Selasa, 03 Desember 2013

Review #SeribuKerinduan - Stiletto Book

“Sudah, jangan lagi kamu menghakimiku. Jangan lagi kamu memperolokku. Percuma saja. Aku sudah tak bisa merasakan apa-apa lagi, kecuali rasa kebas ini. Dan sekarang, biarlah kehidupan memilihkan jalan untukku. Menjadi pelacur.”
Renata, seorang fashion editor dengan karier cemerlang di kantornya, harus pasrah pada keadaan. Setelah berpisah dengan Panji, lelaki yang sudah dipacari selama empat tahun karena perjodohan biadab itu, dia pergi ke semua tempat yang pernah mereka singgahi untuk menelusuri jejak-jejak kebersamaan. Hidup menjadi sangat membosankan baginya, karena hari-harinya kini hanya dihabiskan untuk mengenang Panji. Dia pun lantas memilih menjadi pelacur, karena dengan profesi barunya itu, dia kembali merasa dicintai, dihargai, dibutuhkan, dan disanjung.
Namun, ia sadar, menjadi pelacur hanyalah sebuah persinggahan sebelum dia benar-benar melanjutkan hidup sesuai keinginannya. Lantas, kehidupan seperti apa yang sebenarnya ingin dijalaninya? Tanpa Panji? Bisakah?

Blurb yang sukses membuat kita menahan napas beberapa kali, memang. Siapa yang sangka Mbak Dewi mau mengusung pekerjaan serupa prostitute di novelnya ini? Tabu, jelas saja. Tapi nikmatilah, dan kita bisa memetik banyak ‘pelajaran’ dari hidup Renata tersebut.
Jika kita mencari prolog, bab demi bab, apalagi epilog, tak akan ditemukan di novel berjudul #SeribuKerinduan ini. Semuanya melebur menjadi satu, hanya dipisah judul yang mewakili isi cerita selanjutnya. Yang saya sayangkan dari segi tata letak adalah tak adanya pembeda jenis font pada peristiwa di masa kini dan flashback-flashback yang sering dilakukan Renata di awal cerita. Jadi pembaca diwajibkan untuk bisa membedakan; apakah peristiwa itu terjadi sekarang, dua tahun lalu, atau bahkan dua minggu di belakang.
Novel ini sepertinya memang diperuntukkan bagi orang-orang (termasuk saya) yang sedang sibuk berpindah hati. Dari awal mencecap kisah Renata, kita tak dibiarkan tersenyum terlalu lama, karena plot selanjutnya akan kembali menjatuhkan kita pada kenyataan pahit yang tengah dirasakan mojang Bandung tersebut. Saya bahkan baru bisa tertawa di pertengahan cerita, ketika Renata bertemu Dion dalam keadaan mabuk. Selebihnya? Jika kalian pernah merasa ditinggalkan seperti yang dialami Renata, kalian pasti tahu bagaimana nasib saya ketika membacanya *buang tisu*
Seperti kata Dion, “Kalau kita terus-terusan menyalahkan masa lalu, kita justru akan terus hidup bersamanya, dan semakin sulit membebaskan diri.” Yah, silakan ikuti kata-kata Kak Dion yan brengsek waktu pertama ketemu Renata ini, adik-adik :)
Walaupun saya sempat membandingkan #SeribuKerinduan ini dengan novel lain bertema serupa di awal-awal cerita, namun novel karya Mbak Dewi ini jelas berbeda dan memiliki cita rasa sendiri. Apalagi menurut saya, alurnya mendayu-dayu dan seakan memiliki makna tersirat, “Menangislah, sayang.... Menangislah....” Mungkin karena ditinggal nikah bukan lagi hal tabu, ya? :’
“Tak usah banyak komentar, Febri,” mungkin menjadi batin orang-orang yang membaca review ini. Baiklah, silakan baca sendiri #SeribuKerinduan karya Mbak Dewi, pemimpin redksi Stiletto Book. Siapa tahu kalian bisa belajar tegar dari kisah Renata tanpa menjerumuskan diri sendiri, lebih bisa tegas daripada Panji, bisa menjadi teman yang lebih baik dari Dion, menjadi sahabat sehangat Diana dan Erika, dan membuat happy ending sendiri. Jangan sampai kehabisan di toko buku dan menyesal belakangan, loh.
Pssst, jika endingnya “lebih” di luar dugaan lagi, mungkin saya dengan senang hati memberi 4 dari 5 bintang ;)
Ditunggu (kiriman) novel selanjutnya, @Stiletto_book :p :* ({})

Tidak ada komentar:

Posting Komentar