Sabtu, 20 Oktober 2012

Terlambat

Reza menatap seorang cewek mungil yang berlarian ke arahnya. Cewek yang masih berseragam putih-biru tersebut tersenyum lebar. Bahagia. Dengan dua botol minuman di kedua tangannya.

“Nih..” ucapnya seraya memberikan satu botol minuman rasa jeruk dari tangan kanannya ke arah Reza. Masih dengan wajah sumringah.

Reza meraih botol tersebut. Membuka penutupnya, lalu meneguknya. Mengalirkan sensasi dingin ke seluruh pembuluh darah di dalam tubuhnya. “Kamu darimana?” tanyanya. Setelah menutup kembali botol minuman miliknya.

“Dari kantin,” jawab cewek mungil berambut sebahu yang bernama Tiwi itu. “Karna Kakak udah denger curhatanku tadi, jadi aku bawain minuman. Sebagai tanda terima kasih gitu, deh..” lanjutnya.

Reza cuma tersenyum. Kemudian kembali memandangi gadis lucu dengan dua bola mata bulat yang selalu tersenyum ke arahnya. Yang selalu ceria, riang, juga tidak pernah mengeluh. Dan ia... Menyukainya. Namun sepertinya takdir berkehendak lain bagi mereka.

“Trus, kira-kira Kak Rama kapan ke sini lagi?” tanya Tiwi. Ia menatap ke depan. Ke tengah lapangan sekolahnya yang sudah dipenuhi junior-juniornya di ekskul paskibra yang sedang sibuk latihan baris-berbaris dipimpin Trisna.

Reza menatapnya. Terdiam sesaat sebelum menjawab, “Mungkin besok atau lusa. Soalnya dia lagi ngurusin masalah pemindahjabatan Osis di sekolahan. Kan udah kelas tiga juga.”

Tiwi manggut-manggut. “Tapi Kakak janji kan mau nyuruh dia ngelatih di sekolah ini lagi? Aku kan kangen. Hehe..”

Reza tersenyum tipis. Lalu mengangguk.

***

Saat ini, Tiwi masih tercatat sebagai siswi kelas IX SMP Negeri 8 di salah satu kota besar di Indonesia. Sedangkan Reza dan Rama sudah kelas XII SMA Negeri 5 di kota yang sama. Bahkan, sekolah mereka pun berdekatan.

Reza dan Tiwi dipertemukan setahun yang lalu melalui kegiatan ekskul paskibra di SMPN 8 tersebut. Cowok yang saat itu baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai pengibar bendera di istana negara diminta oleh pembina paskib sekolah Tiwi untuk ikut melatih di sekolahnya. Dan dengan senang hati, ia menerimanya.

Setahun kemudian –tepatnya beberapa bulan yang lalu–, Rama muncul. Ia juga baru mengibarkan bendera di istana negara sebagai Paskibraka Nasional saat itu. Dan pembina paskibra di sekolah Tiwi pun kembali merekrutnya sebagai pelatih. Sama seperti Reza, ia juga menerimanya.

Reza. Cowok dengan tubuh tegap, senyum menenangkan, mata teduh, dan sikap ramah. Bahkan di lapanganpun, cowok itu tidak pernah menunjukkan tanda-tanda tegas. Hanya terkesan berwibawa.

Berbeda dengan Rama yang memiliki mata tajam dan selalu bisa mengunci siapapun hanya dalam satu tatapan penuh arti.  Dengan tubuh tegap yang tidak jauh berbeda dengan Reza. Namun Rama lebih dingin. Juga tegas.

***

Reza memandangi Tiwi yang sedang tertawa riang di samping Rama. Kedua orang itu duduk di pojok lapangan. Berlindung dari sengatan sinar matahari. Tempat favoritnya dan Tiwi satu tahun yang lalu. Saat bayangan cowok yang juga sahabatnya itu belum muncul di tengah-tengah mereka.

Rama juga ikut tertawa. Tawa lepas yang sampai saat ini baru pertama kali dilihatnya. Selama hampir tiga tahun bersahabat sejak masuk SMA, Rama jarang sekali tersenyum. Apalagi tertawa. Palingan hanya tawa tipis yang bertahan sekian detik. Tidak seperti sekarang. Di dekat Tiwi.

Entah kapan datangnya, perasaan itu hadir di hati Reza. Setiap melihat wajah Tiwi, dengan mata bulatnya dan senyum lebarnya yang tidak pernah luntur tersebut, jantungnya pasti berdebar tak menentu. Mendengar suaranya yang terkesan cempreng, malah sangat merdu di telinganya. Mencium aroma khas tubuh mungilnyapun, membuat nafasnya menjadi tercekat. Apalagi melihatnya duduk berdua dengan sahabatnya sendiri. Ada perasaan aneh yang berkecamuk di dadanya. Menuntut untuk diluapkan dengan emosi atau sekedar adu otot. Entah apa itu.

Dan yang semakin memancing emosi Reza, Tiwi dengan bahagia menceritakan perasaannya sendiri pada Rama. Yah, ia menyukai sahabat Reza tersebut. Bahkan tanpa basa-basi, memintanya untuk menjadi penghubung antara dirinya dan cowok itu. Membuat Reza hampir bunuh diri saking sakitnya.

***

Tiwi sedang mengemasi barang-barangnya saat ia merasakan aroma parfum seseorang di belakangnya. Dan tanpa menolehpun, ia bisa tahu bahwa orang itu adalah Reza, senior paskib di sekolahnya.

Reza lalu duduk di bangku yang terletak di hadapan Tiwi. Agar lebih leluasa memandangi cewek mungil tersebut. “Gue liat, lo udah akrab banget sama Rama. Jadi kayaknya lo udah gak butuh bantuan gue buat pedekate sama dia, kan?” tanyanya kemudian.

Tiwi sontak menghentikan aktifitasnya. Dengan kedua alis yang bertaut, ia bertanya, “Kok Kakak jadi gitu, sih? Kakak gak suka yah aku deket-deket sama Kak Rama?” sungut cewek itu. Manja.

“Bukan gitu, Wi. Gue kan cuma bilang kalo kalian udah akrab banget. Kalo Rama juga suka lo, dia pasti langsung nembak lo tanpa bantuan gue.”

“Emang gitu yah, Kak?” tanya Tiwi. Ia duduk di sebelah Reza.

Reza mengangguk pelan.

“Menurut Kakak, Kak Rama suka sama aku, gak?” Tiwi bertanya lagi.

“Gak tau juga, sih. Cuma kalo ngeliat gelagat Rama yang udah akrab sama lo, kayaknya kemungkinan besar dia juga suka sama lo. Rama kan orangnya cuek, dia juga gak gampang deket sama orang baru. Jadi karna keliatannya kalian udah deket, berarti dia juga nyaman sama lo,” jelas Reza.

Senyum Tiwi mengembang. Membuat mata dan wajahnya kembali bersinar. Cerah. Secerah jepitan kupu-kupu berwarna kuning yang melekat di rambut sebahu miliknya. “Kalo bener kayak gitu, aku bahagia banget deh, Kak. Berarti aku gak bertepuk sebelah tangan, kan?”

Reza ikut tersenyum. Sekilas. Menikmati wajah cewek yang sangat bahagia tersebut. Walaupun bukan karena dirinya.

“Oh, iya. Kakak jangan lupa bikinin aku puisi, ya! Soalnya besok udah harus dikumpul,” Tiwi mengingatkan.

Beberapa hari yang lalu, ia mendapat tugas dari sang guru Bahasa Indonesia untuk membuat puisi bertemakan cinta pertama. Dan karena Reza memang mahir dalam berkata-kata dengan majas yang indah dan romantis, ia pun dengan senang hati meminta pertolongannya.

“Iya, gue inget. Ntar malem gue sms-in ke hape lo, deh.”

***

Dalam gulita
Ku dengarkan bisikan kalbu
Sayup-sayup memecah lamun
Menggugah hati
Membuka gerbang pikiran
Membiarkan rasa itu ada

Ku tak peduli siapa dirinya
Ku tak peduli untuk siapa hatinya
Ku tak peduli rasa ini akan terbalas
Yang ku peduli, hanya pengungkapan rasa ini

Ku tak mengerti sejak kapan rasa ini ada
Ku tak mengerti mengapa rasa ini ada
Yang ku mengerti hanya...

Aku mencintainya
Aku menyayanginya
Aku membutuhkannya

Biarkan rasa ini mengalir
Biarkan rasa ini bergema
Biarkan rasa ini menghiasi hatiku
Hingga ku tak mampu lagi memiliki jiwaku

            Reza menghela nafas panjang sambil menunggui pesan singkatnya terkirim ke handphone Tiwi. Ia baru saja mengungkapkan perasaannya. Lewat sebentuk puisi yang baru saja dibuatnya dari lubuk hati paling dalam. Dengan segenap perasaan. Berharap Tiwi mengerti akan isi hatinya selama ini.

***

            “Awan?”

“Langit!”

“Bunga?”

“Kumbang!”

Tiwi tertawa melihat ekspresi Reza yang terlihat antusias menjawab pertanyaan-pertanyaannya sedari tadi. Mereka berdua sedang bermain ‘cocokkan kata’. Jadi, setiap Tiwi mengajukan satu kata, Reza harus membalasnya dengan kata lain yang berhubungan dekat dengan kata tersebut tanpa sempat berpikir lama.

Tiwi menggerak-gerakkan matanya dengan lucu. Mencoba mencari kata lain yang lebih menarik. Lalu... “Cinta pertama?”

“ELO!”

Deg! Reza langsung menutup mulutnya. Jawaban spontan darinya tadi kontan membuat mata Tiwi membulat. Mulut cewek itu juga menganga maksimal. Kelihatan shock.

“Maksudnya, Kak?” tanya Tiwi. Masih dalam kekagetan yang luar biasa.

Reza menarik nafas panjang. Lalu menghembuskannya. Kuat-kuat. Berusaha menormalkan detak jantungnya yang meningkat dua kali lipat. Kemudian tersenyum manis. “Iya, kamu..”

Tiwi terdiam. Tidak tahu harus membalas bagaimana.

“Lo itu.. Cinta pertama gue,” ucap Reza. Lagi.

“Serius, Kak?” Kedua alis Tiwi masih menyatu.

Reza mengangguk. Masih tersenyum.

“Kok bisa? Sejak kapan?”

“Gak tau juga,” balas Reza. “Lo udah baca puisi yang gue kirimin semalem, kan?” sambungnya. Sambil menatap langit sore itu. Di tepi lapangan upacara SMP Negeri 8.

Kali ini, Tiwi yang mengangguk. “Tadi udah diperiksa sama gurunya. Beliau bilang, puisiku bagus banget. Aku dapet nilai A+, loh. Padahal kan itu bukan puisiku. Hehe..”

Reza ikut tertawa pelan. “Kalo lo baca puisi itu baik-baik, sebenarnya itu ungkapan hati gue buat lo.”

Tiwi kembali terdiam. Mematung. Seperti sedang mengingat-ingat isi puisi yang dikirimkan Reza kepadanya semalam.

“Kalo lo nanya sejak kapan gue suka sama lo, jawabannya ada di puisi gue, kok. Gue gak tau sejak kapan perasaan ini muncul,” ujar Reza. Memecah keheningan. “Makanya beberapa hari yang lalu gue bilang kalo gue gak bisa ngebantuin lo deket sama Rama lagi. Karna setiap gue ngeliat kalian barengan, gue ngerasa sakit. Di sini..” Ia menunjuk dadanya sendiri.

Tiwi bergeming. Ia menatap mata teduh milik Reza. Dalam. “Kenapa Kakak baru ngomong sekarang? Bukannya kita udah kenal satu tahun lebih?” tanyanya.

“Gue juga gak tau, Wi. Gue baru nyadar pas lo bilang kalo lo suka sama Rama. Apalagi pas kalian deket, gue gak sanggup ngeliat itu semua.”

Cewek mungil tersebut memainkan kesepuluh jarinya. Masih memilih diam. Tidak berani menatap mata cowok di sebelahnya.

“Mungkin karna gue baru ngerasain perasaan kayak gini sekarang, makanya gue belum ngerti ini perasaan macem apa. Gue baru tau pas lo udah deket sama Rama. Kalo gue.. Cemburu. Dan itu artinya, gue suka sama lo.”

Tiwi menoleh. Memberanikan diri menatap cowok itu. Cowok dengan pandangan teduh, senyum menenangkan, tubuh tegap, dan aroma parfum yang khas. Wangi. “Kakak mau tau sesuatu, gak?”

Dahi Reza berkerut. Namun akhirnya, ia mengangguk juga.

“Sebenarnya, sejak Kakak dateng ke sekolah ini, aku udah suka sama Kakak. Kakak itu.. Cinta pertamaku juga,” lirihnya. Seraya menunduk. “Cuma aku gak pernah berani deket sama Kakak. Aku takut sakit hati. Apalagi banyak temenku yang juga suka sama Kakak.”

“Serius?” seru Reza. Tidak percaya.

Tiwi mengangguk perlahan. Tetap menunduk. Menyembunyikan wajahnya. “Tapi lama-kelamaan, pas aku udah deket sama Kakak, perasaan ini berubah. Aku udah gak berharap buat jadi pacar Kakak. Karna menurutku, Kakak udah terlanjur bikin aku nyaman sebagai adik selama ini. Aku udah gak berharap lebih lagi.”

Reza yang awalnya sempat melambung mendengar pengakuan cewek itu, langsung tertegun. Sekarang giliran ia yang menunduk.

“Makanya tadi aku nanya, kenapa Kakak ngomong ini sekarang. Coba aja dari dulu, aku gak mungkin berpikir dua kali buat bales perasaan Kakak ini. Tapi sekarang, aku bener-bener udah nganggep Kakak sebagai saudara kandungku sendiri. Gak lebih.”

Reza terpaku. Ia menghela nafas panjang. Menenangkan hatinya yang saat ini benar-benar sakit. Ada perasaan menyesal karena ia sudah berani mengutarakan perasaannya tersebut. Apalagi ia sendiri tahu bahwa Tiwi menyukai Rama, sahabatnya.

Okay, no problem kok. Gue cuma mau ngasih tau lo perasaan gue yang sebenarnya. Gue gak nuntut apapun. Gue kan tau kalo lo suka sama Rama,” ucap Reza akhirnya. Ia berusaha sekuat tenaga melengkungkan sudut bibirnya. Mencoba terlihat tegar di hadapan cewek ini.

“Maaf ya, Kak.” Tiwi ikut tersenyum. “Lagian, aku juga baru aja jadian sama Kak Rama. Semalem.”

Reza tersentak. Jantungnya kembali berdebar tidak karuan. Perasaan sakit itu menghimpit dadanya lagi. Namun sesaat kemudian, ia mengangguk. Mencoba menerima semuanya dengan lapang dada. Lalu membelai rambut Tiwi. Lembut. Penuh rasa sayang. “Gue juga minta maaf. Gue terlambat ngasih tau lo. Gue emang bego, sih.”

“Aku tau kok kalo Kakak cowok yang baik. Kakak pasti dapet cewek yang terbaik,” balas Tiwi. Tulus. Sesekali, ia memejamkan matanya saat sentuhan Reza terasa menenangkan. “Kalo Kakak udah ngerasa sayang sama cewek, Kakak harus cepet nembak dia, ya! Jangan terlambat lagi. Kasian ceweknya kalo disuruh nunggu.”

Cowok itu kembali tersenyum. “Walaupun lo cinta pertama gue dan gue cinta pertama lo, gue yakin. Siapapun yang jadi cinta terakhir kita berdua, itu pasti yang terbaik buat kehidupan kita di masa depan. Iya, kan?”

“Pastinya, dooong!” sahut Tiwi. Wajahnya yang tadi terlihat sendu berubah ceria. Seperti sedia kala.

Mereka berdua lalu menghabiskan sore itu dengan perasaan yang lebih plong. Lepas. Bebas dari segala macam perasaan yang dipendam selama ini. Dan intinya, mereka berdua sedang mencoba bahagia dengan kehidupan masing-masing. Tiwi yang sedang menjalani hubungan dengan Rama di usianya yang masih belia, berharap Rama-lah yang terakhir.

Sedangkan Reza yang harus mencari cinta terakhirnya. Entah dimana dan kapan datangnya. Yang jelas, ia tidak mau terlambat mengakui rasa cintanya lagi. Cukup sekali saja. Dan itu untuk cinta pertamanya. Prastiwi Hardianto.


Yang 'Ku Rasa

Dalam gulita
Ku dengarkan bisikan kalbu
Sayup-sayup memecah lamun

Menggugah hati
Membuka gerbang pikiran
Membiarkan rasa itu ada

Ku tak peduli siapa dirinya
Ku tak peduli untuk siapa hatinya
Ku tak peduli rasa ini akan terbalas
Yang ku peduli hanya pengungkapan rasa ini

Ku tak mengerti sejak kapan rasa ini ada
Ku tak mengapa rasa ini ada
Yang ku mengerti, hanya...

Ku mencintainya
Ku menyayanginya
Ku membutuhkannya

Biarkan rasa ini mengalir
Biarkan rasa ini bergema
Biarkan rasa ini menghiasi hatiku
Hingga ku tak mampu lagi memiliki jiwaku



Created by: Kak Resa

Jumat, 19 Oktober 2012

Untukmu, yang Memberi Harapan

Kau adalah sumber harapan
Muncul tiba-tiba, ciptakan asa
Aku tak percaya
Kau tlah kuasai angan

Entah kau yg mengumbar
Atau aku yg terlalu berharap
Yang jelas, ini semua karenamu, dan sejak kehadiranmu

Kau tebarkan perhatian
Kau janjikan rasa nyaman
Kau memancing bahagia
Namun kau pula alasan duka

Aku mencintaimu, sejak kedatanganmu
Aku menyayangimu, sejak kau tawarkan rindu
Aku membutuhkanmu, sejak aku haus akan sosokmu

Bisakah kau tatap aku, korban perlakuanmu?
Bisakah kau sadari kehadiranku yg telah termakan bujuk rayumu?
Bisakah?

Yah, aku.
Aku yang tak pernah mengharapkanmu sebelumnya
Aku yang tak pernah menyangka kau hadir tiba-tiba, tawarkan asa

Dan aku pun terjebak di dalamnya
Hingga sekarang.

Kamis, 18 Oktober 2012

Hanya Aku

“Sumpah, ini kado terindah sepanjang hari ulang tahunku seumur hidup. Lulus di universitas negeri terbaik di kota ini. Apalagi di Fakultas dan jurusan yang paling diidam-idamkan oleh hampir semua orang yang berniat mendaftar SNMPTN. Yah, Fakultas Kedokteran. Siapa yang tidak bangga? Jadi tidak salah kan kalau aku sebahagia ini? Tidak terlalu berlebihan, kan?”

            Aku meletakkan boneka monyet kesayanganku itu kembali ke atas meja di samping tempat tidurku setelah puas berbicara dengannya. Tidak, aku tidak gila! Aku hanya sangat menyayanginya.



            Boneka itu adalah salah satu pemberian seseorang yang sangat berarti di hidupku. Seseorang yang selama ini memberikanku semangat untuk terus berjuang agar diterima di universitas dan fakultas tujuanku. Seseorang yang sudah tiga tahun terakhir ini mewarnai hari-hariku. Sejak jaman aku masih mengenakan seragam putih abu-abu hingga sekarang. Saat aku mulai mengecap mimpi besarku sebagai calon dokter.

            Namanya Haykal Darmawan. Dia seniorku semasa SMA dulu. Saat ini, ia juga sedang menikmati bangku kuliah di Fakultas Hukum. Universitas yang sama denganku. Ah, betapa bahagianya aku kembali dipertemukan dengannya dalam satu tempat menuntut ilmu selama beberapa tahun ke depan.

            Kalau kalian mengira dia itu pacarku, pasti kalian akan salut dengan hubungan kami yang sudah berjalan tiga tahun ini. Iya, kan? Tapi kalian salah. Kami tidak dalam jalinan kasih seperti itu. Tidak pernah. Belum pernah, lebih tepatnya. Aku hanya seorang junior dan dia tetap seniorku. Dalam kata lain, kami hanya layaknya kakak-beradik.

            Mengapa aku berkata demikian? Bukan karena aku tidak mencintainya. Bukan. Aku bahkan sangaaat mencintainya. Lebih dari yang orang-orang tahu. Tapi sayangnya, dia tidak pernah menunjukkan tanda-tanda balik mencintaiku. Kecuali boneka monyet kesayangku yang kunamai Hanyet itu –singkatan dari namanya, Haykal Monyet– tidak masuk hitungan. Kenapa? Karena boneka pemberiannya tersebut memeluk bantal hati bertuliskan ‘I Love You’ di dadanya. Bolehkah hal itu kusebut sebuah ‘tanda’ darinya?

            Dia yang selalu menemaniku setiap saat dengan pesan singkat atau telephone berisi segala macam perhatian yang membuatku melambung tinggi. Dia yang melindungiku dari tindakan bully senior-senior. Dia yang mengenalkanku kepada seluruh anggota keluarganya. Dan dia yang setia mengantar-jemputku ke sekolah, bahkan kemanapun. Hanya dia yang bisa merebut hatiku sejak pertama aku melihatnya di tengah-tengah senior saat hari pertama MOS.

            Dia. Kak Haykal. Orang pertama yang membuatku hampir gila saat ia tiba-tiba menghilang selama dua minggu dan muncul dengan kejutan ulang tahunku bersama teman-teman dekatku. Orang pertama yang kucari di sekolah saat jam istirahat hanya untuk memberikannya bekal yang kubuat sendiri khusus untuknya. Orang pertama yang dipercayai kedua orangtuaku untuk membantu menjagaku selama di sekolah. Dan orang pertama yang telah berani merebut semua rasa cintaku.

            Aku benar-benar mencintainya. Dengan seluruh perasaan yang kumiliki. Di setiap detak jantung dan helaan nafas. Walau sampai sekarang dia bahkan tidak pernah memintaku menjadi pacarnya. Yang jelas, dia selalu ada di sisiku. Begitupun diriku terhadapnya.

            Aku mengingat sebuah kejadian saat kami masih sekolah dulu.

***

            “Laraaas, Haykal nyariin, nih!” sorak Sammy, teman sekelasku sekaligus teman Kak Haykal. Walaupun dia masih kelas XI, tapi teman-temannya memang rata-rata senior kelas XII. Mungkin karena dia anak basket dan lumayan tenar juga di sekolah ini. Maklum, dia sangat ganteng. Apalagi anak basket. Tapi menurutku, Kak Haykal tetap tidak ada duanya.

            Aku melangkah menuju pintu masuk kelasku. Kemudian menemukan wajah Kak Haykal sedang tersenyum manis di sana. “Ada apa, Kak?” tanyaku. Menghadap ke arahnya dengan sedikit mendongakkan kepalaku. Maklum, tinggiku hanya sebatas dadanya.

            “Aku laper. Belum sarapan. Temenin, dong!” balasnya. Ia menyetel wajah memelas. Ekspresi yang tidak pernah bisa membuatku berkata tidak padanya. Ia memang sangat pintar mempermainkan hatiku.

            “Kenapa gak sama temen-temen Kakak, sih?” Aku mencoba mengelak. Rambut sebahu milikku ikut bergoyang saat menggeleng.

“Mau ditemenin sama kamu ajaaaa,” rengeknya.

Akhirnya, kepalaku mengangguk. Malas berdebat sementara puluhan pasang mata sedang memandang kami dengan tatapan menyelidik. Aku paling tidak suka menjadi objek perhatian, apalagi pembicaraan orang-orang di sekolah ini. Apa salahnya ngobrol sama senior di jam istirahat?

Kak Haykal langsung menarik tanganku dengan senang. Menggenggamnya erat. Aku tersenyum lebar sepanjang perjalanan ke kantin kelas XII. Yah, aku selalu ke kantin senior tersebut setiap makan dengannya. Dia tidak pernah betah makan di kantin angkatanku karena tidak mengenal siapapun katanya. Awalnya, aku lumayan risih dengan tatapan senior-senior di sana. Bahkan, aku kadang nyaris di-bully. Tapi Kak Haykal selalu pasang badan untuk melindungiku. Teman-teman dekatnya pun kadang juga turun tangan membuatku merasa nyaman di tengah mereka. Aku semakin bahagia diperlakukan sedemikian rupa.

            Hingga suatu hari, Chita –teman sebangkuku– menanyakan sesuatu yang memang selalu menjadi pertanyaanku selama ini.

            “Kamu sama Kak Haykal pacaran atau enggak, sih? Kemana-mana udah kayak amplop sama prangko. Tapi sekalinya ditanyain, jawabannya ‘cuma kakak-adik’. Aneh banget, tau gak? Kenapa gak pacaran aja, coba? Kan sama-sama single ini,” cerocosnya.

            Aku memilih bergeming. Tertegun dengan pertanyaan yang begitu menusuk tersebut. Membuatku kembali teringat tentang status hubunganku dengan Kak Haykal yang memang tidak pernah berkembang itu. Tetap sebagai seorang kakak dan adik. Senior dan junior. Walaupun aku selalu berdoa supaya dia memintaku menjadi pacarnya. Siapa yang tahan dengan hubungan yang tidak jelas seperti ini? Tentu tidak ada.

            Sampai akhirnya, Kak Haykal lulus dan kuliah. Aku sempat khawatir jika di kampus barunya ia akan menemukan sosok baru dan menggantikanku di hari-harinya. Aku belum siap. Tidak akan pernah siap untuk hal itu. Tapi sepertinya tidak. Karena ia tetap menanyakan kabarku di sela-sela kegiatannya. Tetap mengantar dan menjemputku ke sekolah. Tetap berkunjung ke rumahku untuk bertemu kedua orangtuaku. Tetap mengajakku ke rumahnya untuk bertemu keluarganya dan bermain dengan keponakannya yang lucu-lucu. Tidak ada yang berubah. Kecuali dirinya yang sudah menjadi seorang mahasiswa.

***

            Oh, iya. Aku melupakan sesuatu. Sesuatu yang membuatku sempat frustasi di semester terakhir masa SMA-ku. Saat aku dan Kak Haykal sempat lost contact. Mungkin karena dia terlalu sibuk dengan tugas kuliah –aku juga tak mengerti alasannya hingga sekarang– . Yang jelas, aku sampai keluar dari zona nyamanku ketika Sammy menyatakan cintanya padaku.

            Yah, Sammy. Cowok basket yang paling terkenal di angkatanku dari kelas X hingga kelas XII saat itu. Aku benar-benar tidak percaya. Dan, entah karena terbawa suasana romantis di tepi pantai bertepatan pada malam tahun baru sekaligus liburan kelasku tersebut atau memang karena pesonanya telah menghipnotisku, aku langsung menerimanya sebagai pacarku.

            Berita ‘penembakan’ Sammy menjadi buah bibir selama beberapa pekan di sekolah. Puncaknya, saat Kak Haykal tiba-tiba muncul di jam pulang sekolah setelah sekian lama menghilang dari kehidupanku.

            Buk! Buk! Buk!

            Tiga pukulan bertubi-tubi mendarat di pelipis kiri Sammy. Bogem mentah yang tidak lain dan tidak bukan berasal dari kepalan tangan kanan Kak Haykal.

            “STOP! KAKAK NGAPAIN, SIH?” histerisku. Aku tak tahu mendapat keberanian darimana sampai bisa mendorong tubuh mantan seniorku itu menjauh. Walaupun tidak terlalu membantu karena tubuh kecilku ini pasti tidak ada apa-apanya dibandingkan tubuh menjulang miliknya.

            “LO BRENGSEK! SEJAK KAPAN LO SUKA SAMA LARAS? LO BERANI SAMA GUE? HAH?” teriak Kak Haykal. Ia masih berdiri di tempatnya tadi. Menghadap Sammy yang sudah tersungkur di area parkir.

            Aku menatap ke sekeliling. Kami bertiga sudah berada di tengah lingkaran besar yang dibentuk hampir seluruh siswa-siswi sekolah ini. Astagaaaaa, apa mereka gila? Mengapa tidak ada satupun yang berinisiatif melerai dua lelaki penuh emosi di depanku ini? Mengapa tidak ada yang berniat memanggil guru? Ck! Kenapa kantor guru harus jauh dari parkiran sekolah? Kemana guru-guru kurang kerjaan yang biasanya selalu menghukumku karena terlambat masuk kelas itu?

            Mataku memperhatikan Sammy. Ia menyeka sudut bibirnya yang berdarah. Pasti sakit. Dan bodohnya, kenapa aku hanya membeku di tempatku berdiri ini? Apa aku sudah lupa caranya berjalan?

            “Lo kenapa, Kal? Cemburu?” balas Sammy. Ia menyeringai. Terlihat meremehkan.

            Buk! Kali ini, kaki kanan Kak Haykal yang mendarat dengan sukses di atas perut Sammy.

            “Arrggghhhh...” ringis pacarku itu. Ia bergerak ke kiri-kanan sambil memegangi peruutnya.

            “KAK HAYKAL! STOP IT! PLEASEEE,” pintaku. Bisa ku rasakan air mata yang sedari tadi berusaha ku tahan mati-matian sudah mengalir dengan beraninya. Aku memang tidak pernah tega melihat perkelahian. Apalagi pelaku dan korbannya adalah dua orang yang kusayangi.

            Kak Haykal menoleh ke arahku. Matanya berkilat marah. Demi Tuhan, selama aku mengenalnya, baru kali dia membuatku takut.

            “Lo mau hajar gue sampe matipun gak ada gunanya, Kal. Laras udah jadi cewek gue. Lo gak liat sekarang dia nangis karna lo udah ngelukain cowok yang paling dia sayang?” Sammy masih bisa bersuara di tengah-tengah kesakitannya. Walaupun kedengaran terputus-putus. Aku sudah tidak kuat melihatnya.

            Kak Haykal yang masih berdiri kokoh itu mendekatiku. Nafasnya kedengaran memburu. Ya Tuhan, aku benar-benar takut melihatnya seperti ini dalam jarak dekat.

            Sedetik kemudian, aku seakan kehilangan kesadaran. Jantungku berdebar hebat. Nafasku... Ada yang bisa mengajariku cara bernafas dengan normal seperti sedia kala? Sebelum Kak Haykal menarik tubuhku dan menempelkan bibirnya ke bibir tipisku ini. Membuatku membatu.

            Beberapa saat kemudian, setelah ia selesai dengan lumatannya di bibir milikku yang sebelumnya masih suci tersebut, ia menjauhkan wajahnya. Tapi masih tetap melingkarkan tangan kirinya di pinggangku.

            Ia lalu beralih menatap Sammy. “Sekarang, kalian udah putus. Laras gak pernah sayang sama lo,” tandasnya. Kemudian menarikku untuk berjalan di sampingnya. Mengikuti langkahnya meninggalkan area parkir sekolah dan masuk ke dalam mobilnya.

            Aku benar-benar tidak bisa berkata-kata. Berkali-kali aku mengutuk diriku sendiri. Wanita mana yang tega meninggalkan pacarnya yang sedang babak belur karena ulah lelaki yang sangat dicintainya? Pasti hanya aku. Sekarang aku harus apa? Bagaimana kalau besok aku dimusuhi massal karena telah membuat lelaki paling ganteng di sekolah –setelah Kak Haykal lulus– penuh luka lebam?

            “Siapa yang suruh kamu pacaran sama Sammy? Kenapa kamu gak ngasih tau aku? Ini yang kamu lakuin pas aku lagi sibuk sama tugas-tugas di kampus? Mau kamu apa, sih? Kamu anggep aku apa selama ini?” Kak Haykal membuka pembicaraan. Dengan bentakan.

            “Kakak kenapa? Bukannya Kakak yang bikin aku kayak gini? Kenapa Kakak tiba-tiba ngilang? Aku kesepian, Kak! Apa gak ada sedikitpun waktu buat ngabarin aku?” aku balas membentak. “Oh, iya. Tadi Kakak nanya apa? Aku anggep Kakak apa? Kakak sendiri? Apa hak Kakak mukulin pacarku di depan mataku sendiri? Apa hak Kakak bilang ke Sammy kalo kami putus? Apa hak Kakak ngomong ke Sammy kalo aku gak pernah sayang sama dia? Emang Kakak siapa? Kakak tau apa? Hah?” Bukan hanya membentak, aku sudah berani berteriak sekarang.

            Ia terdiam.

            Ciiiiiiiitttttttttttttt! Rem mendadak dari mobil yang kami kendarai membuatku terhempas ke depan. Nyaris membentur dashbor kalau saja aku tidak memasang seatbelt. Gila! Apa dia bermaksud membunuhku? Oh, tidak. Sepertinya aku terlalu berlebihan.

            Kak Haykal menoleh. Menatapku lekat dengan mata teduhnya. Mata indahnya sudah kembali. Bukan mata berkilat marah seperti tadi lagi. Mungkin aku bisa sedikit bernafas lega sekarang. Apalagi kedua tangannya kini sudah menangkup wajahku. Menyalurkan kehangatan yang membuatku sangat nyaman. Memaksaku untuk terus menatapnya.

            “Mulai sekarang, jangan sekali-kali deket sama cowok lain. Apalagi pacaran. Kalo aku sampe tau, aku gak cuma mukulin dia kayak Sammy. Aku bisa bunuh dia, Ras..” lirihnya. Terlihat meyakinkan.

            Aku menghela nafas panjang. Lalu menarik wajahku dari genggamannya. “Aku gak ngerti apa alasan Kakak ngelakuin semua ini ke aku,” gumamku. Sembari menunduk.

            Kak Haykal kembali menyalakan mesin mobilnya. Lalu melaju meninggalkan tempat kami berhenti secara mendadak beberapa menit yang lalu. Kali ini, dengan kecepatan normal. Tidak membuatku sport jantung lagi.

            “Aku ini Kakak kamu. Jadi turutin aja apa yang aku bilang. Kamu masih sekolah. Belajar yang baik. Jangan pacaran dulu,” balasnya setelah hening cukup lama.

            Aku kontan menoleh ke arahnya yang masih sibuk mengemudi. Mulutku menganga. Mataku? Jangan ditanya lagi. Sudah melotot maksimal. What? Kakak? Kata itu lagi? Dia dengan mudahnya hanya mengatakan hal itu setelah menghajar pacarku habis-habisan, memutuskan hubunganku secara sepihak tanpa meminta persetujuanku dan Sammy, serta MENCIUMKU DI DEPAN UMUM? Apa itu yang dilakukan seorang Kakak hanya karena adiknya pacaran? What the–

***

            “Kamu ngelamunin apa?”

            Deg! Aku tersentak mendengar suara itu sudah hadir di dekatku. Sang tokoh utama dalam lamunan panjangku sore ini. Kak Haykal Darmawan.

            Sudut bibirku terangkat saat mataku betul-betul menemukannya. Sedang duduk bersila di atas kursi empuk di dalam kamarku. Tepat menghadap tempat tidur tempatku duduk bersandar saat ini. Yah, dia memang mendapat akses bebas untuk keluar-masuk semua ruangan di dalam rumahku. Sepertinya Papa dan Mama sudah sangat mempercayainya.

            “Kakak kapan dateng?” tanyaku. Mengalihkan pembicaraan.

            “Yang jelas masih sempet ngeliatin kamu ngelamun. Dari senyam-senyum sendiri, sampe manyun gak jelas,” jawabnya. “Kamu ngelamunin apa, sih?”

            Aku malah meraih Hanyet yang tadi kembali kuletakkan ke meja samping tempat tidur setelah berbicara dengannya. Lalu memeluknya. Erat. Kemudian tersenyum lagi seraya menatapnya dengan kedua mata yang pernah ia puji ini. Dia bilang, dia sangat menyukai mata bulatku. Katanya mataku bisa tersenyum dan berbicara walau mulutku sendiri terkunci.

            “Laras, jawab pertanyaan aku, deh! Jangan malah senyam-senyum terus. Bikin aku ngeri aja,” ia bergidik.

            “Gak pa-pa, kok. Aku cuma lagi nginget kejadian-kejadian pas masih SMA. Dari Kakak masih jadi senior sampe pas Kakak lulus.”

            Ia manggut-manggut. Bibirnya dibentuk menyerupai huruf O. Kelihatan lucu dan menggemaskan. Jemarinya meraih toples berisi keripik kentang, cemilan favoritku yang kuletakkan di dekat sofa. Lalu menikmatinya.

            “Emang ngapain ngelamunin yang dulu-dulu?” tanyanya. Tetap sibuk dengan toples di pangkuannya.

            “Kakak mau tau?”

            Ia mengangguk. Kemudian mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arahku. Tanda tertarik.

            Aku menghela nafas panjang. “Aku cuma lagi mikir. Dari dulu sampe sekarang, kayaknya aku selalu terjebak sama perlakuan Kakak.”

            “Maksudnya?” Kak Haykal menaikkan satu alis. Ia menghentikan aksi makannya. Mungkin saking penasaran dengan topik ini.

            “Yah, terjebak. Aku gak bisa kemana-mana. Sekalinya aku nyoba move on, cowoknya malah jadi korban. Kakak masih inget kan gimana keadaan Sammy waktu itu? Dia masuk rumah sakit. Tulang pipinya geser. Tapi dia malah gak marah sama sekali ke Kakak. Dia baik banget, tau gak! Kakak tuh emang raja tega!” aku meluapkan emosi setahun lalu yang masih membekas di hatiku.

            “Lagian, siapa suruh kamu pacaran sama dia? Udahlah, aku males ngungkit masalah itu. Kan udah kelar juga,” ia memasang ekspresi malas sambil mengibaskan tangannya.

            Aku menatapnya. Menatap lelaki yang sangat kucintai di hadapanku tersebut. Lelaki yang telah memberikan berbagai warna dalam kehidupanku tiga tahun terakhir ini. Hmm, sepertinya kami memang telah lama bersama. Aku bisa menyadari tubuhnya yang semakin menjulang, serta dagu dan bagian di atas bibirnya yang sudah terdapat bekas cukuran. Apalagi rahang tegas dan bibir seksinya itu. Juga mata teduh miliknya. Ah, aku mencintai setiap senti dalam dirinya hingga detik ini.

            “Kenapa sekarang malah ngeliatin aku, sih?” tanyanya. Agak salah tingkah.

            Aku menunduk. Menyembunyikan semburat merah di kedua pipiku yang muncul saat melihat wajahnya. “Aku boleh jujur, gak?”

            “Boleh. Ada apa?” Kak Haykal memainkan bibir Hanyet yang masih dalam pelukanku dengan telunjuknya.

            Ku pandangi wajahnya sejenak. Lalu menghela nafas panjang. “Dari dulu sampe sekarang, aku selalu mikir kalo Kakak cuma mainin perasaan aku.”

            “Maksudnya?” ia memusatkan perhatiannya padaku sekarang. Bukan lagi pada bibir si Hanyet. Kedua alisnya bertaut.

            “Kakak gak ngerasa yah kalo semua sikap Kakak dari SMA malah bikin aku berharap lebih?” Lagi-lagi, aku menghela nafas panjang. Mencoba mengumpulkan keberanian sebelum melanjutkan. “Perhatian, perlindungan, rasa nyaman.. Kakak ngasih semuanya ke aku. Cuma aku. Kakak ngelakuin semua itu seolah-olah aku ini orang yang spesial. Dan setiap aku nanya alasannya, Kakak dengan gampangnya bilang kalo itu karna aku udah kayak adik Kakak sendiri.”

            Kak Haykal bergeming. Sepertinya ia menunggu sampai kalimat-kalimatku benar-benar habis.

            “Kalo aku cuma Kakak anggap adik, buat apa Kakak ngenalin aku ke semua keluarga Kakak? Kenapa Kakak gak nyari pacar aja? Buat apa Kakak ngabisin masa SMA sama aku? Kenapa mesti aku?”

“Kenapa aku gak boleh pacaran sama cowok lain? Kenapa Kakak marah? Bukannya Kakak cuma nganggep aku adik aja? Dan kenapa.. Kenapa Kakak nyuri ciuman pertamaku di depan banyak orang? Kenapa, Kak?” Selesai. Aku sudah menumpahkan semuanya. Dan bisa kupastikan, sebentar lagi pertahananku pasti akan runtuh. Semoga setelah ini, semuanya berjalan sesuai dengan yang kuinginkan. Agar aku tidak merasa sia-sia membongkarnya.

Tiba-tiba, Kak Haykal bangkit dari sofa. Lalu ikut duduk di tepi tempat tidurku. Aku lumayan terkejut dengan aksinya. Apalagi jemarinya kini sudah menari-nari di wajahku. Dan... Ya, Tuhan! Dia mau apa? Kenapa ia mendekatkan wajahnya ke arahku? Apa dia mau... Oh, tidak!

Bodohnya, aku malah memejamkan mata. Tidak berniat melawan. Apalagi berteriak dan semacamnya. Aku seperti pasrah di hadapan Kak Haykal saat ini. Kalaupun dia mau menciumku lagi, aku siap.

Cup! Sebuah kecupan hangat mendarat di... Keningku. Yah, keningku. Membuatku kontan membuka mata. Kemudian menemukan wajahnya yang kini tersenyum manis.

“Maaf,” bisiknya. “Kalo kamu tanya alasanku ngelakuin itu semua, aku sendiri gak tau jawabannya, Ras. I do it, because I want.

Apa-apaan ini? Kak Haykal melakukannya hanya untuk memuaskan keinginannya? Lewat aku? “Aku gak ngerti,” balasku. Meminta penjelasan.

Ia membelai rambut panjangku. Kemudian menarik kepalaku untuk menempel di dada bidangnya. “Kalo kamu gak ngerti, lebih-lebih aku. Aku juga gak ngerti sama sikap aku ini. Dari pertama aku ngeliat kamu di sekolah, aku cuma mau deket sama kamu. Asal kamu tau, Ras. Selama ini, aku bahagia banget kalo ada kamu. Kamu selalu bisa bikin aku seneng sama perhatian dan tingkah kamu. Tapi sampe sekarang aku masih bingung.”

Kali ini, giliran kedua alisku yang menyatu. Dengan dahi berlipat-lipat.

“Iya, aku bingung. Aku sendiri gak tau perasaanku itu apa. Aku gak mau jauh dari kamu, tapi aku juga gak bisa pacaran sama kamu. Makanya, dari dulu sampe sekarang, aku cuma nganggep kamu adik. Karna dengan cara kayak gini, aku bisa deket sama kamu. Tanpa perlu nyakitin kamu.”

Deg! Dadaku sudah sesak. Bisa kurasakan wajahku telah basah oleh air mata. Yang barusan itu... Pengakuan. Yah, setelah sekian tahun, akhirnya dia berani mengungkapkannya juga.

Selama ini, aku hanya berharap lebih. Hanya aku yang mencintainya. Hanya aku yang terlalu menginginkan kelanjutan hubungan ini. Hanya aku. Hanya aku. Hanya aku...

“Laras, kamu nangis?” Kak Haykal melepaskan pelukannya. Lalu menatapku. Lekat. Ia terlihat... Hmm, khawatir? Tak tahukah dia bahwa dialah penyebab tangisku ini?

Namun kenyataannya, aku hanya menggeleng. Menyeka air mataku, kemudian tersenyum tipis. “Enggak, kok. Aku cuma terharu. Seneng aja, bisa punya Kakak yang perhatian banget kayak kamu,” dustaku.

Ia membelai rambutku. Lagi. Dan membawaku kembali ke dalam pelukannya.

Baiklah, sepertinya aku harus mencoba menerima kenyataan. Biar patah hati ini kurasakan sendiri. Hanya aku yang boleh tahu. Hanya aku.

Hujanpun Mengerti Perasaanku #CeritaMiniWithYou

“Apa kau ingin terus di sini?”

Kepalaku mengangguk di atas bahunya.

“Aku akan meninggalkanmu malam ini. Apa kau tak ingin menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan seperti biasanya?”

“Tidak. Aku hanya ingin bersandar di bahumu. Beratapkan langit mendung. Salahkah?”

Ia menggeleng. Lalu mengusap kepalaku. “Aku pasti akan rindu saat kau bersandar di bahuku penuh manja.”

“Aku juga akan merindukan kebiasaanmu mengusap kepalaku penuh sayang.”

Gerimis turun membingkai kebersamaan terakhir kami.

“Lihat, bahkan hujanpun mengerti perasaanku.” Aku mendongak. Menatapnya dalam.

Ia tersenyum. Lalu meraihku ke dalam dekapnya. “Aku mencintaimu.” Itulah kalimat terakhir yang ku dengar sebelum ia mengecup bibirku. Di bawah guyuran hujan.