Kamis, 27 Desember 2012

Mother's Day

Makassar, 27 Desember 2012
12:00 am

Betapa bahagia diriku
Menjadi buah hatimu
Betapa bahagia diriku
Berada di dekapanmu

Ibu,
Andai kau tahu
Betapa besar cintaku padamu
Betapa besar sayangku untukmu

Ingin ku ungkapkan
Rasa terima kasih ini padamu
Walau hanya lewat secarik kertas
Dan torehan tinta hitam

Ibu,
Terima kasihku padamu
Bahagiaku karenamu
Cinta kasihku untukmu


Ps: Puisi ini saya buat saat mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar dulu, khusus untuk Mama :')


Mama, terima kasih atas segala macam pengorbananmu selama sembilan belas tahun ini. Terima kasih karena telah membuatku menjadi anak tunggal yang mandiri dan tegar dalam menghadapi cobaan hidup. Aku yang awalnya tidak menyukai sifat tegasmu dalam mendidikku, kini balik menjadi sangat mencintaimu sejak Papa meninggalkan kita. Kau segalanya bagiku, bahkan melebihi nyawaku sendiri. Jika aku sempat menyakitimu, mungkin aku sedang khilaf. Dan terima kasih juga untuk selalu menegurku, dalam cara apapun.
Mama, bisakah kita saling terbuka saja? Aku ingin selalu mendengar keluh kesahmu, bukan malah tinggal diam dan tak tahu apa-apa. Karena aku mencintaimu lebih dari apapun di dunia ini.


Ps: Kalau yang di atas ini #100KataUntukIbu, lomba yang beberapa hari lalu dibuat Gagasmedia *walaupun tidak menang* :')

***

Sebenarnya, ini sudah lewat lima hari dari peringatan Hari Ibu tanggal 22 Desember kemarin. Hanya saja, saya baru punya kesempatan untuk menulisnya. Yah, menulis tentang Ibu.

Membahas Ibu, tidak akan ada habisnya. Media apapun, sebanyak apapun karakter huruf dan spasi yang ia sediakan, takkan cukup untuk menulis apa saja tentang Ibu. Yah, wanita yang rela mempertaruhkan nyawa habis-habisan demi kelahiran kita ke dunia ini. Walaupun kadang balasan kita tidak setimpal dengan apa yang telah diberikannya dari tahun ke tahun. Sejak lahir, bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa, tua, atau bahkan saat kita pergi mendahuluinya.

Saya termasuk sosok yang tidak bisa secara gamblang menunjukkan perhatian dan kasih sayang pada Ibu, atau wanita yang ku sebut Mama pada kenyataannya. Saya tidak pernah mengatakan, "Saya sayang Mama" atau "Saya cinta Mama". Tidak pernah. Hal yang bisa saya lakukan hanya mencium punggung tangannya setiap hendak bepergian, atau dengan setia merawatnya setiap beliau sakit, serta menulis apa saja untuknya. Bukannya hari Ibu itu tidak hanya pada tanggal 22 Desember setiap tahunnya?

Terima kasih pada Allah karena telah menganugerahi saya dengan kemampuan menulis. Karena hanya dengan itulah saya bisa menggambarkan bentuk kasih sayang pada Mama. Walau hanya lewat tulisan, saya sudah senang. Setidaknya saya bisa menunjukkannya, daripada orang lain yang tidak bisa apa-apa untuk membahagiakan orangtua, terutama Mama.

Hai, Mama. Kalau ada kesempatan, baca blog ini boleh kok. I love you, more than you know and more than all of the words in this world ♥

Masih balita


Lebaran 2011

Rabu, 19 Desember 2012

Kok Gue, Sih?

Kok Gue, Sih?




      Yogi memarkirkan mobilnya di pelataran parkir SMA 1. Lalu keluar dari mobil tersebut, diikuti Niken. Sementara di luar, Yeza berdiri sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Kesal.

            “Kalian berdua jahat banget, deh! Kok gak ngejemput gue, sih? Gue kan jadi naik angkot sendiri. Mana panas banget, lagi!” sembur Yeza dengan mulut yang dimonyong-monyongin.

            “Hehe... Sorry, ya. Kita kan mau berduaan aja,” balas Niken dengan senyum menyebalkan.

            “Ih, kok kalian tega banget, sih? Biasanya kan kita selalu bertiga kalo kemana-mana,” Yeza merajuk. Persis anak kecil.

            “Tapi sekarang udah beda, Yez..” kali ini Yogi yang bersuara. “Muaaahhh... Gue sama Niken kan udah jadian. Iya kan, sayang?” sambungnya seraya mengecup mesra kening milik Niken.

            Niken kontan melirik sinis cowok itu. Loh, bukannya gak ada perjanjian mesti ngasih tau Yeza kalo kami udah jadian, kan? Apalagi nyium! Sialan nih Yogi, ngambil kesempatan banget! batinnya.

            Yogi cuma tersenyum melihat Niken. Namun, “Adowww!!!” Sesaat kemudian langsung berganti ringisan saat Niken dengan senang hati menginjak kakinya penuh amarah.

            Yeza pun hanya cengengesan melihat tingkah kedua sahabatnya tersebut. Bener-bener pasangan yang serasi, gumamnya dalam hati.

***

            “Ngapain lo ngajak gue ke sini?” tanya Niken. Saat ini, mereka berdua sedang berada di Kafe Seventeen.

Yang ditanya hanya terdiam. Malah terlihat gelisah. Sedari tadi, kerjaannya cuma menoleh ke kiri-kanan, seakan mencari sesuatu.

“Lo kenapa sih, Yez? Kok jadi aneh kayak gini?” Niken bertanya lagi. Kali ini, dahinya sudah berlipat-lipat saking herannya.

Tiba-tiba Niken merasakan sebuah tangan menggenggam pundaknya. Dan saat ia menoleh, ia menemukan seseorang berkostum tweety di belakangnya.

“Ini... Siapa?” tanya cewek itu lagi. Pandangannya melekat pada sosok Yeza yang kerjaannya cuma diam melulu dari tadi.

Namun belum sempat dijawab oleh Yeza, sosok aneh berkostum tweety tersebut menyodorkan setangkai mawar kuning, sebuah kotak terbungkus kertas kado bergambar tweety, dan sepucuk surat yang juga beraksen kartun burung kesukaannya.

Dengan perasaan agak ragu, Niken pun akhirnya meraih ketiga benda itu dari genggaman sang tweety raksasa di hadapannya. Kemudian, ia mengedarkan pandangannya ke sekitar. Aneh! Kenapa hari ini banyak banget yang jadi aneh, sih? Kesambet alien darimana, coba? Huh!

Niken membuka kotak tersebut perlahan. Jangan-jangan... BOM! Ah, gak mungkin! Gak mungkin! Kepalanya menggeleng mantap. Kotak di depannya sudah berhasil ia buka. Membuatnya menemukan sebuah boneka tweety sedang mengerlingkan mata sambil mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya dengan lidah yang terjulur di dalam sana.

Niken mengerutkan dahinya. Lagi. Lalu kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling Kafe Seventeen. Masih ada Yeza di sebelahnya. Sedangkan si tweety raksasa tadi, lagi menirukan boneka tweety yang masih ada di dalam kotak di depannya. Membentuk huruf V dengan jari tangan kanannya.

“Lo lagi neror gue, ya?” Niken langsung menunjuk Yeza tepat di depan batang hidungnya.

“Apaan sih lo?” Yeza spontan menepis jemari Niken. “Mana ada orang yang neror pake benda-benda yang lo suka? Hah? Kalo lo dapet bom sih iya!”

Niken menatap meja di depannya. Setangkai mawar kuning, sebuah kotak kado dengan boneka tweety di dalamnya, dan... sebuah surat dengan amplop bergambar tweety. Ia pun segera merobek amplop tersebut dan buru-buru membaca isinya.

Gue gak mau banyak ngomong lagi
Gue cuma pengen lo tau, kalo gue udah lama mendem perasaan ini
Perasaan yang... Yah, gue sendiri sempat gak ngerti
Yang gue tau, gue baru nyadar kalo gue sayang sama lo
Bukan! Bukan sayang buat sahabat kayak yang gue pikir selama ini
Tapi lebih. Dan gue pengen lebih dari sahabat
Lo ngerti kan, Ken?
I Love You...
With Love,
Yogi

                Niken menganga. Tidak percaya.

            Yeza terdiam dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.

            Sedangkan sosok berkostum tweety yang masih berdiri di depannya itu kini melepaskan kepala boneka yang melekat di kepalanya sedari tadi.

            Niken langsung shock saat melihat wajah dari balik boneka tersebut. “YOGI?” serunya.

            Yogi tersenyum. Kemudian duduk di depan Niken yang masih kelihatan kaget. “Lo mau nerima cinta gue kan, Ken?” tanya cowok itu sambil menggenggam jemari cewek yang duduk di depannya.

            “KOK GUE, SIH?” seru Niken. Makin tidak mengerti. “Bukannya lo suka sama Yeza?” lanjutnya seraya melirik Yeza yang duduk bersebelahan dengan Yogi.

            Yang dilirik malah ngakak. Mengundang perhatian hampir seisi kafe karena suara cemprengnya. “Ternyata Yogi hebat banget, ya... Lo udah masuk perangkap dia, lagi. Mana mungkin dia suka sama gue? Hahaha...”

            Dahi Niken makin berkerut. Kayanya besok dia bakal keriput lebih cepat. Tapi cuma di daerah dahi gara-gara hari ini.

            “Ceritain, Yez!” perintah Yogi sembari menyenggol siku Yeza yang nangkring di samping siku miliknya.

            “Gini, sebenernya Yogi gak pernah suka sama gue. Dia minta tolong sama lo, itu semua bukan buat nembak gue. Tapi buat pedekate diem-diem. Yah, selama ini kan kalo ada yang terang-terangan suka sama lo, lo pasti jadi jutek dan ngejauhin cowok itu. Iya, kan?” jelas Yeza.

            Niken menerawang. Mencoba mengingat-ingat. “Emang gue kayak gitu, ya?”

            “Yaelah, pake nanya, lagi. Udah, deh. Lupain aja. Sekarang lo jawab aja pertanyaan Yogi. Lo mau gak pacaran sama dia?” goda Yeza sambil melirik nakal ke arah cowok yang duduk di sebelahnya. “Eh, kayaknya gue cuma jadi obat nyamuk deh di sini. Kalo gitu, gue cabut dulu, ya! Byeee!”

            “Dari tadi, kek. Lama amat, sih! Hus... Hus... Sana!!!” Yogi mendorong tubuh Yeza menjauh.

            Yeza cuma pasrah. Walaupun bibirnya manyun.

            “Ken, jadi gimana, nih?” sambung Yogi seraya memperbaiki posisi duduknya.

            “Apanya?” tanya Niken polos. Mukanya memerah.

            “Itu...” Yogi memain-mainkan telunjuk kanan dan telunjuk kiri sambil menunjuk surat yang masih digenggam Niken dengan dagunya.

            Niken ikut melirik ke arah surat yang dipegangnya. “Hm, gimana, ya?”

            Keringat sebiji jagung mengalir di pelipis kanan Yogi. Menunggu kelanjutan kalimat Niken. Gelisah. Sekarang kakinya sendiri pun ia goyang-goyangkan. Tidak bisa diam.

            “Hu’um, deh...” sambung Niken akhirnya. Seraya mengangguk pelan. Kepalanya menunduk. Berusaha menyembunyikan semburat merah di pipinya.

            “Serius? Beneran?” seru Yogi. Ia berdiri dari duduknya.

            Niken mengangguk lagi.

            “Jadi sekarang kita udah resmi, nih? Kita udah pacaran, dong?”

            Niken kembali mengangguk.

            Yogi kontan menarik tangan Niken sampai cewek itu berdiri. Kemudian langsung memeluknya. Erat. Tidak memperdulikan pandangan orang-orang di sekitar mereka.

            Tidak jauh dari tempat kedua orang yang sedang beradegan mesra tersebut, Yeza berdiri sambil menahan tawanya. Tuhkaaan, gitu aja susah banget ngomongnya. Andai gak dicoba, gak bakal jadian tuh anak dua sampe sekarang, gumamnya dalam hati.

Sabtu, 15 Desember 2012

Talk About Our Passion

Semalam, saya mengalami perbincangan *sok* serius bersama salah satu penulis, Mbak @DewiSubrata. Nah, Mbak Dewi ini sangat rajin muncul di tl sambil nge-upload foto yang bikin iler menetes tidak karuan. Yah, dia salah satu penulis yang passion-nya ada pada hal-hal berbau makanan. Ini beberapa fotonya :






Jadi bagaimana? Masih mau puas-puasin ngiler? Intip aja di sini kalo mau lebih lengkapnya ya :)

Awalnya, saya nge-tweet tentang ketidakbisaan dalam hal memasak. Sedangkan beberapa waktu yang lalu, Mbak Dewi baru saja nge-tweet tentang kecintaannya memasak, lalu bisa menulis sehabis itu. Saya sendiri? Hm, sudahlah...
Kemudian, terjadilah perbincangan melalui mention sampai akhirnya pindah ke email tentang masak-memasak, makan-memakan, dan hubungannya pada pekerjaan. 


Jadi, begitulah. Saya menghabiskan waktu semalaman menikmati dua blog milik Mbak Dewi. Blog pertama yang penuh makanan mengharuskan saya menahan nafsu untuk tidak mengoyak-oyak laptop sendiri saking laparnya, yang satunya lagi malah mengaduk-aduk perasaan saya. Mulai dari galau, sampai bahagia. Semuanya lengkap. Sayang, Mbak Dewi gak memperbolehkan untuk menunjukkannya ke khalayak umum. Kalian pasti iri sama saya :D
Setelah itu, saya mulai berpikir. Mbak Dewi memilih masak sebagai passion-nya. Saya? Apa yang saya sukai selain menulis? Makan? Hm, sayangnya saya termasuk orang yang pilih-pilih dalam hal makanan. Masak? Apa itu masak? Saya tidak tahu -_- Lalu, apa?

Rabu, 12 Desember 2012

I Miss You



Makassar, 12 Desember 2012

04.12 pm


Dear you, someone I miss...
Terima kasih karena telah menemaniku semalam. Terima kasih karena telah meluangkan waktu di tengah kesibukanmu hanya untuk memenuhi keinginanku. Terima kasih untuk semuanya, selama ini.

Semalam, setelah kau pulang, aku merasa ada yang berbeda. Baiklah, bukan hanya sekali-dua kali kita mengalami ini. Saat semuanya terasa... asing. Yah, kau berubah. Aku pun *mungkin* juga demikian. Entah karena sudah terjebak waktu terlalu lama, atau mungkin rasa ini yang malah dikikis oleh sang waktu. Aku juga tak tahu.

Masih kuat di ingatanku, ketika kita pertama kali bertemu. Kau sempat mengusap kepalaku saat hendak pergi, dan selalu memanjakanku dengan senyuman ramah. Khas dirimu. Ah, aku sangat bahagia waktu itu. Rasanya, aku ingin mengulangnya lagi. Sekarang, saat aku mulai merindukan kamu yang dulu. Kamu yang dulu setia memanjakanku dengan tawa, atau kasih sayang berlimpah.

Kini, ada yang berubah. Kau tak lagi sehangat dahulu. Kau bahkan gampang panas, membuatku tak tahan berlama-lama berada dalam pelukanmu. Banyak yang membuatku mengernyitkan dahi, heran dengan banyaknya perubahan yang ku dapatkan darimu. Apa aku yang salah, atau memang kau yang benar-benar berubah?

Dear you, kekasihku dua tahun belakangan ini
Apakah kau telah lelah menghadapi perempuan egois sepertiku? Apakah kau telah bosan menghabiskan waktu denganku selama ini? Apakah kau ingin bebas, terlepas dari segala macam permintaan dariku? Apakah kau menginginkan yang lebih baik dariku? Baiklah.

Segala macam cara telah kita lalui. Salah satunya dengan... berpisah. Yah, bisakah kau menghitung sudah berapa kali kita memutuskan hubungan? Pasti tidak. Saking seringnya. Lalu, bagaimana cara yang tepat untuk mengembalikanmu seperti dulu? Yang telah membuatku jatuh cinta itu.

Lewat surat ini, aku hanya ingin memberitahumu. Memberitahu bahwa aku sangat merindukan kamu yang dulu. Tanpa perubahan negatif sedikitpun.

With love,
Someone who missed you.

Sabtu, 08 Desember 2012

Lewat Tulisanmu

“Ngapain kamu senyam-senyum gitu?” tegur Tika. Yang kontan mengganggu kesenangan baruku. Tapi aku memilih tak mengacuhkan cewek tinggi dan cantik itu.

“Kamu stalking di timeline-nya Mas Rivi lagi?” Dia kedengaran shock.

Aku hanya mesem-mesem. Seraya terus melanjutkan aktifitasku.

Tika pun cuma geleng-geleng kepala. Lalu beranjak ke kursi di sebelahku. Menunggu dosen yang akan masuk sekitar satu jam lagi di kelas kami.

Aku merasa beruntung hidup di era ini. Dimana semuanya serba gampang. Yah, sangat gampang. Gak ada pulsa buat nelfon atau nge-sms, terus mau ngobrol sama temen? Tinggal bbm-an, buka facebook, twitter, heello, atau social network yang lain.

            Atau mau curhat? Eh, jangan bilang curhatnya masih di buku diary yang ada gemboknya, ya? Sekarang sudah ada yang namanya blog, loh. Yap, blog.

            Seperti dia. Rivi Abdianto. Yah, dia yang seorang blogger. Sumber inspirasiku dan juga banyak orang di luar sana. Yang suka mengenakan celana pendek dan kemeja atau kaos oblong. Yang hobi pake kacamata. Yang punya bekas luka di bawah mata kanannya dan seorang kucing lucu bernama Kudut, Sundae, dan Picolo. Aku sendiri sudah tidak pernah mendengar kabar tentang Kudut sejak dua kucing selanjutnya hadir. Yang ramah, lucu, serta pemilik senyum paling menawan yang pernah kulihat.



            Aku mengenalnya dari jejaring sosial bernama twitter. Awalnya, aku tidak terlalu ngeh tentang dirinya. Yang aku tau cuma dia itu seorang blogger dengan fans membludak dan teman-temanku pun mengidolakannya.

            Namun lambat-laun, aku iseng menjadi salah satu followers-nya. Mulai menikmati tweet demi tweet dari dia yang muncul di timeline milikku. Yang tidak bisa aku sebut #tweetnyampah seperti tweet lain yang mengotori twitterku. Dan aku... Yah, aku sangat menikmatinya.

            Aku mulai menjadi pengintai saking penasaran dengannya. Mengunjungi blog miliknya tanpa meninggalkan komentar. Membuka timeline twitternya untuk tahu apa saja yang dilakukannya dan tweet-tweet anehnya yang dengan mudahnya mengundang senyuman, ledakan tawa, bahkan air mata. Yah, hanya sekedar menikmati luapan perasaan dan pemikirannya. Tanpa berniat mengusik harinya.

            Aku menyukainya. Hanya lewat tulisan dan obrolan orang-orang yang sudah pernah bertemu dengannya. Dia yang katanya rendah hati, ramah, suka senyum, gak sombong, dan lain sebagainya. Membuatku iri. Kenapa bukan aku yang menceritakan itu ke orang lain? Kenapa bukan aku yang punya kesempatan untuk bertemu dengannya?

            Betapa beruntungnya Tika. Yah, Tika. Sahabat dunia mayaku sejak twitter mempertemukan kami yang notabene adalah sesama loyal reader seorang Rivi Abdianto. Hanya saja, seperti yang aku katakan tadi. Cewek itu lebih beruntung. Ia yang besar di Jakarta dan baru pindah ke Makassar saat lulus SMA karena ayahnya dipindahtugaskan ke kota ini, sudah bertemu Rivi. Bahkan sering bertemu dengan lelaki yang membuatku jatuh cinta itu. Andai aku juga tinggal di sana.

“Mas Rivi itu baiiik banget. Dia gak pernah nganggep kita fans. Dia malah nyebut kita loyal reader, kan? Sekaligus keluarga katanya. Aku baru pertama kali liat orang terkenal yang rendah hati kayak Mas Rivi,” cerita Tika saat kami pertama kali bertemu beberapa bulan yang lalu.

Sounds amazing, right? Aku dan Tika yang awalnya hanya akrab lewat dunia maya jelas saja tidak pernah berpikir bahwa kami akan dipertemukan di dunia nyata. Lewat takdir Tuhan, sekarang kami bahkan sama-sama memilih kuliah di salah satu universitas swasta di Makassar, Fakultas Sastra Inggris.

“Kamu sih enak! Gara-gara jago nulis, Mas Rivi sering ngomentarin postingan blogmu. Lah, aku? Dia bahkan gak pernah bales mentionku selama ini. Nyesek, tau gak!” ucapnya. Membuyarkan lamunanku.

Benar juga. Aku yang mulanya hanya berstatus ‘pengintai gelap’ di blog dan twitter Rivi, mencoba memberanikan diri mengirim link blog milikku yang rata-rata berisi curhatan atau cerita pendek karanganku. Dan beruntungnya, Rivi sudah mengomentari semua postinganku di sana. Entah dengan komentar-komentar nyeleneh hingga kata-kata yang membuatku.. Terharu. Bagaimana tidak? Seorang penulis dan blogger terkenal memiliki waktu untuk berkunjung di blogku yang sangat ‘biasa’.

Layar laptopku masih menunjukkan tanda-tanda loading. Aku pun memilih menoleh dan menatap Tika yang sedang menikmati coki-coki kesukaannya. “Enakan kamu kali, Tik. Kamu udah sering ketemu sama dia. Udah foto bareng berkali-kali, lagi. Aku sampe sekarang cuma ngobrol di dunia maya aja udah histeris minta ampun. Apalagi ketemu, ya..” Aku menerawang. Mencoba membayangkan seorang Rivi Abdianto berdiri di hadapanku. Lengkap dengan senyum menawan miliknya.

Tika tersenyum. Penuh arti. “Ntar aku ajak kamu ke Jakarta, deh. Apa ke Jogja, ya? Dia kan sekarang udah lanjutin kuliah di sana lagi.”

“Serius, Tik?” Aku mengguncangkan tubuhnya yang tinggi dan langsing. Selain karena senang, sepertinya aku juga sedang menunjukkan bentuk rasa iriku padanya.

“Nyantai, woi!” serunya sambil menepis kedua tanganku. Lalu memperbaiki jilbab ungu yang melekat menutupi kepalanya. Sewot.



Aku tertawa menatapnya. Dalam ekspresi marahpun, ia masih terlihat cantik. Dengan tubuh langsing, tinggi, kulit putih, mata bulat berwarna coklat mudanya. Wajahnya mulus. Kalau ada air mata yang menetes, pasti lancar banget. Gak kayak mukaku yang jerawatan ini. Kasian juga air matanya mesti mampir ke jerawat dulu *apasih*.

“Kamu kenapa?” tanya Tika. Mungkin merasa aneh dengan tatapanku.

“Enggak. Aku cuma mikir, apa Mas Rivi gak pernah naksir kamu? Kamu kan udah sering ketemu dia, masa dia gak suka sama kamu? Kamu kan cantik,” ujarku. Tulus.

Gantian Tika yang tertawa. “Ya ampun, Rasti.. Kamu ada-ada aja, deh. Kamu pikir loyal reader-nya Mas Rivi aku doang? Banyak, kali. Dan mereka semua cantik-cantik!”

Aku tertegun. Pandanganku kembali melekat ke layar laptop. Mencari foto-foto terbaru Rivi Abdianto di google. Pikiranku terusik sembari terus menatap wajahnya. Kalau ia memang dikelilingi cewek-cewek cantik melebihi Tika, bagaimana bisa ia melirikku yang tidak ada apa-apanya ini?



***

Aku membolak-balik isi buku catatanku. Sepertinya besok tidak ada tugas yang harus dikumpulkan. Tidak ada kuis. Tidak ada respon. Tidak ada test atau semacamnya. Dan itu artinya, aku bisa online sepuasnya di dunia maya. Tanpa sadar, aku sudah joget-joget di atas tempat tidur. Sembari menunggu modem bekerja dan menyambungkanku ke internet.

Tidak perlu menunggu lama, aku sudah membuka akun twitter milikku. And, guess what! Rivi Abdianto baru saja membuat postingan baru di blognya. Tanpa dipertintah, aku buru-buru menekan link yang muncul di timelineku. Dan segera saja tampilan blognya yang lucu dan unik itu muncul. Lengkap dengan postingan barunya.

Gue... Galau.
Mungkin kalian rada heran sama tweet gue akhir-akhir ini. Bukan mungkin lagi sih, soalnya hampir semua isi mention gue nanyain kenapa tweet-tweet gue mellow banget. Oke, biar kalian semua ngerti dan gak neror gue lagi, jadi gue bakal cerita di sini.
Kalo gue bilang gue lagi jatuh cinta, apa kalian bakal percaya? HAHAHAHAHA *ketawanyesek*. GUE LAGI JATUH CINTA GUYS!!! Apa perlu gue ulang biar lebih dramatis? IYA! GUE LAGI JATUH CINTA!
Ah, gila! Gue baru pertama kali ngerasain jatuh cinta yang nyesek kayak gini. Gue yakin, abis ini gue pasti bakal dibully sama kalian semua. Bodo, deh. Emang gue gak boleh suka sama cewek? *kalo ada yang nyangka cowok, bakal gue mutilasi!*. Gue kan juga cewek normal. Eh, COWOK deng! Capek juga tiap hari cuma ayang-ayangan sama si Kudut mulu.
Abis gue cerita kayak gini, gue yakin kalo loyal reader gue *yang cewek pastinya* pada cemburu. Iya kaaan? Tenang aja, dia belum tentu suka sama gue kok. Gimana mau suka? Ketemu aja gak pernah. Apa perlu dramatisasi lagi pemirsa? IYA! GUE SAMA DIA BELUM PERNAH KETEMUAN SELAMA INI!!! PUAS?
Nyesek, kan? Gue bilang juga apa! Giliran gue jatuh cinta sama cewek, gue sama dia gak pernah ketemu. Kenapa sih Indonesia mesti terbagi-bagi sama lima pulau besar? Kenapa gak satu pulau aja? Gak ngerti perasaan tuna asmara, deh. Sekarang gue tau gimana perasaan korban LDR. Pasti nyesek banget tuh. Gak beda jauh sama gue.
Udahlah. Intinya, gue lagi galau. Silakan ketawain gue sepuasnya! Tapi sebelum itu, pikirin dulu. Buat yang pacaran, yakin si dia nyaman sama hubungan kalian yang berantem gak jelas mulu? Yang masih pedekate, yakin dia serius sama lo kalo gak nembak-nembak sampe sekarang? Dan yang LDR, yakin tuh dia masih setia? Pacaran sekota aja masih bisa punya pacar banyak, apalagi kalo kalian gak pernah ketemu, kan? ;)
HAHAHAHAHAHAHAHA *kali ini ketawa penuh kemenangan* :D

            Setelah membacanya, aku merasa ada yang aneh di dalam dadaku. Sesak. Apa aku... Cemburu? Cemburu pada lelaki yang tidak pernah ku temui karena ia menemukan wanita lain? Oh, no!

Selama ini, tulisan-tulisannya telah membuatku jatuh cinta. Tapi apa aku tidak terlalu cepat menyebut ini... Cinta? Apa mungkin? Apa bisa mencintai seseorang hanya karena tulisannya? Bisakah aku memberi jawaban.. Kenapa tidak? Karena aku sudah merasakannya sekarang.

            Yang aku pernah dengar, kalo kamu cinta sama seseorang, jantungmu akan berdetak super kencang hanya karna mendengar namanya. Mendengar namanya saja. Seperti yang kurasakan sekarang. Pada Rivi Abdianto.

            Perasaanku semakin membuncah saat suatu hari dia memberanikan diri menceritakan latar belakang keluarga dan kehidupan masa lalunya di twitter dan blog. Sebelum akhirnya ia menjadikannya salah satu bagian dalam novel keduanya. Yah, dia menceritakan SEMUANYA. Mulai dari yang terkelam, sampai sisi inspiratifnya. Dari situ, aku merasakan getaran di hatiku ini makin bertambah setiap detik untuknya. Hanya untuk Rivi Abdianto.


***

“Kamu udah baca postingan baru di blognya Mas Rivi?” tanya Tika keesokan harinya.

Aku hanya mengangguk sambil membaca materi mata kuliah selanjutnya. Mengingat pengakuan Rivi bahwa ia mencintai wanita lain, lumayan membuatku patah hati. Walaupun aku sadar, aku hanya satu dari sekian banyak loyal reader-nya yang pastinya akan cemburu berat menerima kenyataan yang sama denganku.

“Kamu ngerasa penasaran gak sih?” tanyanya. Lagi.

Membuatku mengalihkan pandangan dari diktat ke wajah cantiknya. “Penasaran?”

“Iya, penasaran! Rivi bilang kan dia belum pernah ketemuan sama cewek yang bikin dia jatuh cinta ini. Trus, dia kenal darimana, coba? Apa mungkin.. Cewek itu salah satu loyal reader kayak kita?”

Dahiku berkerut. “Sok tau kamu! Bisa aja dia naksir sama artis. Penyanyi, pemain sinetron, pembawa acara, pelawak, apapun itu. Dia mana mungkin naksir sama orang biasa. Dia kan blogger, standup comedian, sama penulis terkenal di Indonesia.” Aku kembali membaca-baca isi bukuku.

Nothing impossible, Rasti.. Atau jangan-jangan, dia naksir sama kamu, lagi! Kalian kan akrab banget di dunia maya!” Tika hampir histeris di sebelahku.

“Jangan bikin aku melayang, deh! Siapa yang mau sama cewek pendek, gendut, jerawatan, pake kacamata, gak modis, dan gak ada bagus-bagusnya kayak aku ini?” balasku.

“Idih, lebay! Kamu lupa sama Agus, senior teknik perkapalan yang nembak kamu pake seribu mawar itu? Atau Steven, yang nembak kamu di tengah jalan raya pake TOA kayak orang lagi demo? Trus Teddy, temen SMA kamu yang nyewa band buat nyanyi lagu romantis sambil nyatain cinta? Belum lagi Angga, Ardi, Zul, siapa lagi, ya? Aku sampe lupa saking banyaknya.”

Aku tertawa geli mendengarnya. “Mereka itu cuma lagi khilaf, kali.”

“Tau, ah. Kamu terlalu ngerendahin diri apa cuma mau dipuji sama aku? Hah?” sewot Tika. Yang sukses membuatku semakin tertawa kegelian.

***

Jari-jariku menari lentik di atas keyboard laptop. Membuat cerita baru. Selain suka curhat di blog, aku juga kadang memasukkan hasil cerita pendekku di sana. Tidak terlalu bagus menurutku. Aku hanya hobi berkhayal dan sayang sekali jika semua imajinasi ini cuma terkubur di memori otakku. Seperti kata Mas Rivi di salah satu postingan blognya, “Tulisan itu adalah mesin waktu yang sesungguhnya. Karena tulisan mampu membawa cerita-cerita masa lalu untuk dipelajari oleh generasi penerus kita di masa depan.”

Oh, iya. Besok, Mas Rivi akan datang ke Makassar. Salah satu Fakultas Sastra universitas negeri di kota ini mengundangnya untuk menjadi pembicara di acara talk show yang mereka adakan. Selain jago menulis, ia memang pintar berbicara dan mengirimkan sugesti positif ke alam bawah sadar pendengarnya –mungkin bisa disebut loyal listener–. Aku yakin kalian tidak bisa membedakan ia lebih mirip Romi Rafael atau Mario Teguh saat ini.



Haaah, aku sudah tidak sabar bertemu dengannya. Dia. Rivi Abdianto. Lelaki yang telah membuatku jatuh cinta hanya lewat tulisannya.

***

1 tahun kemudian...

Tidak ada hal penting dan menarik yang terjadi satu tahun terakhir ini. Hidupku tetap membosankan. Untung ada sosok Tika yang selalu di sisiku. Juga... Rivi.

Masih lekat di ingatanku kejadian setahun yang lalu itu. Saat aku dan Tika dengan semangat menghadiri acara talk show yang menghadirkan Rivi sebagai pembicara. The best part, waktu ia menyapaku dan Tika di saat acaranya sudah selesai. Ia bahkan menghampiri tempat duduk kami dan mengajak kami ngobrol.

Ah, setiap mengingatnya aku sangat bahagia. Bayangkan! Dia mengenalku! Oke, dia juga mengenal Tika. Tapi bukankah mereka berdua sudah sering bertemu waktu Tika masih tinggal di Jakarta? Tapi aku? Aku dan dia hanya berkomunikasi lewat internet. DAN DIA MENGENALKU DARI SEKIAN BANYAK LOYAL READER-NYA!

Aku juga punya satu berita. Berita baik, menurutku. Entahlah bagi kalian.

I’m feeling sexy and free... Like glitters raining on me...” Belum selesai bait pertama dari lagu Jessie J. tersebut, aku sudah menekan tombol hijau di handphone milikku setelah melihat nama seseorang yang tertera di layarnya.

“Iya, assalamu alaikum, Mas..” sapaku saat ponsel itu sudah menempel di telinga kiriku.

“Bisa berhenti manggil aku Mas, gak? Aku serasa penjual bakso, tau! Lagian, aku kan orang Padang, bukan orang Jawa!” protes suara di seberang sana.

Aku tertawa pelan mendengar gerutuan Mas Rivi. Yah, dia yang sedang meneleponku sekarang. Dia. Rivi Abdianto. Seseorang yang membuatku jatuh cinta dan patah hati dalam waktu bersamaan. Dulu.

“Iya, maaf deh..” balasku akhirnya. Mencoba menghentikan omelannya. “Ada apa, Uda? Kok nelfon pagi-pagi gini?”

“Bisa gak sih kamu manggilnya Rivi aja? Hobi banget bikin orang marah-marah!”

“Iya, iyaaa...” Tawaku kembali meledak. Bisa kubayangkan ekspresinya saat ini. Dengan alis bertaut, dahi berkerut, dan bibir tipis yang komat-kamit tidak jelas.

“Kamu lagi dimana, sih?” tanyanya.

“Kamar. Kenapa?”

“Bukain pintu, dong! Aku kepanasan di luar, nih!”

Aku yang tadinya dalam posisi telentang, sontak bangkit dari tidurku. Duduk di atas tempat tidur dengan mulut menganga. “Kamu dimana?”

“Di luar! Depan rumah kamu.”

Kaki mungilku buru-buru melangkah ke jendela. Menyingkap gorden di sana. Lalu langsung menemukan sosok lelaki tinggi berkulit putih, memakai topi hitam, polo shirt merah, dan celana pendek berwarna hitam. Tidak lupa kacamata bening di atas hidungnya. Sedang berdiri di depan pagar rumahku sambil menggendong seekor kucing berbulu putih dengan warna coklat di sekitar matanya.

“Sampai kapan kamu mau ngeliatin aku terus? Aku bisa meleleh gara-gara sinar matahari, nih! Picolo juga udah berisik banget!” keluhnya.

Aku langsung memutuskan sambungan telepon. Kemudian berlari keluar dari kamar. Menuju pintu depan.

Setelah membuka pagar dan melempar senyum paling manis ke arahnya, aku segera mengambil alih Picolo dari gendongan Rivi. Lalu menciuminya seraya kembali memasuki rumah. Takut kucing ganteng ini semakin kepanasan.



“Rasti! Kamu lebih milih nyiumin kucing songong itu daripada nyambut aku?” seru Rivi saat sudah berada di ruang tengah rumahku. Lengkap dengan sebuah ransel hitam di punggung tegapnya.

Tawaku pecah. Lagi. Yah, tak tau mengapa lelaki ini sangat membenci peliharaannya sendiri. Katanya, orang-orang lebih menyayangi kucing itu melebihi pemiliknya. Tidak terkecuali Bu Tina, ibunya sendiri. Beliau selalu menanyakan keadaan Kudut, Picolo, dan Sundae sebelum keadaan Rivi.

“Iya, maaf...” kataku sembari membiarkan kucing tersebut bermain di sofa rumahku. Kemudian menghampiri lelaki itu dan menariknya untuk duduk di sebelahku. “By the way, kamu ngapain ke sini? Ada acara talk show lagi? Atau meet and greet?” tanyaku.

“Gak ada.” Sepertinya ia masih ngambek. Bibir tipisnya tetap maju beberapa senti di dekatku.

“Trus?”

“Kamu lupa apa pura-pura lupa, sih?” Kerutan di dahinya semakin banyak. Entah pengaruh umur atau dia memang sedang marah.

“Aku gak tau. Makanya aku nanya,” jawabku cengengesan. Mataku melirik Picolo yang sedang menggeliat di sandaran sofa.

“KAMU BENER-BENER LUPA KALO HARI INI ANNIVERSARY KITA YANG PERTAMA?” soraknya. Untung Papa dan Mama sudah berangkat kerja dan rumah sedang kosong. Kalau tidak, mereka pasti langsung heboh.

“Emang ini tanggal berapa?” Aku masih bertanya dengan polosnya.

Rivi mendengus. Kesal. Ia membuang pandangannya dari wajahku. Kemudian melipat kedua tangan di depan dada. Huh, dasar!

“Iya, iyaaa. Aku inget, kok. Tunggu dulu, ya!” Tanpa menunggu suaranya, aku langsung berlari menaiki tangga. Menuju ke kamarku.

“Nih,” ucapku sambil menyerahkan sebuah kotak ke depan wajahnya saat kembali dari kamar. “Kado dari kamu mana?” lanjutku sambil menengadahkan tangan ke arahnya.

Bukannya mengansurkan sesuatu, Rivi malah menggenggam jemariku. Lalu menariknya dan tak tahu bagaimana caranya, kini aku sudah duduk di atas pangkuannya. “Aku udah dateng jauh-jauh dari Jogja dan cuti kerja seminggu buat tinggal di Makassar sama kamu. Kadoku romantis banget, kan?” bisiknya. Tepat di telingaku. Menciptakan sensasi geli luar biasa.

“Iya, romantis banget..” balasku. Menyerah dengan aksinya. “Ya udah. Lepasin aku, dong! Picolo ngeliatin, tuh. Aku kan jadi maluuu!”

Rivi ikut menoleh dan menatap kucing miliknya. Kemudian melempari Picolo dengan sebuah bantal kursi sampai seluruh tubuh kucing yang lumayan ceking itu tertutupi.

“Ih, kasian tau! Ntar kalo dia gak bisa nafas, gimana?” protesku. Berusaha mengambil bantal tersebut. Tapi kalah cepat dengan tangan Rivi yang sudah menggenggam kedua tanganku dengan erat.

“Kamu mau ngapain, sih?” tanyaku. Mulai risih dengan posisi kami.

Ia terdiam. Memandangiku dari balik kacamata yang ia gunakan. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat dengan jelas bekas luka di bawah mata kanannya.

I love you,” lirihnya. Lagi. Mata teduhnya membuaiku ke dalam dekap hangatnya. Perjalanan dari Jogja ke Makassar tak membuat wangi tubuhnya yang khas memudar. Dan entah bagaimana caranya, sekarang kami sudah saling bertukar rasa rindu lewat bahasa tubuh.

Dari awal aku mengenalnya di dunia maya sampai sekarang, saat kami sudah sepakat menjalin hubungan, aku masih jatuh cinta padanya. Tidak tanggung-tanggung, ia datang ke rumahku dan meminta izin pada kedua orangtuaku untuk melangsungkan pertunangan kami selama ia masih berada di Makassar. Dan aku tak mengerti ia memakai pelet apa, Papa dan Mama langsung menerimanya dengan senang hati. Mereka semua malah terlihat sangat akrab. Jadilah sejak setahun yang lalu –sejak ia mengaku bahwa cewek yang ia maksud telah membuatnya jatuh cinta dan sayangnya tidak pernah ditemuinya waktu itu adalah aku–, kami memakai cincin yang sama untuk membuktikan keseriusan hubungan kami ini.

Sejujurnya, kami belum memikirkan banyak hal tentang pernikahan. Aku masih kuliah. Sedangkan Rivi juga baru saja bekerja di salah satu universitas swasta di Jogja sebagai dosen Sastra Inggris. “Just let it flow, and enjoy it!” ucapnya saat itu.

Aku –selalu– mencintai dia yang apa adanya. Yang jujur, rendah hati, ramah, dan selalu memandang segala sesuatu secara objektif. Persis dengan kata-kata orang selama aku belum pernah bertemu dengannya dulu. Sampai sekarang. Ketika aku masuk ke dalam hidupnya. Dan menyandang status sebagai calon istrinya.

            “Kamu masih inget kata-kata kamu di blog dulu? Yang tentang aku itu?” tanya Rivi saat ia memberiku waktu untuk bernafas banyak di sela aksinya.

Aku tersenyum malu. Mengingat isi postinganku beberapa tahun yang lalu tersebut.

“Aku bahkan udah hafal di luar kepala,” suaranya lagi. “Aku... Mencintaimu. Lewat tulisan-tulisanmu. Kamu gak perlu tau seberapa besar rasa ini. Karna aku yakin, gak ada satuan apapun yang dapat menggambarkan bagaimana kadarnya. Yang perlu kamu tau, aku gak pernah mau menuntut balas. Karna aku menamakan perasaan ini ‘tulus’. Setulus Kasih Ibu, yang hanya memberi dan tak harap kembali,” lanjutnya.

            Kami lalu tertawa. Bersamaan.

“Kamu sendiri, kenapa bisa suka sama aku? Kita kan belum ketemu waktu itu.” Gantian aku yang bertanya.

Ia mengeratkan pelukannya di pinggangku yang masih setia duduk di atas pahanya tersebut. Matanya yang sudah bebas dari kacamata itu terlihat menerawang. “Kenapa, ya? Aku juga gak tau, sih. Mungkin karna... Cinta sejati emang gak butuh alasan, kali yaa?”

Aku serasa hampir saja melayang kalau saja Rivi tidak segera menarikku untuk menempel di dada bidangnya. Kemudian, kami kembali saling ‘bertukar rindu’.



Kini, bahagiaku sudah benar-benar tak terkira. Aku hanya mau Rivi terus menulis. Berbicara tentang apapun di sekitarnya yang bisa mengubah pandangan dunia terhadap hal-hal yang kecil sedikitpun. Yah, lewat tulisannya yang telah membuatku jatuh cinta itu.

***



Ps: Sebenarnya, cerita ini udah pernah diposting ke sini. Tapi non fiksi, alias aku menceritakannya secara nyata. Kali ini, sudah aku edit sehingga lebih banyak porsi fiksi daripada non fiksinya.
Thanks buat mas Alitt @shitlicious atas sumbangan 'benih' cerita ini. Maaf juga kalo ceritanya jelek -_- Aku masih belajar soalnya.
Trus, makasih juga buat mpok @atikariyani yang sudah rela menyumbangkan namanya di sini. Sorry yah, kali ini mas Alitt jadinya sama aku :p