Kamis, 09 Mei 2013

Remember Me #9 - Don't Say Goodbye

Baby, please don't say good bye. I love you too much just to let you fly...



Fanya turun dari motor ninja milik Haykal di halaman kecil puskesmas tersebut. Sebelum pergi tadi, Mama memaksa mereka untuk naik motor saja agar bisa sampai lebih cepat. Untungnya, sepanjang perjalanan mereka pun terlewati seperti biasa. Seakan tak pernah ada pertengkaran sebelumnya.
“Aku masuk duluan, ya!” ujar perempuan itu sambil menyerahkan helm yang tadi dipakainya ke arah Haykal.
Sang tunangan meraihnya dan menaruhnya begitu saja di jok motor. “Kita masuk bareng aja. Yuk!” balasnya sembari menggenggam jemari Fanya erat. Seakan menunjukkan pada dunia bahwa perempuan itu masih miliknya. Akan selalu menjadi miliknya.
Fanya menurut. Tenggelam dalam genggaman hangat tersebut. Genggaman yang menenangkan dan tentu saja sangat ia rindukan.
***
            Perempuan dengan long dress peach yang baru saja melepaskan stetoskop dari telinganya itu spontan menoleh dan melihat pusat keramaian di bagian depan puskesmas. Ke arah sepasang orang yang sama-sama mengenakan jas dokter dan kemeja hijau. Seketika, dahinya berkerut maksimal. Kemudian mengedarkan pandangannya, mencari seseorang.
“Farhan!” serunya tertahan saat mendapati lelaki ber-polo shirt abu-abu tersebut juga sedang menatap pemandangan yang sama.
Lelaki itu langsung menoleh ketika Dokter Ita sudah berdiri di sebelahnya. Di dekat pintu masuk ruang pemeriksaan gigi yang lumayan sepi.
“Kok mereka bisa baikan lagi? Kenapa kamu gak ke sini bareng Fanya, sih?”
Farhan mengembalikan pandangannya ke arah Fanya yang kini sedang tersipu karena menjadi bahan godaan ibu-ibu yang sedang berada di ruang tunggu bagian depan puskesmas. Lalu menghela nafas panjang. “Malah saya yang bikin mereka berdua baikan, Dok.”
“Apa? Kamu udah gila, ya?” pekik perempuan itu, shock.
“Maaf, Dok. Bukannya malah Dokter Ita yang gila gara-gara Dokter Haykal?” Lelaki itu menatap tepat ke manik mata coklat muda milik perempuan di depannya.
“Kamu! Siapa yang ngajarin kamu gak sopan gitu ke saya? Saya ini dosen kamu, Farhan!” Dokter Ita buru-buru menghela nafas untuk mengontrol emosinya, sebelum orang-orang di sekitar mencurigai pembicaraan mereka. “Saya gak mau tau! Kita harus tetep bikin mereka jauh. Kamu mau bahagia atau enggak, sih?”
“Dokter, maaf beribu maaf, ya. Dokter tau arti bahagia yang sebenarnya gak, sih? Cinta itu kan bahagia ngeliat orang yang dicintainya bahagia walau bukan sama dia. See? Jadi Dokter bener-bener mau bahagia apa nyiksa diri sendiri karena obsesi?”
Deg! Perempuan berambut lurus kecoklatan tersebut kontan melotot. Kedua tangannya terkepal, kemudian sambil terkekeh pelan ia berkata, “Kamu mau berhenti dari perjanjian kita? Okay, fine! Asal kamu jangan ngemis-ngemis ke saya kalo kamu nantinya berubah pikiran!” Lalu membalikkan tubuh semampainya dan berjalan dengan langkah lebar ke dalam ruang pemeriksaan.
***
            “Eh, lo ngapain niruin kata-kata gue semalem? Dasar tukang copy-paste!” Tyas tiba-tiba sudah berdiri di belakang Farhan sambil cemberut dan melipat kedua tangan di depan dada.
Lelaki itu sontak berbalik dengan dahi berkerut. “Eh, elo keturunan jin apa emang suka nguping, sih? Ngagetin aja!” balasnya, sewot.
Tyas langsung cekikikan. Kemudian menepuk pundak kiri Farhan dengan tangan kanannya. “Gue bangga sama lo. Semoga lo gak berubah pikiran kayak ancaman terakhirnya Dokter Ita, ya!”
“Apaan sih lo! Gak usah sok sweet, deh.” Ia memilih beranjak meninggalkan perempuan berlesung pipi tersebut. Melangkah memasuki ruangan pemeriksaan gigi puskesmas.
Sepeninggalnya, Tyas mengendikkan bahu tak acuh. Lalu menghampiri sahabatnya yang masih dikelilingi ibu-ibu di depan sana.
***
            Fanya menghentikan langkahnya di depan pintu kamar yang ditempati Haykal dan Farhan. Lalu melongok ke dalam.
“Kenapa, sayang?” tanya lelaki berkacamata yang duduk di atas tempat tidur, menghadap pintu kamar tersebut.
Perempuan yang kini sudah mengenakan piyama polkadot berwarna kuning itu langsung masuk ke dalam kamar tapa permisi. Kemudian naik ke atas ranjang dan duduk bersila di depan tunangannya. “Aku bete. Tyas lagi ngurusin pembukuan dari puskesmas, aku gak ada temen di kamar.”
Haykal tersenyum menenangkan. Lalu melepaskan kacamata yang sudah seharian ini membingkai kedua mata teduh miliknya. Ia menguap beberapa detik. “Gak sadar ya, kita udah mau balik aja.”
Fanya mengangguk. “Besok udah penutupan, kan? Dan aku bakal kembali ke rumah sakit bunda. Huh!”
Lelaki itu tertawa pelan. “Emang KKN kamu masih berapa lama lagi? Ngeluh mulu kerjaannya.”
“Tau, ah. Males ngitung.” Fanya memilih berbaring di sana. “Kamu tidur di kamarmu lagi aja. Aku sama Tyas di sini. Bosen di situ terus,” lanjutnya.
Haykal ikut berbaring di sebelah tubuh mungil tunangannya. Menghadap Fanya dan menjadikan tangan kiri sebagai penyangga kepala. “Hmm, gimana kalo kamu tidur di sini aja?”
Fanya kontan menoleh dengan senyum lebar. “Serius?”
Lelaki itu mengangguk mantap. “Asal tidurnya sama aku.”
“Huh!” Perempuan itu langsung mencubit pinggang tunangannya. “Kamu nih bener-bener, deh. Kapan bisa seriusnya, sih?”
Haykal mencoba mengelak sambil tertawa. Bukannya merasa sakit, ia malah menahan geli sekuat tenaga. “Itu tadi akunya lagi serius loh, sayang. Hahaha...”
“Kamu bisa bedain serius sama mesum, gak? Hah? Hah?” Fanya masih berusaha mencubiti pinggang Haykal dengan jemarinya. Hingga laki-laki itu berteriak minta ampun setengah mati. Sudut matanya pun sampai berair. Membuat perempuan tersebut semakin semangat mengerjainya.
***
            “Dokter Haykal! Fanya!”
Dua orang yang sedang asik bertukar tawa di dalam kamar itu sontak menoleh. Lalu menemukan wajah shock milik seorang perempuan cantik di sana.
“Kalian... ngapain berduaan di kamar begini?” tanyanya, sedikit teredam oleh telapak tangan yang ia gunakan untuk menutup mulut.
Fanya buru-buru merubah posisinya dari berbaring menjadi duduk dalam posisi tegak. Ekspresinya tak kalah kaget dengan perempuan yang notabene adalah Dokter Ita tersebut. Sedangkan di sebelahnya, Haykal hanya mengerutkan dahi.
“Ini ada apa, sih?” Tiba-tiba, Mama muncul dari balik tubuh semampai Dokter Ita. Diikuti Tyas dan Farhan di belakangnya. Seketika, tatapan beliau terpaku pada sang anak dan calon menantu yang sedang duduk di atas ranjang bersama.
“Liat deh, Bu! Mereka... Mereka berduaan di kamar ini. Tadi saya liat mereka... Mereka guling-gulingan di atas ranjang, Bu. Mereka juga pelukan. Ini udah gak bener kan, Bu?” Dokter Ita menjelaskan dengan tergesa-gesa. Nafasnya memburu, belum bisa mengendalikan rasa kaget yang mendera.
Mama yang memperhatikan perempuan itu berbicara kembali menoleh dan menatap sang “tersangka” di dalam kamar. Fanya dengan muka merah yang menunduk. Dan Haykal yang memasang wajah tak bersalah.
“Ma, aku sama Fanya–”
Wanita paruh baya yang mengenakan jilbab merah marun dan terusan senada tersebut mengibaskan tangan kanannya. Menyuruh Haykal menghentikan belaan yang bahkan belum sempat ia ucapkan. Kemudian menatap perempuan di sebelahnya. “Dokter Ita...”
Semua perhatian ikut tertuju pada objek pembicaraan Ibu Septi.
“Haykal sama Fanya itu udah dewasa. Mereka calon suami istri. Apa salahnya becanda di kamar berdua? Yang penting pintunya dibiarin kebuka, kan? Lagian saya juga yakin mereka bisa bertanggung jawab sama apapun pilihan mereka.Wong di sana aja mereka juga tinggal serumah, kok...” lanjut Mama, cool.
Fanya sontak mengangkat wajahnya yang semakin memerah.
Tyas, Farhan, apalagi Dokter Ita, jangan ditanya lagi. Mulut mereka kompak menganga. Bersamaan.
“Jadi Dokter Ita gak usah musingin kehidupan mereka. Saya yang mamanya Haykal aja gak ambil pusing,” tutup beliau. Seraya melenggang meninggalkan kamar tersebut. Menuju kamarnya sendiri, tanpa menoleh sedikit pun.
Sepeninggal Ibu Septi, Fanya dan Tyas bertukar pandang. Lalu sama-sama berusaha menahan tawa melihat ekspresi Dokter Ita. Hidung mancungnya yang kembang-kempis, bahu seksinya yang naik-turun, sampai wajah putih mulusnya yang berubah merah. Menahan amarah sekuat tenaga.
Dengan satu sentakan keras, perempuan itu balik badan dan meninggalkan keempat orang yang langsung saja tertawa puas tanpa bisa dicegah lagi itu.
Tanpa kentara, Tyas melirik Farhan yang sedang tertawa lebar di sebelahnya. Tawa lepas yang pertama kali ia dapati dari lelaki itu. Sekaligus menjadi alasan sesuatu yang tiba-tiba mengusik di hatinya. Entah apa.
***
            “Udah gak ada yang kelupaan kan, sayang?” tanya Mama yang duduk di samping Fanya.
Perempuan ber-cardigan putih tulang itu kembali meneliti isi tasnya. Mengetuk-ngetuk dagu sejenak, kemudian tersenyum simpul. “Udah lengkap kok, Ma...” balasnya. “Hmm, sebenernya aku masih mau tinggal di sini. Tapi aku harus balik buat nyelesaiin KKN, Ma.”
Mama langsung memeluk tubuh mungil itu. Mendekapnya erat, seakan tak ingin dilepas. Tanpa permisi pun, butiran bening sudah mengaliri pipi mulus keduanya.
“Loh, apa-apaan, nih?” Suara Haykal kontan merusak moment haru kedua wanita tersebut.
Mama menyeka air matanya pelan. “Haykal, abis ini kamu pasti bawa Fanya ke sini lagi, kan?” tanyanya dengan suara serak. Khas orang yang baru saja menangis.
“Ya iyalah, Ma. Mama jangan sentimental gitu, ah. Kayak rumah ini sama rumah Fanya nyeberang benua aja.” Lelaki itu meraih koper milik tunangannya ke luar kamar.
Mama dan Fanya mengikuti dari belakang.
“Kalian berdua aja kan di mobilnya?” tanya Mama lagi, tepat saat mereka sudah sampai di depan pintu rumah. “Mama udah gerah seminggu ini liat dokter ganjen itu.”
“Hus, Mama nih!” tegur Haykal.
Fanya hanya tersenyum sekilas.
“Iya, iya... Kalian hati-hati, ya! Kamu nyetir mobilnya jangan ngebut. Pake seatbelt biar safety. Jangan becanda yang heboh kalo di jalan. Trus–”
“Siap, Ma.” Lelaki bersweater coklat itu buru-buru mencium pipi mamanya sebelum beliau memperpanjang ceramah. “Mama tumben banget sih ngasih wejangan sebelum pergi gini. Biasanya juga santai banget.”
Mama merangkul bahu calon menantunya. “Gak tau. Kok rasanya Mama gak rela pisah sama Fanya, ya? Kamu bisa tunda jadwal KKN-nya Fanya, gak? Kamu kan dosen, Kal.”
Perempuan mungil tersebut buru-buru mengangguk mantap. Mengamini kata-kata sang calon mertua. Dilengkapi wajah memelas, agar tunangannya ikut tergugah dan mengabulkan keinginannya.
“Gak bisa, Ma. Dia aja udah izin seminggu. Masa mau ditambah lagi? Kecuali dia mau ngulang taun depan,” ujar Haykal sembari memasukkan kopernya dan koper Fanya ke dalam bagasi mobil.
Di belakangnya, kedua perempuan tersebut kembali berpelukan.
“Kamu hati-hati ya, sayang...” lirih Mama sambil mengusap punggung Fanya.
“Iya. Mama juga hati-hati di sini. Aku pasti bakalan rindu banget sama Mama...” Ia balas berbisik. Sepenuh hati.
***
            Hujan deras mengiringi perjalanan pulang Haykal dan Fanya.
“Kamu gak mau tidur?” tanya lelaki itu sambil melirik tunangannya yang sedang asik melukis sesuatu di kaca mobil yang berembun.
Fanya langsung menoleh. Memperlihatkan gambar seorang laki-laki dan perempuan sedang bergenggaman tangan dan tersenyum lebar dengan gambar hati di sekitarnya. “Enggak ngantuk.” Ia lalu membuka dashboard mobil, meraih CD Ten 2 Five. Kemudian memasukkannya ke dalam pemutar musik di sana.
You stood in the rain
Packed up and ready to go
My tear are falling again
It’s because of you
           
            Lagu Don’t Say Goodbye terlantun perlahan.
Will you call me when you get there?
Will you miss me everyday?
Cuz’ I’ll be waiting here at home
Till you knock on my door again
            Fanya dan Haykal langsung bernyanyi bersama.
Baby please don’t say goodbye
I love you too much just to let you fly
I need you to be my only one
Even if you’re thousand miles
Away from here… away from here
Sementara intro mengalun, Haykal menggenggam jemari Fanya. Lalu mengecupnya perlahan. Penuh rasa sayang dan kelembutan. Seakan tak ingin merusaknya. “I love you...”
            Perempuan di sebelahnya tersenyum lebar. Mengangguk, dan menjawab, “I... love you too.”
Tiba-tiba, dari arah tikungan pada arah berlawanan, sebuah truk muncul dan mengambil jalur yang dilalui mobil mereka. Sontak saja Haykal melepaskan genggaman pada tangan tunangannya. Kemudian buru-buru menginjak rem, tapi... “Loh, ini kenapa? Remnya blong, sayang!”
Fanya kontan histeris. “Truknya makin deket, sayang! Putar stirnya! Cepetannn!”
Haykal langsung memutar stir ke arah kiri. Kondisi jalanan yang licin karena hujan deras dan rem yang tidak berfungsi malah membuat mobil berwarna silver metalik itu tergelincir menabrak pembatas jalan sejauh sepuluh meter. Seakan tak cukup, mobil tersebut berguling beberapa kali. Sampai berhenti dalam keadaan bagian bawah mobil berada di atas. Dan ringsek sedemikian rupa.
Lelaki itu mengembalikan kesadarannya saat mobil berhenti berguncang. Lalu melirik ke jok di sebelahnya, mencari perempuan yang baru saja mengatakan ‘I love you’ padanya beberapa saat lalu. Namun... “Fanya? FANYAAA? KAMU DIMANAA?”
Baby please don’t say goodbye
I love you too much just to let you fly
I need you to be my only one
Even if you’re thousand miles
Away from here ♫♪
            Haykal langsung membuka pintu mobil dengan bantuan bahunya yang kekar. Walaupun sempat meringis beberapa kali, ia berhasil terbebas dari posisi tubuhnya di dalam mobil yang terbalik.
“Fanya? Fanya? Kamu dimana?” Ia berulang kali merapalkan kalimat yang sama. Dengan langkah tertatih, ia terus berjalan. Melangkah ke sekitar tempat kejadian. Ia bahkan tak peduli pada truk yang kini sudah menghilang entah kemana.
Semakin lama, suaranya memelan. Tubuhnya pun sudah mati rasa karena kebanyakan luka. Namun ia benar-benar tak mempedulikan hal lain selain keberadaan perempuan yang dicintainya saat ini.
Ketika pandangannya mulai buram, akhirnya ia menangkap sesosok tubuh yang tergolek lemah kira-kira belasan meter dari posisi kecelakaan beberapa menit lalu. Membuatnya melangkah terseok-seok menghampiri tubuh tersebut.
“Fa... nya...” lirihnya seraya mencoba merendahkan posisinya sekuat tenaga, mengingat tubuhnya yang sudah seperti kebanjiran darah. Namun belum sempat melihat wajah perempuan itu, ia sudah ambruk ke tanah. Tak sadarkan diri.
***
            Mama Haykal terisak di depan pintu ruang UGD. Sudah hampir dua jam putra dan calon menantunya berada di dalam sana. Entah sedang berusaha bertahan, atau malah meregang nyawa. Beliau sendiri hanya bisa mendoakan yang terbaik.
Kedua orangtua Fanya belum bisa datang ke rumah sakit tersebut, berhubung ibu perempuan itu shock berat dan tak sadarkan diri. Ibu Fanya memang masih trauma dengan kecelakaan, apalagi jika putri satu-satunya kembali terlibat di dalamnya. Karena itu mereka meminta Fanya secepatnya dipindahkan ke rumah sakit tempat mereka bekerja jika kondisinya sudah memungkinkan.
Pintu ruang UGD terbuka lebar.
Mama sontak menghampiri dokter yang keluar dari sana. “Bagaimana keadaan mereka, Dok? Mereka baik-baik aja, kan?” tanya wanita berjilbab tersebut.
Dokter di depannya menyeka peluh yang mengaliri dahi sejenak. “Dokter Haykal sudah melewati masa kritisnya, Bu...” Sepertinya ia mengenal dokter muda itu. “Tapi perempuan yang bersamanya...”
“Fanya? Fanya kenapa, Dok? Dia... gak kenapa-kenapa, kan?” Mama sampai mengguncang bahu dokter tersebut.
“Kami belum bisa memutuskan, Bu. Kondisinya sangat buruk. Sepertinya dia terlempar cukup jauh dari lokasi kecelakaan sehingga tubuhnya mengalami luka yang cukup serius. Apalagi bagian kepalanya,” jelas sang dokter. “Sampai sekarang, dia masih koma. Kami belum bisa mengetahui kondisi selanjutnya sampai ia sadar. Dan kami tidak tahu kapan ia bisa siuman dari koma ini,” tambahnya.
Tangis Mama langsung pecah.
“Tapi Ibu tenang saja. Setidaknya, Dokter Haykal masih bisa selamat.”
Tapi saya tau, Haykal lebih memilih ikut sekarat kalau keadaan Fanya juga belum jelas, bisik wanita paruh baya itu dalam hati.
***
            Pandangan Haykal membentur langit-langit kamar rawat tempatnya berada sekarang. Hampir sekujur tubuhnya nyeri luar biasa, namun tak ada yang diacuhkannya selain sang tunangan. Ia sempat histeris saat mengetahui perempuan yang dicintainya masih dirawat di ruang ICU, lengkap dengan alat bantu pernafasan dan detak jantung. Lelaki itu tak bisa –dan tak mau– membayangkan jika semua alat bantu penopang hidup tersebut dilepas dari tubuh Fanya. Dunianya pasti sudah kiamat saat itu juga.
“Kamu mau kemana, Kal?” Mamanya buru-buru menahan lengan Haykal saat putranya bangkit dari brankar.
“Aku mau jengukin Fanya, Ma. Aku gak mau dia bangun dan gak ngeliat aku. Kasian kalo dia nyari aku, tapi aku gak ada di dekat dia.” Ia mencoba meraih kruk di dinding kamar. Namun sang mama menghalangi niatnya.
“Tapi kamu masih lemah. Mama gak mau kamu juga jadi makin parah.”
“Aku udah baikan, kok. Mama tenang aja,” balas Haykal keras kepala. Ia sudah memegangi dua kruk untuk membantunya berjalan, berhubung kaki kanannya harus di-gips sedemikian rupa agar tulang kakinya cepat pulih.
Saat Haykal sudah mencoba berjalan dengan dua kruk diapit oleh lengan kanan dan kirinya, tiba-tiba salah satu kruk tersebut terpeleset di atas lantai yang memang agak licin. Kontan saja tubuh lelaki itu kembali bersandar di badan tempat tidur. Untungnya ia belum melangkah terlalu jauh sehingga tubuhnya tidak sempat mencium lantai.
“Haykal!” sorak Mama sambil buru-buru menghampiri putranya. “Mama bilang juga apa! Kamu gak usah kemana-mana dulu. Mama udah pesen ke pihak rumah sakit supaya kamu dan Fanya mendapat pelayanan terbaik. Kamu gak usah khawatir, Kal!”
“Enggak! Pokoknya aku mau liat keadaan Fanya. Kalo perlu, aku juga mau dipindahin ke ruang ICU biar bisa satu ruangan sama dia. Dan bisa ngeliat keadaan dia setiap saat. Mama jangan bikin aku tambah sakit, dong. Aku gak bisa jauh-jauh sama Fanya, apalagi dalam kondisi kayak gini!”
Mau tak mau, Mama menghela nafas panjang. Ia tahu benar tabiat darah dagingnya tersebut. Haykal tak akan menyusutkan keinginannya, sekuat apapun orang lain menahan. Terlebih lagi ini menyangkut perempuan yang paling dicintainya –setelah sang Mama–.
“Ya udah. Mama minta kursi roda dulu,” putus wanita itu akhirnya. Kemudian berjalan ke luar kamar.
***
            Lelaki berpakaian hijau muda –ala pasien– tersebut memutar roda pada kursi yang ia duduki. Sampai berhenti di sebelah brankar tempat seorang perempuan yang terbaring tak berdaya di dalam ruangan tersebut. “Sayang, aku udah datang,” bisiknya pelan.
Tak ada respon dari perempuan yang tidak lain dan tidak bukan adalah Fanya itu. Wajahnya dipasangi masker oksigen. Kedua tangannya ditempeli selang infus, cairan penambah gula, dan sekantong darah. Di sampingnya, sebuah alat pendeteksi detak jantung berbunyi konstan dengan gambar grafik yang naik-turun.
“Kamu capek banget, ya? Sampe tidur seharian gini.” Haykal mencoba tertawa di ujung kalimatnya. Hambar.
Jemarinya mengusap rambut perempuan itu, lembut. Seakan takut menyakiti atau –lebih parah– membuat tubuh Fanya hancur berkeping-keping akibat sentuhannya.
Lama ia memilih terpaku dalam posisi itu. Hanya menatap wajah pucat di hadapannya, diiringi suara alat pendeteksi detak jantung. Bagai menikmati bunyi itu, bunyi yang menjadi tanda kehidupan bagi tunangannya.
“Nya...” lirih Haykal seraya mendekatkan wajahnya ke telinga perempuan itu. “Aku akan selalu di sini. Kamu juga jangan kemana-mana, ya! Aku... Aku masih mau denger kamu ngomong ‘I love you’ ke aku.”
***
            Sayangnya, kondisi Fanya menurun drastis setelah itu. Dokter yang menanganinya sampai harus keluar-masuk ruang ICU setiap menit untuk mengembalikan kondisi perempuan itu agar membaik.
Keadaannya semakin kritis malam ini. Detak jantungnya tak terkontrol, baru saja ia terdengar normal, kemudian out of control, hingga sangat lemah sama sekali.
Sialnya, kabar tersebut sampai ke telinga sang tunangan. Lelaki yang kondisinya juga masih jauh dari sehat itu memaksa menangani Fanya dengan kemampuannya sebagai dokter. Ia sudah menyingkirkan beberapa suster dan membentak semua dokter yang menghalangi niatnya. Namun tetap saja ia tak diizinkan.
“Kalian kalo gak mampu menangani satu pasien aja, langsung undurin diri! Indonesia gak butuh dokter yang gak becus menyembuhkan, tapi selalu nuntut gaji tinggi!” teriak Haykal penuh emosi. Ia berdiri tepat di depan pintu ruang ICU yang sudah ditutup rapat setelah lelaki itu memaksa masuk berulang kali.
“Haykal, kamu jangan ngomong begitu, dong! Itu sama aja kamu gak mempercayakan keadaan Fanya di tangan dokter-dokter yang ada di sini,” tegur Mama, berusaha meredam emosinya sendiri.
Laki-laki yang masih mengenakan pakaian pasien tersebut langsung menarik kerah baju salah satu perawat yang menjaga pintu ruang ICU. “Kalo sampe tunangan saya kenapa-kenapa di dalam sana, kamu adalah salah satu orang yang harus tanggung jawab! Saya gak akan tinggal diam! Ingat itu!” tandas Haykal, penuh penekanan. Matanya yang biasa memandang teduh, kini berubah menyeramkan. Kondisi tubuhnya yang sedang sakit pun tak mengurangi tenaganya yang disulut emosi yang meluap-luap.
Mama menatap putranya, miris. Beliau pernah ditinggalkan orang yang dicintainya setengah mati. Dan ia tahu rasanya. Beliau bahkan pernah mencekik leher seorang suster beberapa tahun lalu, saat suaminya juga sedang berjuang di ruangan yang sama. Yah, wanita paruh baya itu tahu rasanya...
***
            Ibu dan ayah Fanya tiba di rumah sakit saat keadaan putrinya berangsur membaik.
Setelah beberapa jam penuh emosi dan perjuangan, perempuan mungil tersebut pun sudah dipindahkan ke kamar rawat biasa. Dan atas paksaan Haykal, pihak rumah sakit memperbolehkan mereka berdua mendiami satu kamar VIP bersama.
Fanya belum juga siuman sejak kecelakaan dua hari yang lalu. Sedangkan Haykal sedang terlelap setelah disuntik obat penenang karena tak berhenti mengkhawatirkan kondisi tunangannya, saat ia sendiri belum pulih sama sekali.
Haykal mengalami gegar otak ringan –yang untungnya tidak terlalu parah–. Tulang kering kaki kanannya bergeser sehingga harus di-gips beberapa minggu. Bagian tubuhnya yang lain juga penuh luka memar yang tentu saja tidak bisa dianggap luka ringan. Tapi entah mengapa ia seakan tak merasakan apa-apa. Pikirannya terlalu dipenuhi Fanya.
“Apa gak sebaiknya Fanya dan Haykal dipindahkan ke rumah sakit tempat kami bekerja aja, Mbak?” tanya Ibu Fanya. Beliau menatap putri dan calon menantunya bergantian. Tisu yang beliau genggam sudah basah, dipenuhi air mata.
“Saya terserah kalian, kok. Kalian berdua pasti lebih mengerti masalah ini,” balas Mama Haykal.
“Kita liat dulu perkembangan mereka di sini,” sela Ayah Fanya.
Alat-alat yang dipasang di tubuh Fanya pun sudah berkurang. Tersisa selang infus dan penambah gula di kedua lengannya.
“Semoga pemulihan Haykal berlangsung cepat. Saya butuh bantuannya untuk menangani Fanya,” tambah lelaki yang rambutnya mulai memutih tersebut.
***
            Haykal duduk di sebelah ranjang tunangannya. Ia sudah melepas selang infus yang menurutnya hanya membuat kepalanya semakin sakit. Lelaki itu bahkan memaksa dokter yang menanganinya agar bisa segera rawat jalan, namun kaki dan luka-luka di sekujur tubuhnya masih mengkhawatirkan.
“Kamu gak lapar, sayang?” tanya Haykal seraya menyelipkan helaian rambut Fanya ke belakang telinga.
Perempuan itu masih pucat, bahkan tubuhnya semakin mungil dengan tulang pipi yang juga semakin jelas terlihat.
“Aku sebenarnya masih mau nemenin kamu di sini. Tidur sekamar biar bisa terus ngontrol keadaan kamu dengan mata kepalaku sendiri. Tapi bener, deh. Sakit itu gak enak banget. Padahal kan aku udah sehat, kenapa selalu dianggap kayak orang sakit, sih? Bener-bener deh dokter di sini...” Lelaki itu menggeleng frustasi. Ia kembali terkekeh pelan. Menghibur diri sendiri, sepertinya.
“Kamu sendiri, kapan bisa ngeliat aku lagi? Apa gak capek tidur terus? Aku aja yang kayak gini udah hampir gila,” lanjutnya sembari memainkan hidung perempuan itu.
“Aku kangen banget loh sama suara cempreng kamu. Rasanya baru tadi kita nyanyiin lagu Ten 2 Five bareng, eh sekarang malah... kayak gini jadinya.”
Fanya tak menunjukkan reaksi apa-apa. Hanya helaan nafas pelannya yang terdengar.
“I love you...” bisik Haykal. Lalu mendaratkan bibirnya ke atas bibir pucat milik sang tunangan. Penuh cinta.
***
            Haykal melangkah di sebelah brankar yang membawa tunangannya ke lobby rumah sakit. Lelaki itu sudah menanggalkan status pasien dari dirinya. Tulang kakinya sudah kembali ke posisi semula, walaupun ia masih harus berjalan agak pincang. Luka-lukanya juga mulai mengering, hanya tinggal luka lebam yang belum pulih dan masih menyisakan nyeri.
Hari ini, mereka akan pulang. Bukan ke rumah yang menjadi tujuan akhir setiap perjalanan, melainkan rumah sakit untuk memberi pelayanan terbaik bagi Fanya yang belum menunjukkan tanda-tanda akan siuman.
Saat tubuh tunangannya akan naik ke ambulance, ia mengecup kening perempuan itu. “Sampai ketemu di rumah sakit, sayang...” gumamnya. Kemudian berbalik menuju mobil Ayah Fanya –karena di ambulance sudah ada ibu dan mamanya yang menemani Fanya dalam perjalanan nanti.
***
            Ayah Fanya dan Haykal duduk di depan meja Dokter Alan, selaku dokter yang menangani perempuan itu di rumah sakit yang sekarang di tempatinya.
“Sepertinya luka yang dialami Fanya ini cukup serius. Ada beberapa organ dalam yang mengalami benturan. Tapi yang paling parah... bagian kepalanya,” jelas sang dokter sambil menyerahkan hasil rontgen ke arah dua laki-laki di depannya.
Ayah Fanya yang juga mengenakan jas dokter tersebut meneliti hasil rontgen yang kini telah berpindah ke genggamannya. Ada tanda retak di kepala bagian belakang putrinya.
“Saya juga belum tau pasti, Dok. Tapi kemungkinan besar, luka pada kepala Fanya ini bisa berdampak pada memorinya.”
Haykal mendesah putus asa di kursinya. Ia tak bisa membayangkan kemungkinan apapun, terlebih apabila menyangkut memori Fanya. Sudah cukup perempuan itu mengidap amnesia dan melupakannya, ia tak mau sesuatu yang lebih buruk malah terjadi lagi.
“Untuk saat ini, kita hanya bisa berdoa dan berusaha keras sampai Fanya siuman. Setelah ia sadar, baru kita bisa mengetahui perkembangan selanjutnya. Yah, semoga tidak ada apa-apa,” lanjut Dokter Alan.
“Iya, semoga...” Ayah Fanya mengamini.
***
            Seorang perempuan dengan long dress ungu muda duduk di sebelah ranjang milik Fanya. Rambut coklatnya yang lurus tergerai tanpa hiasan. Ia menatap perempuan yang tergolek lemah itu tanpa ekspresi.
“Saya gak tau harus prihatin atau bahagia atas kejadian ini,” lirihnya seraya meremas kesepuluh jemari lentik miliknya.
Bahu Fanya naik-turun dengan konstan. Namun tak juga membuka mata.
“Kamu tau? Saya benci banget sama kamu. Kamu cuma perempuan beruntung yang kebetulan bertemu lebih dulu dengan Dokter Haykal. Sedangkan saya? Saya...” Perempuan itu menghela nafas panjang, mengontrol emosinya. “Saya juga mencintainya, Fanya. Tapi saya tidak sepicik kamu yang memanfaatkan kedekatan keluarga kalian demi seorang laki-laki,” tandasnya. Ia berusaha meredam nada suaranya sekuat tenaga.
“Saya gak tau apa rencana Tuhan selama ini. Kamu amnesia dan hanya melupakan Haykal, lalu kembali kecelakaan dan koma seperti sekarang...” lanjutnya. “Kenapa... Kamu gak sekalian meninggal aja, sih? Tuhan kayaknya terlalu bertele-tele menuliskan takdir kamu, Fanya.”
Perempuan di depannya masih bergeming.
“Atau... Apa kamu butuh bantuanku untuk membuat takdirmu berjalan lebih mudah?” Senyumnya perempuan ber-long dress tersebut mengembang. Senyum penuh arti. Jemarinya yang lentik pun segera merealisasikan niatnya.
***
            “Dokter Ita?” seru Haykal sambil memasuki kamar rawat tunangannya dengan langkah lebar. “Dokter sedang apa di sini?”
Dokter Ita yang pagi itu mengenakan long dress berwarna ungu muda langsung tergeragap. Ia sontak berdiri dari duduknya saking kaget. “Dok-Dokter Ha-Haykal?” ucapnya, terbata-bata.
Lelaki berkaus hijau tersebut mengerutkan dahinya seraya mendekatkan diri di sisi Fanya.
“Saya... sedang menjenguk Fanya. Kebetulan tadi saya baru bertemu dengan Dokter Tio dan dia memberitahu kalau Fanya sedang dirawat di sini,” jelas Dokter Ita. “Dokter sendiri, tidak apa-apa, kan?” tambahnya sembari mengelus pipi kiri lelaki di sampingnya –yang masih memar–.
Haykal tersenyum tipis. Lalu memalingkan wajahnya yang disentuh perempuan itu. “Gak pa-pa, kok.”
“Syukurlah, Dok. Saya khawatir sekali waktu dapat kabar kalau Dokter kecelakaan dan mobilnya hancur.”
Haykal kembali tersenyum. Ia memandangi tunangannya yang masih terbaring tak sadarkan diri tersebut. Kemudian mengecek infus dan selang oksigen yang menempel di tubuh Fanya. Setelah mengetahui bahwa semuanya masih normal, ia kembali menatap Dokter Ita. “Dokter gak ada tugas hari ini?”
“Sebenarnya saya harus ke rumah sakit kampus. Ada beberapa pasien yang harus ditangani. Tapi saya masih mau menjenguk Fanya,” jawabnya. “Apa Dokter ada kepentingan lain? Saya bisa menjaga Fanya, kok.”
“Oh, tidak usah...” balas Haykal. “Terima kasih, Dokter. Tapi sebaiknya Dokter ke rumah sakit saja. Takutnya nanti ada pasien yang terlantarkan. Saya juga mau berduaan saja sama tunangan saya.”
Wajah Dokter Ita langsung menegang saat mendengar kalimat terakhir lelaki di sebelahnya. “Ya sudah. Saya pamit dulu, Dok. Semoga Fanya lekas sembuh. Selamat pagi...” ujar perempuan cantik itu. Lalu berbalik menuju pintu masuk kamar tersebut.
***
            Farhan menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. “Udahlah, Yas... Kalo lo nangis gitu, bagus kalo Fanya langsung bangun. Ini malah bikin sakit kepala, tau!”
Tyas semakin sesenggukan. “Lo gak ngerti perasaan gue. Gue udah hampir empat taun sahabatan sama Fanya. Gue gak tega ngeliat dia tiba-tiba koma dan penuh luka kayak gini. Hiks...”
Lelaki dengan sweater putih tersebut mendesah frustasi. “Gue pernah pacaran sama dia waktu SMP. Which is sembilan tahun yang lalu. Lebih lama dari lo,” ucapnya. “Lagian, kita di sini bukan buat sedih-sedihan. Harusnya kita doain Fanya biar cepet sembuh. Itu yang paling dia butuhin. Gue juga yakin, pelayanan di rumah sakit ini yang terbaik.”
Perempuan berlesung pipi itu tetap menangis. Walau tak sekeras tadi.
“Farhan bener, Yas. Fanya butuh doa dari kita semua, sementara dokter di sini mengusahakan yang terbaik buat dia.” Haykal ikut menatap nanar ke arah tunangannya.
Mereka bertiga berdiri mengelilingi perempuan berbaju pasien tersebut. Sudah tiga hari Fanya dirawat di rumah sakit ini, tapi belum ada tanda-tanda dirinya akan siuman. Walaupun harus diakui, Fanya mengalami perkembangan yang signifikan selama di sini. Bahkan beberapa lukanya mulai mengering.
Saat ketiganya sibuk dengan pikiran masing-masing –diselingi isakan Tyas sesekali–, tiba-tiba Farhan mendapati jemari perempuan di depannya bergerak. Memang sekilas awalnya, ia bahkan berpikir hanya sedang berhalusinasi. Namun saat mata Fanya ikut terbuka, ia pun langsung berseru, “FANYA?”
Haykal kontan terhenyak dari lamunannya. “FANYA?” Ia ikut berseru. Kali ini, mengguncangkan lengan mungil itu tanpa sadar –saking shock-nya–.
Perempuan yang terbaring lemah itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Seperti mencoba menetralisir rasa silau yang menyeruak ke dalam pandangannya. “Auw,” ringisnya pelan. Kedua matanya kembali terpejam kuat.
“Farhan, cepet panggil Dokter Alan ke sini!” perintah Haykal seraya memegangi kepala tunangannya. Sebenarnya ia sangat ingin memeriksa keadaan Fanya dengan tangannya sendiri, tapi ini di luar wewenangnya.
Farhan langsung melesat ke luar.
Beberapa saat kemudian, ia kembali bersama Dokter Alan dan beberapa suster.
“Permisi, Dokter...” ujar dokter yang sudah berusia akhir empat puluhan tersebut. Membuat Haykal segera menyingkir dari sisi tempat tidur.
Dokter Alan segera mengenakan stetoskop ke telinganya, lalu memeriksa detak jantung Fanya. Sedangkan perawat yang lain sibuk mengecek infus, oksigen, dan detak nadi di pergelangan tangan kiri perempuan itu. Ada juga yang mencatat sesuatu, entah apa.
Setelah itu, dokter tersebut membuka mata Fanya dengan ibu jarinya. “Fanya, kamu bisa dengar saya?” bisiknya sembari menyenteri bola mata perempuan itu, bergantian.
Fanya langsung membuka mata saat Dokter Alan memundurkan tubuhnya. Kedua alisnya bertaut. Kemudian menatap orang-orang di dalam ruangan tersebut satu per satu. Ia berdehem sejenak, seakan memperbaiki pita suara miliknya yang sudah hampir seminggu tak digunakan.
“Fanya, kamu merasakan sesuatu?” tanya Dokter Alan lagi.
Beberapa pasang mata di sana memandangi Fanya, sama-sama menunggu jawaban.
Bruk! Pintu kamar dibuka dengan keras. Sosok ayah dan ibu perempuan itu menyeruak masuk. Masih dengan jas dokter dan ekspresi cemas luar biasa.
“Fanya? Kamu sudah sadar, Nak?” Ibu Fanya langsung berdiri di sebelah Dokter Alan. Sang suami mengikuti di sampingnya.
Masih dengan dahi berkerut, perempuan yang masih dalam posisi berbaring tersebut menatap kedua orangtuanya.
“Fanya... Kok kamu diem?” sela Haykal. Penasaran dengan respon tunangannya yang sedari tadi tak juga membuka mulut.
Kali ini, pandangan penuh keheranan dipusatkan perempuan itu pada Haykal. “Fa... Nya?” Ia balik bertanya. Suaranya serak sekali.
Hening sejenak. Bahkan tak ada suara desahan nafas sama sekali. Ruangan menjadi sarat akan ketegangan.
“Fanya siapa?” lanjut perempuan itu.
Mama sontak menutup mulutnya dengan tangan kanan. Menyembunyikan rasa kagetnya. Di belakangnya, Tyas mengerjapkan mata dengan mulut menganga.
“Kamu kenapa, sayang?” Ayah Fanya memecah keheningan.
“Bapak... siapa?” tanya Fanya lagi. “Siapa Fanya? Kalian... siapa?” Ia mengedarkan pandangan ke semua orang yang ada di sekitarnya.
Kali ini, ruangan benar-benar seperti terselimut awan mendung. Pekat.
“Saya... Siapa?” tambah perempuan itu.
Bruk! Ibu Fanya langsung roboh, tak sadarkan diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar