Senin, 06 Mei 2013

Remember Me #8 - Fate

Kita cuma manusia yang bisanya merencanakan. Sedang takdir Tuhan tak bisa ditentang.



“Sebel! Sebel! Sebeeel!!!” Perempuan berpiyama chasper itu menginjak-injak tanah sekuat tenaga. Ia duduk di atas saung dekat puskesmas yang besok pagi akan menjadi tempat penyuluhan kesehatan dari dokter dan mahasiswa kampusnya.
“Heh, berisik banget!” Sebuah suara tiba-tiba muncul di sampingnya. Suara berat khas laki-laki. Tanpa menoleh pun, Fanya sudah tahu bahwa itu adalah suara Farhan.
“Kamu pasti kesel banget gara-gara Dokter Haykal sama Dokter Ita tadi. Iya, kan?” lanjut Farhan. Ia ikut duduk di sebelah perempuan berwajah cemberut tersebut.
“Bukan sebel lagi. Aku malah pengen bikin orang babak belur sekarang.” Fanya mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Membuat buku-buku jarinya memutih. Kukunya yang mulai panjang sedikit melukai telapak tangannya, namun tak ia pedulikan sama sekali.
“Aku juga sempet shock pas Dokter Haykal ngebelain Dokter Ita dan malah ngebentak kamu. Padahal, biasanya kalian kan mesra banget,” komentar Farhan. “Kok Dokter Haykal bisa berubah gitu, ya? Aku aja pasti gak bakalan tega ngelakuin itu ke kamu. Apalagi kalo kamu itu... tunangan aku.”
“Apa sebelum ini, dia juga suka ngomong kasar ke aku, ya?” gumam Fanya pelan. Lebih untuk dirinya sendiri. Pandangannya menerawang, mencoba mengingat masa lalu. Namun tetap tak membuahkan hasil apapun.
Farhan meliriknya dengan senyum lebar. “Kalo kamu butuh bahu, aku selalu ada buat kamu.”
Tanpa suara, perempuan itu langsung menjatuhkan kepalanya ke bahu kanan Farhan. Menenangkan memang, namun tetap hangat dari Haykal yang terbaik.
***
            Fanya memasuki rumah dalam diam. Tubuhnya sudah dibalut jaket tebal berwarna khaki milik Farhan.
“Kamu darimana aja?” Haykal langsung berdiri dari sofa ruang tamu. Menghampiri sang tunangan. Ekspresinya jangan ditanya lagi. Sudah mengalahkan istilah kebakaran jenggot saking cemas dan merahnya.
Perempuan itu melanjutkan langkah ke bagian dalam rumah dengan tatapan datar. Seolah-olah tidak mendengar pertanyaan lelaki berkacamata itu.
Merasa tak diacuhkan, Haykal langsung mencekal lengan kanan Fanya. Membuat tubuh mungil tersebut terhuyung ke belakang. “Kalo aku nanya, kamu jawab, dong!”
Fanya menoleh dan sontak melemparkan tatapan tajam ke dalam mata lelaki yang kini menggenggam lengan miliknya. “Mau kamu apa, sih?” tanyanya.
“Harusnya aku yang nanya. Mau kamu apa? Tiba-tiba pergi dari rumah, trus pulangnya sama cowok lain!” Haykal melirik Farhan dengan pandangan tidak suka yang sangat kentara.
“Apa peduli kamu? Hah?” sorak Fanya. Ia menyentakkan tangannya dengan kasar. Membuat genggaman Haykal spontan terlepas.
“Fanya!”
“Kenapa? Teriak aja! Bentak aku sampe kamu puas!!!” seru perempuan itu.
Sedetik kemudian, Tyas dan Dokter Ita keluar dari kamar. Disusul Mama dengan wajah khas bangun tidur.
“Kalian kenapa, sih?” tanya wanita paruh baya tersebut.
Haykal malah meremas kepalanya sendiri. Lalu melangkah memasuki kamar tempatnya dan Farhan tidur bersama untuk satu minggu ke depan. Meninggalkan kelima sosok yang masih bergeming di ruang tamu.
Sepeninggal putranya, Mama langsung mendekati dan merangkul pundak calon menantunya yang sedang memijat kepala tersebut. “Kalian kenapa sih, sayang?”
“Gak tau, Ma. Aku juga gak ngerti,” balasnya. “Oh iya, Ma. Aku... boleh tidur sama Mama, gak?”
Mama mengerutkan dahinya sejenak. Kemudian mengangguk pelan, dan menggandeng Fanya menuju kamar.
***
            Fanya menaruh piring berisi omlet untuk sarapan di pagi pertama mereka di sini. Lalu duduk di kursi kosong yang terletak antara Haykal dan Tyas. Di seberang, duduk Farhan dan Dokter Ita. Sedangkan Mama duduk di ujung meja sebelah kanan Haykal seorang diri.
Mereka menyendok nasi goreng, omlet, dan nugget ayam ke piring masing-masing dalam diam.
“Oh iya, Dok...” Dokter Ita yang pagi itu terlihat lebih fresh dengan rambut kuncir kuda dan long dress merah muda memecah keheningan. “Kita langsung ngumpul di puskesmasnya jam sepuluh, ya?”
Haykal menyelesaikan kunyahannya terlebih dahulu sebelum menjawab, “Iya, Dok. Ada apa?”
“Enggak pa-pa, sih. Tapi kita ke sana naik apa? Kemarin saya liat tempatnya lumayan jauh juga kalo jalan kaki.”
Fanya melirik perempuan di depannya dengan ekor mata. Mau ngapain lagi nih si dokter ganjen?
“Saya sih biasanya ke sana naik motor. Kebetulan di garasi rumah ini saya naro’ motor biar gak ribet. Tapi karna kita ke sananya rame-rame, mungkin saya jalan kaki aja.”
“Gimana kalo kita naik motor aja, Dok? Puskesmas itu kan jauh,” balas Dokter Ita.
Fanya menghentikan kunyahannya dengan dahi berkerut. Kita? Nah, aku bilang juga apa! Pasti dia punya rencana lagi! Mau modus lagi! Ck!
Haykal langsung melirik perempuan di sebelah kirinya tersebut. Membuat sang objek buru-buru memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya dan mengunyah dengan pipi menggembung. “Saya kayaknya jalan kaki aja deh, Dok. Sekalian olahraga sambil ngobrol sama dosen dan mahasiswa yang lain,” jawabnya.
“Tapi kan jauh, Dok...”
“Kenapa Dokter Ita gak naik motor sendiri aja?”
Jengjeeeng! Semua mata kontan menatap Mama yang baru saja nyeletuk dengan santainya. Fanya dan Tyas malah harus menahan senyum setengah mati.
“Saya gak tau bawa motor, Bu. Makanya saya minta Dokter Haykal yang bawa,” ucap Dokter Ita. Tak lupa memamerkan senyum manis andalannya.
“Ya udah. Berarti Dokter harus rela jalan kaki. Kecuali kalo mau bawa mobil. Eh, tapi jalanan ke puskesmas itu agak sempit. Gak ada tempat parkir.” Mama menjelaskan dengan raut wajah yang tegang. Ekspresi yang belum pernah dinampakkannya di depan Fanya.
“Fanya gak apa-apa kan jalan kaki ke sana?” Mama mengalihkan perhatiannya ke arah perempuan mungil dengan rambut ikal tergerai dan mini dress summer di sebelah putranya.
Fanya menggeleng mantap. “Enggaklah, Bu. Di sini kan adem. Lagian kalo di rumah aku gak pernah olahraga, bosen naik kendaraan mulu.”
“Tuh, Dok. Dosen itu ya wong ngasih contoh ke mahasiswinya. Dokter gak malu apa liat mahasiswinya lebih semangat?”
“Uhuk! Uhuk!” Fanya langsung tersedak gara-gara menahan tawa sambil berusaha menelan makanannya.
Haykal buru-buru menyodorinya segelas air putih seraya menepuk-nepuk punggung perempuan itu.
Saat batuknya sudah reda, Fanya langsung menepis jemari tunangannya tersebut dengan kasar. Sisa-sisa emosi kemarin masih menguasainya.
“Oh iya, Kal. Kamu harus jagain Fanya loh selama di sini. Mama gak mau dia kenapa-kenapa. Ngerti?”
Lelaki itu mengangguk mantap.
Sedangkan Fanya seketika mendengus kecil.
***
            “Saya yakin kalo si Fanya minta bantuan mamanya Haykal buat ngebelain dia. Ck!” lirih Dokter Ita, diiringi decakan kesal pada akhirnya. Ia berjalan di barisan agak belakang bersama Farhan.
“Apa jangan-jangan mamanya Haykal yang gak suka sama kita, Dok? Tadi aja saya disinisin mulu cuma gara-gara bantuin Fanya nyari buku.” Farhan yang pagi itu terlihat santai dengan kaos polo abu-abu dan celana jeans berwarna senada tersebut memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas dokter yang ia kenakan. Lalu menghirup udara segar di sekitarnya tanpa sadar.
“Whatever-lah. Intinya dia bisa jadi penghalang rencana kita. Huh, percuma kita minta bantuan Dokter Tio biar kita bisa serumah sama mereka di sini.” Dokter Ita menendang kerikil di depannya. Sekaligus melampiaskan kekesalan karena harus berjalan sekitar satu kilometer untuk sampai ke puskesmas tempat penyuluhan diadakan.
“Iya juga, Dok. Jadi kita mesti gimana?”
Perempuan itu langsung melemparkan pandangannya ke arah Fanya yang sedang menoyor bahu Tyas di depan sana. “Kita tetep berusaha ngejauhin mereka aja. Gimanapun caranya.”
***
            “Lo kayaknya seneng banget,” cibir Tyas ke arah sahabatnya yang melangkah dengan riang sedari tadi. Kadang sambil menyanyi, bahkan tertawa sendiri.
Fanya menoleh dan menatap perempuan berlesung pipi di sebelahnya sambil tertawa lebar. “Gak pa-pa, kok. Gue cuma seneng aja. Finally bisa terbebas dari suara anak kecil yang berisik, dan kerja di daerah terpencil.”
“Idih, siapa tau di sini kebanyakan anak kecil yang sakit, gimana? Ujung-ujungnya lo ngerawat anak kecil juga, kan?”
Langkah Fanya berubah pelan seketika. “Eh, iya juga, ya?” gumamnya. “Ah, sialan lo!” sambungnya sambil mendorong bahu kiri sahabatnya itu dengan kesal.
Tyas spontan tertawa puas.
“Eh, by the way, Dokter Ita kemana? Tumben gak nempelin tunangan lo,” bisik Tyas sembari celingukan, mencari sang topik pembicaraan.
Fanya ikut mengedarkan pandangannya. Lalu menemukan perempuan yang dimaksud sedang berjalan di bagian agak belakang dari rombongan berjas dokter ini. Bersama Farhan. “Tuh, dia ada di belakang. Lagi asik ngobrol sama Farhan,” ucapnya sembari mengembalikan konsentrasi ke jalanan di depan.
Tyas menoleh dan mendapati keduanya sedang berbicara dengan serius. Kemudian ganti menatap Fanya. “Lo ngerasa gak, sih?” tanyanya.
“Ngerasa apa?”
“Dokter Ita sama Farhan... Mereka deket banget, kan? Kalo Dokter Ita gak nempelin Dokter Haykal kayak tokek, dia pasti bareng Farhan. Kayak sekarang. Gue jadi curiga.”
“Curiga apa? Masa Dokter Ita doyan brondong macem Farhan? Jangan fitnah orang sembarangan, ah.”
“Dasar sotoy! Bukan gitu maksud gue!” Perempuan berlesung pipi itu menoyor kepala Fanya dengan gemas. “Maksudnya, jangan-jangan Dokter Ita sama Farhan sekongkol buat misahin lo sama Dokter Haykal. Yah, siapa tau kan...”
“Wah, parah lo! Ya gak mungkinlah. Gue kenal Farhan, dia itu baik banget. Kayaknya dia gak bakal sepicik itu. Apalagi dia kan ganteng, ngapain juga mau sama gue. Lagian gue sama dia udah kelar dari SMP. Gue aja udah gak punya feeling apa-apa sama dia.”
“Who knows, Nya? Nothing impossible, right? Tuh, buktinya.” Tyas menoleh. Lalu menunjuk Dokter Ita dan Farhan yang masih ngobrol, dengan dagu.
Fanya ikut memandangi kedua orang yang terlihat asik berbincang tersebut. Kedua alisnya menyatu. Ingin mengikuti kecurigaan sahabatnya, namun belum memiliki bukti nyata. Akhirnya, ia memilih mengembalikan pandangan. Ke arah sang tunangan yang berjalan di barisan paling depan, bersama beberapa mahasiswi yang terlihat berusaha menarik perhatiannya.
***
            Fanya duduk di kursi depan puskesmas sambil menyelonjorkan kedua kakinya. Sudah jam makan siang, tapi ia belum menemukan semangat setelah tiga jam lebih berurusan dengan pasien di puskesmas tersebut. Bukan untuk mengobati, tapi untuk menerima wawancara sebagai tunangan Haykal. Entah mengapa karisma lelaki itu selalu saja membuatnya gerah menghadapi respon orang-orang di sekitar.
“Kok masih di sini, Nya?” Suara Farhan muncul di sebelahnya.
Fanya menoleh. “Iya, nih. Masih capek.”
“Trus, Dokter Haykal mana?”
Perempuan itu kontan celingukan. Ia memang tidak sempat bertemu tunangannya sejak sampai di puskesmas tadi. “Gak tau. Udah pulang, kali.”
“Kamu gak mau pulang?” tanya Farhan lagi.
“Enggak, ah. Kamu sendiri, kenapa masih di sini? Gak laper?”
“Asal bareng kamu, aku udah kenyang, kok.”
Fanya langsung tertawa geli. “Dasar tukang gombal! Kamu cocok tuh bikin geng sama Dokter Haykal.”
Farhan yang tadinya ikut tertawa, seketika membeku.
“Haykal tuh ya, kalo aku lagi ngomongin masalah apapun pasti dibelokin jadi gombalan. Bener-bener gak pernah kekurangan stock.” Perempuan itu melanjutkan kalimatnya seraya geleng-geleng kepala. Lengkap dengan senyum lebar. “Tapi ya itu, ngeselinnya lebih banyak. Huh! Trus–”
“Nya, gimana kalo kita nyari makan sekarang? Di deket sini ada warung, kan?” Tiba-tiba, Farhan sudah menggenggam jemari miliknya. Kemudian menuntunnya untuk beranjak meninggalkan pelataran puskesmas. Dengan sedikit terburu-buru.
***
            “Fanya kemana, Yas?” tanya Haykal sembari memperbaiki duduknya di kursi meja makan.
Tyas yang juga baru duduk di sana, menggeleng pelan. “Gak tau, Dok. Tadi Fanya masih sibuk nanganin pasien, jadi saya pulang duluan.”
Pandangan lelaki berkacamata tersebut langsung tertumbuk pada kursi kosong di seberang meja. “Farhan mana?”
Dokter Ita melirik kursi di sebelahnya. “Dia juga belum pulang dari puskesmas.”
Mama ikut duduk di ujung meja setelah meletakkan piring terakhir berisi sup ayam di depan ketiga orang di sana. “Coba telepon Fanya, Nak. Siapa tau dia udah jalan ke sini.”
Haykal langsung merogoh saku celana panjang yang ia kenakan, kemudian menekan tombol 2 yang akan men-dial otomatis ke nomor handphone tunangannya. Nada sambung terdengar. Ia menunggunya dengan tidak sabar. Sampai nada konstan tersebut digantikan oleh suara operator pada akhirnya.
“Kenapa?” tanya Mama saat mendapati putranya mendecak kesal.
“Teleponnya gak diangkat, Ma.”
“Coba aku telepon Farhan, Dok. Siapa tau mereka lagi barengan,” ucap Tyas sambil meraih ponselnya di atas meja. Lalu merutuk sesaat setelah mendapati tatapan tajam si dokter ganteng karena kalimat terakhirnya barusan. “Gak diangkat juga,” lanjutnya kemudian.
Haykal sontak berdiri dari duduknya. Lalu melangkah meninggalkan meja makan.
“Kamu mau kemana, Kal?” seru Mama.
Lelaki itu menoleh sekilas. “Nyari Fanya.”
***
            Haykal memelankan laju motor ninja miliknya sembari mengedarkan pandangan ke kiri-kanan jalan. Setelah satu kilometer dari kediamannya, ia merasa melihat seorang perempuan mungil dengan jas dokter sedang jalan berdampingan bersama seseorang yang sangat ia yakini sebagai Farhan.
“Fanya!!!” sorak Haykal seraya menepikan motornya.
Perempuan yang merasa namanya dipanggil itu seketika berbalik. Lalu bertemu pandang dengan sang tunangan.
“Kamu darimana?” tanya lelaki yang sedang menatapnya tajam tersebut.
“Abis makan sama Farhan. Kenapa?”
Mata Haykal langsung membesar. Shock. “Hah? Kamu ini... Ck!” Ia lalu mengalihkan perhatiannya ke arah Farhan. “Lo ngapain ngajak tunangan gue? Hah?”
***
            Jengjeeeng!!!
Fanya langsung tegang mendengar Haykal yang sangat menjunjung tinggi keprofesionalan tersebut sedang berbicara menggunakan ‘gue-elo’ pada mahasiswa sekaligus asistennya sendiri.
“Salah Dokter, kenapa punya tunangan tapi malah ditinggal sendirian.” Farhan melipat kedua tangannya di depan dada. Terlihat menantang. Membuat Fanya semakin menahan nafas.
“Lo nantangin gue?” Haykal melangkah maju, mempersempit jarak antara dirinya dan laki-laki yang memiliki postur tak jauh beda darinya tersebut.
“Dokter pikir saya takut?” Farhan tertawa meremehkan di ujung kalimatnya. “Apa saya mesti ngaku dulu kalo saya masih sayang Fanya baru Dokter mau ngejagain dia 24 jam biar gak saya rebut?”
BUK! BUK!
Fanya memekik tertahan ketika melihat tunangannya melayangkan kepalan tangan kanan ke hidung mantan pacar semasa SMP-nya sebanyak dua kali. Ia ingin berteriak, namun tubuhnya seakan dipaku. Ingin memisahkan, tapi takut jadi korban salah sasaran.
BUK!
Kali ini, giliran Farhan yang membalas. Hanya satu pukulan, tepat ke ulu hati Haykal. Membuat lelaki itu terhuyung beberapa langkah ke belakang.
“KALIAN NGAPAIN?” sorak perempuan yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang tubuh Haykal. Kemudian berusaha menjauhkan kedua laki-laki yang sepertinya bisa saling menghilangkan nyawa jika tetap dibiarkan.
Perempuan yang tidak lain dan tidak bukan adalah Dokter Ita itu sontak menarik kemeja Farhan, walau dengan susah payah.
“Kamu ngapain diem di situ? Kenapa gak misahin mereka, sih?” teriak Dokter Ita lagi, agak emosi. Untung suasana di sekitar mereka sedang sepi. Jadi tidak mengundang keramaian orang-orang.
Fanya yang menjadi objek teriakan Dokter Ita barusan hanya memasang ekspresi bersalah. Ia terlalu shock untuk berpikir apa yang bisa ia lakukan beberapa saat yang lalu.
“Kalo kamu bangga direbutin dua laki-laki sekaligus, seenggaknya kamu pikirin gimana keadaan mereka kalo babak belur atau cacat gara-gara berantem gak penting gini!” sambung perempuan itu, jemarinya masih meremas lengan kemeja Farhan.
Fanya menundukkan kepalanya dalam-dalam seraya memejamkan mata. Menghalau butiran bening mengalir tanpa izin di pipi mulus miliknya.
“Gue ingetin sama lo! Sekali aja lo coba-coba deketin tunangan gue, gue gak bakal bikin lo tenang! Ngerti?” Haykal mengusap keringat yang menetes dari dahinya dengan kasar. Lalu menarik pergelangan tangan Fanya untuk pergi, sebelum menabrak bahu Farhan dengan bahunya yang kekar.
***
            “DAMN IT!!!”
Dokter Ita menatap Farhan yang berdiri di sebelahnya dengan dahi berkerut. Lelaki itu terlihat seperti sedang mencari objek untuk pelampiasan amarahnya. Namun entah kemana. “Kamu ini kenapa, sih?”
Lelaki yang ia tanya tersebut balik memandangnya dengan nafas terengah-engah, bekas pertengkaran tadi. Hidungnya bahkan mengeluarkan darah segar yang enggan ia pedulikan.
“Harusnya kamu bisa ngendaliin emosi kamu. Gimana kalo masalah ini makin panjang? Kamu itu statusnya masih mahasiswa, Farhan!”
“Dokter Haykal yang mulai mancing perkelahian tadi, Dok! Masa saya mesti tinggal diam?” Farhan menjawab sembari meneruskan langkahnya.
Dokter Ita langsung menahan kemeja lelaki itu. Membuat langkah lebar Farhan sontak berhenti. Lalu berbalik dan berhadapan dengannya.
“Kamu mau pulang dengan muka biru dan berdarah gitu? Gak takut diinterogasi sama mamanya Dokter Haykal?” tanyanya.
Lelaki tersebut spontan mengusap daerah di bawah hidungnya, tempat darah hasil bogem mentah Haykal mulai mengering. Ia meringis pelan sembari meraba hidung dan pipinya. Untung tidak ada tulang yang patah.
“Sini...” ujar Dokter Ita seraya menggandeng tangan mahasiswanya itu ke tepi jalan. Ke arah sebuah akar pohon yang lumayan besar berada. Kemudian duduk di atas sana, dan mengeluarkan sebungkus tisu basah dari dalam saku pakaiannya.
“Auw,” ringisan Farhan semakin menjadi saat Dokter Ita mencoba membersihkan luka di wajahnya dengan selembar tisu basah. “Itu sakit, Dokter. Pelan-pelan, dong.”
“Heh! Dasar gak tau diri! Udah untung saya mau bantu ngobatin!”
Lelaki itu sontak bungkam. Perempuan cantik manapun tetap saja terlihat menyeramkan saat marah.
***
            Fanya memasuki kamar dengan wajah cemberut. Sepanjang perjalanan tadi, ia tidak terlibat percakapan apapun bersama sang tunangan.
“Nya, lo gak kenapa-kenapa?” Tyas muncul dari pintu dengan wajah cemas. “Tadi gue liat Dokter Haykal. Kok mukanya kayak lagi marah, ya? Lo darimana aja, sih?”
“Ceritanya panjang. Gue mau mandi dulu. Lo gak ke puskesmas?” Fanya balik bertanya dengan lesu.
“Ini, gue udah mau jalan. Mau barengan?”
“Gak usah. Lo duluan aja,” balas perempuan itu sambil melangkah menuju kamar mandi yang berada di sudut kamar.
***
            Fanya duduk di atas tempat tidur sambil menguncir rambut sebahu miliknya. Rumah sudah sepi. Sepertinya penghuni yang lain sudah berangkat ke puskesmas untuk kembali melayani warga.
“Kamu udah mau ke puskesmas, sayang?”
Perempuan itu menoleh. Lalu menemukan sosok Mama sudah ikut duduk di sebelahnya.
“Iya, Ma.”
Hening sejenak.
“Mama udah denger masalah kalian berempat,” ucap wanita berjilbab tersebut.
Fanya kontan mengerutkan dahinya. “Hm?”
“Iya. Antara kamu, Haykal, Dokter Ita, dan Farhan.” Mama mengelus rambut ikal calon menantunya itu. “Kalian berdua kan udah tunangan, kenapa mesti cemburuan terus, sih? Seharusnya, mau berapapun orang yang ngedeketin kalian berdua, itu gak masalah. Toh kalian masih saling mencintai,” lanjutnya.
“Aku juga mikirnya kayak gitu, Ma. Aku udah nganggep Farhan sebagai temen. Gak lebih, apalagi hubungan kami udah selesai lama banget. Tapi Haykal gak pernah mau terima kalo aku tetep akrab sama Farhan. Sementara dia bisa seenaknya deket sama Dokter Ita yang jelas-jelas selalu berusaha ngerebut perhatian dia dari aku. Egois kan, Ma?”
Mama tersenyum tipis. Jenis senyum menenangkan yang selalu dirasakan Fanya setiap melihat Haykal tersenyum ke arahnya. “Mama ngerti. Cuma harusnya kalian berdua ngehindarin orang-orang kayak Dokter Ita sama Farhan. Mama bukannya su’udzon atau apa yaa, cuma Mama ngerasa ada yang aneh aja. Kok mereka berdua keliatannya getol banget ngedeketin kalian dalam waktu bersamaan?”
Fanya terdiam. Ia jadi teringat pembicaraannya bersama Tyas tadi pagi. “Tapi Farhan itu baik, Ma. Dia udah aku anggep sahabat banget. Kalo Dokter Ita sih... gak tau.”
“Tapi... siapa yang tau loh, sayang? Gak ada yang gak mungkin, kan?”
Deg! Kini, perempuan itu benar-benar mengingat kata-kata terakhir Tyas yang hampir sama dengan kalimat Mama barusan.
***
            Entah sudah keberapa kalinya Haykal menoleh ke arah halaman puskesmas untuk memastikan kehadiran tunangannya. Ia sengaja berangkat duluan untuk menghindari rasa bersalah karena terpancing emosi beberapa jam yang lalu. Apalagi di depan calon istrinya sendiri.
“Yas, Fanya belum dateng, ya?” Lelaki itu menghalagi Tyas yang lewat di depannya.
“Udah, Dok. Tuh, dia baru aja duduk di ruang tunggu. Ngobrol sama warga yang mau berobat,” jawab perempuan berlesung pipi tersebut.
“Ya udah. Makasih, ya!” Haykal langsung melangkah ke ruang tunggu yang terletak tepat di depan pekarangan puskesmas itu. Lalu menemukan seorang perempuan berkuncir kuda dengan jas dokter sedang duduk membelakanginya.
“Wah, berarti Fanya ini calon menantunya Ibu Septi, ya?” Seorang ibu dengan anak kecil di pangkuannya terlihat bertanya sambil tersenyum lebar.
Haykal kontan menghentikan langkah. Memilih mendengar pembicaraan tunangannya bersama ibu-ibu di sana dari balik sebuah pilar.
“Iya, Bu.” Perempuan itu balas tersenyum. Sesekali, ia menggoda anak laki-laki di pangkuan ibu di depannya.
“Jadi nikahnya kapan, dong?” tanya ibu itu lagi.
“Pasti ntar anaknya ganteng. Wong orangtuanya cakep gini,” timpal wanita paruh baya yang lain.
“Ibu Septi enak banget ya, punya anak sama menantu dokter...” Seorang ibu ikut menyeletuk.
Dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan lainnya yang hanya dibalas senyuman oleh Fanya. Membuat lelaki itu tidak tahan dan akhirnya memilih menghampiri mereka.
“Lagi ngomongin apa, nih? Kayaknya serius banget.” Haykal langsung duduk di samping tunangannya dengan senyum bahagia. Seperti tak pernah ada pertengkaran sebelumnya.
Beberapa wanita paruh baya di sekitar seketika membeku. Ada yang balas tersenyum kikuk, ada yang melotot, bahkan menganga tanpa sadar.
Lelaki itu berusaha menyembunyikan tawanya. Kemudian merangkul pundak Fanya dengan erat. Menghalanginya jika berniat kabur.
“Haykal sama Fanya ini serasi sekali, ya... Kenapa belum nikah, sih? Kasian Bu Septi, pasti udah mau gendong cucu.” Ibu yang sedang memangku anak laki-laki tersebut membuka pembicaraan. Diikuti anggukan mantap dari ibu-ibu yang lain.
Haykal bisa merasakan tubuh Fanya menegang dalam rangkulannya. Ia pun mengelus pundak perempuan itu, mencoba menenangkan. “Secepatnya kok, Bu. Doain aja.”
***
            Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Fanya meletakkan sebuah piring besar berisi ayam rica-rica ke atas meja makan. Di belakangnya, Mama ikut menaruh semangkuk jumbo sayur sup kesukaan putranya.
“Nya, kamu panggilin Haykal sama yang lain, ya!” ujar Mama seraya melepas celemek dari tubuhnya.
Fanya mengangguk pelan. Sepulang dari puskesmas tadi, ia belum mau membuka pembicaraan dengan lelaki itu. Walau sang tunangan sudah berkali-kali mencoba menarik perhatiannya. Ia juga berusaha menghindari Farhan dan Dokter Ita setiap mengingat insiden siang tadi.
Perempuan yang sudah mengenakan daster batik selutut khas ibu-ibu tersebut pun melangkah memasuki kamar yang ditempati Tyas dan Dokter Ita. Keduanya sedang sibuk melihat-lihat buku catatan nama pasien lengkap dengan keluhannya di atas tempat tidur.
Fanya berdehem pelan, membuat Tyas dan Dokter Ita kontan menoleh ke arah pintu kamar.
“Kenapa, Nya?” tanya Tyas.
“Makanan malemnya udah siap. Mama nunggu kita di meja makan,” balas Fanya. Ia bahkan enggan menatap Dokter Ita. Seakan menekankan kata ‘kita’ hanya pada dirinya dan sang sahabat.
“Oh, ya udah kalo gitu.” Perempuan berlesung pipi tersebut langsung turun dari tempat tidur. Lalu memakai sendal mini mouse miliknya.
Fanya mengangguk, kemudian berbalik untuk kembali ke meja makan. Namun tiba-tiba, ia teringat sesuatu. “Eh, Yas...” ucapnya seraya kembali memandang sahabatnya.
“Hm?”
“Tolong kasih tau Dokter Haykal sama Farhan, ya! Gue mau bantu Mama beresin meja makan soalnya.”
“Okay,” Tyas tersenyum memaklumi. Ia sudah bisa lulus dengan predikat cum laude dalam masalah memahami sahabatnya itu.
***
            Haykal duduk paling terakhir di meja makan. Kemudian langsung memimpin doa makan. Setelah itu, bunyi piring dan sendok beradu pun terdengar bersahutan.
“Gimana, Kal? Enak?” tanya Mama sambil melirik putranya.
Lelaki itu menghentikan kunyahannya sebelum menjawab. “Iya, Ma. Enak banget, malah.”
“Mama jago masak, ya! Saya mau loh kapan-kapan diajarin masak yang kayak begini.” Dokter Ita menimpali.
Mama sontak menatap perempuan dengan piyama merah muda tersebut. “Maaf loh, Dokter Ita. Bukannya gimana-gimana, cuma saya gak enak kalo dipanggil Mama sama orang lain, kecuali Haykal dan calon menantu saya.” Beliau memasang ekspresi datar, dengan penekanan pada kata calon menantu.
Dokter Ita terlihat serba salah. Ia tersenyum kikuk seraya berujar, “Maaf, Bu. Saya keseringan denger Fanya manggil Mama, jadi ikut kebawa.”
Fanya kontan memadangnya takjub. Gila, ngapain  bawa-bawa aku, coba? Ck!
“Tapi masakannya bener-bener enak, Bu. Dan masalah belajar masak tadi, saya juga serius,” lanjut perempuan itu. Lengkap dengan senyum manis andalannya.
Mama melirik Fanya sekilas. Kemudian mengembalikan perhatiannya pada Dokter Ita. “Emangnya Dokter gak bisa masak?”
“Enggak bisa, Bu. Baru masakan yang instan dan simpel aja.”
“Kasian dong, ya?” Mama tersenyum miring, terkesan meremehkan. “Oh, iya. Kalo Dokter mau belajar masak, sama Fanya aja. Soalnya semua makanan yang ada di atas meja sekarang, dia yang bikin.”
Dokter Ita tergeragap sejenak. Namun buru-buru menormalkan raut wajahnya. “Oh, ya?” Hanya itu yang bisa ia katakan.
Mama mengangguk penuh semangat. “Iya. Bener-bener menantu idaman, kan? Makanya saya gak bakal ngijinin mereka pisah. Apalagi kalo Haykal deket sama perempuan lain yang gak bisa masak. Amit-amit deh!”
***
            Dokter Ita sedang menyibukkan diri di teras belakang rumah Haykal. Telunjuk tangan kanannya sibuk mengelus layar I-pad di genggamannya dengan kasar. Mencoba melenyapkan semua babi berwarna hijau di sana menggunakan bantuan sekelompok burung kuning dalam game angry bird.
“Pokoknya saya gak terima! Saya gak bakal biarin mereka bahagia! Gimanapun caranya!!!” lirih perempuan itu dengan segenap emosi jiwa.
Laki-laki yang ikut duduk di sebelahnya hanya menghela nafas panjang seraya mendongak. Menatap keindahan malam dengan cahaya bulan purnama dan jutaan bintang di atas sana.
“Kamu ngomong dong, Farhan! Kamu punya ide lagi gak buat misahin Dokter Haykal sama Fanya?” Dokter Ita kembali mendesis kesal.
Farhan menoleh dan ganti menatapnya. Menatap keindahan lain dari malam hari di tempat itu, namun dalam versi agak menyeramkan. Lagi-lagi, ia menghela nafas panjang. “Apa gak sebaiknya... kita give up aja, Dok? Tadi Dokter denger sendiri kan yang diomongin Bu Septi? Beliau gak bakal ngizinin anaknya menikah sama perempuan selain Fanya.”
“Gak ada yang gak mungkin, Farhan. Kamu harus inget itu!”
“Tapi kita juga gak bisa menyalahi takdir Tuhan kan, Dok? Kita cuma manusia yang bisanya merencanakan. Malah saya pikir, kita udah dalam konteks memaksakan sekarang.”
Perempuan itu seketika meliriknya denga pandangan tajam. “Kamu itu laki-laki kan, Farhan? Masa cuma karna ini kamu udah hopeless? Saya gak mau tau, pokoknya kita harus tetep bikin mereka pisah. Titik!” tandas Dokter Ita sembari buru-buru berdiri, kemudian melangkah memasuki rumah. Meninggalkan Farhan.
***
            “Gue udah denger semuanya...” Sebuah suara muncul di sebelah kanan lelaki bersweater coklat tua tersebut.
Farhan kontan menoleh dan menemukan perempuan berlesung pipi sudah duduk di sampingnya, menggantikan posisi Dokter Ita beberapa menit lalu.
“Gue udah curiga dari awal. Kalian pasti punya niat jahat sama Fanya dan Dokter Haykal. Tapi gue gak nyangka rencana kalian bisa sepicik ini. Jahat banget, tau gak!” sambung perempuan yang tidak lain dan tidak bukan adalah Tyas itu.
Lelaki di sebelahnya tersenyum sekilas. “Gue juga baru tau kalo lo suka nguping pembicaraan orang,” balasnya. Lalu mengembalikan perhatiannya ke langit di atas mereka.
Tyas mencibir sejenak. “Lo kenapa segitu sayangnya sama Fanya, sih? Sampe mau ngerusak kebahagiaan mereka segala,” tanyanya.
“Gue gak punya niat kayak gitu sedikit pun, Yas. Cuma karna Dokter Ita nawarin, jadi gue ngikut aja. Mumpung Fanya masih amnesia, kan?” Farhan tertawa getir di ujung kalimatnya. “Tapi setelah gue pikir-pikir, gue emang jahat, ya?”
“Emang jahat! Lo gak pernah denger istilah ‘cinta itu bahagia melihat orang yang dicintainya bahagia, walau bukan bersamanya’? Nah, harusnya lo juga kayak gitu!”
“Bawel lo, ah. Emangnya lo pernah jatuh cinta kayak gue?” Farhan meliriknya dengan pandangan meremehkan.
“Sialan! Ya pernah, dong!” Tyas langsung meninju bahu kekar milik lelaki di sampingnya. “Tapi yaa, gitu. Nasib kita sama,” lanjutnya. Yang spontan disusul tawa mengejek dari Farhan.
***
            Fanya mengitari pekarangan rumah bercat hijau-putih tersebut sambil bertelanjang kaki dan menunduk-nunduk seperti anak babi. Sesekali, ia juga mendecak kesal.
“Lagi ngapain, Nya?”
Perempuan dengan kemeja hijau dan rok putih itu sontak mengangkat wajahnya dan menatap lelaki yang sudah berdiri di depannya saat ini. “Sendalku ilang. Perasaan semalem aku taro’ di sini, tapi sekarang gak ada. Males pake flat shoes, nih.”
Farhan yang mengenakan  polo shirt hitam dan celana kargo berwarna senada itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Aku mau bantu sih, tapi harus buru-buru ke puskesmas. Hari ini disuruh ngedata pasien yang datang.”
Dahi Fanya berkerut dibuatnya. “Ih, tega banget! Bantu cariin, dong! Aku udah capek nyari sendiri,” keluhnya. Lengkap dengan wajah memelas.
Lelaki itu menghembuskan nafas sejenak. “Tunggu dulu,” ucapnya sambil melangkah memasuki rumah.
Dia mau kemana, coba? Dibilangin ilangnya di luar sini, malah masuk ke dalem. Ada-ada aja, dumelnya dalam hati. Kemudian kembali membungkuk dan mencari sampai ke bawah keset.
“Nyariin aku?”
Deg! Fanya seketika berbalik dan berhadapan dengan dada bidang milik tunangannya. Dari jarak sedekat ini, ia bisa dengan puas menikmati aroma parfum yang membuatnya sangat tergila-gila. Namun perempuan itu memilih mundur dua langkah. Lalu mendongak dan menatap kedua mata teduh milik Haykal dengan ekspresi datar. “Apa?”
Haykal menaikkan sebelah alis miliknya. “Katanya kamu nyariin aku.”
“Siapa bilang?”
“Farhan.”
“Hah?” Maksudnya tuh anak apa, coba? Kurang ajar! batinnya. “Trus, sekarang Farhan mana?” lanjutnya.
Lelaki berkemeja hijau dan celana kain hitam tersebut ikut celingukan. “Gak tau. Udah ke puskesmas, kali.”
Fanya tak menggubris lagi. Ia masih heran mengapa Farhan tiba-tiba menyuruh Haykal mendatanginya. Bukannya laki-laki itu tahu bahwa ia masih kesal dengan tunangannya itu?
“Lagi nyari apa, sih?” heran lelaki tersebut.
“Bukan urusan kamu!”
Haykal mendengus sesaat. Lalu mengangkat bahunya. “Ya udah kalo gitu. Aku berangkat ke puskesmas duluan, ya! Klo udah dapetin apa yang kamu cari, langsung nyusul.”
Perempuan bertubuh mungil itu sukses melongo dibuatnya. Ia seketika berbalik, kemudian berkacak pinggang. “Heh, kamu emang gak peka atau cueknya kebangetan, sih?” hardiknya.
Lelaki itu kontan mundur selangkah dengan dahi berkerut, sembari mengelus dada. “Kamu kenapa teriak-teriak gitu? Emang salah aku apa?”
“Bodo! Bodooo! Pergi sana!!!” Ia langsung memasuki rumah.
Namun langkahnya terhenti saat Mama muncul dari dalam rumah. “Kamu kenapa teriak-teriak, sayang?” tanyanya.
Fanya menghampiri Mama. Lalu berdiri menghadap tunangannya yang masih bergeming di teras depan. Wajahnya dipasang memelas. “Itu, Ma... Masa tadi aku minta tolong sama Haykal buat dicariin sendal yang semalem aku taro’ di sini, tapi dia gak mau? Dia malah mau ninggalin aku ke puskesmas duluan, Ma...” Ia mengembang-kempiskan hidungnya, seakan menahan tangis.
Mama serta-merta memandang putranya dengan tatapan membunuh. “Bener, Kal?”
“Loh, Mama nih gimana? Manggil Fanya aja pake ‘sayang’, masa ke aku ‘Kal’ doang?” Haykal tidak terima. Lelaki itu melipat kedua tangannya di depan dada bidang miliknya.
Fanya beringsut ke belakang tubuh Mama perlahan, mencari perlindungan. Masih dengan ekspresi sedih yang jelas saja dibuat-buat. “Ma, aku takut...” lirihnya.
Haykal melotot maksimal.
Mama malah melangkah mendekati anaknya. Kemudian sedetik kemudian, beliau dengan senang hati menjewer telinga kiri laki-laki dewasa tersebut.
“Aduh! Auwww! Mama ngapain, sih?” sorak Haykal sambil berusaha mengenyahkan cubitan wanita itu dari telinganya yang sudah memerah.
“Siapa suruh gak mau bantuin calon istri kamu? Hah?”
“Siapa yang gak mau bantuin? Dia gak ngomong apa-apa sama aku, Ma!”
“Boong! Haykal boong, Ma. Tadi dia yang nyuekin aku pas aku minta tolong,” sela perempuan itu buru-buru. Bibirnya manyun.
“Hah?” Lelaki itu menganga. “Kamu jangan fit– Auw, sakit tau, Ma!!!”
Mama pun melepaskan telunjuk dan jempolnya yang tadi menjepit telinga Haykal. “Kenapa? Kamu mau bilang kalo Fanya yang bohong sama Mama? Iya? Kamu bener-bener, ya! Udah gak mau ngebantuin dia, malah fitnah dia yang enggak-enggak. Mama gak nyangka kamu kayak gini, Kal...” Wanita itu geleng-geleng kepala. Lalu berbalik dan mengelus pundak calon menantunya.
Fanya langsung memeluk Mama. Wajahnya yang menghadap Haykal seketika memeletkan lidah dan menggerakkan kedua bola matanya ke tengah.
Lelaki itu mendesis kesal, mencoba menahan amarah. Kemudian meninggalkan kedua wanita yang dicintainya tersebut dan melangkah memasuki rumah. Membuat Fanya dan Mama kontan melepaskan pelukan.
Sesaat kemudian, ia kembali dengan sendal berwarna biru bergambar chasper di genggamannya. “Nih, semalem aku taro’ di dalem. Takut ilang,” ucapnya seraya meletakkan sepasang benda itu di depan kaki mungil tunangannya.
Perempuan berjas dokter di depannya langsung memakai sendal miliknya dengan senyum lebar.
“Kamu ini bener-bener ya, Kal! Kamu nyembunyiin sendal Fanya, ya?” sorak Mama seraya berkacak pinggang. Matanya melotot.
Mata Haykal ikut membesar. Ia lalu melirik Fanya yang berusaha menahan tawa di sebelah wanita berjilbab tersebut.
Fanya berdehem sejenak. Mencoba menghalau tawanya yang sudah nyaris keluar. “Gak pa-pa kok, Ma. Yang penting sekarang aku udah bisa berangkat ke puskesmas. Keburu siang, nih.”
“Tuh, liat. Untung Fanya orangnya pemaaf. Awas kalo nanti kamu bikin calon menantu Mama ini sedih. Mama pecat kamu jadi anak!”
Kali ini, Fanya memilih membiarkan tawanya mengambang di udara. Tawa penuh kemenangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar