Bagaimana
jika setelah berpisah, aku masih menunggu telepon dan pesanmu setiap hari?
Atau masih bergegas
ke pintu depan, hanya karena suara kendaraan yang menyerupai milikmu?
Atau masih tak
rela menghapus seluruh pesan di ponsel, karena seluruhnya adalah darimu?
Bagaimana
jika, aku masih hidup bersama masih-masihku yang lain?
Bagaimana
jika setelah berpisah, lalu kita bertemu lagi?
Bagaimana
jika aku tak kuasa menahan diri untuk berlari
menghampiri
pertama kali, menyapamu seperti seorang kekasih?
Bagaimana
jika aku malah membeku
tak sanggup
memberi reaksi, lalu kita hanya bertukar tatap seakan tak pernah saling tahu?
Bagaimana
jika, aku bahkan tak bisa mengendalikan diri sendiri?
Bagaimana
jika setelah berpisah, aku sering membandingkanmu dengan kekasihku kini?
Dia yang tak
mengerti leluconku
Dia yang tak
memujiku di depan orang-orang
Dia yang tak
memberiku kejutan seperti caramu
Dia yang tak
mengerti bahasa di balik seluruh bisuku
Dia yang
gampang bosan dengan cerita-ceritaku yang tak tahu akan kubagi pada siapa lagi
Bagaimana
jika, aku tetap mempertahankanmu di dalam kepala, pun nurani?
Bagaimana
jika setelah berpisah, orang-orang mengira kita masih bersama?
Apa aku
harus berkata sejujurnya, berpura-pura baik-baik saja di depan mereka?
Apa aku
harus berbohong, agar tak ada yang tahu deras di wajah setiap malamnya
deras di
hati setiap saatnya?
Bagaimana
jika, aku terus hidup di dalam ilusi tentangmu dan hubungan kita dulu?
Bagaimana
jika setelah berpisah, kita bertemu kala bersama kekasih masing-masing?
Bagaimana
jika aku merasa lebih baik dalam segala hal dari kekasihmu yang sekarang?
Bagaimana
jika aku hanya menatapmu, melupakan genggam hangat yang enggan melepaskan
jemari?
Bagaimana
jika aku tak mampu mengontrol ekspresi, dan kau menemukan sedih ini?
Bagaimana
jika, kau pun masih memandangku dengan cara yang sama seperti milikku?
Katamu, “Kita
akan baik-baik saja walau tak bersama,”
katamu, “Kita
sudah saling tahu terlalu banyak hal untuk merasa berat menghadapi perpisahan,”
katamu, “Kita
akan baik-baik saja,”
katamu, “Aku
selalu cinta. Aku tahu kau pun begitu,”
katamu,
“Kita akan baik-baik saja setelah tak lagi bersama,”
katamu,
“Bersama tak cocok untuk kita.”
Kalau kita
akan baik-baik saja, lalu mengapa aku membiarkan malam menemani lebih panjang
menunggu
teleponmu
membaca
seluruh pesanmu berulang-ulang
melihat
foto-foto kita sekian tahun terakhir
mendengar
lagu sendu untuk kembali mengingatmu
lagi dan
lagi?
Kalau kita
sudah saling tahu terlalu banyak hal, apa kau tahu aku belum pernah jatuh cinta
sejatuh-jatuhnya, sedalam-dalamnya, seperti yang kurasa padamu?
Hingga membuatku
terlalu sering mengedarkan pandangan setiap bepergian
di kafe yang
pernah kita kunjungi
di jalan
raya sekitar tempat tinggalmu
bahkan di
tengah kemacetan dengan kurungan gerimis
ditemani
kenangan-kenangan kita dulu yang enggan mati dari kepala
Kalau kau
selalu cinta, kenapa malah melepaskan dengan rela?
Kalau kau
selalu cinta, kenapa tak mempertahankan?
Kalau kau
selalu cinta, kenapa tak pernah menanyakan kabar?
Kalau kau
selalu cinta, apa bagimu artiku hanya sebatas sekian tahun kemarin?
Bagaimana mungkin
kita akan baik-baik saja, seperti katamu?
Bagaimana mungkin
cinta malah membuat seseorang ingin berpisah, seperti katamu?
Bagaimana mungkin
dua orang yang saling cinta tak cocok bersama, seperti katamu?
Bagaimana
jika setelah berpisah, aku bahkan tak bisa melupakanmu dengan segala benci yang
kupupuk sebisaku?
Sementara
kau sudah bahagia tanpaku?
Bagaimana
jika setelah berpisah, cintaku malah semakin menggunung karena kau jauh?
Sementara
cintamu sudah habis kauberi pada kekasihmu yang baru?
Bagaimana
jika...,
Bagaimana
jika sedari dulu...,
Bagaimana
jika sedari dulu memang hanya aku yang selalu cinta?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar