“Sumpah, ini
kado terindah sepanjang hari ulang tahunku seumur hidup. Lulus di universitas
negeri terbaik di kota ini. Apalagi di Fakultas dan jurusan yang paling
diidam-idamkan oleh hampir semua orang yang berniat mendaftar SNMPTN. Yah,
Fakultas Kedokteran. Siapa yang tidak bangga? Jadi tidak salah kan kalau aku
sebahagia ini? Tidak terlalu berlebihan, kan?”
Aku
meletakkan boneka monyet kesayanganku itu kembali ke atas meja di samping
tempat tidurku setelah puas berbicara dengannya. Tidak, aku tidak gila! Aku
hanya sangat menyayanginya.
Boneka
itu adalah salah satu pemberian seseorang yang sangat berarti di hidupku.
Seseorang yang selama ini memberikanku semangat untuk terus berjuang agar
diterima di universitas dan fakultas tujuanku. Seseorang yang sudah tiga tahun
terakhir ini mewarnai hari-hariku. Sejak jaman aku masih mengenakan seragam
putih abu-abu hingga sekarang. Saat aku mulai mengecap mimpi besarku sebagai
calon dokter.
Namanya
Haykal Darmawan. Dia seniorku semasa SMA dulu. Saat ini, ia juga sedang
menikmati bangku kuliah di Fakultas Hukum. Universitas yang sama denganku. Ah,
betapa bahagianya aku kembali dipertemukan dengannya dalam satu tempat menuntut
ilmu selama beberapa tahun ke depan.
Kalau
kalian mengira dia itu pacarku, pasti kalian akan salut dengan hubungan kami
yang sudah berjalan tiga tahun ini. Iya, kan? Tapi kalian salah. Kami tidak
dalam jalinan kasih seperti itu. Tidak pernah. Belum pernah, lebih tepatnya. Aku
hanya seorang junior dan dia tetap seniorku. Dalam kata lain, kami hanya
layaknya kakak-beradik.
Mengapa
aku berkata demikian? Bukan karena aku tidak mencintainya. Bukan. Aku bahkan
sangaaat mencintainya. Lebih dari yang orang-orang tahu. Tapi sayangnya, dia
tidak pernah menunjukkan tanda-tanda balik mencintaiku. Kecuali boneka monyet
kesayangku yang kunamai Hanyet itu –singkatan dari namanya, Haykal Monyet–
tidak masuk hitungan. Kenapa? Karena boneka pemberiannya tersebut memeluk
bantal hati bertuliskan ‘I Love You’ di dadanya. Bolehkah hal itu kusebut
sebuah ‘tanda’ darinya?
Dia
yang selalu menemaniku setiap saat dengan pesan singkat atau telephone berisi segala macam perhatian
yang membuatku melambung tinggi. Dia yang melindungiku dari tindakan bully senior-senior. Dia yang
mengenalkanku kepada seluruh anggota keluarganya. Dan dia yang setia mengantar-jemputku
ke sekolah, bahkan kemanapun. Hanya dia yang bisa merebut hatiku sejak pertama
aku melihatnya di tengah-tengah senior saat hari pertama MOS.
Dia.
Kak Haykal. Orang pertama yang membuatku hampir gila saat ia tiba-tiba
menghilang selama dua minggu dan muncul dengan kejutan ulang tahunku bersama
teman-teman dekatku. Orang pertama yang kucari di sekolah saat jam istirahat
hanya untuk memberikannya bekal yang kubuat sendiri khusus untuknya. Orang
pertama yang dipercayai kedua orangtuaku untuk membantu menjagaku selama di
sekolah. Dan orang pertama yang telah berani merebut semua rasa cintaku.
Aku
benar-benar mencintainya. Dengan seluruh perasaan yang kumiliki. Di setiap
detak jantung dan helaan nafas. Walau sampai sekarang dia bahkan tidak pernah
memintaku menjadi pacarnya. Yang jelas, dia selalu ada di sisiku. Begitupun
diriku terhadapnya.
Aku
mengingat sebuah kejadian saat kami masih sekolah dulu.
***
“Laraaas,
Haykal nyariin, nih!” sorak Sammy, teman sekelasku sekaligus teman Kak Haykal.
Walaupun dia masih kelas XI, tapi teman-temannya memang rata-rata senior kelas
XII. Mungkin karena dia anak basket dan lumayan tenar juga di sekolah ini.
Maklum, dia sangat ganteng. Apalagi anak basket. Tapi menurutku, Kak Haykal tetap
tidak ada duanya.
Aku
melangkah menuju pintu masuk kelasku. Kemudian menemukan wajah Kak Haykal
sedang tersenyum manis di sana. “Ada apa, Kak?” tanyaku. Menghadap ke arahnya
dengan sedikit mendongakkan kepalaku. Maklum, tinggiku hanya sebatas dadanya.
“Aku
laper. Belum sarapan. Temenin, dong!” balasnya. Ia menyetel wajah memelas.
Ekspresi yang tidak pernah bisa membuatku berkata tidak padanya. Ia memang
sangat pintar mempermainkan hatiku.
“Kenapa
gak sama temen-temen Kakak, sih?” Aku mencoba mengelak. Rambut sebahu milikku
ikut bergoyang saat menggeleng.
“Mau ditemenin
sama kamu ajaaaa,” rengeknya.
Akhirnya, kepalaku
mengangguk. Malas berdebat sementara puluhan pasang mata sedang memandang kami
dengan tatapan menyelidik. Aku paling tidak suka menjadi objek perhatian,
apalagi pembicaraan orang-orang di sekolah ini. Apa salahnya ngobrol sama
senior di jam istirahat?
Kak Haykal langsung
menarik tanganku dengan senang. Menggenggamnya erat. Aku tersenyum lebar
sepanjang perjalanan ke kantin kelas XII. Yah, aku selalu ke kantin senior
tersebut setiap makan dengannya. Dia tidak pernah betah makan di kantin
angkatanku karena tidak mengenal siapapun katanya. Awalnya, aku lumayan risih
dengan tatapan senior-senior di sana. Bahkan, aku kadang nyaris di-bully. Tapi Kak Haykal selalu pasang
badan untuk melindungiku. Teman-teman dekatnya pun kadang juga turun tangan
membuatku merasa nyaman di tengah mereka. Aku semakin bahagia diperlakukan
sedemikian rupa.
Hingga
suatu hari, Chita –teman sebangkuku– menanyakan sesuatu yang memang selalu
menjadi pertanyaanku selama ini.
“Kamu
sama Kak Haykal pacaran atau enggak, sih? Kemana-mana udah kayak amplop sama
prangko. Tapi sekalinya ditanyain, jawabannya ‘cuma kakak-adik’. Aneh banget,
tau gak? Kenapa gak pacaran aja, coba? Kan sama-sama single ini,” cerocosnya.
Aku
memilih bergeming. Tertegun dengan pertanyaan yang begitu menusuk tersebut.
Membuatku kembali teringat tentang status hubunganku dengan Kak Haykal yang
memang tidak pernah berkembang itu. Tetap sebagai seorang kakak dan adik.
Senior dan junior. Walaupun aku selalu berdoa supaya dia memintaku menjadi
pacarnya. Siapa yang tahan dengan hubungan yang tidak jelas seperti ini? Tentu
tidak ada.
Sampai
akhirnya, Kak Haykal lulus dan kuliah. Aku sempat khawatir jika di kampus
barunya ia akan menemukan sosok baru dan menggantikanku di hari-harinya. Aku
belum siap. Tidak akan pernah siap untuk hal itu. Tapi sepertinya tidak. Karena
ia tetap menanyakan kabarku di sela-sela kegiatannya. Tetap mengantar dan menjemputku
ke sekolah. Tetap berkunjung ke rumahku untuk bertemu kedua orangtuaku. Tetap
mengajakku ke rumahnya untuk bertemu keluarganya dan bermain dengan
keponakannya yang lucu-lucu. Tidak ada yang berubah. Kecuali dirinya yang sudah
menjadi seorang mahasiswa.
***
Oh,
iya. Aku melupakan sesuatu. Sesuatu yang membuatku sempat frustasi di semester
terakhir masa SMA-ku. Saat aku dan Kak Haykal sempat lost contact. Mungkin karena dia terlalu sibuk dengan tugas kuliah
–aku juga tak mengerti alasannya hingga sekarang– . Yang jelas, aku sampai
keluar dari zona nyamanku ketika Sammy menyatakan cintanya padaku.
Yah,
Sammy. Cowok basket yang paling terkenal di angkatanku dari kelas X hingga
kelas XII saat itu. Aku benar-benar tidak percaya. Dan, entah karena terbawa
suasana romantis di tepi pantai bertepatan pada malam tahun baru sekaligus
liburan kelasku tersebut atau memang karena pesonanya telah menghipnotisku, aku
langsung menerimanya sebagai pacarku.
Berita
‘penembakan’ Sammy menjadi buah bibir selama beberapa pekan di sekolah. Puncaknya,
saat Kak Haykal tiba-tiba muncul di jam pulang sekolah setelah sekian lama
menghilang dari kehidupanku.
Buk! Buk! Buk!
Tiga
pukulan bertubi-tubi mendarat di pelipis kiri Sammy. Bogem mentah yang tidak
lain dan tidak bukan berasal dari kepalan tangan kanan Kak Haykal.
“STOP! KAKAK NGAPAIN, SIH?” histerisku.
Aku tak tahu mendapat keberanian darimana sampai bisa mendorong tubuh mantan
seniorku itu menjauh. Walaupun tidak terlalu membantu karena tubuh kecilku ini
pasti tidak ada apa-apanya dibandingkan tubuh menjulang miliknya.
“LO
BRENGSEK! SEJAK KAPAN LO SUKA SAMA LARAS? LO BERANI SAMA GUE? HAH?” teriak Kak
Haykal. Ia masih berdiri di tempatnya tadi. Menghadap Sammy yang sudah
tersungkur di area parkir.
Aku
menatap ke sekeliling. Kami bertiga sudah berada di tengah lingkaran besar yang
dibentuk hampir seluruh siswa-siswi sekolah ini. Astagaaaaa, apa mereka gila?
Mengapa tidak ada satupun yang berinisiatif melerai dua lelaki penuh emosi di
depanku ini? Mengapa tidak ada yang berniat memanggil guru? Ck! Kenapa kantor
guru harus jauh dari parkiran sekolah? Kemana guru-guru kurang kerjaan yang
biasanya selalu menghukumku karena terlambat masuk kelas itu?
Mataku
memperhatikan Sammy. Ia menyeka sudut bibirnya yang berdarah. Pasti sakit. Dan
bodohnya, kenapa aku hanya membeku di tempatku berdiri ini? Apa aku sudah lupa
caranya berjalan?
“Lo
kenapa, Kal? Cemburu?” balas Sammy. Ia menyeringai. Terlihat meremehkan.
Buk! Kali ini, kaki kanan Kak Haykal
yang mendarat dengan sukses di atas perut Sammy.
“Arrggghhhh...”
ringis pacarku itu. Ia bergerak ke kiri-kanan sambil memegangi peruutnya.
“KAK
HAYKAL! STOP IT! PLEASEEE,” pintaku.
Bisa ku rasakan air mata yang sedari tadi berusaha ku tahan mati-matian sudah
mengalir dengan beraninya. Aku memang tidak pernah tega melihat perkelahian.
Apalagi pelaku dan korbannya adalah dua orang yang kusayangi.
Kak
Haykal menoleh ke arahku. Matanya berkilat marah. Demi Tuhan, selama aku
mengenalnya, baru kali dia membuatku takut.
“Lo
mau hajar gue sampe matipun gak ada gunanya, Kal. Laras udah jadi cewek gue. Lo
gak liat sekarang dia nangis karna lo udah ngelukain cowok yang paling dia
sayang?” Sammy masih bisa bersuara di tengah-tengah kesakitannya. Walaupun
kedengaran terputus-putus. Aku sudah tidak kuat melihatnya.
Kak
Haykal yang masih berdiri kokoh itu mendekatiku. Nafasnya kedengaran memburu.
Ya Tuhan, aku benar-benar takut melihatnya seperti ini dalam jarak dekat.
Sedetik
kemudian, aku seakan kehilangan kesadaran. Jantungku berdebar hebat. Nafasku...
Ada yang bisa mengajariku cara bernafas dengan normal seperti sedia kala?
Sebelum Kak Haykal menarik tubuhku dan menempelkan bibirnya ke bibir tipisku
ini. Membuatku membatu.
Beberapa
saat kemudian, setelah ia selesai dengan lumatannya di bibir milikku yang
sebelumnya masih suci tersebut, ia menjauhkan wajahnya. Tapi masih tetap
melingkarkan tangan kirinya di pinggangku.
Ia
lalu beralih menatap Sammy. “Sekarang, kalian udah putus. Laras gak pernah
sayang sama lo,” tandasnya. Kemudian menarikku untuk berjalan di sampingnya.
Mengikuti langkahnya meninggalkan area parkir sekolah dan masuk ke dalam
mobilnya.
Aku
benar-benar tidak bisa berkata-kata. Berkali-kali aku mengutuk diriku sendiri.
Wanita mana yang tega meninggalkan pacarnya yang sedang babak belur karena ulah
lelaki yang sangat dicintainya? Pasti hanya aku. Sekarang aku harus apa?
Bagaimana kalau besok aku dimusuhi massal karena telah membuat lelaki paling
ganteng di sekolah –setelah Kak Haykal lulus– penuh luka lebam?
“Siapa
yang suruh kamu pacaran sama Sammy? Kenapa kamu gak ngasih tau aku? Ini yang
kamu lakuin pas aku lagi sibuk sama tugas-tugas di kampus? Mau kamu apa, sih?
Kamu anggep aku apa selama ini?” Kak Haykal membuka pembicaraan. Dengan
bentakan.
“Kakak
kenapa? Bukannya Kakak yang bikin aku kayak gini? Kenapa Kakak tiba-tiba ngilang?
Aku kesepian, Kak! Apa gak ada sedikitpun waktu buat ngabarin aku?” aku balas
membentak. “Oh, iya. Tadi Kakak nanya apa? Aku anggep Kakak apa? Kakak sendiri?
Apa hak Kakak mukulin pacarku di depan mataku sendiri? Apa hak Kakak bilang ke
Sammy kalo kami putus? Apa hak Kakak ngomong ke Sammy kalo aku gak pernah sayang
sama dia? Emang Kakak siapa? Kakak tau apa? Hah?” Bukan hanya membentak, aku
sudah berani berteriak sekarang.
Ia
terdiam.
Ciiiiiiiitttttttttttttt! Rem mendadak
dari mobil yang kami kendarai membuatku terhempas ke depan. Nyaris membentur
dashbor kalau saja aku tidak memasang seatbelt. Gila! Apa dia bermaksud
membunuhku? Oh, tidak. Sepertinya aku terlalu berlebihan.
Kak
Haykal menoleh. Menatapku lekat dengan mata teduhnya. Mata indahnya sudah
kembali. Bukan mata berkilat marah seperti tadi lagi. Mungkin aku bisa sedikit
bernafas lega sekarang. Apalagi kedua tangannya kini sudah menangkup wajahku.
Menyalurkan kehangatan yang membuatku sangat nyaman. Memaksaku untuk terus
menatapnya.
“Mulai
sekarang, jangan sekali-kali deket sama cowok lain. Apalagi pacaran. Kalo aku
sampe tau, aku gak cuma mukulin dia kayak Sammy. Aku bisa bunuh dia, Ras..”
lirihnya. Terlihat meyakinkan.
Aku
menghela nafas panjang. Lalu menarik wajahku dari genggamannya. “Aku gak ngerti
apa alasan Kakak ngelakuin semua ini ke aku,” gumamku. Sembari menunduk.
Kak
Haykal kembali menyalakan mesin mobilnya. Lalu melaju meninggalkan tempat kami
berhenti secara mendadak beberapa menit yang lalu. Kali ini, dengan kecepatan normal.
Tidak membuatku sport jantung lagi.
“Aku
ini Kakak kamu. Jadi turutin aja apa yang aku bilang. Kamu masih sekolah.
Belajar yang baik. Jangan pacaran dulu,” balasnya setelah hening cukup lama.
Aku
kontan menoleh ke arahnya yang masih sibuk mengemudi. Mulutku menganga. Mataku?
Jangan ditanya lagi. Sudah melotot maksimal. What? Kakak? Kata itu lagi? Dia dengan mudahnya hanya mengatakan
hal itu setelah menghajar pacarku habis-habisan, memutuskan hubunganku secara
sepihak tanpa meminta persetujuanku dan Sammy, serta MENCIUMKU DI DEPAN UMUM?
Apa itu yang dilakukan seorang Kakak hanya karena adiknya pacaran? What the–
***
“Kamu
ngelamunin apa?”
Deg! Aku tersentak mendengar suara itu
sudah hadir di dekatku. Sang tokoh utama dalam lamunan panjangku sore ini. Kak
Haykal Darmawan.
Sudut
bibirku terangkat saat mataku betul-betul menemukannya. Sedang duduk bersila di
atas kursi empuk di dalam kamarku. Tepat menghadap tempat tidur tempatku duduk
bersandar saat ini. Yah, dia memang mendapat akses bebas untuk keluar-masuk
semua ruangan di dalam rumahku. Sepertinya Papa dan Mama sudah sangat
mempercayainya.
“Kakak
kapan dateng?” tanyaku. Mengalihkan pembicaraan.
“Yang
jelas masih sempet ngeliatin kamu ngelamun. Dari senyam-senyum sendiri, sampe
manyun gak jelas,” jawabnya. “Kamu ngelamunin apa, sih?”
Aku
malah meraih Hanyet yang tadi kembali kuletakkan ke meja samping tempat tidur
setelah berbicara dengannya. Lalu memeluknya. Erat. Kemudian tersenyum lagi
seraya menatapnya dengan kedua mata yang pernah ia puji ini. Dia bilang, dia
sangat menyukai mata bulatku. Katanya mataku bisa tersenyum dan berbicara walau
mulutku sendiri terkunci.
“Laras,
jawab pertanyaan aku, deh! Jangan malah senyam-senyum terus. Bikin aku ngeri
aja,” ia bergidik.
“Gak
pa-pa, kok. Aku cuma lagi nginget kejadian-kejadian pas masih SMA. Dari Kakak
masih jadi senior sampe pas Kakak lulus.”
Ia
manggut-manggut. Bibirnya dibentuk menyerupai huruf O. Kelihatan lucu dan
menggemaskan. Jemarinya meraih toples berisi keripik kentang, cemilan favoritku
yang kuletakkan di dekat sofa. Lalu menikmatinya.
“Emang
ngapain ngelamunin yang dulu-dulu?” tanyanya. Tetap sibuk dengan toples di
pangkuannya.
“Kakak
mau tau?”
Ia
mengangguk. Kemudian mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arahku. Tanda
tertarik.
Aku
menghela nafas panjang. “Aku cuma lagi mikir. Dari dulu sampe sekarang,
kayaknya aku selalu terjebak sama perlakuan Kakak.”
“Maksudnya?”
Kak Haykal menaikkan satu alis. Ia menghentikan aksi makannya. Mungkin saking
penasaran dengan topik ini.
“Yah,
terjebak. Aku gak bisa kemana-mana. Sekalinya aku nyoba move on, cowoknya malah jadi korban. Kakak masih inget kan gimana
keadaan Sammy waktu itu? Dia masuk rumah sakit. Tulang pipinya geser. Tapi dia
malah gak marah sama sekali ke Kakak. Dia baik banget, tau gak! Kakak tuh emang
raja tega!” aku meluapkan emosi setahun lalu yang masih membekas di hatiku.
“Lagian,
siapa suruh kamu pacaran sama dia? Udahlah, aku males ngungkit masalah itu. Kan
udah kelar juga,” ia memasang ekspresi malas sambil mengibaskan tangannya.
Aku
menatapnya. Menatap lelaki yang sangat kucintai di hadapanku tersebut. Lelaki
yang telah memberikan berbagai warna dalam kehidupanku tiga tahun terakhir ini.
Hmm, sepertinya kami memang telah lama bersama. Aku bisa menyadari tubuhnya
yang semakin menjulang, serta dagu dan bagian di atas bibirnya yang sudah terdapat
bekas cukuran. Apalagi rahang tegas dan bibir seksinya itu. Juga mata teduh
miliknya. Ah, aku mencintai setiap senti dalam dirinya hingga detik ini.
“Kenapa
sekarang malah ngeliatin aku, sih?” tanyanya. Agak salah tingkah.
Aku
menunduk. Menyembunyikan semburat merah di kedua pipiku yang muncul saat
melihat wajahnya. “Aku boleh jujur, gak?”
“Boleh.
Ada apa?” Kak Haykal memainkan bibir Hanyet yang masih dalam pelukanku dengan
telunjuknya.
Ku
pandangi wajahnya sejenak. Lalu menghela nafas panjang. “Dari dulu sampe
sekarang, aku selalu mikir kalo Kakak cuma mainin perasaan aku.”
“Maksudnya?”
ia memusatkan perhatiannya padaku sekarang. Bukan lagi pada bibir si Hanyet.
Kedua alisnya bertaut.
“Kakak
gak ngerasa yah kalo semua sikap Kakak dari SMA malah bikin aku berharap lebih?”
Lagi-lagi, aku menghela nafas panjang. Mencoba mengumpulkan keberanian sebelum
melanjutkan. “Perhatian, perlindungan, rasa nyaman.. Kakak ngasih semuanya ke
aku. Cuma aku. Kakak ngelakuin semua itu seolah-olah aku ini orang yang
spesial. Dan setiap aku nanya alasannya, Kakak dengan gampangnya bilang kalo
itu karna aku udah kayak adik Kakak sendiri.”
Kak
Haykal bergeming. Sepertinya ia menunggu sampai kalimat-kalimatku benar-benar
habis.
“Kalo
aku cuma Kakak anggap adik, buat apa Kakak ngenalin aku ke semua keluarga
Kakak? Kenapa Kakak gak nyari pacar aja? Buat apa Kakak ngabisin masa SMA sama
aku? Kenapa mesti aku?”
“Kenapa aku gak
boleh pacaran sama cowok lain? Kenapa Kakak marah? Bukannya Kakak cuma nganggep
aku adik aja? Dan kenapa.. Kenapa Kakak nyuri ciuman pertamaku di depan banyak
orang? Kenapa, Kak?” Selesai. Aku sudah menumpahkan semuanya. Dan bisa
kupastikan, sebentar lagi pertahananku pasti akan runtuh. Semoga setelah ini,
semuanya berjalan sesuai dengan yang kuinginkan. Agar aku tidak merasa sia-sia
membongkarnya.
Tiba-tiba, Kak
Haykal bangkit dari sofa. Lalu ikut duduk di tepi tempat tidurku. Aku lumayan
terkejut dengan aksinya. Apalagi jemarinya kini sudah menari-nari di wajahku.
Dan... Ya, Tuhan! Dia mau apa? Kenapa ia mendekatkan wajahnya ke arahku? Apa
dia mau... Oh, tidak!
Bodohnya, aku
malah memejamkan mata. Tidak berniat melawan. Apalagi berteriak dan semacamnya.
Aku seperti pasrah di hadapan Kak Haykal saat ini. Kalaupun dia mau menciumku
lagi, aku siap.
Cup! Sebuah kecupan hangat mendarat di...
Keningku. Yah, keningku. Membuatku kontan membuka mata. Kemudian menemukan
wajahnya yang kini tersenyum manis.
“Maaf,”
bisiknya. “Kalo kamu tanya alasanku ngelakuin itu semua, aku sendiri gak tau
jawabannya, Ras. I do it, because I want.”
Apa-apaan ini?
Kak Haykal melakukannya hanya untuk memuaskan keinginannya? Lewat aku? “Aku gak
ngerti,” balasku. Meminta penjelasan.
Ia membelai
rambut panjangku. Kemudian menarik kepalaku untuk menempel di dada bidangnya. “Kalo
kamu gak ngerti, lebih-lebih aku. Aku juga gak ngerti sama sikap aku ini. Dari
pertama aku ngeliat kamu di sekolah, aku cuma mau deket sama kamu. Asal kamu
tau, Ras. Selama ini, aku bahagia banget kalo ada kamu. Kamu selalu bisa bikin
aku seneng sama perhatian dan tingkah kamu. Tapi sampe sekarang aku masih
bingung.”
Kali ini,
giliran kedua alisku yang menyatu. Dengan dahi berlipat-lipat.
“Iya, aku
bingung. Aku sendiri gak tau perasaanku itu apa. Aku gak mau jauh dari kamu,
tapi aku juga gak bisa pacaran sama kamu. Makanya, dari dulu sampe sekarang,
aku cuma nganggep kamu adik. Karna dengan cara kayak gini, aku bisa deket sama
kamu. Tanpa perlu nyakitin kamu.”
Deg! Dadaku sudah sesak. Bisa kurasakan
wajahku telah basah oleh air mata. Yang barusan itu... Pengakuan. Yah, setelah
sekian tahun, akhirnya dia berani mengungkapkannya juga.
Selama ini, aku
hanya berharap lebih. Hanya aku yang mencintainya. Hanya aku yang terlalu
menginginkan kelanjutan hubungan ini. Hanya aku. Hanya aku. Hanya aku...
“Laras, kamu
nangis?” Kak Haykal melepaskan pelukannya. Lalu menatapku. Lekat. Ia terlihat...
Hmm, khawatir? Tak tahukah dia bahwa dialah penyebab tangisku ini?
Namun
kenyataannya, aku hanya menggeleng. Menyeka air mataku, kemudian tersenyum
tipis. “Enggak, kok. Aku cuma terharu. Seneng aja, bisa punya Kakak yang
perhatian banget kayak kamu,” dustaku.
Ia membelai
rambutku. Lagi. Dan membawaku kembali ke dalam pelukannya.
Baiklah,
sepertinya aku harus mencoba menerima kenyataan. Biar patah hati ini kurasakan
sendiri. Hanya aku yang boleh tahu. Hanya aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar