Kamis, 12 Desember 2013

Diam

Kau pasti tak tahu apa yang kulakukan kini
Ketika mentari pun masih lelap dalam mimpi
Masih seperti hari kemarin, menantimu hadir di sini
Walau tak pernah kau sadari

Tak mungkin aku yang terlebih dulu menyapa
Lidahku terlalu kelu untuk sekedar menyebut nama
Dan kau terlalu tinggi untuk kujaga
Namun tetap saja, terima kasih pernah ada
Walau tak pernah menyadari, aku pun ada

Aku meletakkan note book ketika kau akhirnya datang, berlari-lari kecil menyusuri jalanan di antara peluk pepohonan taman. Aku tetap mengamati, duduk bersanggahkan kursi besi, beberapa meter dari tubuh tegapmu yang kini melakukan stretching di seberang. Masih dengan setumpuk harapan yang sama dari hari ke hari, agar kau bisa menoleh dan sadar akan hadirku.
Setiap hari, bahkan ketika embun masih menguasai mulut dedaunan, aku selalu di sini. Tak usah menanyakan sejak kapan, bahkan angka-angka yang berbaris pada penanggalan tak mampu menjabarkan. Dan kau, alasan keberadaanku tak sedikit pun menyadarinya. Tak apa, asal sosokmu bisa kunikmati saja.
Kubuka lagi lembar demi lembar pada buku catatan mini yang menjadi objek segala curahan hati selama ini, yang hanya kutulis tanpa bisa kuungkapkan—sampai kapan jua. Pada lembar pertama, ada setitik noda yang membuat satu kata di sana menjadi buram. Noda bekas air mata yang kulepas untuk seseorang yang bahkan tak kutahu namanya.

Sebelumnya, aku tak pernah berani untuk jatuh cinta
Untuk apa membiarkan diri jatuh, sementara tak ada yang menyambut?
Sia-sia
Aku terlalu takut jika ada yang menyadari perasaanku nanti
Takut ia akan menanyakan sesuatu tentang hati

Bagaimana aku bisa menjawab pada akhirnya?
Bagaimana jika ia menyadari aku bahkan tak bisa untuk sekedar melafalkan namaku sendiri?
Bagaimana jika ia tak beda dengan lelaki lain, pergi begitu saja?

Karena itu, aku tak pernah berani untuk jatuh cinta
Karena itu juga, tak apa jika kau tak pernah menyadari hadir
Agar aku tak susah-susah meladenimu nanti
Dengan bibir yang tak akan menyapa—bahkan tak bisa sekedar mengucap nama
Bahagiaku cukup duduk di sini, menanti. Menikmati. Tanpa minta disadari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar