Selasa, 07 Oktober 2014

Untukmu. Iya, kamu.

Untuk diriku... sepuluh tahun mendatang,

Malam ini, aku ingin berbicara dan memastikan suatu hal yang akan terjadi nanti saat usiamu sudah tiga puluh satu tahun. Sudahkah kamu menikah? Dengannya-kah? Belum? Ah, kau pasti kepalang bahagia dengan kebebasan yang disajikan kesendirianmu. Menikahlah, Feb. Suami adalah pintu surga bagimu, menurut sebuah hadist yang pernah kubaca.

Jangan menutup surat ini kalau kau benci melihatku membahas pernikahan. Tidak, aku tidak akan membahasnya kalau kau belum menikah.

Atau kau sudah disanding olehnya? Jadi... bagaimana? Bahagia-kah? Aku tersenyum membayangkanmu membaca ini nanti, saat usiamu sudah tiga puluh satu tahun. Sepuluh tahun lalu, kau masih perempuan kecil yang hobi mengkhayal dan berbicara pada diri sendiri, ingat?

Malam ini, 7 Oktober 2014, aku ingin berbincang denganmu, kalau-kalau kau lupa tentang sesuatu yang seharusnya sudah kamu miliki saat usiamu sudah tiga puluh satu tahun; rumah idaman.

Saat kau masih dua puluh satu tahun, kau hobi mengoleksi gambar dari google, terutama yang berkaitan dengan interior. Sedang tiga hal yang harus ada di gambar-gambar tersebut; rak buku, lampu gantung, dan warna seafoam. Adakah suamimu (atau calon suami) tahu tentang itu? Tentang keinginanmu sepuluh tahun lalu?



Panggilkan aku lelaki itu, biar kuberitahu lebih detail. Bahwa kau yang masih berumur dua puluh satu tahun, memimpikan rumah yang luas namun sederhana. Bukan luas dalam arti mewah, tapi lapang.

Lapang dengan halaman depan untuk menanami bunga dan pohon rindang, sedangkan halaman belakang berumput hijau untuk anak-anakmu puas bermain, atau pesta kebun untuk keluarga.

Lapang dengan jendela besar di mana-mana agar kau dan keluarga bisa akrab dengan ramahnya cahaya matahari, demi mengurangi penggunaan listrik di hari yang terik.

Lapang dengan ruang tamu yang nyaman nan hangat. Dua set sofa berbahan kulit dengan warna karamel atau kayu manis, dinding putih, foto keluarga berukuran besar dengan senyum bahagia di dalamnya, bunga di sudut ruangan, dan bingkai demi bingkai berisi foto di atas meja mini yang memuat beberapa buku di sudut lainnya.

Ruang tengah berdinding putih yang dikelilingi mebel kayu berukir, memuat koleksi guci atau barang antik pecah belah (aku selalu percaya perempuan yang sudah menjadi istri dan ibu akan mengoleksi sesuatu seperti itu), dan peralatan elektronik lengkap—agar kau dan keluarga tak menghabiskan waktu di luar rumah.

Ruang keluarga di lantai atas, berlapis karpet berbulu warna karamel atau kayu manis dengan dinding seafoam, lampu gantung berbagai bentuk dengan cahaya remang, rak buku unik berbentuk abstrak yang memenuhi dinding, atap dari kaca dengan pemandangan langit bersih di siang hari dan terpaan kilau bintang di malamnya—agar kau dan keluarga nyaman untuk bertukar cerita dan menghabiskan waktu.

Kamar tidur? Untuk yang satu ini, kuserahkan pada keputusanmu dan suami. Kalian yang akan menempatinya, kan?

Oh, iya, satu lagi hal penting dari dirimu yang masih dua puluh satu tahun. Sudahkah kauberitahu suamimu bahwa kau memimpikan sebuah ruangan sendiri? Tak usah terlalu luas, cukup bercat putih, polos, seperti anak kecil yang hanya tahu bermain dan tertawa, dengan sebuah stopkontak dan sofa persegi agar tubuh mungilmu bisa melemaskan otot. Untukmu membaca, menulis—semoga dunia belum merebut dewasamu dari kehidupan yang kaucinta, menyesap kopi, mendengar musik laun kala kau butuh tenang, nada mengentak saat kau ingin berteriak mencurahkan penat di kepala, atau sekadar rintik hujan yang mengetuk jendela karena diabaikan dunia. Ah, surga, bukan?

Di dalam ruangan ‘me-time’ milikmu tersebut, harus ada satu dari empat bagian dinding yang kaupenuhi dengan foto-foto dari kamera polaroid—atau setidaknya berukuran seperti itu. Tempel wajah-wajah penuh tawa dan kenangan manis di sana; kau, suami, anak-anak, mama, sahabat, teman kerja, semua orang yang kau sayang. Kalau kau keasyikan menikmati dunia sendiri di dalam ruangan itu, cukup menoleh ke sisi dinding yang dibanjiri potret tersebut dan ingat: keluarlah, ada dunia di luar sana yang menunggumu kembali.



Malam ini, aku yang tengah dipenuhi gamang karena tugas akhir kuliah, hanya butuh berbicara denganmu yang akan menjadi diriku sepuluh tahun lagi. Kau yang paling mengerti, yang paling setia mendengarku, yang paling percaya membicarakan rahasia padaku, yang paling kuandalkan untuk kehidupan di masa depan.

Mimpi tentang rumah idaman yang baru saja kuingatkan padamu, jangan hanya hidup di kepala. Selamat malam, aku (pasti akan) mencintaimu, sepuluh tahun mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar