“Sudah, jangan lagi kamu menghakimiku.
Jangan lagi kamu memperolokku. Percuma saja. Aku sudah tak bisa merasakan
apa-apa lagi, kecuali rasa kebas ini. Dan sekarang, biarlah kehidupan
memilihkan jalan untukku. Menjadi pelacur.”
Renata, seorang fashion editor dengan karier
cemerlang di kantornya, harus pasrah pada keadaan. Setelah berpisah dengan
Panji, lelaki yang sudah dipacari selama empat tahun karena perjodohan biadab
itu, dia pergi ke semua tempat yang pernah mereka singgahi untuk menelusuri
jejak-jejak kebersamaan. Hidup menjadi sangat membosankan baginya, karena
hari-harinya kini hanya dihabiskan untuk mengenang Panji. Dia pun lantas
memilih menjadi pelacur, karena dengan profesi barunya itu, dia kembali merasa
dicintai, dihargai, dibutuhkan, dan disanjung.
Namun, ia sadar, menjadi pelacur hanyalah
sebuah persinggahan sebelum dia benar-benar melanjutkan hidup sesuai
keinginannya. Lantas, kehidupan seperti apa yang sebenarnya ingin dijalaninya?
Tanpa Panji? Bisakah?
Blurb yang sukses
membuat kita menahan napas beberapa kali, memang. Siapa yang sangka Mbak Dewi
mau mengusung pekerjaan serupa prostitute di novelnya ini? Tabu, jelas saja.
Tapi nikmatilah, dan kita bisa memetik banyak ‘pelajaran’ dari hidup Renata
tersebut.
Jika kita mencari
prolog, bab demi bab, apalagi epilog, tak akan ditemukan di novel berjudul
#SeribuKerinduan ini. Semuanya melebur menjadi satu, hanya dipisah judul yang
mewakili isi cerita selanjutnya. Yang saya sayangkan dari segi tata letak
adalah tak adanya pembeda jenis font pada peristiwa di masa kini dan
flashback-flashback yang sering dilakukan Renata di awal cerita. Jadi pembaca
diwajibkan untuk bisa membedakan; apakah peristiwa itu terjadi sekarang, dua
tahun lalu, atau bahkan dua minggu di belakang.
Novel ini sepertinya memang diperuntukkan bagi orang-orang (termasuk saya)
yang sedang sibuk berpindah hati. Dari awal mencecap kisah Renata, kita tak
dibiarkan tersenyum terlalu lama, karena plot selanjutnya akan kembali
menjatuhkan kita pada kenyataan pahit yang tengah dirasakan mojang Bandung
tersebut. Saya bahkan baru bisa tertawa di pertengahan cerita, ketika Renata
bertemu Dion dalam keadaan mabuk. Selebihnya? Jika kalian pernah merasa
ditinggalkan seperti yang dialami Renata, kalian pasti tahu bagaimana nasib
saya ketika membacanya *buang tisu*
Seperti kata Dion, “Kalau kita terus-terusan menyalahkan masa lalu, kita justru
akan terus hidup bersamanya, dan semakin sulit membebaskan diri.” Yah, silakan
ikuti kata-kata Kak Dion yan brengsek waktu pertama ketemu Renata ini, adik-adik
:)
Walaupun
saya sempat membandingkan #SeribuKerinduan ini dengan novel lain bertema serupa
di awal-awal cerita, namun novel karya Mbak Dewi ini jelas berbeda dan memiliki
cita rasa sendiri. Apalagi menurut saya, alurnya mendayu-dayu dan seakan memiliki
makna tersirat, “Menangislah, sayang.... Menangislah....” Mungkin karena
ditinggal nikah bukan lagi hal tabu, ya? :’
“Tak
usah banyak komentar, Febri,” mungkin menjadi batin orang-orang yang membaca
review ini. Baiklah, silakan baca sendiri #SeribuKerinduan karya Mbak Dewi,
pemimpin redksi Stiletto Book. Siapa tahu kalian bisa belajar tegar dari kisah
Renata tanpa menjerumuskan diri sendiri, lebih bisa tegas daripada Panji, bisa
menjadi teman yang lebih baik dari Dion, menjadi sahabat sehangat Diana dan
Erika, dan membuat happy ending sendiri. Jangan sampai kehabisan di toko buku
dan menyesal belakangan, loh.
Pssst, jika
endingnya “lebih” di luar dugaan lagi, mungkin saya dengan senang hati memberi
4 dari 5 bintang ;)
Ditunggu (kiriman)
novel selanjutnya, @Stiletto_book :p :* ({})
Tidak ada komentar:
Posting Komentar