depannya dengan ekor mata. Mau ngapain lagi nih si dokter ganjen?
“Saya sih biasanya ke sana naik motor. Kebetulan di garasi rumah ini saya naro’ motor biar gak ribet. Tapi karna kita ke sananya rame-rame, mungkin saya jalan kaki aja.”
“Gimana kalo kita naik motor aja, Dok? Puskesmas itu kan jauh,” balas Dokter Ita.
Fanya menghentikan kunyahannya dengan dahi berkerut. Kita? Nah, aku bilang juga apa! Pasti dia punya rencana lagi! Mau modus lagi! Ck!
Haykal langsung melirik perempuan di sebelah kirinya tersebut. Membuat sang objek buru-buru memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya dan mengunyah dengan pipi menggembung. “Saya kayaknya jalan kaki aja deh, Dok. Sekalian olahraga sambil ngobrol sama dosen dan mahasiswa yang lain,” jawabnya.
“Tapi kan jauh, Dok...”
“Kenapa Dokter Ita gak naik motor sendiri aja?”
Jengjeeeng! Semua mata kontan menatap Mama yang baru saja nyeletuk dengan santainya. Fanya dan Tyas malah harus menahan senyum setengah mati.
“Saya gak tau bawa motor, Bu. Makanya saya minta Dokter Haykal yang bawa,” ucap Dokter Ita. Tak lupa memamerkan senyum manis andalannya.
“Ya udah. Berarti Dokter harus rela jalan kaki. Kecuali kalo mau bawa mobil. Eh, tapi jalanan ke puskesmas itu agak sempit. Gak ada tempat parkir.” Mama menjelaskan dengan raut wajah yang tegang. Ekspresi yang belum pernah dinampakkannya di depan Fanya.
“Fanya gak apa-apa kan jalan kaki ke sana?” Mama mengalihkan perhatiannya ke arah perempuan mungil dengan rambut ikal tergerai dan mini dress summer di sebelah putranya.
Fanya menggeleng mantap. “Enggaklah, Bu. Di sini kan adem. Lagian kalo di rumah aku gak pernah olahraga, bosen naik kendaraan mulu.”
“Tuh, Dok. Dosen itu ya wong ngasih contoh ke mahasiswinya. Dokter gak malu apa liat mahasiswinya lebih semangat?”
“Uhuk! Uhuk!” Fanya langsung tersedak gara-gara menahan tawa sambil berusaha menelan makanannya.
Haykal buru-buru menyodorinya segelas air putih seraya menepuk-nepuk punggung perempuan itu.
Saat batuknya sudah reda, Fanya langsung menepis jemari tunangannya tersebut dengan kasar. Sisa-sisa emosi kemarin masih menguasainya.
“Oh iya, Kal. Kamu harus jagain Fanya loh selama di sini. Mama gak mau dia kenapa-kenapa. Ngerti?”
Lelaki itu mengangguk mantap.
Sedangkan Fanya seketika mendengus kecil.
***
            “Saya yakin kalo si Fanya minta bantuan mamanya Haykal buat ngebelain dia. Ck!” lirih Dokter Ita, diiringi decakan kesal pada akhirnya. Ia berjalan di barisan agak belakang bersama Farhan.
“Apa jangan-jangan mamanya Haykal yang gak suka sama kita, Dok? Tadi aja saya disinisin mulu cuma gara-gara bantuin Fanya nyari buku.” Farhan yang pagi itu terlihat santai dengan kaos polo abu-abu dan celana jeans berwarna senada tersebut memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas dokter yang ia kenakan. Lalu menghirup udara segar di sekitarnya tanpa sadar.
“Whatever-lah. Intinya dia bisa jadi penghalang rencana kita. Huh, percuma kita minta bantuan Dokter Tio biar kita bisa serumah sama mereka di sini.” Dokter Ita menendang kerikil di depannya. Sekaligus melampiaskan kekesalan karena harus berjalan sekitar satu kilometer untuk sampai ke puskesmas tempat penyuluhan diadakan.
“Iya juga, Dok. Jadi kita mesti gimana?”
Perempuan itu langsung melemparkan pandangannya ke arah Fanya yang sedang menoyor bahu Tyas di depan sana. “Kita tetep berusaha ngejauhin mereka aja. Gimanapun caranya.”
***
            “Lo kayaknya seneng banget,” cibir Tyas ke arah sahabatnya yang melangkah dengan riang sedari tadi. Kadang sambil menyanyi, bahkan tertawa sendiri.
Fanya menoleh dan menatap perempuan berlesung pipi di sebelahnya sambil tertawa lebar. “Gak pa-pa, kok. Gue cuma seneng aja. Finally bisa terbebas dari suara anak kecil yang berisik, dan kerja di daerah terpencil.”
“Idih, siapa tau di sini kebanyakan anak kecil yang sakit, gimana? Ujung-ujungnya lo ngerawat anak kecil juga, kan?”
Langkah Fanya berubah pelan seketika. “Eh, iya juga, ya?” gumamnya. “Ah, sialan lo!” sambungnya sambil mendorong bahu kiri sahabatnya itu dengan kesal.
Tyas spontan tertawa puas.
“Eh, by the way, Dokter Ita kemana? Tumben gak nempelin tunangan lo,” bisik Tyas sembari celingukan, mencari sang topik pembicaraan.
Fanya ikut mengedarkan pandangannya. Lalu menemukan perempuan yang dimaksud sedang berjalan di bagian agak belakang dari rombongan berjas dokter ini. Bersama Farhan. “Tuh, dia ada di belakang. Lagi asik ngobrol sama Farhan,” ucapnya sembari mengembalikan konsentrasi ke jalanan di depan.
Tyas menoleh dan mendapati keduanya sedang berbicara dengan serius. Kemudian ganti menatap Fanya. “Lo ngerasa gak, sih?” tanyanya.
“Ngerasa apa?”
“Dokter Ita sama Farhan... Mereka deket banget, kan? Kalo Dokter Ita gak nempelin Dokter Haykal kayak tokek, dia pasti bareng Farhan. Kayak sekarang. Gue jadi curiga.”
“Curiga apa? Masa Dokter Ita doyan brondong macem Farhan? Jangan fitnah orang sembarangan, ah.”
“Dasar sotoy! Bukan gitu maksud gue!” Perempuan berlesung pipi itu menoyor kepala Fanya dengan gemas. “Maksudnya, jangan-jangan Dokter Ita sama Farhan sekongkol buat misahin lo sama Dokter Haykal. Yah, siapa tau kan...”
“Wah, parah lo! Ya gak mungkinlah. Gue kenal Farhan, dia itu baik banget. Kayaknya dia gak bakal sepicik itu. Apalagi dia kan ganteng, ngapain juga mau sama gue. Lagian gue sama dia udah kelar dari SMP. Gue aja udah gak punya feeling apa-apa sama dia.”
“Who knows, Nya? Nothing impossible, right? Tuh, buktinya.” Tyas menoleh. Lalu menunjuk Dokter Ita dan Farhan yang masih ngobrol, dengan dagu.
Fanya ikut memandangi kedua orang yang terlihat asik berbincang tersebut. Kedua alisnya menyatu. Ingin mengikuti kecurigaan sahabatnya, namun belum memiliki bukti nyata. Akhirnya, ia memilih mengembalikan pandangan. Ke arah sang tunangan yang berjalan di barisan paling depan, bersama beberapa mahasiswi yang terlihat berusaha menarik perhatiannya.
***
            Fanya duduk di kursi depan puskesmas sambil menyelonjorkan kedua kakinya. Sudah jam makan siang, tapi ia belum menemukan semangat setelah tiga jam lebih berurusan dengan pasien di puskesmas tersebut. Bukan untuk mengobati, tapi untuk menerima wawancara sebagai tunangan Haykal. Entah mengapa karisma lelaki itu selalu saja membuatnya gerah menghadapi respon orang-orang di sekitar.
“Kok masih di sini, Nya?” Suara Farhan muncul di sebelahnya.
Fanya menoleh. “Iya, nih. Masih capek.”
“Trus, Dokter Haykal mana?”
Perempuan itu kontan celingukan. Ia memang tidak sempat bertemu tunangannya sejak sampai di puskesmas tadi. “Gak tau. Udah pulang, kali.”
“Kamu gak mau pulang?” tanya Farhan lagi.
“Enggak, ah. Kamu sendiri, kenapa masih di sini? Gak laper?”
“Asal bareng kamu, aku udah kenyang, kok.”
Fanya langsung tertawa geli. “Dasar tukang gombal! Kamu cocok tuh bikin geng sama Dokter Haykal.”
Farhan yang tadinya ikut tertawa, seketika membeku.
“Haykal tuh ya, kalo aku lagi ngomongin masalah apapun pasti dibelokin jadi gombalan. Bener-bener gak pernah kekurangan stock.” Perempuan itu melanjutkan kalimatnya seraya geleng-geleng kepala. Lengkap dengan senyum lebar. “Tapi ya itu, ngeselinnya lebih banyak. Huh! Trus–”
“Nya, gimana kalo kita nyari makan sekarang? Di deket sini ada warung, kan?” Tiba-tiba, Farhan sudah menggenggam jemari miliknya. Kemudian menuntunnya untuk beranjak meninggalkan pelataran puskesmas. Dengan sedikit terburu-buru.
***
            “Fanya kemana, Yas?” tanya Haykal sembari memperbaiki duduknya di kursi meja makan.
Tyas yang juga baru duduk di sana, menggeleng pelan. “Gak tau, Dok. Tadi Fanya masih sibuk nanganin pasien, jadi saya pulang duluan.”
Pandangan lelaki berkacamata tersebut langsung tertumbuk pada kursi kosong di seberang meja. “Farhan mana?”
Dokter Ita melirik kursi di sebelahnya. “Dia juga belum pulang dari puskesmas.”
Mama ikut duduk di ujung meja setelah meletakkan piring terakhir berisi sup ayam di depan ketiga orang di sana. “Coba telepon Fanya, Nak. Siapa tau dia udah jalan ke sini.”
Haykal langsung merogoh saku celana panjang yang ia kenakan, kemudian menekan tombol 2 yang akan men-dial otomatis ke nomor handphone tunangannya. Nada sambung terdengar. Ia menunggunya dengan tidak sabar. Sampai nada konstan tersebut digantikan oleh suara operator pada akhirnya.
“Kenapa?” tanya Mama saat mendapati putranya mendecak kesal.
“Teleponnya gak diangkat, Ma.”
“Coba aku telepon Farhan, Dok. Siapa tau mereka lagi barengan,” ucap Tyas sambil meraih ponselnya di atas meja. Lalu merutuk sesaat setelah mendapati tatapan tajam si dokter ganteng karena kalimat terakhirnya barusan. “Gak diangkat juga,” lanjutnya kemudian.
Haykal sontak berdiri dari duduknya. Lalu melangkah meninggalkan meja makan.
“Kamu mau kemana, Kal?” seru Mama.
Lelaki itu menoleh sekilas. “Nyari Fanya.”
***
            Haykal memelankan laju motor ninja miliknya sembari mengedarkan pandangan ke kiri-kanan jalan. Setelah satu kilometer dari kediamannya, ia merasa melihat seorang perempuan mungil dengan jas dokter sedang jalan berdampingan bersama seseorang yang sangat ia yakini sebagai Farhan.
“Fanya!!!” sorak Haykal seraya menepikan motornya.
Perempuan yang merasa namanya dipanggil itu seketika berbalik. Lalu bertemu pandang dengan sang tunangan.
“Kamu darimana?” tanya lelaki yang sedang menatapnya tajam tersebut.
“Abis makan sama Farhan. Kenapa?”
Mata Haykal langsung membesar. Shock. “Hah? Kamu ini... Ck!” Ia lalu mengalihkan perhatiannya ke arah Farhan. “Lo ngapain ngajak tunangan gue? Hah?”
***
            Jengjeeeng!!!
Fanya langsung tegang mendengar Haykal yang sangat menjunjung tinggi keprofesionalan tersebut sedang berbicara menggunakan ‘gue-elo’ pada mahasiswa sekaligus asistennya sendiri.
“Salah Dokter, kenapa punya tunangan tapi malah ditinggal sendirian.” Farhan melipat kedua tangannya di depan dada. Terlihat menantang. Membuat Fanya semakin menahan nafas.
“Lo nantangin gue?” Haykal melangkah maju, mempersempit jarak antara dirinya dan laki-laki yang memiliki postur tak jauh beda darinya tersebut.
“Dokter pikir saya takut?” Farhan tertawa meremehkan di ujung kalimatnya. “Apa saya mesti ngaku dulu kalo saya masih sayang Fanya baru Dokter mau ngejagain dia 24 jam biar gak saya rebut?”
BUK! BUK!
Fanya memekik tertahan ketika melihat tunangannya melayangkan kepalan tangan kanan ke hidung mantan pacar semasa SMP-nya sebanyak dua kali. Ia ingin berteriak, namun tubuhnya seakan dipaku. Ingin memisahkan, tapi takut jadi korban salah sasaran.
BUK!
Kali ini, giliran Farhan yang membalas. Hanya satu pukulan, tepat ke ulu hati Haykal. Membuat lelaki itu terhuyung beberapa langkah ke belakang.
“KALIAN NGAPAIN?” sorak perempuan yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang tubuh Haykal. Kemudian berusaha menjauhkan kedua laki-laki yang sepertinya bisa saling menghilangkan nyawa jika tetap dibiarkan.
Perempuan yang tidak lain dan tidak bukan adalah Dokter Ita itu sontak menarik kemeja Farhan, walau dengan susah payah.
“Kamu ngapain diem di situ? Kenapa gak misahin mereka, sih?” teriak Dokter Ita lagi, agak emosi. Untung suasana di sekitar mereka sedang sepi. Jadi tidak mengundang keramaian orang-orang.
Fanya yang menjadi objek teriakan Dokter Ita barusan hanya memasang ekspresi bersalah. Ia terlalu shock untuk berpikir apa yang bisa ia lakukan beberapa saat yang lalu.
“Kalo kamu bangga direbutin dua laki-laki sekaligus, seenggaknya kamu pikirin gimana keadaan mereka kalo babak belur atau cacat gara-gara berantem gak penting gini!” sambung perempuan itu, jemarinya masih meremas lengan kemeja Farhan.
Fanya menundukkan kepalanya dalam-dalam seraya memejamkan mata. Menghalau butiran bening mengalir tanpa izin di pipi mulus miliknya.
“Gue ingetin sama lo! Sekali aja lo coba-coba deketin tunangan gue, gue gak bakal bikin lo tenang! Ngerti?” Haykal mengusap keringat yang menetes dari dahinya dengan kasar. Lalu menarik pergelangan tangan Fanya untuk pergi, sebelum menabrak bahu Farhan dengan bahunya yang kekar.
***
            “DAMN IT!!!”
Dokter Ita menatap Farhan yang berdiri di sebelahnya dengan dahi berkerut. Lelaki itu terlihat seperti sedang mencari objek untuk pelampiasan amarahnya. Namun entah kemana. “Kamu ini kenapa, sih?”
Lelaki yang ia tanya tersebut balik memandangnya dengan nafas terengah-engah, bekas pertengkaran tadi. Hidungnya bahkan mengeluarkan darah segar yang enggan ia pedulikan.
“Harusnya kamu bisa ngendaliin emosi kamu. Gimana kalo masalah ini makin panjang? Kamu itu statusnya masih mahasiswa, Farhan!”
“Dokter Haykal yang mulai mancing perkelahian tadi, Dok! Masa saya mesti tinggal diam?” Farhan menjawab sembari meneruskan langkahnya.
Dokter Ita langsung menahan kemeja lelaki itu. Membuat langkah lebar Farhan sontak berhenti. Lalu berbalik dan berhadapan dengannya.
“Kamu mau pulang dengan muka biru dan berdarah gitu? Gak takut diinterogasi sama mamanya Dokter Haykal?” tanyanya.
Lelaki tersebut spontan mengusap daerah di bawah hidungnya, tempat darah hasil bogem mentah Haykal mulai mengering. Ia meringis pelan sembari meraba hidung dan pipinya. Untung tidak ada tulang yang patah.
“Sini...” ujar Dokter Ita seraya menggandeng tangan mahasiswanya itu ke tepi jalan. Ke arah sebuah akar pohon yang lumayan besar berada. Kemudian duduk di atas sana, dan mengeluarkan sebungkus tisu basah dari dalam saku pakaiannya.
“Auw,” ringisan Farhan semakin menjadi saat Dokter Ita mencoba membersihkan luka di wajahnya dengan selembar tisu basah. “Itu sakit, Dokter. Pelan-pelan, dong.”
“Heh! Dasar gak tau diri! Udah untung saya mau bantu ngobatin!”
Lelaki itu sontak bungkam. Perempuan cantik manapun tetap saja terlihat menyeramkan saat marah.
***
            Fanya memasuki kamar dengan wajah cemberut. Sepanjang perjalanan tadi, ia tidak terlibat percakapan apapun bersama sang tunangan.
“Nya, lo gak kenapa-kenapa?” Tyas muncul dari pintu dengan wajah cemas. “Tadi gue liat Dokter Haykal. Kok mukanya kayak lagi marah, ya? Lo darimana aja, sih?”
“Ceritanya panjang. Gue mau mandi dulu. Lo gak ke puskesmas?” Fanya balik bertanya dengan lesu.
“Ini, gue udah mau jalan. Mau barengan?”
“Gak usah. Lo duluan aja,” balas perempuan itu sambil melangkah menuju kamar mandi yang berada di sudut kamar.
***
            Fanya duduk di atas tempat tidur sambil menguncir rambut sebahu miliknya. Rumah sudah sepi. Sepertinya penghuni yang lain sudah berangkat ke puskesmas untuk kembali melayani warga.
“Kamu udah mau ke puskesmas, sayang?”
Perempuan itu menoleh. Lalu menemukan sosok Mama sudah ikut duduk di sebelahnya.
“Iya, Ma.”
Hening sejenak.
“Mama udah denger masalah kalian berempat,” ucap wanita berjilbab tersebut.
Fanya kontan mengerutkan dahinya. “Hm?”
“Iya. Antara kamu, Haykal, Dokter Ita, dan Farhan.” Mama mengelus rambut ikal calon menantunya itu. “Kalian berdua kan udah tunangan, kenapa mesti cemburuan terus, sih? Seharusnya, mau berapapun orang yang ngedeketin kalian berdua, itu gak masalah. Toh kalian masih saling mencintai,” lanjutnya.
“Aku juga mikirnya kayak gitu, Ma. Aku udah nganggep Farhan sebagai temen. Gak lebih, apalagi hubungan kami udah selesai lama banget. Tapi Haykal gak pernah mau terima kalo aku tetep akrab sama Farhan. Sementara dia bisa seenaknya deket sama Dokter Ita yang jelas-jelas selalu berusaha ngerebut perhatian dia dari aku. Egois kan, Ma?”
Mama tersenyum tipis. Jenis senyum menenangkan yang selalu dirasakan Fanya setiap melihat Haykal tersenyum ke arahnya. “Mama ngerti. Cuma harusnya kalian berdua ngehindarin orang-orang kayak Dokter Ita sama Farhan. Mama bukannya su’udzon atau apa yaa, cuma Mama ngerasa ada yang aneh aja. Kok mereka berdua keliatannya getol banget ngedeketin kalian dalam waktu bersamaan?”
Fanya terdiam. Ia jadi teringat pembicaraannya bersama Tyas tadi pagi. “Tapi Farhan itu baik, Ma. Dia udah aku anggep sahabat banget. Kalo Dokter Ita sih... gak tau.”
“Tapi... siapa yang tau loh, sayang? Gak ada yang gak mungkin, kan?”
Deg! Kini, perempuan itu benar-benar mengingat kata-kata terakhir Tyas yang hampir sama dengan kalimat Mama barusan.
***
            Entah sudah keberapa kalinya Haykal menoleh ke arah halaman puskesmas untuk memastikan kehadiran tunangannya. Ia sengaja berangkat duluan untuk menghindari rasa bersalah karena terpancing emosi beberapa jam yang lalu. Apalagi di depan calon istrinya sendiri.
“Yas, Fanya belum dateng, ya?” Lelaki itu menghalagi Tyas yang lewat di depannya.
“Udah, Dok. Tuh, dia baru aja duduk di ruang tunggu. Ngobrol sama warga yang mau berobat,” jawab perempuan berlesung pipi tersebut.
“Ya udah. Makasih, ya!” Haykal langsung melangkah ke ruang tunggu yang terletak tepat di depan pekarangan puskesmas itu. Lalu menemukan seorang perempuan berkuncir kuda dengan jas dokter sedang duduk membelakanginya.
“Wah, berarti Fanya ini calon menantunya Ibu Septi, ya?” Seorang ibu dengan anak kecil di pangkuannya terlihat bertanya sambil tersenyum lebar.
Haykal kontan menghentikan langkah. Memilih mendengar pembicaraan tunangannya bersama ibu-ibu di sana dari balik sebuah pilar.
“Iya, Bu.” Perempuan itu balas tersenyum. Sesekali, ia menggoda anak laki-laki di pangkuan ibu di depannya.
“Jadi nikahnya kapan, dong?” tanya ibu itu lagi.
“Pasti ntar anaknya ganteng. Wong orangtuanya cakep gini,” timpal wanita paruh baya yang lain.
“Ibu Septi enak banget ya, punya anak sama menantu dokter...” Seorang ibu ikut menyeletuk.
Dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan lainnya yang hanya dibalas senyuman oleh Fanya. Membuat lelaki itu tidak tahan dan akhirnya memilih menghampiri mereka.
“Lagi ngomongin apa, nih? Kayaknya serius banget.” Haykal langsung duduk di samping tunangannya dengan senyum bahagia. Seperti tak pernah ada pertengkaran sebelumnya.
Beberapa wanita paruh baya di sekitar seketika membeku. Ada yang balas tersenyum kikuk, ada yang melotot, bahkan menganga tanpa sadar.
Lelaki itu berusaha menyembunyikan tawanya. Kemudian merangkul pundak Fanya dengan erat. Menghalanginya jika berniat kabur.
“Haykal sama Fanya ini serasi sekali, ya... Kenapa belum nikah, sih? Kasian Bu Septi, pasti udah mau gendong cucu.” Ibu yang sedang memangku anak laki-laki tersebut membuka pembicaraan. Diikuti anggukan mantap dari ibu-ibu yang lain.
Haykal bisa merasakan tubuh Fanya menegang dalam rangkulannya. Ia pun mengelus pundak perempuan itu, mencoba menenangkan. “Secepatnya kok, Bu. Doain aja.”
***
            Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Fanya meletakkan sebuah piring besar berisi ayam rica-rica ke atas meja makan. Di belakangnya, Mama ikut menaruh semangkuk jumbo sayur sup kesukaan putranya.
“Nya, kamu panggilin Haykal sama yang lain, ya!” ujar Mama seraya melepas celemek dari tubuhnya.
Fanya mengangguk pelan. Sepulang dari puskesmas tadi, ia belum mau membuka pembicaraan dengan lelaki itu. Walau sang tunangan sudah berkali-kali mencoba menarik perhatiannya. Ia juga berusaha menghindari Farhan dan Dokter Ita setiap mengingat insiden siang tadi.
Perempuan yang sudah mengenakan daster batik selutut khas ibu-ibu tersebut pun melangkah memasuki kamar yang ditempati Tyas dan Dokter Ita. Keduanya sedang sibuk melihat-lihat buku catatan nama pasien lengkap dengan keluhannya di atas tempat tidur.
Fanya berdehem pelan, membuat Tyas dan Dokter Ita kontan menoleh ke arah pintu kamar.
“Kenapa, Nya?” tanya Tyas.
“Makanan malemnya udah siap. Mama nunggu kita di meja makan,” balas Fanya. Ia bahkan enggan menatap Dokter Ita. Seakan menekankan kata ‘kita’ hanya pada dirinya dan sang sahabat.
“Oh, ya udah kalo gitu.” Perempuan berlesung pipi tersebut langsung turun dari tempat tidur. Lalu memakai sendal mini mouse miliknya.
Fanya mengangguk, kemudian berbalik untuk kembali ke meja makan. Namun tiba-tiba, ia teringat sesuatu. “Eh, Yas...” ucapnya seraya kembali memandang sahabatnya.
“Hm?”
“Tolong kasih tau Dokter Haykal sama Farhan, ya! Gue mau bantu Mama beresin meja makan soalnya.”
“Okay,” Tyas tersenyum memaklumi. Ia sudah bisa lulus dengan predikat cum laude dalam masalah memahami sahabatnya itu.
***
            Haykal duduk paling terakhir di meja makan. Kemudian langsung memimpin doa makan. Setelah itu, bunyi piring dan sendok beradu pun terdengar bersahutan.
“Gimana, Kal? Enak?” tanya Mama sambil melirik putranya.
Lelaki itu menghentikan kunyahannya sebelum menjawab. “Iya, Ma. Enak banget, malah.”
“Mama jago masak, ya! Saya mau loh kapan-kapan diajarin masak yang kayak begini.” Dokter Ita menimpali.
Mama sontak menatap perempuan dengan piyama merah muda tersebut. “Maaf loh, Dokter Ita. Bukannya gimana-gimana, cuma saya gak enak kalo dipanggil Mama sama orang lain, kecuali Haykal dan calon menantu saya.” Beliau memasang ekspresi datar, dengan penekanan pada kata calon menantu.
Dokter Ita terlihat serba salah. Ia tersenyum kikuk seraya berujar, “Maaf, Bu. Saya keseringan denger Fanya manggil Mama, jadi ikut kebawa.”
Fanya kontan memadangnya takjub. Gila, ngapain  bawa-bawa aku, coba? Ck!
“Tapi masakannya bener-bener enak, Bu. Dan masalah belajar masak tadi, saya juga serius,” lanjut perempuan itu. Lengkap dengan senyum manis andalannya.
Mama melirik Fanya sekilas. Kemudian mengembalikan perhatiannya pada Dokter Ita. “Emangnya Dokter gak bisa masak?”
“Enggak bisa, Bu. Baru masakan yang instan dan simpel aja.”
“Kasian dong, ya?” Mama tersenyum miring, terkesan meremehkan. “Oh, iya. Kalo Dokter mau belajar masak, sama Fanya aja. Soalnya semua makanan yang ada di atas meja sekarang, dia yang bikin.”
Dokter Ita tergeragap sejenak. Namun buru-buru menormalkan raut wajahnya. “Oh, ya?” Hanya itu yang bisa ia katakan.
Mama mengangguk penuh semangat. “Iya. Bener-bener menantu idaman, kan? Makanya saya gak bakal ngijinin mereka pisah. Apalagi kalo Haykal deket sama perempuan lain yang gak bisa masak. Amit-amit deh!”
***
            Dokter Ita sedang menyibukkan diri di teras belakang rumah Haykal. Telunjuk tangan kanannya sibuk mengelus layar I-pad di genggamannya dengan kasar. Mencoba melenyapkan semua babi berwarna hijau di sana menggunakan bantuan sekelompok burung kuning dalam game angry bird.
“Pokoknya saya gak terima! Saya gak bakal biarin mereka bahagia! Gimanapun caranya!!!” lirih perempuan itu dengan segenap emosi jiwa.
Laki-laki yang ikut duduk di sebelahnya hanya menghela nafas panjang seraya mendongak. Menatap keindahan malam dengan cahaya bulan purnama dan jutaan bintang di atas sana.
“Kamu ngomong dong, Farhan! Kamu punya ide lagi gak buat misahin Dokter Haykal sama Fanya?” Dokter Ita kembali mendesis kesal.
Farhan menoleh dan ganti menatapnya. Menatap keindahan lain dari malam hari di tempat itu, namun dalam versi agak menyeramkan. Lagi-lagi, ia menghela nafas panjang. “Apa gak sebaiknya... kita give up aja, Dok? Tadi Dokter denger sendiri kan yang diomongin Bu Septi? Beliau gak bakal ngizinin anaknya menikah sama perempuan selain Fanya.”
“Gak ada yang gak mungkin, Farhan. Kamu harus inget itu!”
“Tapi kita juga gak bisa menyalahi takdir Tuhan kan, Dok? Kita cuma manusia yang bisanya merencanakan. Malah saya pikir, kita udah dalam konteks memaksakan sekarang.”
Perempuan itu seketika meliriknya denga pandangan tajam. “Kamu itu laki-laki kan, Farhan? Masa cuma karna ini kamu udah hopeless? Saya gak mau tau, pokoknya kita harus tetep bikin mereka pisah. Titik!” tandas Dokter Ita sembari buru-buru berdiri, kemudian melangkah memasuki rumah. Meninggalkan Farhan.
***
            “Gue udah denger semuanya...” Sebuah suara muncul di sebelah kanan lelaki bersweater coklat tua tersebut.
Farhan kontan menoleh dan menemukan perempuan berlesung pipi sudah duduk di sampingnya, menggantikan posisi Dokter Ita beberapa menit lalu.
“Gue udah curiga dari awal. Kalian pasti punya niat jahat sama Fanya dan Dokter Haykal. Tapi gue gak nyangka rencana kalian bisa sepicik ini. Jahat banget, tau gak!” sambung perempuan yang tidak lain dan tidak bukan adalah Tyas itu.
Lelaki di sebelahnya tersenyum sekilas. “Gue juga baru tau kalo lo suka nguping pembicaraan orang,” balasnya. Lalu mengembalikan perhatiannya ke langit di atas mereka.
Tyas mencibir sejenak. “Lo kenapa segitu sayangnya sama Fanya, sih? Sampe mau ngerusak kebahagiaan mereka segala,” tanyanya.
“Gue gak punya niat kayak gitu sedikit pun, Yas. Cuma karna Dokter Ita nawarin, jadi gue ngikut aja. Mumpung Fanya masih amnesia, kan?” Farhan tertawa getir di ujung kalimatnya. “Tapi setelah gue pikir-pikir, gue emang jahat, ya?”
“Emang jahat! Lo gak pernah denger istilah ‘cinta itu bahagia melihat orang yang dicintainya bahagia, walau bukan bersamanya’? Nah, harusnya lo juga kayak gitu!”
“Bawel lo, ah. Emangnya lo pernah jatuh cinta kayak gue?” Farhan meliriknya dengan pandangan meremehkan.
“Sialan! Ya pernah, dong!” Tyas langsung meninju bahu kekar milik lelaki di sampingnya. “Tapi yaa, gitu. Nasib kita sama,” lanjutnya. Yang spontan disusul tawa mengejek dari Farhan.
***
            Fanya mengitari pekarangan rumah bercat hijau-putih tersebut sambil bertelanjang kaki dan menunduk-nunduk seperti anak babi. Sesekali, ia juga mendecak kesal.
“Lagi ngapain, Nya?”
Perempuan dengan kemeja hijau dan rok putih itu sontak mengangkat wajahnya dan menatap lelaki yang sudah berdiri di depannya saat ini. “Sendalku ilang. Perasaan semalem aku taro’ di sini, tapi sekarang gak ada. Males pake flat shoes, nih.”
Farhan yang mengenakan  polo shirt hitam dan celana kargo berwarna senada itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Aku mau bantu sih, tapi harus buru-buru ke puskesmas. Hari ini disuruh ngedata pasien yang datang.”
Dahi Fanya berkerut dibuatnya. “Ih, tega banget! Bantu cariin, dong! Aku udah capek nyari sendiri,” keluhnya. Lengkap dengan wajah memelas.
Lelaki itu menghembuskan nafas sejenak. “Tunggu dulu,” ucapnya sambil melangkah memasuki rumah.
Dia mau kemana, coba? Dibilangin ilangnya di luar sini, malah masuk ke dalem. Ada-ada aja, dumelnya dalam hati. Kemudian kembali membungkuk dan mencari sampai ke bawah keset.
“Nyariin aku?”
Deg! Fanya seketika berbalik dan berhadapan dengan dada bidang milik tunangannya. Dari jarak sedekat ini, ia bisa dengan puas menikmati aroma parfum yang membuatnya sangat tergila-gila. Namun perempuan itu memilih mundur dua langkah. Lalu mendongak dan menatap kedua mata teduh milik Haykal dengan ekspresi datar. “Apa?”
Haykal menaikkan sebelah alis miliknya. “Katanya kamu nyariin aku.”
“Siapa bilang?”
“Farhan.”
“Hah?” Maksudnya tuh anak apa, coba? Kurang ajar! batinnya. “Trus, sekarang Farhan mana?” lanjutnya.
Lelaki berkemeja hijau dan celana kain hitam tersebut ikut celingukan. “Gak tau. Udah ke puskesmas, kali.”
Fanya tak menggubris lagi. Ia masih heran mengapa Farhan tiba-tiba menyuruh Haykal mendatanginya. Bukannya laki-laki itu tahu bahwa ia masih kesal dengan tunangannya itu?
“Lagi nyari apa, sih?” heran lelaki tersebut.
“Bukan urusan kamu!”
Haykal mendengus sesaat. Lalu mengangkat bahunya. “Ya udah kalo gitu. Aku berangkat ke puskesmas duluan, ya! Klo udah dapetin apa yang kamu cari, langsung nyusul.”
Perempuan bertubuh mungil itu sukses melongo dibuatnya. Ia seketika berbalik, kemudian berkacak pinggang. “Heh, kamu emang gak peka atau cueknya kebangetan, sih?” hardiknya.
Lelaki itu kontan mundur selangkah dengan dahi berkerut, sembari mengelus dada. “Kamu kenapa teriak-teriak gitu? Emang salah aku apa?”
“Bodo! Bodooo! Pergi sana!!!” Ia langsung memasuki rumah.
Namun langkahnya terhenti saat Mama muncul dari dalam rumah. “Kamu kenapa teriak-teriak, sayang?” tanyanya.
Fanya menghampiri Mama. Lalu berdiri menghadap tunangannya yang masih bergeming di teras depan. Wajahnya dipasang memelas. “Itu, Ma... Masa tadi aku minta tolong sama Haykal buat dicariin sendal yang semalem aku taro’ di sini, tapi dia gak mau? Dia malah mau ninggalin aku ke puskesmas duluan, Ma...” Ia mengembang-kempiskan hidungnya, seakan menahan tangis.
Mama serta-merta memandang putranya dengan tatapan membunuh. “Bener, Kal?”
“Loh, Mama nih gimana? Manggil Fanya aja pake ‘sayang’, masa ke aku ‘Kal’ doang?” Haykal tidak terima. Lelaki itu melipat kedua tangannya di depan dada bidang miliknya.
Fanya beringsut ke belakang tubuh Mama perlahan, mencari perlindungan. Masih dengan ekspresi sedih yang jelas saja dibuat-buat. “Ma, aku takut...” lirihnya.
Haykal melotot maksimal.
Mama malah melangkah mendekati anaknya. Kemudian sedetik kemudian, beliau dengan senang hati menjewer telinga kiri laki-laki dewasa tersebut.
“Aduh! Auwww! Mama ngapain, sih?” sorak Haykal sambil berusaha mengenyahkan cubitan wanita itu dari telinganya yang sudah memerah.
“Siapa suruh gak mau bantuin calon istri kamu? Hah?”
“Siapa yang gak mau bantuin? Dia gak ngomong apa-apa sama aku, Ma!”
“Boong! Haykal boong, Ma. Tadi dia yang nyuekin aku pas aku minta tolong,” sela perempuan itu buru-buru. Bibirnya manyun.
“Hah?” Lelaki itu menganga. “Kamu jangan fit– Auw, sakit tau, Ma!!!”
Mama pun melepaskan telunjuk dan jempolnya yang tadi menjepit telinga Haykal. “Kenapa? Kamu mau bilang kalo Fanya yang bohong sama Mama? Iya? Kamu bener-bener, ya! Udah gak mau ngebantuin dia, malah fitnah dia yang enggak-enggak. Mama gak nyangka kamu kayak gini, Kal...” Wanita itu geleng-geleng kepala. Lalu berbalik dan mengelus pundak calon menantunya.
Fanya langsung memeluk Mama. Wajahnya yang menghadap Haykal seketika memeletkan lidah dan menggerakkan kedua bola matanya ke tengah.
Lelaki itu mendesis kesal, mencoba menahan amarah. Kemudian meninggalkan kedua wanita yang dicintainya tersebut dan melangkah memasuki rumah. Membuat Fanya dan Mama kontan melepaskan pelukan.
Sesaat kemudian, ia kembali dengan sendal berwarna biru bergambar chasper di genggamannya. “Nih, semalem aku taro’ di dalem. Takut ilang,” ucapnya seraya meletakkan sepasang benda itu di depan kaki mungil tunangannya.
Perempuan berjas dokter di depannya langsung memakai sendal miliknya dengan senyum lebar.
“Kamu ini bener-bener ya, Kal! Kamu nyembunyiin sendal Fanya, ya?” sorak Mama seraya berkacak pinggang. Matanya melotot.
Mata Haykal ikut membesar. Ia lalu melirik Fanya yang berusaha menahan tawa di sebelah wanita berjilbab tersebut.
Fanya berdehem sejenak. Mencoba menghalau tawanya yang sudah nyaris keluar. “Gak pa-pa kok, Ma. Yang penting sekarang aku udah bisa berangkat ke puskesmas. Keburu siang, nih.”
“Tuh, liat. Untung Fanya orangnya pemaaf. Awas kalo nanti kamu bikin calon menantu Mama ini sedih. Mama pecat kamu jadi anak!”
Kali ini, Fanya memilih membiarkan tawanya mengambang di udara. Tawa penuh kemenangan.