Kita cuma manusia yang bisanya merencanakan. Sedang takdir Tuhan tak bisa ditentang.
“Sebel! Sebel! Sebeeel!!!” Perempuan
berpiyama chasper itu menginjak-injak tanah sekuat tenaga. Ia duduk di atas
saung dekat puskesmas yang besok pagi akan menjadi tempat penyuluhan kesehatan
dari dokter dan mahasiswa kampusnya.
“Heh, berisik
banget!” Sebuah suara tiba-tiba muncul di sampingnya. Suara berat khas
laki-laki. Tanpa menoleh pun, Fanya sudah tahu bahwa itu adalah suara Farhan.
“Kamu pasti
kesel banget gara-gara Dokter Haykal sama Dokter Ita tadi. Iya, kan?” lanjut
Farhan. Ia ikut duduk di sebelah perempuan berwajah cemberut tersebut.
“Bukan sebel
lagi. Aku malah pengen bikin orang babak belur sekarang.” Fanya mengepalkan
kedua tangannya dengan erat. Membuat buku-buku jarinya memutih. Kukunya yang
mulai panjang sedikit melukai telapak tangannya, namun tak ia pedulikan sama
sekali.
“Aku juga sempet
shock pas Dokter Haykal ngebelain Dokter Ita dan malah ngebentak kamu. Padahal,
biasanya kalian kan mesra banget,” komentar Farhan. “Kok Dokter Haykal bisa
berubah gitu, ya? Aku aja pasti gak bakalan tega ngelakuin itu ke kamu. Apalagi
kalo kamu itu... tunangan aku.”
“Apa sebelum
ini, dia juga suka ngomong kasar ke aku, ya?” gumam Fanya pelan. Lebih untuk
dirinya sendiri. Pandangannya menerawang, mencoba mengingat masa lalu. Namun
tetap tak membuahkan hasil apapun.
Farhan
meliriknya dengan senyum lebar. “Kalo kamu butuh bahu, aku selalu ada buat
kamu.”
Tanpa suara,
perempuan itu langsung menjatuhkan kepalanya ke bahu kanan Farhan. Menenangkan
memang, namun tetap hangat dari Haykal yang terbaik.
***
Fanya
memasuki rumah dalam diam. Tubuhnya sudah dibalut jaket tebal berwarna khaki
milik Farhan.
“Kamu darimana
aja?” Haykal langsung berdiri dari sofa ruang tamu. Menghampiri sang tunangan.
Ekspresinya jangan ditanya lagi. Sudah mengalahkan istilah kebakaran jenggot
saking cemas dan merahnya.
Perempuan itu
melanjutkan langkah ke bagian dalam rumah dengan tatapan datar. Seolah-olah
tidak mendengar pertanyaan lelaki berkacamata itu.
Merasa tak diacuhkan,
Haykal langsung mencekal lengan kanan Fanya. Membuat tubuh mungil tersebut
terhuyung ke belakang. “Kalo aku nanya, kamu jawab, dong!”
Fanya menoleh dan sontak melemparkan
tatapan tajam ke dalam mata lelaki yang kini menggenggam lengan miliknya. “Mau kamu
apa, sih?” tanyanya.
“Harusnya aku yang nanya. Mau kamu apa? Tiba-tiba pergi
dari rumah, trus pulangnya sama cowok lain!” Haykal melirik Farhan dengan
pandangan tidak suka yang sangat kentara.
“Apa peduli kamu? Hah?” sorak Fanya. Ia menyentakkan
tangannya dengan kasar. Membuat genggaman Haykal spontan terlepas.
“Fanya!”
“Kenapa? Teriak aja! Bentak aku sampe kamu puas!!!” seru
perempuan itu.
Sedetik kemudian, Tyas dan Dokter Ita keluar dari kamar.
Disusul Mama dengan wajah khas bangun tidur.
“Kalian kenapa, sih?” tanya wanita paruh baya tersebut.
Haykal malah meremas kepalanya sendiri. Lalu melangkah
memasuki kamar tempatnya dan Farhan tidur bersama untuk satu minggu ke depan.
Meninggalkan kelima sosok yang masih bergeming di ruang tamu.
Sepeninggal putranya, Mama langsung mendekati dan
merangkul pundak calon menantunya yang sedang memijat kepala tersebut. “Kalian
kenapa sih, sayang?”
“Gak tau, Ma. Aku juga gak ngerti,” balasnya. “Oh iya,
Ma. Aku... boleh tidur sama Mama, gak?”
Mama mengerutkan dahinya sejenak. Kemudian mengangguk
pelan, dan menggandeng
Fanya menuju kamar.
***
Fanya menaruh piring berisi omlet untuk
sarapan di pagi pertama mereka di sini. Lalu duduk di kursi kosong yang
terletak antara Haykal dan Tyas. Di seberang, duduk Farhan dan Dokter Ita.
Sedangkan Mama duduk di ujung meja sebelah kanan Haykal seorang diri.
Mereka menyendok
nasi goreng, omlet, dan nugget ayam ke piring masing-masing dalam diam.
“Oh iya, Dok...”
Dokter Ita yang pagi itu terlihat lebih fresh dengan rambut kuncir kuda dan
long dress merah muda memecah keheningan. “Kita langsung ngumpul di
puskesmasnya jam sepuluh, ya?”
Haykal menyelesaikan
kunyahannya terlebih dahulu sebelum menjawab, “Iya, Dok. Ada apa?”
“Enggak pa-pa,
sih. Tapi kita ke sana naik apa? Kemarin saya liat tempatnya lumayan jauh juga
kalo jalan kaki.”
Fanya melirik
perempuan di depannya dengan ekor mata.
Mau ngapain lagi nih si dokter ganjen?
“Saya sih
biasanya ke sana naik motor. Kebetulan di garasi rumah ini saya naro’ motor
biar gak ribet. Tapi karna kita ke sananya rame-rame, mungkin saya jalan kaki
aja.”
“Gimana kalo
kita naik motor aja, Dok? Puskesmas itu kan jauh,” balas Dokter Ita.
Fanya
menghentikan kunyahannya dengan dahi berkerut. Kita? Nah, aku bilang juga apa! Pasti dia punya rencana lagi! Mau modus
lagi! Ck!
Haykal langsung
melirik perempuan di sebelah kirinya tersebut. Membuat sang objek buru-buru
memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya dan mengunyah dengan pipi
menggembung. “Saya kayaknya jalan kaki aja deh, Dok. Sekalian olahraga sambil
ngobrol sama dosen dan mahasiswa yang lain,” jawabnya.
“Tapi kan jauh,
Dok...”
“Kenapa Dokter
Ita gak naik motor sendiri aja?”
Jengjeeeng!
Semua mata kontan menatap Mama yang baru saja nyeletuk dengan santainya. Fanya
dan Tyas malah harus menahan senyum setengah mati.
“Saya gak tau
bawa motor, Bu. Makanya saya minta Dokter Haykal yang bawa,” ucap Dokter Ita.
Tak lupa memamerkan senyum manis andalannya.
“Ya udah.
Berarti Dokter harus rela jalan kaki. Kecuali kalo mau bawa mobil. Eh, tapi
jalanan ke puskesmas itu agak sempit. Gak ada tempat parkir.” Mama menjelaskan
dengan raut wajah yang tegang. Ekspresi yang belum pernah dinampakkannya di
depan Fanya.
“Fanya gak
apa-apa kan jalan kaki ke sana?” Mama mengalihkan perhatiannya ke arah
perempuan mungil dengan rambut ikal tergerai dan mini dress summer di sebelah
putranya.
Fanya menggeleng
mantap. “Enggaklah, Bu. Di sini kan adem. Lagian kalo di rumah aku gak pernah
olahraga, bosen naik kendaraan mulu.”
“Tuh, Dok. Dosen
itu ya wong ngasih contoh ke
mahasiswinya. Dokter gak malu apa liat mahasiswinya lebih semangat?”
“Uhuk! Uhuk!”
Fanya langsung tersedak gara-gara menahan tawa sambil berusaha menelan
makanannya.
Haykal buru-buru
menyodorinya segelas air putih seraya menepuk-nepuk punggung perempuan itu.
Saat batuknya
sudah reda, Fanya langsung menepis jemari tunangannya tersebut dengan kasar.
Sisa-sisa emosi kemarin masih menguasainya.
“Oh iya, Kal.
Kamu harus jagain Fanya loh selama di sini. Mama gak mau dia kenapa-kenapa.
Ngerti?”
Lelaki itu
mengangguk mantap.
Sedangkan Fanya
seketika mendengus kecil.
***
“Saya
yakin kalo si Fanya minta bantuan mamanya Haykal buat ngebelain dia. Ck!” lirih
Dokter Ita, diiringi decakan kesal pada akhirnya. Ia berjalan di barisan agak
belakang bersama Farhan.
“Apa
jangan-jangan mamanya Haykal yang gak suka sama kita, Dok? Tadi aja saya
disinisin mulu cuma gara-gara bantuin Fanya nyari buku.” Farhan yang pagi itu
terlihat santai dengan kaos polo abu-abu dan celana jeans berwarna senada
tersebut memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas dokter yang ia kenakan.
Lalu menghirup udara segar di sekitarnya tanpa sadar.
“Whatever-lah.
Intinya dia bisa jadi penghalang rencana kita. Huh, percuma kita minta bantuan
Dokter Tio biar kita bisa serumah sama mereka di sini.” Dokter Ita menendang
kerikil di depannya. Sekaligus melampiaskan kekesalan karena harus berjalan
sekitar satu kilometer untuk sampai ke puskesmas tempat penyuluhan diadakan.
“Iya juga, Dok.
Jadi kita mesti gimana?”
Perempuan itu
langsung melemparkan pandangannya ke arah Fanya yang sedang menoyor bahu Tyas
di depan sana. “Kita tetep berusaha ngejauhin mereka aja. Gimanapun caranya.”
***
“Lo
kayaknya seneng banget,” cibir Tyas ke arah sahabatnya yang melangkah dengan
riang sedari tadi. Kadang sambil menyanyi, bahkan tertawa sendiri.
Fanya menoleh
dan menatap perempuan berlesung pipi di sebelahnya sambil tertawa lebar. “Gak
pa-pa, kok. Gue cuma seneng aja. Finally bisa terbebas dari suara anak kecil
yang berisik, dan kerja di daerah terpencil.”
“Idih, siapa tau
di sini kebanyakan anak kecil yang sakit, gimana? Ujung-ujungnya lo ngerawat
anak kecil juga, kan?”
Langkah Fanya
berubah pelan seketika. “Eh, iya juga, ya?” gumamnya. “Ah, sialan lo!”
sambungnya sambil mendorong bahu kiri sahabatnya itu dengan kesal.
Tyas spontan
tertawa puas.
“Eh, by the way,
Dokter Ita kemana? Tumben gak nempelin tunangan lo,” bisik Tyas sembari
celingukan, mencari sang topik pembicaraan.
Fanya ikut
mengedarkan pandangannya. Lalu menemukan perempuan yang dimaksud sedang
berjalan di bagian agak belakang dari rombongan berjas dokter ini. Bersama
Farhan. “Tuh, dia ada di belakang. Lagi asik ngobrol sama Farhan,” ucapnya
sembari mengembalikan konsentrasi ke jalanan di depan.
Tyas menoleh dan
mendapati keduanya sedang berbicara dengan serius. Kemudian ganti menatap
Fanya. “Lo ngerasa gak, sih?” tanyanya.
“Ngerasa apa?”
“Dokter Ita sama
Farhan... Mereka deket banget, kan? Kalo Dokter Ita gak nempelin Dokter Haykal
kayak tokek, dia pasti bareng Farhan. Kayak sekarang. Gue jadi curiga.”
“Curiga apa?
Masa Dokter Ita doyan brondong macem Farhan? Jangan fitnah orang sembarangan,
ah.”
“Dasar sotoy!
Bukan gitu maksud gue!” Perempuan berlesung pipi itu menoyor kepala Fanya
dengan gemas. “Maksudnya, jangan-jangan Dokter Ita sama Farhan sekongkol buat
misahin lo sama Dokter Haykal. Yah, siapa tau kan...”
“Wah, parah lo!
Ya gak mungkinlah. Gue kenal Farhan, dia itu baik banget. Kayaknya dia gak
bakal sepicik itu. Apalagi dia kan ganteng, ngapain juga mau sama gue. Lagian
gue sama dia udah kelar dari SMP .
Gue aja udah gak punya feeling apa-apa sama dia.”
“Who knows, Nya?
Nothing impossible, right? Tuh, buktinya.” Tyas menoleh. Lalu menunjuk Dokter
Ita dan Farhan yang masih ngobrol, dengan dagu.
Fanya ikut
memandangi kedua orang yang terlihat asik berbincang tersebut. Kedua alisnya
menyatu. Ingin mengikuti kecurigaan sahabatnya, namun belum memiliki bukti
nyata. Akhirnya, ia memilih mengembalikan pandangan. Ke arah sang tunangan yang
berjalan di barisan paling depan, bersama beberapa mahasiswi yang terlihat
berusaha menarik perhatiannya.
***
Fanya
duduk di kursi depan puskesmas sambil menyelonjorkan kedua kakinya. Sudah jam
makan siang, tapi ia belum menemukan semangat setelah tiga jam lebih berurusan
dengan pasien di puskesmas tersebut. Bukan untuk mengobati, tapi untuk menerima
wawancara sebagai tunangan Haykal. Entah mengapa karisma lelaki itu selalu saja
membuatnya gerah menghadapi respon orang-orang di sekitar.
“Kok masih di
sini, Nya?” Suara Farhan muncul di sebelahnya.
Fanya menoleh.
“Iya, nih. Masih capek.”
“Trus, Dokter
Haykal mana?”
Perempuan itu
kontan celingukan. Ia memang tidak sempat bertemu tunangannya sejak sampai di
puskesmas tadi. “Gak tau. Udah pulang, kali.”
“Kamu gak mau
pulang?” tanya Farhan lagi.
“Enggak, ah.
Kamu sendiri, kenapa masih di sini? Gak laper?”
“Asal bareng
kamu, aku udah kenyang, kok.”
Fanya langsung
tertawa geli. “Dasar tukang gombal! Kamu cocok tuh bikin geng sama Dokter
Haykal.”
Farhan yang
tadinya ikut tertawa, seketika membeku.
“Haykal tuh ya,
kalo aku lagi ngomongin masalah apapun pasti dibelokin jadi gombalan.
Bener-bener gak pernah kekurangan stock.” Perempuan itu melanjutkan kalimatnya
seraya geleng-geleng kepala. Lengkap dengan senyum lebar. “Tapi ya itu,
ngeselinnya lebih banyak. Huh! Trus–”
“Nya, gimana
kalo kita nyari makan sekarang? Di deket sini ada warung, kan?” Tiba-tiba, Farhan
sudah menggenggam jemari miliknya. Kemudian menuntunnya untuk beranjak
meninggalkan pelataran puskesmas. Dengan sedikit terburu-buru.
***
“Fanya
kemana, Yas?” tanya Haykal sembari memperbaiki duduknya di kursi meja makan.
Tyas yang juga
baru duduk di sana, menggeleng pelan. “Gak tau, Dok. Tadi Fanya masih sibuk
nanganin pasien, jadi saya pulang duluan.”
Pandangan lelaki
berkacamata tersebut langsung tertumbuk pada kursi kosong di seberang meja.
“Farhan mana?”
Dokter Ita
melirik kursi di sebelahnya. “Dia juga belum pulang dari puskesmas.”
Mama ikut duduk
di ujung meja setelah meletakkan piring terakhir berisi sup ayam di depan
ketiga orang di sana. “Coba telepon Fanya, Nak. Siapa tau dia udah jalan ke
sini.”
Haykal langsung
merogoh saku celana panjang yang ia kenakan, kemudian menekan tombol 2 yang
akan men-dial otomatis ke nomor handphone tunangannya. Nada sambung terdengar.
Ia menunggunya dengan tidak sabar. Sampai nada konstan tersebut digantikan oleh
suara operator pada akhirnya.
“Kenapa?” tanya
Mama saat mendapati putranya mendecak kesal.
“Teleponnya gak
diangkat, Ma.”
“Coba aku
telepon Farhan, Dok. Siapa tau mereka lagi barengan,” ucap Tyas sambil meraih
ponselnya di atas meja. Lalu merutuk sesaat setelah mendapati tatapan tajam si
dokter ganteng karena kalimat terakhirnya barusan. “Gak diangkat juga,”
lanjutnya kemudian.
Haykal sontak
berdiri dari duduknya. Lalu melangkah meninggalkan meja makan.
“Kamu mau
kemana, Kal?” seru Mama.
Lelaki itu
menoleh sekilas. “Nyari Fanya.”
***
Haykal
memelankan laju motor ninja miliknya sembari mengedarkan pandangan ke
kiri-kanan jalan. Setelah satu kilometer dari kediamannya, ia merasa melihat
seorang perempuan mungil dengan jas dokter sedang jalan berdampingan bersama
seseorang yang sangat ia yakini sebagai Farhan.
“Fanya!!!” sorak
Haykal seraya menepikan motornya.
Perempuan yang
merasa namanya dipanggil itu seketika berbalik. Lalu bertemu pandang dengan
sang tunangan.
“Kamu darimana?”
tanya lelaki yang sedang menatapnya tajam tersebut.
“Abis makan sama
Farhan. Kenapa?”
Mata Haykal
langsung membesar. Shock. “Hah? Kamu ini... Ck!” Ia lalu mengalihkan
perhatiannya ke arah Farhan. “Lo ngapain ngajak tunangan gue? Hah?”
***
Jengjeeeng!!!
Fanya langsung
tegang mendengar Haykal yang sangat menjunjung tinggi keprofesionalan tersebut
sedang berbicara menggunakan ‘gue-elo’ pada mahasiswa sekaligus asistennya
sendiri.
“Salah Dokter,
kenapa punya tunangan tapi malah ditinggal sendirian.” Farhan melipat kedua
tangannya di depan dada. Terlihat menantang. Membuat Fanya semakin menahan
nafas.
“Lo nantangin
gue?” Haykal melangkah maju, mempersempit jarak antara dirinya dan laki-laki
yang memiliki postur tak jauh beda darinya tersebut.
“Dokter pikir
saya takut?” Farhan tertawa meremehkan di ujung kalimatnya. “Apa saya mesti
ngaku dulu kalo saya masih sayang Fanya baru Dokter mau ngejagain dia 24 jam
biar gak saya rebut?”
BUK! BUK!
Fanya memekik
tertahan ketika melihat tunangannya melayangkan kepalan tangan kanan ke hidung
mantan pacar semasa SMP -nya
sebanyak dua kali. Ia ingin berteriak, namun tubuhnya seakan dipaku. Ingin
memisahkan, tapi takut jadi korban salah sasaran.
BUK!
Kali ini,
giliran Farhan yang membalas. Hanya satu pukulan, tepat ke ulu hati Haykal.
Membuat lelaki itu terhuyung beberapa langkah ke belakang.
“KALIAN NGAPAIN?”
sorak perempuan yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang tubuh Haykal.
Kemudian berusaha menjauhkan kedua laki-laki yang sepertinya bisa saling
menghilangkan nyawa jika tetap dibiarkan.
Perempuan yang
tidak lain dan tidak bukan adalah Dokter Ita itu sontak menarik kemeja Farhan,
walau dengan susah payah.
“Kamu ngapain
diem di situ? Kenapa gak misahin mereka, sih?” teriak Dokter Ita lagi, agak
emosi. Untung suasana di sekitar mereka sedang sepi. Jadi tidak mengundang
keramaian orang-orang.
Fanya yang
menjadi objek teriakan Dokter Ita barusan hanya memasang ekspresi bersalah. Ia
terlalu shock untuk berpikir apa yang bisa ia lakukan beberapa saat yang lalu.
“Kalo kamu
bangga direbutin dua laki-laki sekaligus, seenggaknya kamu pikirin gimana
keadaan mereka kalo babak belur atau cacat gara-gara berantem gak penting gini!”
sambung perempuan itu, jemarinya masih meremas lengan kemeja Farhan.
Fanya
menundukkan kepalanya dalam-dalam seraya memejamkan mata. Menghalau butiran
bening mengalir tanpa izin di pipi mulus miliknya.
“Gue ingetin
sama lo! Sekali aja lo coba-coba deketin tunangan gue, gue gak bakal bikin lo
tenang! Ngerti?” Haykal mengusap keringat yang menetes dari dahinya dengan
kasar. Lalu menarik pergelangan tangan Fanya untuk pergi, sebelum menabrak bahu
Farhan dengan bahunya yang kekar.
***
“DAMN IT!!!”
Dokter Ita
menatap Farhan yang berdiri di sebelahnya dengan dahi berkerut. Lelaki itu
terlihat seperti sedang mencari objek untuk pelampiasan amarahnya. Namun entah
kemana. “Kamu ini kenapa, sih?”
Lelaki yang ia
tanya tersebut balik memandangnya dengan nafas terengah-engah, bekas
pertengkaran tadi. Hidungnya bahkan mengeluarkan darah segar yang enggan ia
pedulikan.
“Harusnya kamu
bisa ngendaliin emosi kamu. Gimana kalo masalah ini makin panjang? Kamu itu
statusnya masih mahasiswa, Farhan!”
“Dokter Haykal
yang mulai mancing perkelahian tadi, Dok! Masa saya mesti tinggal diam?” Farhan
menjawab sembari meneruskan langkahnya.
Dokter Ita
langsung menahan kemeja lelaki itu. Membuat langkah lebar Farhan sontak
berhenti. Lalu berbalik dan berhadapan dengannya.
“Kamu mau pulang
dengan muka biru dan berdarah gitu? Gak takut diinterogasi sama mamanya Dokter
Haykal?” tanyanya.
Lelaki tersebut
spontan mengusap daerah di bawah hidungnya, tempat darah hasil bogem mentah
Haykal mulai mengering. Ia meringis pelan sembari meraba hidung dan pipinya.
Untung tidak ada tulang yang patah.
“Sini...” ujar
Dokter Ita seraya menggandeng tangan mahasiswanya itu ke tepi jalan. Ke arah
sebuah akar pohon yang lumayan besar berada. Kemudian duduk di atas sana, dan
mengeluarkan sebungkus tisu basah dari dalam saku pakaiannya.
“Auw,” ringisan
Farhan semakin menjadi saat Dokter Ita mencoba membersihkan luka di wajahnya
dengan selembar tisu basah. “Itu sakit, Dokter. Pelan-pelan, dong.”
“Heh! Dasar gak
tau diri! Udah untung saya mau bantu ngobatin!”
Lelaki itu
sontak bungkam. Perempuan cantik manapun tetap saja terlihat menyeramkan saat
marah.
***
Fanya
memasuki kamar dengan wajah cemberut. Sepanjang perjalanan tadi, ia tidak
terlibat percakapan apapun bersama sang tunangan.
“Nya, lo gak
kenapa-kenapa?” Tyas muncul dari pintu dengan wajah cemas. “Tadi gue liat
Dokter Haykal. Kok mukanya kayak lagi marah, ya? Lo darimana aja, sih?”
“Ceritanya
panjang. Gue mau mandi dulu. Lo gak ke puskesmas?” Fanya balik bertanya dengan
lesu.
“Ini, gue udah
mau jalan. Mau barengan?”
“Gak usah. Lo
duluan aja,” balas perempuan itu sambil melangkah menuju kamar mandi yang
berada di sudut kamar.
***
Fanya
duduk di atas tempat tidur sambil menguncir rambut sebahu miliknya. Rumah sudah
sepi. Sepertinya penghuni yang lain sudah berangkat ke puskesmas untuk kembali
melayani warga.
“Kamu udah mau
ke puskesmas, sayang?”
Perempuan itu
menoleh. Lalu menemukan sosok Mama sudah ikut duduk di sebelahnya.
“Iya, Ma.”
Hening sejenak.
“Mama udah
denger masalah kalian berempat,” ucap wanita berjilbab tersebut.
Fanya kontan
mengerutkan dahinya. “Hm?”
“Iya. Antara
kamu, Haykal, Dokter Ita, dan Farhan.” Mama mengelus rambut ikal calon
menantunya itu. “Kalian berdua kan udah tunangan, kenapa mesti cemburuan terus,
sih? Seharusnya, mau berapapun orang yang ngedeketin kalian berdua, itu gak
masalah. Toh kalian masih saling mencintai,” lanjutnya.
“Aku juga
mikirnya kayak gitu, Ma. Aku udah nganggep Farhan sebagai temen. Gak lebih,
apalagi hubungan kami udah selesai lama banget. Tapi Haykal gak pernah mau
terima kalo aku tetep akrab sama Farhan. Sementara dia bisa seenaknya deket
sama Dokter Ita yang jelas-jelas selalu berusaha ngerebut perhatian dia dari
aku. Egois kan, Ma?”
Mama tersenyum tipis.
Jenis senyum menenangkan yang selalu dirasakan Fanya setiap melihat Haykal
tersenyum ke arahnya. “Mama ngerti. Cuma harusnya kalian berdua ngehindarin
orang-orang kayak Dokter Ita sama Farhan. Mama bukannya su’udzon atau apa yaa,
cuma Mama ngerasa ada yang aneh aja. Kok mereka berdua keliatannya getol banget
ngedeketin kalian dalam waktu bersamaan?”
Fanya terdiam.
Ia jadi teringat pembicaraannya bersama Tyas tadi pagi. “Tapi Farhan itu baik,
Ma. Dia udah aku anggep sahabat banget. Kalo Dokter Ita sih... gak tau.”
“Tapi... siapa yang
tau loh, sayang? Gak ada yang gak mungkin, kan?”
Deg! Kini,
perempuan itu benar-benar mengingat kata-kata terakhir Tyas yang hampir sama
dengan kalimat Mama barusan.
***
Entah
sudah keberapa kalinya Haykal menoleh ke arah halaman puskesmas untuk
memastikan kehadiran tunangannya. Ia sengaja berangkat duluan untuk menghindari
rasa bersalah karena terpancing emosi beberapa jam yang lalu. Apalagi di depan
calon istrinya sendiri.
“Yas, Fanya
belum dateng, ya?” Lelaki itu menghalagi Tyas yang lewat di depannya.
“Udah, Dok. Tuh,
dia baru aja duduk di ruang tunggu. Ngobrol sama warga yang mau berobat,” jawab
perempuan berlesung pipi tersebut.
“Ya udah.
Makasih, ya!” Haykal langsung melangkah ke ruang tunggu yang terletak tepat di
depan pekarangan puskesmas itu. Lalu menemukan seorang perempuan berkuncir kuda
dengan jas dokter sedang duduk membelakanginya.
“Wah, berarti
Fanya ini calon menantunya Ibu Septi, ya?” Seorang ibu dengan anak kecil di
pangkuannya terlihat bertanya sambil tersenyum lebar.
Haykal kontan
menghentikan langkah. Memilih mendengar pembicaraan tunangannya bersama ibu-ibu
di sana dari balik sebuah pilar.
“Iya, Bu.”
Perempuan itu balas tersenyum. Sesekali, ia menggoda anak laki-laki di pangkuan
ibu di depannya.
“Jadi nikahnya kapan,
dong?” tanya ibu itu lagi.
“Pasti ntar
anaknya ganteng. Wong orangtuanya
cakep gini,” timpal wanita paruh baya yang lain.
“Ibu Septi enak
banget ya, punya anak sama menantu dokter...” Seorang ibu ikut menyeletuk.
Dan masih banyak
lagi ungkapan-ungkapan lainnya yang hanya dibalas senyuman oleh Fanya. Membuat
lelaki itu tidak tahan dan akhirnya memilih menghampiri mereka.
“Lagi ngomongin
apa, nih? Kayaknya serius banget.” Haykal langsung duduk di samping tunangannya
dengan senyum bahagia. Seperti tak pernah ada pertengkaran sebelumnya.
Beberapa wanita
paruh baya di sekitar seketika membeku. Ada yang balas tersenyum kikuk, ada
yang melotot, bahkan menganga tanpa sadar.
Lelaki itu
berusaha menyembunyikan tawanya. Kemudian merangkul pundak Fanya dengan erat.
Menghalanginya jika berniat kabur.
“Haykal sama
Fanya ini serasi sekali, ya... Kenapa belum nikah, sih? Kasian Bu Septi, pasti
udah mau gendong cucu.” Ibu yang sedang memangku anak laki-laki tersebut
membuka pembicaraan. Diikuti anggukan mantap dari ibu-ibu yang lain.
Haykal bisa
merasakan tubuh Fanya menegang dalam rangkulannya. Ia pun mengelus pundak
perempuan itu, mencoba menenangkan. “Secepatnya kok, Bu. Doain aja.”
***
Jam
sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Fanya meletakkan sebuah piring besar berisi
ayam rica-rica ke atas meja makan. Di belakangnya, Mama ikut menaruh semangkuk
jumbo sayur sup kesukaan putranya.
“Nya, kamu
panggilin Haykal sama yang lain, ya!” ujar Mama seraya melepas celemek dari
tubuhnya.
Fanya mengangguk
pelan. Sepulang dari puskesmas tadi, ia belum mau membuka pembicaraan dengan
lelaki itu. Walau sang tunangan sudah berkali-kali mencoba menarik
perhatiannya. Ia juga berusaha menghindari Farhan dan Dokter Ita setiap
mengingat insiden siang tadi.
Perempuan yang
sudah mengenakan daster batik selutut khas ibu-ibu tersebut pun melangkah
memasuki kamar yang ditempati Tyas dan Dokter Ita. Keduanya sedang sibuk
melihat-lihat buku catatan nama pasien lengkap dengan keluhannya di atas tempat
tidur.
Fanya berdehem
pelan, membuat Tyas dan Dokter Ita kontan menoleh ke arah pintu kamar.
“Kenapa, Nya?”
tanya Tyas.
“Makanan
malemnya udah siap. Mama nunggu kita di meja makan,” balas Fanya. Ia bahkan
enggan menatap Dokter Ita. Seakan menekankan kata ‘kita’ hanya pada dirinya dan
sang sahabat.
“Oh, ya udah
kalo gitu.” Perempuan berlesung pipi tersebut langsung turun dari tempat tidur.
Lalu memakai sendal mini mouse miliknya.
Fanya
mengangguk, kemudian berbalik untuk kembali ke meja makan. Namun tiba-tiba, ia
teringat sesuatu. “Eh, Yas...” ucapnya seraya kembali memandang sahabatnya.
“Hm?”
“Tolong kasih
tau Dokter Haykal sama Farhan, ya! Gue mau bantu Mama beresin meja makan
soalnya.”
“Okay,” Tyas
tersenyum memaklumi. Ia sudah bisa lulus dengan predikat cum laude dalam
masalah memahami sahabatnya itu.
***
Haykal duduk paling terakhir di
meja makan. Kemudian langsung memimpin doa makan. Setelah itu, bunyi piring dan
sendok beradu pun terdengar bersahutan.
“Gimana, Kal?
Enak?” tanya Mama sambil melirik putranya.
Lelaki itu
menghentikan kunyahannya sebelum menjawab. “Iya, Ma. Enak banget, malah.”
“Mama jago
masak, ya! Saya mau loh kapan-kapan diajarin masak yang kayak begini.” Dokter
Ita menimpali.
Mama sontak
menatap perempuan dengan piyama merah muda tersebut. “Maaf loh, Dokter Ita.
Bukannya gimana-gimana, cuma saya gak enak kalo dipanggil Mama sama orang lain,
kecuali Haykal dan calon menantu saya.” Beliau memasang ekspresi datar, dengan
penekanan pada kata calon menantu.
Dokter Ita
terlihat serba salah. Ia tersenyum kikuk seraya berujar, “Maaf, Bu. Saya
keseringan denger Fanya manggil Mama, jadi ikut kebawa.”
Fanya kontan
memadangnya takjub. Gila, ngapain bawa-bawa aku, coba? Ck!
“Tapi masakannya
bener-bener enak, Bu. Dan masalah belajar masak tadi, saya juga serius,” lanjut
perempuan itu. Lengkap dengan senyum manis andalannya.
Mama melirik
Fanya sekilas. Kemudian mengembalikan perhatiannya pada Dokter Ita. “Emangnya
Dokter gak bisa masak?”
“Enggak bisa,
Bu. Baru masakan yang instan dan simpel aja.”
“Kasian dong,
ya?” Mama tersenyum miring, terkesan meremehkan. “Oh, iya. Kalo Dokter mau
belajar masak, sama Fanya aja. Soalnya semua makanan yang ada di atas meja
sekarang, dia yang bikin.”
Dokter Ita
tergeragap sejenak. Namun buru-buru menormalkan raut wajahnya. “Oh, ya?” Hanya
itu yang bisa ia katakan.
Mama mengangguk
penuh semangat. “Iya. Bener-bener menantu idaman, kan? Makanya saya gak bakal
ngijinin mereka pisah. Apalagi kalo Haykal deket sama perempuan lain yang gak
bisa masak. Amit-amit deh!”
***
Dokter Ita sedang menyibukkan
diri di teras belakang rumah Haykal. Telunjuk tangan kanannya sibuk mengelus
layar I-pad di genggamannya dengan kasar. Mencoba melenyapkan semua babi
berwarna hijau di sana menggunakan bantuan sekelompok burung kuning dalam game
angry bird.
“Pokoknya saya
gak terima! Saya gak bakal biarin mereka bahagia! Gimanapun caranya!!!” lirih
perempuan itu dengan segenap emosi jiwa.
Laki-laki yang
ikut duduk di sebelahnya hanya menghela nafas panjang seraya mendongak. Menatap
keindahan malam dengan cahaya bulan purnama dan jutaan bintang di atas sana.
“Kamu ngomong
dong, Farhan! Kamu punya ide lagi gak buat misahin Dokter Haykal sama Fanya?”
Dokter Ita kembali mendesis kesal.
Farhan menoleh
dan ganti menatapnya. Menatap keindahan lain dari malam hari di tempat itu,
namun dalam versi agak menyeramkan. Lagi-lagi, ia menghela nafas panjang. “Apa
gak sebaiknya... kita give up aja, Dok? Tadi Dokter denger sendiri kan yang
diomongin Bu Septi? Beliau gak bakal ngizinin anaknya menikah sama perempuan
selain Fanya.”
“Gak ada yang
gak mungkin, Farhan. Kamu harus inget itu!”
“Tapi kita juga
gak bisa menyalahi takdir Tuhan kan, Dok? Kita cuma manusia yang bisanya
merencanakan. Malah saya pikir, kita udah dalam konteks memaksakan sekarang.”
Perempuan itu
seketika meliriknya denga pandangan tajam. “Kamu itu laki-laki kan, Farhan?
Masa cuma karna ini kamu udah hopeless? Saya gak mau tau, pokoknya kita harus
tetep bikin mereka pisah. Titik!” tandas Dokter Ita sembari buru-buru berdiri,
kemudian melangkah memasuki rumah. Meninggalkan Farhan.
***
“Gue
udah denger semuanya...” Sebuah suara muncul di sebelah kanan lelaki bersweater
coklat tua tersebut.
Farhan kontan
menoleh dan menemukan perempuan berlesung pipi sudah duduk di sampingnya,
menggantikan posisi Dokter Ita beberapa menit lalu.
“Gue udah curiga
dari awal. Kalian pasti punya niat jahat sama Fanya dan Dokter Haykal. Tapi gue
gak nyangka rencana kalian bisa sepicik ini. Jahat banget, tau gak!” sambung
perempuan yang tidak lain dan tidak bukan adalah Tyas itu.
Lelaki di
sebelahnya tersenyum sekilas. “Gue juga baru tau kalo lo suka nguping
pembicaraan orang,” balasnya. Lalu mengembalikan perhatiannya ke langit di atas
mereka.
Tyas mencibir
sejenak. “Lo kenapa segitu sayangnya sama Fanya, sih? Sampe mau ngerusak
kebahagiaan mereka segala,” tanyanya.
“Gue gak punya niat
kayak gitu sedikit pun, Yas. Cuma karna Dokter Ita nawarin, jadi gue ngikut
aja. Mumpung Fanya masih amnesia, kan?” Farhan tertawa getir di ujung
kalimatnya. “Tapi setelah gue pikir-pikir, gue emang jahat, ya?”
“Emang jahat! Lo
gak pernah denger istilah ‘cinta itu bahagia melihat orang yang dicintainya
bahagia, walau bukan bersamanya’? Nah, harusnya lo juga kayak gitu!”
“Bawel lo, ah.
Emangnya lo pernah jatuh cinta kayak gue?” Farhan meliriknya dengan pandangan
meremehkan.
“Sialan! Ya
pernah, dong!” Tyas langsung meninju bahu kekar milik lelaki di sampingnya.
“Tapi yaa, gitu. Nasib kita sama,” lanjutnya. Yang spontan disusul tawa
mengejek dari Farhan.
***
Fanya
mengitari pekarangan rumah bercat hijau-putih tersebut sambil bertelanjang kaki
dan menunduk-nunduk seperti anak babi. Sesekali, ia juga mendecak kesal.
“Lagi ngapain,
Nya?”
Perempuan dengan
kemeja hijau dan rok putih itu sontak mengangkat wajahnya dan menatap lelaki
yang sudah berdiri di depannya saat ini. “Sendalku ilang. Perasaan semalem aku
taro’ di sini, tapi sekarang gak ada. Males pake flat shoes, nih.”
Farhan yang
mengenakan polo shirt hitam dan celana
kargo berwarna senada itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Aku
mau bantu sih, tapi harus buru-buru ke puskesmas. Hari ini disuruh ngedata
pasien yang datang.”
Dahi Fanya
berkerut dibuatnya. “Ih, tega banget! Bantu cariin, dong! Aku udah capek nyari
sendiri,” keluhnya. Lengkap dengan wajah memelas.
Lelaki itu
menghembuskan nafas sejenak. “Tunggu dulu,” ucapnya sambil melangkah memasuki
rumah.
Dia mau kemana, coba? Dibilangin ilangnya di luar
sini, malah masuk ke dalem. Ada-ada aja, dumelnya dalam hati. Kemudian kembali
membungkuk dan mencari sampai ke bawah keset.
“Nyariin aku?”
Deg! Fanya
seketika berbalik dan berhadapan dengan dada bidang milik tunangannya. Dari
jarak sedekat ini, ia bisa dengan puas menikmati aroma parfum yang membuatnya
sangat tergila-gila. Namun perempuan itu memilih mundur dua langkah. Lalu
mendongak dan menatap kedua mata teduh milik Haykal dengan ekspresi datar.
“Apa?”
Haykal menaikkan
sebelah alis miliknya. “Katanya kamu nyariin aku.”
“Siapa bilang?”
“Farhan.”
“Hah?” Maksudnya tuh anak apa, coba? Kurang ajar!
batinnya. “Trus, sekarang Farhan mana?” lanjutnya.
Lelaki berkemeja
hijau dan celana kain hitam tersebut ikut celingukan. “Gak tau. Udah ke
puskesmas, kali.”
Fanya tak
menggubris lagi. Ia masih heran mengapa Farhan tiba-tiba menyuruh Haykal
mendatanginya. Bukannya laki-laki itu tahu bahwa ia masih kesal dengan
tunangannya itu?
“Lagi nyari apa,
sih?” heran lelaki tersebut.
“Bukan urusan
kamu!”
Haykal mendengus
sesaat. Lalu mengangkat bahunya. “Ya udah kalo gitu. Aku berangkat ke puskesmas
duluan, ya! Klo udah dapetin apa yang kamu cari, langsung nyusul.”
Perempuan
bertubuh mungil itu sukses melongo dibuatnya. Ia seketika berbalik, kemudian
berkacak pinggang. “Heh, kamu emang gak peka atau cueknya kebangetan, sih?”
hardiknya.
Lelaki itu
kontan mundur selangkah dengan dahi berkerut, sembari mengelus dada. “Kamu
kenapa teriak-teriak gitu? Emang salah aku apa?”
“Bodo! Bodooo!
Pergi sana!!!” Ia langsung memasuki rumah.
Namun langkahnya
terhenti saat Mama muncul dari dalam rumah. “Kamu kenapa teriak-teriak, sayang?”
tanyanya.
Fanya
menghampiri Mama. Lalu berdiri menghadap tunangannya yang masih bergeming di teras
depan. Wajahnya dipasang memelas. “Itu, Ma... Masa tadi aku minta tolong sama
Haykal buat dicariin sendal yang semalem aku taro’ di sini, tapi dia gak mau?
Dia malah mau ninggalin aku ke puskesmas duluan, Ma...” Ia mengembang-kempiskan
hidungnya, seakan menahan tangis.
Mama serta-merta
memandang putranya dengan tatapan membunuh. “Bener, Kal?”
“Loh, Mama nih
gimana? Manggil Fanya aja pake ‘sayang’, masa ke aku ‘Kal’ doang?” Haykal tidak
terima. Lelaki itu melipat kedua tangannya di depan dada bidang miliknya.
Fanya beringsut
ke belakang tubuh Mama perlahan, mencari perlindungan. Masih dengan ekspresi
sedih yang jelas saja dibuat-buat. “Ma, aku takut...” lirihnya.
Haykal melotot
maksimal.
Mama malah
melangkah mendekati anaknya. Kemudian sedetik kemudian, beliau dengan senang
hati menjewer telinga kiri laki-laki dewasa tersebut.
“Aduh! Auwww!
Mama ngapain, sih?” sorak Haykal sambil berusaha mengenyahkan cubitan wanita
itu dari telinganya yang sudah memerah.
“Siapa suruh gak
mau bantuin calon istri kamu? Hah?”
“Siapa yang gak
mau bantuin? Dia gak ngomong apa-apa sama aku, Ma!”
“Boong! Haykal
boong, Ma. Tadi dia yang nyuekin aku pas aku minta tolong,” sela perempuan itu
buru-buru. Bibirnya manyun.
“Hah?” Lelaki
itu menganga. “Kamu jangan fit– Auw, sakit tau, Ma!!!”
Mama pun
melepaskan telunjuk dan jempolnya yang tadi menjepit telinga Haykal. “Kenapa?
Kamu mau bilang kalo Fanya yang bohong sama Mama? Iya? Kamu bener-bener, ya!
Udah gak mau ngebantuin dia, malah fitnah dia yang enggak-enggak. Mama gak
nyangka kamu kayak gini, Kal...” Wanita itu geleng-geleng kepala. Lalu berbalik
dan mengelus pundak calon menantunya.
Fanya langsung
memeluk Mama. Wajahnya yang menghadap Haykal seketika memeletkan lidah dan
menggerakkan kedua bola matanya ke tengah.
Lelaki itu mendesis
kesal, mencoba menahan amarah. Kemudian meninggalkan kedua wanita yang
dicintainya tersebut dan melangkah memasuki rumah. Membuat Fanya dan Mama
kontan melepaskan pelukan.
Sesaat kemudian,
ia kembali dengan sendal berwarna biru bergambar chasper di genggamannya. “Nih,
semalem aku taro’ di dalem. Takut ilang,” ucapnya seraya meletakkan sepasang
benda itu di depan kaki mungil tunangannya.
Perempuan berjas
dokter di depannya langsung memakai sendal miliknya dengan senyum lebar.
“Kamu ini
bener-bener ya, Kal! Kamu nyembunyiin sendal Fanya, ya?” sorak Mama seraya
berkacak pinggang. Matanya melotot.
Mata Haykal ikut
membesar. Ia lalu melirik Fanya yang berusaha menahan tawa di sebelah wanita
berjilbab tersebut.
Fanya berdehem
sejenak. Mencoba menghalau tawanya yang sudah nyaris keluar. “Gak pa-pa kok,
Ma. Yang penting sekarang aku udah bisa berangkat ke puskesmas. Keburu siang,
nih.”
“Tuh, liat.
Untung Fanya orangnya pemaaf. Awas kalo nanti kamu bikin calon menantu Mama ini
sedih. Mama pecat kamu jadi anak!”
Kali ini, Fanya
memilih membiarkan tawanya mengambang di udara. Tawa penuh kemenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar