Reza menatap seorang cewek mungil yang
berlarian ke arahnya. Cewek yang masih berseragam putih-biru tersebut tersenyum
lebar. Bahagia. Dengan dua botol minuman di kedua tangannya.
“Nih..” ucapnya
seraya memberikan satu botol minuman rasa jeruk dari tangan kanannya ke arah
Reza. Masih dengan wajah sumringah.
Reza meraih
botol tersebut. Membuka penutupnya, lalu meneguknya. Mengalirkan sensasi dingin
ke seluruh pembuluh darah di dalam tubuhnya. “Kamu darimana?” tanyanya. Setelah
menutup kembali botol minuman miliknya.
“Dari kantin,”
jawab cewek mungil berambut sebahu yang bernama Tiwi itu. “Karna Kakak udah
denger curhatanku tadi, jadi aku bawain minuman. Sebagai tanda terima kasih
gitu, deh..” lanjutnya.
Reza cuma
tersenyum. Kemudian kembali memandangi gadis lucu dengan dua bola mata bulat
yang selalu tersenyum ke arahnya. Yang selalu ceria, riang, juga tidak pernah
mengeluh. Dan ia... Menyukainya. Namun sepertinya takdir berkehendak lain bagi
mereka.
“Trus, kira-kira
Kak Rama kapan ke sini lagi?” tanya Tiwi. Ia menatap ke depan. Ke tengah
lapangan sekolahnya yang sudah dipenuhi junior-juniornya di ekskul paskibra
yang sedang sibuk latihan baris-berbaris dipimpin Trisna.
Reza menatapnya.
Terdiam sesaat sebelum menjawab, “Mungkin besok atau lusa. Soalnya dia lagi
ngurusin masalah pemindahjabatan Osis di sekolahan. Kan udah kelas tiga juga.”
Tiwi
manggut-manggut. “Tapi Kakak janji kan mau nyuruh dia ngelatih di sekolah ini
lagi? Aku kan kangen. Hehe..”
Reza tersenyum
tipis. Lalu mengangguk.
***
Saat ini, Tiwi
masih tercatat sebagai siswi kelas IX SMP
Negeri 8 di salah satu kota besar di Indonesia. Sedangkan Reza dan Rama sudah
kelas XII SMA Negeri 5 di kota yang sama. Bahkan, sekolah mereka pun berdekatan.
Reza dan Tiwi dipertemukan
setahun yang lalu melalui kegiatan ekskul paskibra di SMPN 8 tersebut. Cowok
yang saat itu baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai pengibar bendera di
istana negara diminta oleh pembina paskib sekolah Tiwi untuk ikut melatih di
sekolahnya. Dan dengan senang hati, ia menerimanya.
Setahun kemudian
–tepatnya beberapa bulan yang lalu–, Rama muncul. Ia juga baru mengibarkan
bendera di istana negara sebagai Paskibraka Nasional saat itu. Dan pembina
paskibra di sekolah Tiwi pun kembali merekrutnya sebagai pelatih. Sama seperti
Reza, ia juga menerimanya.
Reza. Cowok
dengan tubuh tegap, senyum menenangkan, mata teduh, dan sikap ramah. Bahkan di
lapanganpun, cowok itu tidak pernah menunjukkan tanda-tanda tegas. Hanya
terkesan berwibawa.
Berbeda dengan
Rama yang memiliki mata tajam dan selalu bisa mengunci siapapun hanya dalam
satu tatapan penuh arti. Dengan tubuh
tegap yang tidak jauh berbeda dengan Reza. Namun Rama lebih dingin. Juga tegas.
***
Reza memandangi
Tiwi yang sedang tertawa riang di samping Rama. Kedua orang itu duduk di pojok
lapangan. Berlindung dari sengatan sinar matahari. Tempat favoritnya dan Tiwi
satu tahun yang lalu. Saat bayangan cowok yang juga sahabatnya itu belum muncul
di tengah-tengah mereka.
Rama juga ikut
tertawa. Tawa lepas yang sampai saat ini baru pertama kali dilihatnya. Selama
hampir tiga tahun bersahabat sejak masuk SMA, Rama jarang sekali tersenyum.
Apalagi tertawa. Palingan hanya tawa tipis yang bertahan sekian detik. Tidak
seperti sekarang. Di dekat Tiwi.
Entah kapan
datangnya, perasaan itu hadir di hati Reza. Setiap melihat wajah Tiwi, dengan
mata bulatnya dan senyum lebarnya yang tidak pernah luntur tersebut, jantungnya
pasti berdebar tak menentu. Mendengar suaranya yang terkesan cempreng, malah
sangat merdu di telinganya. Mencium aroma khas tubuh mungilnyapun, membuat
nafasnya menjadi tercekat. Apalagi melihatnya duduk berdua dengan sahabatnya
sendiri. Ada perasaan aneh yang berkecamuk di dadanya. Menuntut untuk diluapkan
dengan emosi atau sekedar adu otot. Entah apa itu.
Dan yang semakin
memancing emosi Reza, Tiwi dengan bahagia menceritakan perasaannya sendiri pada
Rama. Yah, ia menyukai sahabat Reza tersebut. Bahkan tanpa basa-basi,
memintanya untuk menjadi penghubung antara dirinya dan cowok itu. Membuat Reza
hampir bunuh diri saking sakitnya.
***
Tiwi sedang
mengemasi barang-barangnya saat ia merasakan aroma parfum seseorang di
belakangnya. Dan tanpa menolehpun, ia bisa tahu bahwa orang itu adalah Reza,
senior paskib di sekolahnya.
Reza lalu duduk
di bangku yang terletak di hadapan Tiwi. Agar lebih leluasa memandangi cewek
mungil tersebut. “Gue liat, lo udah akrab banget sama Rama. Jadi kayaknya lo
udah gak butuh bantuan gue buat pedekate sama dia, kan?” tanyanya kemudian.
Tiwi sontak
menghentikan aktifitasnya. Dengan kedua alis yang bertaut, ia bertanya, “Kok
Kakak jadi gitu, sih? Kakak gak suka yah aku deket-deket sama Kak Rama?” sungut
cewek itu. Manja.
“Bukan gitu, Wi.
Gue kan cuma bilang kalo kalian udah akrab banget. Kalo Rama juga suka lo, dia
pasti langsung nembak lo tanpa bantuan gue.”
“Emang gitu yah,
Kak?” tanya Tiwi. Ia duduk di sebelah Reza.
Reza mengangguk
pelan.
“Menurut Kakak,
Kak Rama suka sama aku, gak?” Tiwi bertanya lagi.
“Gak tau juga,
sih. Cuma kalo ngeliat gelagat Rama yang udah akrab sama lo, kayaknya
kemungkinan besar dia juga suka sama lo. Rama kan orangnya cuek, dia juga gak
gampang deket sama orang baru. Jadi karna keliatannya kalian udah deket,
berarti dia juga nyaman sama lo,” jelas Reza.
Senyum Tiwi
mengembang. Membuat mata dan wajahnya kembali bersinar. Cerah. Secerah jepitan
kupu-kupu berwarna kuning yang melekat di rambut sebahu miliknya. “Kalo bener
kayak gitu, aku bahagia banget deh, Kak. Berarti aku gak bertepuk sebelah
tangan, kan?”
Reza ikut
tersenyum. Sekilas. Menikmati wajah cewek yang sangat bahagia tersebut.
Walaupun bukan karena dirinya.
“Oh, iya. Kakak
jangan lupa bikinin aku puisi, ya! Soalnya besok udah harus dikumpul,” Tiwi
mengingatkan.
Beberapa hari
yang lalu, ia mendapat tugas dari sang guru Bahasa Indonesia untuk membuat
puisi bertemakan cinta pertama. Dan karena Reza memang mahir dalam berkata-kata
dengan majas yang indah dan romantis, ia pun dengan senang hati meminta
pertolongannya.
“Iya, gue inget.
Ntar malem gue sms-in ke hape lo, deh.”
***
Dalam
gulita
Ku
dengarkan bisikan kalbu
Sayup-sayup
memecah lamun
Menggugah
hati
Membuka
gerbang pikiran
Membiarkan
rasa itu ada
Ku
tak peduli siapa dirinya
Ku
tak peduli untuk siapa hatinya
Ku
tak peduli rasa ini akan terbalas
Yang
ku peduli, hanya pengungkapan rasa ini
Ku
tak mengerti sejak kapan rasa ini ada
Ku
tak mengerti mengapa rasa ini ada
Yang
ku mengerti hanya...
Aku
mencintainya
Aku
menyayanginya
Aku
membutuhkannya
Biarkan
rasa ini mengalir
Biarkan
rasa ini bergema
Biarkan
rasa ini menghiasi hatiku
Hingga
ku tak mampu lagi memiliki jiwaku
Reza
menghela nafas panjang sambil menunggui pesan singkatnya terkirim ke handphone
Tiwi. Ia baru saja mengungkapkan perasaannya. Lewat sebentuk puisi yang baru
saja dibuatnya dari lubuk hati paling dalam. Dengan segenap perasaan. Berharap
Tiwi mengerti akan isi hatinya selama ini.
***
“Awan?”
“Langit!”
“Bunga?”
“Kumbang!”
Tiwi tertawa melihat
ekspresi Reza yang terlihat antusias menjawab pertanyaan-pertanyaannya sedari
tadi. Mereka berdua sedang bermain ‘cocokkan kata’. Jadi, setiap Tiwi
mengajukan satu kata, Reza harus membalasnya dengan kata lain yang berhubungan
dekat dengan kata tersebut tanpa sempat berpikir lama.
Tiwi
menggerak-gerakkan matanya dengan lucu. Mencoba mencari kata lain yang lebih
menarik. Lalu... “Cinta pertama?”
“ELO!”
Deg! Reza
langsung menutup mulutnya. Jawaban spontan darinya tadi kontan membuat mata
Tiwi membulat. Mulut cewek itu juga menganga maksimal. Kelihatan shock.
“Maksudnya,
Kak?” tanya Tiwi. Masih dalam kekagetan yang luar biasa.
Reza menarik
nafas panjang. Lalu menghembuskannya. Kuat-kuat. Berusaha menormalkan detak
jantungnya yang meningkat dua kali lipat. Kemudian tersenyum manis. “Iya,
kamu..”
Tiwi terdiam.
Tidak tahu harus membalas bagaimana.
“Lo itu.. Cinta pertama
gue,” ucap Reza. Lagi.
“Serius, Kak?”
Kedua alis Tiwi masih menyatu.
Reza mengangguk.
Masih tersenyum.
“Kok bisa? Sejak
kapan?”
“Gak tau juga,”
balas Reza. “Lo udah baca puisi yang gue kirimin semalem, kan?” sambungnya.
Sambil menatap langit sore itu. Di tepi lapangan upacara SMP Negeri 8.
Kali ini, Tiwi
yang mengangguk. “Tadi udah diperiksa sama gurunya. Beliau bilang, puisiku
bagus banget. Aku dapet nilai A+, loh. Padahal kan itu bukan puisiku. Hehe..”
Reza ikut
tertawa pelan. “Kalo lo baca puisi itu baik-baik, sebenarnya itu ungkapan hati
gue buat lo.”
Tiwi kembali
terdiam. Mematung. Seperti sedang mengingat-ingat isi puisi yang dikirimkan
Reza kepadanya semalam.
“Kalo lo nanya
sejak kapan gue suka sama lo, jawabannya ada di puisi gue, kok. Gue gak tau
sejak kapan perasaan ini muncul,” ujar Reza. Memecah keheningan. “Makanya
beberapa hari yang lalu gue bilang kalo gue gak bisa ngebantuin lo deket sama
Rama lagi. Karna setiap gue ngeliat kalian barengan, gue ngerasa sakit. Di
sini..” Ia menunjuk dadanya sendiri.
Tiwi bergeming.
Ia menatap mata teduh milik Reza. Dalam. “Kenapa Kakak baru ngomong sekarang?
Bukannya kita udah kenal satu tahun lebih?” tanyanya.
“Gue juga gak
tau, Wi. Gue baru nyadar pas lo bilang kalo lo suka sama Rama. Apalagi pas
kalian deket, gue gak sanggup ngeliat itu semua.”
Cewek mungil
tersebut memainkan kesepuluh jarinya. Masih memilih diam. Tidak berani menatap
mata cowok di sebelahnya.
“Mungkin karna
gue baru ngerasain perasaan kayak gini sekarang, makanya gue belum ngerti ini
perasaan macem apa. Gue baru tau pas lo udah deket sama Rama. Kalo gue..
Cemburu. Dan itu artinya, gue suka sama lo.”
Tiwi menoleh.
Memberanikan diri menatap cowok itu. Cowok dengan pandangan teduh, senyum
menenangkan, tubuh tegap, dan aroma parfum yang khas. Wangi. “Kakak mau tau
sesuatu, gak?”
Dahi Reza
berkerut. Namun akhirnya, ia mengangguk juga.
“Sebenarnya,
sejak Kakak dateng ke sekolah ini, aku udah suka sama Kakak. Kakak itu.. Cinta
pertamaku juga,” lirihnya. Seraya menunduk. “Cuma aku gak pernah berani deket
sama Kakak. Aku takut sakit hati. Apalagi banyak temenku yang juga suka sama
Kakak.”
“Serius?” seru
Reza. Tidak percaya.
Tiwi mengangguk
perlahan. Tetap menunduk. Menyembunyikan wajahnya. “Tapi lama-kelamaan, pas aku
udah deket sama Kakak, perasaan ini berubah. Aku udah gak berharap buat jadi
pacar Kakak. Karna menurutku, Kakak udah terlanjur bikin aku nyaman sebagai
adik selama ini. Aku udah gak berharap lebih lagi.”
Reza yang
awalnya sempat melambung mendengar pengakuan cewek itu, langsung tertegun.
Sekarang giliran ia yang menunduk.
“Makanya tadi
aku nanya, kenapa Kakak ngomong ini sekarang. Coba aja dari dulu, aku gak
mungkin berpikir dua kali buat bales perasaan Kakak ini. Tapi sekarang, aku
bener-bener udah nganggep Kakak sebagai saudara kandungku sendiri. Gak lebih.”
Reza terpaku. Ia
menghela nafas panjang. Menenangkan hatinya yang saat ini benar-benar sakit. Ada
perasaan menyesal karena ia sudah berani mengutarakan perasaannya tersebut. Apalagi
ia sendiri tahu bahwa Tiwi menyukai Rama, sahabatnya.
“Okay, no problem kok. Gue cuma mau
ngasih tau lo perasaan gue yang sebenarnya. Gue gak nuntut apapun. Gue kan tau
kalo lo suka sama Rama,” ucap Reza akhirnya. Ia berusaha sekuat tenaga
melengkungkan sudut bibirnya. Mencoba terlihat tegar di hadapan cewek ini.
“Maaf ya, Kak.”
Tiwi ikut tersenyum. “Lagian, aku juga baru aja jadian sama Kak Rama. Semalem.”
Reza tersentak.
Jantungnya kembali berdebar tidak karuan. Perasaan sakit itu menghimpit dadanya
lagi. Namun sesaat kemudian, ia mengangguk. Mencoba menerima semuanya dengan
lapang dada. Lalu membelai rambut Tiwi. Lembut. Penuh rasa sayang. “Gue juga
minta maaf. Gue terlambat ngasih tau lo. Gue emang bego, sih.”
“Aku tau kok
kalo Kakak cowok yang baik. Kakak pasti dapet cewek yang terbaik,” balas Tiwi.
Tulus. Sesekali, ia memejamkan matanya saat sentuhan Reza terasa menenangkan. “Kalo
Kakak udah ngerasa sayang sama cewek, Kakak harus cepet nembak dia, ya! Jangan
terlambat lagi. Kasian ceweknya kalo disuruh nunggu.”
Cowok itu
kembali tersenyum. “Walaupun lo cinta pertama gue dan gue cinta pertama lo, gue
yakin. Siapapun yang jadi cinta terakhir kita berdua, itu pasti yang terbaik
buat kehidupan kita di masa depan. Iya, kan?”
“Pastinya,
dooong!” sahut Tiwi. Wajahnya yang tadi terlihat sendu berubah ceria. Seperti sedia
kala.
Mereka berdua
lalu menghabiskan sore itu dengan perasaan yang lebih plong. Lepas. Bebas dari
segala macam perasaan yang dipendam selama ini. Dan intinya, mereka berdua
sedang mencoba bahagia dengan kehidupan masing-masing. Tiwi yang sedang
menjalani hubungan dengan Rama di usianya yang masih belia, berharap Rama-lah
yang terakhir.
Sedangkan Reza
yang harus mencari cinta terakhirnya. Entah dimana dan kapan datangnya. Yang
jelas, ia tidak mau terlambat mengakui rasa cintanya lagi. Cukup sekali saja.
Dan itu untuk cinta pertamanya. Prastiwi Hardianto.