Entah sudah kali keberapa aku membicarakan kata ‘melepaskan’
pada sekitar, terlebih diriku sendiri. Hanya satu kata dengan sepuluh huruf memang,
namun hati-lah yang dapat benar-benar meraba maknanya. Karena kadang, aku pun masih
buta dalam menafsir kata.
Kata yang menurutku paling akrab di telinga adalah
melepaskan. Ia bersaudara dengan kehilangan, juga cukup dekat dengan mengenang.
Yah, ketiganya sama-sama merupakan sahabat karibku di kehidupan.
Sayangnya, aku yang sudah hidup sekian puluh tahun
ini terlalu ramah dalam membuang-buang waktu. Menghabiskan setiap detik dengan
duduk di sudut rindu, menunggu, termangu, bertopang dagu. Entah merindukan apa,
atau menunggu siapa. Aku pun tak tahu jawabannya.
Melepaskan itu sama saja halnya dengan mengatakan, “Aku
baik-baik saja.”
Gampang memang, ketika ia meluncur bebas dari bibir
ini. Namun saat meresapinya dengan perasaan, tak usah ditanya lagi. Aku sendiri,
lebih memilih tak peka untuk cukup merasakan, apalagi hanya sekedar memikirkannya.
Sejak beberapa waktu lalu, aku sudah selalu mengatakan
bahwa aku melepaskannya. Telah merelakan kepingan kisah menjadi sebuah kenangan.
Memasukkannya dalam kotak besi, membuang kuncinya ke dasar samudera, lalu mengubur
kotak itu berkilometer-kilometer jauhnya dari permukaan tanah. Berharap perasaan
tersebut ikut terkubur di sana. Namun nyatanya? Tidak sama sekali.
Jika perasaan ‘melepaskan’ sama mudahnya dengan
membiarkanmu tak lagi di sisi, pasti tak akan sesesak ini. Tak ada deraian air
mata yang mengiringi kata perpisahan, apalagi berjuta-juta detik yang terhabiskan
percuma hanya karena menyalahkan keadaan.
Hingga saat ini, ketika kau –mungkin– tak sengaja atau
menyempatkan diri membaca tulisanku, mungkin kau akan tahu bahwa aku masih
belum menerima peristiwa di masa lalu. Ketika kenyataan memaksa kita –aku dan
dirimu, maksudnya– untuk saling melepaskan. Kata saling yang terakhir kali –ehem–
kau dan diriku gunakan. Kecuali jika kau juga menjamah rindu seperti yang ku rasakan
hingga sekarang.
Namun seberat-beratnya arti kata melepaskan untukku,
ada satu lagi kata menyeramkan yang tak ku suka.
Ia bernama... mengikhlaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar