Sabtu, 20 Oktober 2012

Terlambat

Reza menatap seorang cewek mungil yang berlarian ke arahnya. Cewek yang masih berseragam putih-biru tersebut tersenyum lebar. Bahagia. Dengan dua botol minuman di kedua tangannya.

“Nih..” ucapnya seraya memberikan satu botol minuman rasa jeruk dari tangan kanannya ke arah Reza. Masih dengan wajah sumringah.

Reza meraih botol tersebut. Membuka penutupnya, lalu meneguknya. Mengalirkan sensasi dingin ke seluruh pembuluh darah di dalam tubuhnya. “Kamu darimana?” tanyanya. Setelah menutup kembali botol minuman miliknya.

“Dari kantin,” jawab cewek mungil berambut sebahu yang bernama Tiwi itu. “Karna Kakak udah denger curhatanku tadi, jadi aku bawain minuman. Sebagai tanda terima kasih gitu, deh..” lanjutnya.

Reza cuma tersenyum. Kemudian kembali memandangi gadis lucu dengan dua bola mata bulat yang selalu tersenyum ke arahnya. Yang selalu ceria, riang, juga tidak pernah mengeluh. Dan ia... Menyukainya. Namun sepertinya takdir berkehendak lain bagi mereka.

“Trus, kira-kira Kak Rama kapan ke sini lagi?” tanya Tiwi. Ia menatap ke depan. Ke tengah lapangan sekolahnya yang sudah dipenuhi junior-juniornya di ekskul paskibra yang sedang sibuk latihan baris-berbaris dipimpin Trisna.

Reza menatapnya. Terdiam sesaat sebelum menjawab, “Mungkin besok atau lusa. Soalnya dia lagi ngurusin masalah pemindahjabatan Osis di sekolahan. Kan udah kelas tiga juga.”

Tiwi manggut-manggut. “Tapi Kakak janji kan mau nyuruh dia ngelatih di sekolah ini lagi? Aku kan kangen. Hehe..”

Reza tersenyum tipis. Lalu mengangguk.

***

Saat ini, Tiwi masih tercatat sebagai siswi kelas IX SMP Negeri 8 di salah satu kota besar di Indonesia. Sedangkan Reza dan Rama sudah kelas XII SMA Negeri 5 di kota yang sama. Bahkan, sekolah mereka pun berdekatan.

Reza dan Tiwi dipertemukan setahun yang lalu melalui kegiatan ekskul paskibra di SMPN 8 tersebut. Cowok yang saat itu baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai pengibar bendera di istana negara diminta oleh pembina paskib sekolah Tiwi untuk ikut melatih di sekolahnya. Dan dengan senang hati, ia menerimanya.

Setahun kemudian –tepatnya beberapa bulan yang lalu–, Rama muncul. Ia juga baru mengibarkan bendera di istana negara sebagai Paskibraka Nasional saat itu. Dan pembina paskibra di sekolah Tiwi pun kembali merekrutnya sebagai pelatih. Sama seperti Reza, ia juga menerimanya.

Reza. Cowok dengan tubuh tegap, senyum menenangkan, mata teduh, dan sikap ramah. Bahkan di lapanganpun, cowok itu tidak pernah menunjukkan tanda-tanda tegas. Hanya terkesan berwibawa.

Berbeda dengan Rama yang memiliki mata tajam dan selalu bisa mengunci siapapun hanya dalam satu tatapan penuh arti.  Dengan tubuh tegap yang tidak jauh berbeda dengan Reza. Namun Rama lebih dingin. Juga tegas.

***

Reza memandangi Tiwi yang sedang tertawa riang di samping Rama. Kedua orang itu duduk di pojok lapangan. Berlindung dari sengatan sinar matahari. Tempat favoritnya dan Tiwi satu tahun yang lalu. Saat bayangan cowok yang juga sahabatnya itu belum muncul di tengah-tengah mereka.

Rama juga ikut tertawa. Tawa lepas yang sampai saat ini baru pertama kali dilihatnya. Selama hampir tiga tahun bersahabat sejak masuk SMA, Rama jarang sekali tersenyum. Apalagi tertawa. Palingan hanya tawa tipis yang bertahan sekian detik. Tidak seperti sekarang. Di dekat Tiwi.

Entah kapan datangnya, perasaan itu hadir di hati Reza. Setiap melihat wajah Tiwi, dengan mata bulatnya dan senyum lebarnya yang tidak pernah luntur tersebut, jantungnya pasti berdebar tak menentu. Mendengar suaranya yang terkesan cempreng, malah sangat merdu di telinganya. Mencium aroma khas tubuh mungilnyapun, membuat nafasnya menjadi tercekat. Apalagi melihatnya duduk berdua dengan sahabatnya sendiri. Ada perasaan aneh yang berkecamuk di dadanya. Menuntut untuk diluapkan dengan emosi atau sekedar adu otot. Entah apa itu.

Dan yang semakin memancing emosi Reza, Tiwi dengan bahagia menceritakan perasaannya sendiri pada Rama. Yah, ia menyukai sahabat Reza tersebut. Bahkan tanpa basa-basi, memintanya untuk menjadi penghubung antara dirinya dan cowok itu. Membuat Reza hampir bunuh diri saking sakitnya.

***

Tiwi sedang mengemasi barang-barangnya saat ia merasakan aroma parfum seseorang di belakangnya. Dan tanpa menolehpun, ia bisa tahu bahwa orang itu adalah Reza, senior paskib di sekolahnya.

Reza lalu duduk di bangku yang terletak di hadapan Tiwi. Agar lebih leluasa memandangi cewek mungil tersebut. “Gue liat, lo udah akrab banget sama Rama. Jadi kayaknya lo udah gak butuh bantuan gue buat pedekate sama dia, kan?” tanyanya kemudian.

Tiwi sontak menghentikan aktifitasnya. Dengan kedua alis yang bertaut, ia bertanya, “Kok Kakak jadi gitu, sih? Kakak gak suka yah aku deket-deket sama Kak Rama?” sungut cewek itu. Manja.

“Bukan gitu, Wi. Gue kan cuma bilang kalo kalian udah akrab banget. Kalo Rama juga suka lo, dia pasti langsung nembak lo tanpa bantuan gue.”

“Emang gitu yah, Kak?” tanya Tiwi. Ia duduk di sebelah Reza.

Reza mengangguk pelan.

“Menurut Kakak, Kak Rama suka sama aku, gak?” Tiwi bertanya lagi.

“Gak tau juga, sih. Cuma kalo ngeliat gelagat Rama yang udah akrab sama lo, kayaknya kemungkinan besar dia juga suka sama lo. Rama kan orangnya cuek, dia juga gak gampang deket sama orang baru. Jadi karna keliatannya kalian udah deket, berarti dia juga nyaman sama lo,” jelas Reza.

Senyum Tiwi mengembang. Membuat mata dan wajahnya kembali bersinar. Cerah. Secerah jepitan kupu-kupu berwarna kuning yang melekat di rambut sebahu miliknya. “Kalo bener kayak gitu, aku bahagia banget deh, Kak. Berarti aku gak bertepuk sebelah tangan, kan?”

Reza ikut tersenyum. Sekilas. Menikmati wajah cewek yang sangat bahagia tersebut. Walaupun bukan karena dirinya.

“Oh, iya. Kakak jangan lupa bikinin aku puisi, ya! Soalnya besok udah harus dikumpul,” Tiwi mengingatkan.

Beberapa hari yang lalu, ia mendapat tugas dari sang guru Bahasa Indonesia untuk membuat puisi bertemakan cinta pertama. Dan karena Reza memang mahir dalam berkata-kata dengan majas yang indah dan romantis, ia pun dengan senang hati meminta pertolongannya.

“Iya, gue inget. Ntar malem gue sms-in ke hape lo, deh.”

***

Dalam gulita
Ku dengarkan bisikan kalbu
Sayup-sayup memecah lamun
Menggugah hati
Membuka gerbang pikiran
Membiarkan rasa itu ada

Ku tak peduli siapa dirinya
Ku tak peduli untuk siapa hatinya
Ku tak peduli rasa ini akan terbalas
Yang ku peduli, hanya pengungkapan rasa ini

Ku tak mengerti sejak kapan rasa ini ada
Ku tak mengerti mengapa rasa ini ada
Yang ku mengerti hanya...

Aku mencintainya
Aku menyayanginya
Aku membutuhkannya

Biarkan rasa ini mengalir
Biarkan rasa ini bergema
Biarkan rasa ini menghiasi hatiku
Hingga ku tak mampu lagi memiliki jiwaku

            Reza menghela nafas panjang sambil menunggui pesan singkatnya terkirim ke handphone Tiwi. Ia baru saja mengungkapkan perasaannya. Lewat sebentuk puisi yang baru saja dibuatnya dari lubuk hati paling dalam. Dengan segenap perasaan. Berharap Tiwi mengerti akan isi hatinya selama ini.

***

            “Awan?”

“Langit!”

“Bunga?”

“Kumbang!”

Tiwi tertawa melihat ekspresi Reza yang terlihat antusias menjawab pertanyaan-pertanyaannya sedari tadi. Mereka berdua sedang bermain ‘cocokkan kata’. Jadi, setiap Tiwi mengajukan satu kata, Reza harus membalasnya dengan kata lain yang berhubungan dekat dengan kata tersebut tanpa sempat berpikir lama.

Tiwi menggerak-gerakkan matanya dengan lucu. Mencoba mencari kata lain yang lebih menarik. Lalu... “Cinta pertama?”

“ELO!”

Deg! Reza langsung menutup mulutnya. Jawaban spontan darinya tadi kontan membuat mata Tiwi membulat. Mulut cewek itu juga menganga maksimal. Kelihatan shock.

“Maksudnya, Kak?” tanya Tiwi. Masih dalam kekagetan yang luar biasa.

Reza menarik nafas panjang. Lalu menghembuskannya. Kuat-kuat. Berusaha menormalkan detak jantungnya yang meningkat dua kali lipat. Kemudian tersenyum manis. “Iya, kamu..”

Tiwi terdiam. Tidak tahu harus membalas bagaimana.

“Lo itu.. Cinta pertama gue,” ucap Reza. Lagi.

“Serius, Kak?” Kedua alis Tiwi masih menyatu.

Reza mengangguk. Masih tersenyum.

“Kok bisa? Sejak kapan?”

“Gak tau juga,” balas Reza. “Lo udah baca puisi yang gue kirimin semalem, kan?” sambungnya. Sambil menatap langit sore itu. Di tepi lapangan upacara SMP Negeri 8.

Kali ini, Tiwi yang mengangguk. “Tadi udah diperiksa sama gurunya. Beliau bilang, puisiku bagus banget. Aku dapet nilai A+, loh. Padahal kan itu bukan puisiku. Hehe..”

Reza ikut tertawa pelan. “Kalo lo baca puisi itu baik-baik, sebenarnya itu ungkapan hati gue buat lo.”

Tiwi kembali terdiam. Mematung. Seperti sedang mengingat-ingat isi puisi yang dikirimkan Reza kepadanya semalam.

“Kalo lo nanya sejak kapan gue suka sama lo, jawabannya ada di puisi gue, kok. Gue gak tau sejak kapan perasaan ini muncul,” ujar Reza. Memecah keheningan. “Makanya beberapa hari yang lalu gue bilang kalo gue gak bisa ngebantuin lo deket sama Rama lagi. Karna setiap gue ngeliat kalian barengan, gue ngerasa sakit. Di sini..” Ia menunjuk dadanya sendiri.

Tiwi bergeming. Ia menatap mata teduh milik Reza. Dalam. “Kenapa Kakak baru ngomong sekarang? Bukannya kita udah kenal satu tahun lebih?” tanyanya.

“Gue juga gak tau, Wi. Gue baru nyadar pas lo bilang kalo lo suka sama Rama. Apalagi pas kalian deket, gue gak sanggup ngeliat itu semua.”

Cewek mungil tersebut memainkan kesepuluh jarinya. Masih memilih diam. Tidak berani menatap mata cowok di sebelahnya.

“Mungkin karna gue baru ngerasain perasaan kayak gini sekarang, makanya gue belum ngerti ini perasaan macem apa. Gue baru tau pas lo udah deket sama Rama. Kalo gue.. Cemburu. Dan itu artinya, gue suka sama lo.”

Tiwi menoleh. Memberanikan diri menatap cowok itu. Cowok dengan pandangan teduh, senyum menenangkan, tubuh tegap, dan aroma parfum yang khas. Wangi. “Kakak mau tau sesuatu, gak?”

Dahi Reza berkerut. Namun akhirnya, ia mengangguk juga.

“Sebenarnya, sejak Kakak dateng ke sekolah ini, aku udah suka sama Kakak. Kakak itu.. Cinta pertamaku juga,” lirihnya. Seraya menunduk. “Cuma aku gak pernah berani deket sama Kakak. Aku takut sakit hati. Apalagi banyak temenku yang juga suka sama Kakak.”

“Serius?” seru Reza. Tidak percaya.

Tiwi mengangguk perlahan. Tetap menunduk. Menyembunyikan wajahnya. “Tapi lama-kelamaan, pas aku udah deket sama Kakak, perasaan ini berubah. Aku udah gak berharap buat jadi pacar Kakak. Karna menurutku, Kakak udah terlanjur bikin aku nyaman sebagai adik selama ini. Aku udah gak berharap lebih lagi.”

Reza yang awalnya sempat melambung mendengar pengakuan cewek itu, langsung tertegun. Sekarang giliran ia yang menunduk.

“Makanya tadi aku nanya, kenapa Kakak ngomong ini sekarang. Coba aja dari dulu, aku gak mungkin berpikir dua kali buat bales perasaan Kakak ini. Tapi sekarang, aku bener-bener udah nganggep Kakak sebagai saudara kandungku sendiri. Gak lebih.”

Reza terpaku. Ia menghela nafas panjang. Menenangkan hatinya yang saat ini benar-benar sakit. Ada perasaan menyesal karena ia sudah berani mengutarakan perasaannya tersebut. Apalagi ia sendiri tahu bahwa Tiwi menyukai Rama, sahabatnya.

Okay, no problem kok. Gue cuma mau ngasih tau lo perasaan gue yang sebenarnya. Gue gak nuntut apapun. Gue kan tau kalo lo suka sama Rama,” ucap Reza akhirnya. Ia berusaha sekuat tenaga melengkungkan sudut bibirnya. Mencoba terlihat tegar di hadapan cewek ini.

“Maaf ya, Kak.” Tiwi ikut tersenyum. “Lagian, aku juga baru aja jadian sama Kak Rama. Semalem.”

Reza tersentak. Jantungnya kembali berdebar tidak karuan. Perasaan sakit itu menghimpit dadanya lagi. Namun sesaat kemudian, ia mengangguk. Mencoba menerima semuanya dengan lapang dada. Lalu membelai rambut Tiwi. Lembut. Penuh rasa sayang. “Gue juga minta maaf. Gue terlambat ngasih tau lo. Gue emang bego, sih.”

“Aku tau kok kalo Kakak cowok yang baik. Kakak pasti dapet cewek yang terbaik,” balas Tiwi. Tulus. Sesekali, ia memejamkan matanya saat sentuhan Reza terasa menenangkan. “Kalo Kakak udah ngerasa sayang sama cewek, Kakak harus cepet nembak dia, ya! Jangan terlambat lagi. Kasian ceweknya kalo disuruh nunggu.”

Cowok itu kembali tersenyum. “Walaupun lo cinta pertama gue dan gue cinta pertama lo, gue yakin. Siapapun yang jadi cinta terakhir kita berdua, itu pasti yang terbaik buat kehidupan kita di masa depan. Iya, kan?”

“Pastinya, dooong!” sahut Tiwi. Wajahnya yang tadi terlihat sendu berubah ceria. Seperti sedia kala.

Mereka berdua lalu menghabiskan sore itu dengan perasaan yang lebih plong. Lepas. Bebas dari segala macam perasaan yang dipendam selama ini. Dan intinya, mereka berdua sedang mencoba bahagia dengan kehidupan masing-masing. Tiwi yang sedang menjalani hubungan dengan Rama di usianya yang masih belia, berharap Rama-lah yang terakhir.

Sedangkan Reza yang harus mencari cinta terakhirnya. Entah dimana dan kapan datangnya. Yang jelas, ia tidak mau terlambat mengakui rasa cintanya lagi. Cukup sekali saja. Dan itu untuk cinta pertamanya. Prastiwi Hardianto.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar