21 Oktober 2014, 21.28 WITA
Mama, sudah keempat puluh delapan kalinya Mama melewati
tanggal ini sepanjang hidup. Empat puluh delapan, bukan angka yang kecil dalam
hitungan. Sudah sejauh ini, adakah yang masih mengganjal di hidup Mama? Atau...
adakah harapan Mama yang belum terwujud? Karena aku, jika sudah seusia Mama
nanti, berharap segala yang kutulis dan kugulung rapi di stoples berisi
impian-impianku sudah menjelma nyata.
Mama, maaf karena di empat puluh delapan tahun hidup Mama,
aku belum memberi sesuatu yang berarti, sesuatu yang membuat Mama bahagia
sekaligus bangga sekali. Maaf karena telah menjadi satu-satunya anak yang lebih
sering menyusahkan daripada menggembirakan. Maaf karena terlalu banyak mau,
bahkan terkadang tak mengerti keadaan. Maaf karena tidak selalu ada, di akhir
hari yang lelah maupun awal hari yang cerah. Maaf, maaf untuk segala salah dan
keliru selama ini.
Mama, terima kasih karena di empat puluh delapan tahun hidup
Mama, Mama telah menjadi ibu paling sempurna bagiku. Terima kasih karena
mengerti tanpa perlu kujelaskan. Terima kasih karena selalu ada, walau aku
masih abai. Terima kasih karena mengajarkanku kuat, walau kadang lewat kalimat
demi kalimat yang tegas. Terima kasih karena telah mendidikku menjadi perempuan
tegar, dan mandiri sehingga tak pernah menuntut banyak seperti anak tunggal
yang manja di luar sana. Terima kasih karena sudah membesarkanku, memberiku
segala tanpa mengharap lebih.
Mama, semoga masih ada empat puluh sembilan, bahkan sembilan
puluh sembilan tahun untuk Mama. Untuk kita habiskan bersama. Untukku membuat Mama
bangga, membuktikan bahwa segala kasih Mama dulu bisa kubalas dengan manis.
Untukku melihat Mama menangis bangga dan semakin memamerkanku pada dunia.
Untukku memberitahu, bahwa aku juga bisa sukses dengan jalan yang kupilih
sendiri, dan impian-impian yang terwujud karena peluh diri. Untukku melihat
Mama menghabiskan waktu dengan istirahat dan membiarkanku mengerjakan semua di
rumah.
Mama, maaf untuk beberapa hal yang mungkin telah membuat
kecewa. Maaf karena bukannya memberi ucapan dengan peluk hangat dan kecup di
pipi, aku malah memilih menyendiri dan menulis surat yang belum Mama baca ini.
Maaf karena menjadi anak satu-satunya yang tidak pernah menunjukkan cinta
dengan gamblang seperti anak perempuan lain. Maaf karena aku lebih banyak diam,
memendam, mencurahkan lewat tulisan, daripada menceritakan pada Mama segala
kesah—mengharap peluk atau cium di dahi dengan pipi basah.
Mama, terima kasih untuk segala hal dalam dua puluh satu
tahun hidupku, hidup perempuan yang hadir dari dalam diri Mama.
Selamat mengulang tanggal 21 Oktober, Mama. Selamat
menikmati usia empat puluh delapan tahun. Suatu saat, bacalah ini, Ma. Karena
aku mencintaimu lebih dari siapapun di dunia, lebih banyak dari jumlah kata
yang dicipta dua puluh enam alfabet di bumi kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar