Aku baru tau bahwa mengingat ternyata lebih sulit dibanding melupakan
“Hmmm...” Fanya
ngulet sejenak saat merasakan sinar matahari menerpa wajahnya. Tidak menyengat
seperti yang selalu dirasakannya di rumah. Namun cukup menyilaukan.
“Kamu udah
bangun, Nak?” Suara lembut terdengar.
Fanya sontak
menoleh. Kemudian memandangi sesosok wanita setengah baya di sebelahnya. Sedang
duduk di atas ranjang yang ditiduri Fanya –entah punya siapa–. Ia merasa
mengenali wanita berjilbab yang terlihat kalem dengan senyum menentramkan
tersebut.
“Kok diem? Kamu
juga lupa sama Mama, ya?” tanya wanita itu lagi.
Dahi Fanya
berkerut maksimal. Mama? Siapa, ya? Tapi
aku emang ngerasa pernah ketemu sih, cuma dimana? Kapan? Duh, masa aku
ngelupain orang lain? Bukannya cuma Haykal, kan? batinnya. Eh, si Haykal mana? Aku ada dimana? Perasaan
tadi aku pergi bareng dia, deh.
“Haykal lagi ke
puskesmas di deket sini,” ujar wanita yang masih duduk di sampingnya tersebut.
Mungkin menyadari Fanya yang sedari tadi celingukan tidak jelas.
“Puskesmas?”
“Iya, dia emang
sering ke sini seminggu sekali sejak pulang ke Indonesia. Kasian sama puskesmas
di dekat kantor kecamatan. Gak ada yang ngurus,” balas wanita tersebut. “Kamu
udah makan? Mama baru aja masak buat makan siang kalian berdua. Sebentar lagi
Haykal juga udah pulang, kok.”
Fanya berpikir
sejenak. Namun saat merasakan perutnya nyeri, ia pun bangkit. Khawatir maag-nya
kambuh karena makan siangnya di kantin tadi sempat diganggu oleh Haykal.
“Yuk!” ajak
beliau sambil mengulurkan tangannya. Meminta disambut oleh Fanya.
Gadis itu
menurut. Menggenggam jemari tersebut, lalu merasakan kelembutan mengaliri
saraf-sarafnya seketika. Mereka berdua pun melangkah keluar kamar. Menuju ruang
makan.
“Ini, Mama
bikinin sup ayam sama udang saus tiram kesukaan kamu. Kamu masih inget, kan?
Jangan-jangan kamu juga lupa, lagi.” Wanita itu tersenyum sambil mengangsurkan
piring ke arah Fanya.
Fanya hanya
tersenyum membalasnya. Walaupun ia merasa baru melihat wanita di depannya,
namun ia merasa sangat familiar. Dan nyaman. “Aku masih inget makanan
kesukaanku kok, Tante.”
“Tante? Panggil
Mama aja, sayang. Biasanya juga kamu manggilnya gitu.”
Fanya memilih
mengangguk. Kemudian menyendokkan sup ayam ke atas mangkuk dengan sumringah. Di
saat-saat perutnya menuntut hak, ia malah dihadapkan pada menu favoritnya.
***
“Mamaaa,
assalamu alaikuummm...” sorak Haykal sembari berlari memasuki kediamannya.
Sudah tidak sabar melihat keadaan Fanya yang tadi ia tinggalkan bersama sang
Mama.
“Wa alaikum
salam,” balas Mamanya, kalem.
Lelaki itu
langsung menghampiri Mama dan menciumi tangan serta kedua pipinya. Penuh rasa
sayang. Kemudian beralih ke Fanya yang duduk di samping kiri sang Mama. Dan
anehnya, Fanya seakan pasrah. Tidak menolak apalagi berteriak. Membuatnya
tersenyum penuh kemenangan.
“Makannya lahap
banget, sayang. Tumben, deh.” Haykal pun duduk di sebelah Fanya.
Fanya tidak
menggubris lagi. Ia lebih memilih menikmati sup ayam dan udang saus tiram super
lezat di hadapannya.
“Mama seneng deh
kamu bawa Fanya ke sini. Mama udah kangen banget sama dia,” ucap Mama.
“Ternyata walaupun dia hilang ingatan, dia tetep suka sama masakan Mama.”
Haykal tersenyum
setuju. Ia juga terus memandangi Fanya yang terlihat sangat lahap menghabiskan
semangkuk sup ayam buatan Mamanya.
Tiba-tiba, Fanya
menjatuhkan sendok yang digenggamnya. Sebagai ganti, jemari yang tadi ia pakai
kini memegangi kepalanya sendiri. Nyaris menjambak rambutnya kuat-kuat jika
Haykal tidak cepat-cepat menarik kedua tangan gadis tersebut. “Sakit,
Haykal!!!” serunya.
“Iya, iya... Aku
tau. Kamu tahan dulu, ya. Aku ambilin obatnya di mobil.” Lelaki itu ikut panik.
Lalu langsung berlari keluar rumah. Meninggalkan kedua wanita yang sangat
dicintainya di dalam sana.
***
Haykal
melepaskan stetoskop yang menempel di kedua telinganya. Kemudian menghela nafas
panjang dan berat. Seakan ikut membuang beban yang selama ini ia pikul. Sejak
pulang ke Indonesia dan harus dihadapkan pada kenyataan bahwa tunangannya
menderita amnesia –apalagi hanya dia yang dilupakan–, ia benar-benar sangat
terpukul.
“Gimana keadaan
Fanya, Nak?” tanya Mama, masih dengan raut khawatir sedari tadi.
“Dia gak pa-pa
kok, Ma. Cuma stress ringan. Mungkin dia berusaha nginget masa lalunya lagi.
Padahal aku udah wanti-wanti jangan terlalu maksain diri kalo gak mau sakit.
Dasar kerasa kepala!”
Mama membelai
kepala Fanya yang terlelap di atas tempat tidur milik Haykal. “Apa ini
gara-gara Mama maksa kamu bawa dia ke sini?” tanyanya. Lebih kepada diri
sendiri karena ia hanya menatap wajah calon menantunya tersebut.
Haykal ikut
duduk di sebelah Mama. “Enggak kok, Ma. Fanya emang kayak gini sejak kedatangan
aku. Berarti, aku yang udah bikin dia menderita.”
Mama langsung
mengalihkan pandangannya ke arah putra semata wayangnya itu. “Ini semua bukan
salah kamu kok, Nak. Ini udah takdir Allah. Dan kamu harus inget, Allah gak
pernah ngasih cobaan di luar kemampuan hamba-Nya.”
***
Fanya
membuka mata saat ia merasa keadaan menjadi sepi. Sebenarnya, ia sudah sadar
sejak tadi. Namun ia memilih tetap terpejam sembari mendengarkan percakapan
Mama dan anak tersebut.
Sesaat kemudian,
pertahanannya runtuh. Air mata yang selama ini ia tahan sudah mengucur dengan
deras. Membuat muara di sepanjang pipi mulus miliknya. Dadanya terasa dihimpit
bongkahan batu gunung super besar yang menyesakkan.
“Kenapa aku cuma
lupa semua hal tentang kamu, Haykal? Kenapa? Apa gak ada hal spesial yang
pantas aku inget tentang kita?” lirihnya di dalam isakan.
“Asal kamu tau,
selama ini aku berusaha cuek sama kamu sebagai bentuk rasa marahku! Yah, aku
benci sama diriku sendiri! Aku benci karna aku gak bisa ingat apapun tentang
kamu. Kamu, tunanganku!” lanjutnya. Seraya menatap foto ukuran besar di atas
tempat tidur Haykal. Foto yang memuat dirinya dan lelaki itu dalam balutan
busana formal sambil tersenyum lebar. Dan memamerkan cincin di kedua jari manis
tangan mereka. Cincin yang hingga saat ini masih dipakainya. Walaupun ia belum
tau apa-apa tentang hubungan mereka di masa lalu.
***
“Malem
ini, kita nginep di rumah Mama. Gak pa-pa, kan?” tanya Haykal sambil mengambil
sebuah kaus rumah dan celana pendek jeans dari dalam lemari di dalam kamarnya.
Fanya yang duduk
di atas tempat tidur, hanya mengamatinya tanpa balasan apa-apa. Sebagai bentuk
persetujuan. Menurutnya, tidak ada salahnya menginap di rumah ini. Mama Haykal
sangat baik dan lembut, juga penuh perhatian. Fanya bisa merasakan bahwa wanita
paruh baya tersebut sangat menyayanginya.
Tiba-tiba, mata
Fanya membelalak melihat pemandangan di depannya. “HEH! NGAPAIN LO GANTI BAJU
DI SINI?” soraknya saat melihat Haykal sudah melepaskan kemeja yang tadi ia
kenakan.
Haykal berbalik
dengan alis berkerut. “Emangnya kenapa, sih? Ini kan kamarku, sayang.” Ia lalu
melanjutkan membuka kancing celana katun yang melekat di tubuhnya. Menurunkan
resleting, dan kontan membuat mata Fanya membulat.
“HUWAAAAAAAAA!!!
MAMAAAAAA, HAYKAL PORNOOOO!!!” histerisnya sambil berlari tunggang-langgang ke
luar kamar sambil menutup wajah. Tak ayal, ia pun menabrak pintu, lemari, dan
barang-barang di sekitar kamar Haykal.
“Dasar!” cibir
Haykal seraya menanggalkan celana panjang katun tersebut. Memperlihatkan boxer
berwarna hitam di baliknya. “Dia pikir aku mau bugil di depan dia, apa?” Ia
geleng-geleng kepala sambil tersenyum geli.
Yang terakhir
didengar lelaki itu adalah bunyi “Buk! Duk! Praaang!” Kemudian diikuti suara
mengaduh dari Fanya. Kontan membuatnya berlari ke luar dengan tergesa-gesa.
“Kamu kenapa?”
tanyanya panik saat menemukan kaki kiri tunangannya tersebut sudah berlumuran
darah. Di sekitar gadis itu, berserakan pecahan guci yang terletak di samping
pintu kamarnya.
“Gucinya...
Pecah... Hiks... Sakit...” ringis Fanya. Ia menangis sambil memegangi kakinya.
“Tunggu di sini!
Aku ambil kotak P3K dulu. Tahan, ya!” Haykal segera berlari ke ruang tengah.
Tempat kotak berisi obat-obatan tersebut berada.
Dengan sigap, ia
kembali menghampiri Fanya. Tanpa banyak bicara, ia menggendong gadis itu.
Membawanya ke sofa terdekat. Di atas meja, sudah ada kotak P3K yang tadi
diambilnya.
“Pelan-pelan,
itu sakit banget... Hiks...” pinta Fanya. Ia sesenggukan menahan rasa sakit di
pergelangan kakinya.
Haykal terus
mengusap luka tersebut dengan kapas yang sudah diolesi alkohol. Tidak
memedulikan rengekan tunangannya.
“Haykal,
sakit...” keluh Fanya lagi. Air mata terus membasahi wajahnya.
“Bawel! Siapa
suruh sih lari-larian gak jelas gitu? Kayak anak kecil aja!” balas Haykal
sembari membalut pergelangan kaki kiri Fanya yang terkena pecahan guci akibat
insiden ‘melarikan diri’ yang ia lakukan tadi. Nyaris membentak. Masih
mengenakan boxer hitam dan bertelanjang dada.
“Elo tuh,
ngapain buka-buka baju di depan gue? Lo mau bikin gue bintitan? Lo mau bikin
mata gue terkontaminasi gara-gara otak lo yang mesum itu?” Fanya tidak terima.
Bibirnya manyun menunggui lelaki itu selesai membersihkan dan mengobati
kakinya.
“Siapa yang
mesum, sih? Kamu aja tuh yang mikirin jorok mulu.”
“Heh? Enak aja!”
Fanya langsung menjambak rambut Haykal yang sudah tumbuh menutupi telinganya.
“Adaw!” ringis
lelaki itu sambil mengelus kepalanya sendiri. “Jahat banget sih sama
tunangannya...”
“Tunangan?”
“Kenal lo aja
enggak!”
Baru saja Fanya
menarik nafas untuk melanjutkan kalimatnya, Haykal sudah mendahului.
“Kamu mau
ngomong kayak gitu, kan? Aku bahkan udah hafal di luar kepala,” balas Haykal.
Ia lalu mengelus perban yang membalut kaki gadis di depannya. Meneliti, apakah
perban tersebut sudah melekat sempurna dan tidak menimbulkan infeksi. “Darahnya
udah gak keluar, nih. Kamu jangan lari-lari gak jelas dulu, ntar lukanya
melebar trus malah infeksi. Aku mau ke kamar, ganti baju sekalian meriksa
dokumen dari puskesmas tadi pagi.”
Fanya bergeming.
Menatap punggung lelaki yang baru saja meninggalkannya di atas sofa ruang
tengah. Tiba-tiba, ia merasakan ada yang bergetar di hatinya. Entah apa itu.
“Gimana kakinya,
sayang? Masih sakit, gak?” Mama Haykal muncul dari arah dapur. Kemudian ikut
duduk di sebelah Fanya.
Gadis itu
tersenyum tipis. Lalu memegang kakinya yang masih terasa nyeri bila digerakkan.
Sepertinya pecahan guci yang tadi menggores kaki mungilnya sudah mengakibatkan
luka yang lumayan lebar. “Udah lumayan kok, Ma. Oh iya, maafin Fanya, ya. Fanya
gak sengaja mecahin guci Mama.”
Mama mengelus
puncak kepala Fanya. “Gak pa-pa kok, sayang. Yang penting kamu gak
kenapa-kenapa.”
Gadis berkaus
merah muda dan celana pendek krem tersebut tersenyum manis. Entah mengapa, ia
bisa merasakan aura keibuan yang sangat kental dari sosok Mama Haykal. Sama
seperti yang ia rasakan setiap mengingat ibunya. Dan ia pun tidak ragu
memanggil beliau dengan sebutan Mama, seperti yang beliau minta. Berbeda dengan
saat ia bertemu Haykal. Hingga sekarang, ia bahkan masih memanggil lelaki itu
dengan sebutan ‘elo’ daripada ‘kamu’.
“Tadi Ibu kamu
nelfon. Mama udah cerita kalo kaki kamu kena pecahan guci. Dia khawatir banget.
Sampe mau nyusulin ke sini segala,” cerita Mama.
“Ya ampuuun, kok
Mama ngasih tau Ibu, sih? Ibu kan emang panikan banget.”
Mama tersenyum.
“Kalo gak panik yah gak sayang, dong. Haykal aja tadi kayak cacing kepanasan
pas liat kamu berdarah.”
Fanya tersentak.
Ia baru menyadari tingkah lelaki itu. Raut wajahnya saat melihat Fanya terluka.
Suara bernada paniknya. Ia yang lari tergesa-gesa mengambil kotak obat. Ia yang
menggendongnya ke sofa. Ia yang memarahinya karena lari-larian tidak jelas. Ia
yang membersihkan dan membalut lukanya. Ia... Haykal.
Tiba-tiba, Fanya
menangis. Lagi.
“Kamu kenapa,
sayang? Lukanya sakit lagi? Atau kepala kamu? Perlu Mama ambilin obat?” cemas
wanita tersebut.
“Enggak kok, Ma.
Hiks... Aku cuma sedih. Hiks...” Bahu Fanya berguncang. Mengeluarkan isakannya.
“Sedih kenapa,
sayang? Sini, sama Mama...” Beliau membuka kedua tangannya.
Sontak, Fanya
langsung menghambur ke dalam pelukan Mama. Tangisnya semakin menjadi. “Aku
sedih, Ma... Aku gak bisa inget apa-apa tentang Haykal. Aku udah nyusahin dia.
Maafin aku, Ma. Hiks...”
Mama mengelus
punggung Fanya. Mencoba menenangkan. “Kamu gak salah kok, sayang. Ini semua kan
bukan mau kamu. Mungkin udah takdir-Nya. Kamu tau kan kalo segala sesuatu itu
terjadi karena sebuah alasan yang baik?”
Fanya mendongak
untuk melihat wajah Mama. Lalu mengangguk lemah.
“Seperti juga
kejadian ini, sayang. Mama yakin, Allah pasti lagi nguji kamu. Kamu juga tau
kan kalo Allah gak akan ngasih cobaan yang di luar kemampuan hamba-Nya?”
Lagi-lagi, Fanya
mengangguk.
“Ya udah. Kalo
gitu, kamu jangan sedih lagi. Semua ini pasti ada hikmahnya, kok. Segala
sesuatu itu kan akan indah pada waktunya, sayang.” Kali ini, beliau mengusap
kepala gadis itu.
Diam-diam, Fanya
menghela nafas panjang. Membuang segala beban yang menghimpit dadanya. Kemudian
tersenyum lebar.
***
Fanya
melangkah memasuki kamar Haykal. Kaki kirinya ia seret sekuat tenaga agar bisa
berjalan sehingga menimbulkan bunyi ‘sreeeet’ dari sendal rumah yang ia pakai.
Membuat konsentrasi Haykal buyar dan langsung menoleh.
“Kamu ngapain ke
sini?” tanya Haykal. Ia berdiri dan memegangi kedua lengan gadis itu.
Memapahnya agar lebih mudah menggerakkan kaki.
“Gue mau ke
balkon,” jawab Fanya. Ia tidak menolak saat lelaki tersebut merangkul tubuhnya.
Mereka pun
mendekati balkon.
Saat Fanya sudah
duduk di atas kursi rotan di balkon, Haykal kembali memasuki kamarnya. Kemudian
muncul lagi dengan dua buah jaket tebal di genggaman. “Nih... Udara di sini
dingin banget. Gak kayak di rumah kamu,” ujarnya sambil memakaikan jaket
berwarna coklat muda itu ke tubuh Fanya. Lalu memasang jaket hitam ke tubuhnya
sendiri.
Fanya bergeming.
Ia memejamkan matanya. Merasakan semilir angin malam menerpa wajah dan
menerbang-nerbangkan rambut panjangnya. Dingin menusuk.
“Gimana kakinya?
Udah sembuh? Kalo belum, kamu jangan maksain terlalu banyak gerak dulu,” ucap
Haykal. Memecah keheningan yang sempat memenjarakan mereka berdua.
“Udah agak
mendingan, kok. Makasih, ya!” balas Fanya. Ia menoleh dan menatap wajah Haykal.
Lelaki yang malam itu terlihat ganteng di bawah terangnya bulan purnama. Dengan
kulit putih, hidung mancung, dan bibir tipisnya yang seksi.
“Sama-sama. Itu
kan udah kerjaan aku sebagai dokter.” Haykal tersenyum sambil ikut menatap
gadis tersebut.
“Dokter
sekaligus tunanganku, kan?”
“Heh?” Dahi
Haykal berkerut dengan sukses. Baru kali ini ia mendengar Fanya menyebutnya
‘tunangan’. “Kamu gak salah ngomong, kan?” tanyanya. Mencoba meyakinkan diri
sendiri.
“Masalah
tunangan?” Fanya balik bertanya. Ia memperbaiki duduknya di bangku panjang
tersebut.
Haykal
mengangguk.
“Aku cuma lagi
nyoba inget semuanya.” Fanya menerawang. Memandangi langit yang terang karena
cahaya rembulan dan jutaan bintang yang berkedip indah.
Dahi Haykal
pasti sudah sangat kusut saat ini. Baru saja ia mendengar kata ‘tunangan’ dari
bibir Fanya, sekarang ia mendengar kata baru lagi. ‘Aku’, bukan ‘gue’ yang
biasa keluar dari bibir gadis itu saat berbicara padanya.
“Kamu gak usah
maksain diri, Nya. Aku gak mau kamu makin parah. Aku gak mau denger teriakan
kesakitan kamu. Aku gak mau kamu malah bisa ngelupain semuanya,” balas Haykal
akhirnya.
Fanya langsung
mengalihkan pandangannya dari langit malam ke wajah Haykal. Menatapnya lekat
untuk sesaat, lalu bertanya, “Kamu sayang gak sama aku?” tanyanya.
Deg! Jantung
Haykal langsung berdetak lebih cepat dari biasanya. Mata itu... Sorot mata yang
dulu selalu menghiasi harinya. Bukan sorot benci yang beberapa minggu ini ia
lihat. Tanpa diperintah, ia langsung mengangguk.
“Kalo gitu, aku
mau minta sesuatu sama kamu,” ujar Fanya. Masih menatap Haykal.
“Apa?”
“Aku minta, kamu
bantu aku. Bantu aku inget semuanya tentang kamu.”
Haykal
bergeming. Ia masih mencoba mencerna kalimat barusan. Kalimat yang sangat tidak
masuk akal jika diucapkan oleh Fanya.
“Kenapa?” suara
gadis itu memecah lamunan panjangnya. “Kamu gak mau bantu aku? Kamu mau
ngebiarin aku kayak orang bego yang gak tau apa-apa tentang tunanganku sendiri?
Kamu mau aku terus nganggep kamu orang yang gak aku kenal?”
“Bukan gitu...
Aku cuma gak ngerti kenapa kamu tiba-tiba berubah gini.”
Fanya
mengalihkan pandangannya lagi. Ke langit yang membentang luas di atas mereka.
Kemudian menghela nafas panjang. “Aku cuma capek. Aku capek pura-pura gak
peduli masalah amnesia ini. Padahal, aku gak bisa menghindari kenyataan kalo
kita ini udah tunangan. Aku cuma mau nerima kenyataan. Gak lebih.”
***
“Lo
nyari siapa?” tanya Tyas saat menyadari gadis di sebelahnya sedang sibuk
celingukan di depan pintu ruang jurusan.
“Dokter Alan.
Gue mau nanya gimana KKN gue nanti.”
“Emang lo ada
masalah sama rumah sakit tempat lo bakal KKN?” tanya Tyas lagi. Ia membuka-buka
beberapa map di tangannya.
Fanya
menggeleng. “Enggak, sih. Gue cuma mau nanya aja. Soalnya ada beberapa hal yang
belum gue ngerti.”
“Nya, ngapain di
sini?” Sebuah suara serak muncul di belakang kedua gadis tersebut.
Fanya yang
sangat menghafal suara itu kontan menoleh. Senyumnya mengembang. Mengingat
bagaimana mereka menghabiskan malam di balkon kamar lelaki itu kemarin.
Bertukar senyum, kehangatan, dan rasa nyaman. “Nyariin Dokter Alan. Kamu –eh–
Dokter liat?”
Haykal ikut
tersenyum. “Dokter Alan kan lagi ke Jakarta.”
“Hah? Ngapain?”
Lelaki berjas
dokter tersebut mengendikkan bahu. “Kalo gak salah denger sih, ada pertemuan
sama dokter ahli fisioterapi. Mereka mau ngadain penelitian rutin. Mungkin
sampe sebulan atau dua bulan. Emangnya kenapa?”
“Serius?” Fanya
langsung menutup mulutnya saat menyadari suaranya yang naik satu oktaf itu
memancing perhatian beberapa orang yang berada di sekitar mereka. “Maksud saya,
kok mendadak gitu sih, Dok? Besok kan saya sudah mulai KKN di rumah sakit
Bunda.”
“Oh, kamu anak
bimbingannya Dokter Alan itu, ya?”
Gadis itu
menoleh ke arah Tyas sekilas. Lalu mengangguk pelan.
“Dokter Alan
nyerahin keperluan KKN kamu ke saya. Siang nanti kamu temui saya di ruang
jurusan. Nanti kita bicarain lagi.”
“Serius?” seru
Fanya lagi.
“Buat apa saya
bohong, Dek?” balas Haykal. Ia menekankan kata ‘dek’ ke arah Fanya. Membuat
gadis itu bergidik geli.
Namun baru
berniat membalasnya, sebuah suara muncul lagi di tengah mereka.
“Dokter Haykal,
bisa kita bicara sebentar?”
Haykal, Fanya,
dan Tyas menoleh ke sumber suara yang terletak di belakang tubuh jangkung lelaki
itu. Suara milik Dokter Ita.
“Anda ada waktu
kan, Dok?” tanyanya lagi. Memecah keheningan yang sempat tercipta.
Haykal melirik
Fanya. Seakan meminta persetujuan.
Yang dilirik
langsung buang muka.
“Ya udah, Dok.
Kami ke kelas dulu. Permisi...” Tyas pamit mewakili sahabatnya. Kemudian
menggandeng Fanya setelah Dokter Haykal dan Dokter Ita mengangguk ke arah
mereka berdua.
“Lo kenapa, sih?
Langsung jutek gitu pas Dokter Ita dateng?” tanya Tyas saat ia dan gadis itu
sudah hampir sampai di kelas.
“Gak pa-pa,” jawab
Fanya sambil duduk di atas kursi kelasnya. Masih tak acuh.
“Aha! Lo
cemburu, yaaaa?” tebak Tyas. Ia duduk di depan Fanya agar lebih mudah menatap
wajah sahabatnya tersebut.
“What? Jangan
becanda deh, lo! Gak lucu banget.”
“Buktinya, tadi
gue denger lo manggil Dokter Haykal pake aku-kamu. Itu artinya apa, coba?”
“Loh, bukannya
kalo di kampus gue emang gak pernah manggil ‘elo’ ke dia? Emangnya gue mau
di-skors gara-gara gak sopan sama dosen?” kilah Fanya sambil membuka-buka
diktat miliknya.
“Beda, Nya. Lo
bahkan senyum ke dia. Pake acara ngobrol, lagi. Biasanya kalo lo ngeliat Dokter
Haykal, lo pasti langsung pergi. Lo kan males banget ngomong banyak-banyak sama
dia. Nah, tadi?”
“Ih, cerewet
banget sih lo!”
Tyas langsung
tertawa. “Tapi dugaan gue bener, kan?”
Fanya mendengus
sekilas. “Iya. Gue sama dia emang lagi ngelakuin aksi damai. Genjatan senjata.”
“Ciyus? Enelan?
Miapah?”
“TYAS! STOP
BERGAUL SAMA ABABIL! NGESELIN, TAU GAK!” sorak Fanya. Ia memang paling benci
melihat perkembangan abg jaman sekarang yang katanya minta ditabok banget.
Tyas cekikikan
sendiri. “Hehe... Maksudnya, lo beneran damai sama Dokter Haykal?”
Fanya
mengangguk. Kembali sibuk dengan materi kuliah di dalam diktatnya.
“Kok bisa? Lo
gak kesambet malaikat, kan?”
“Sialan lo! Gue
musuhan, lo kasian sama Haykal. Sekalinya gue mau damai, lo herannya selangit.
Lo maunya apa, sih?”
“Yah, gak gitu
maksud gue. Gue kan cuma nanya. Sensi bener lo,” balas gadis dengan kemeja
putih dan rok panjang berwarna biru langit tersebut. Rambut sebahunya tergerai
tanpa hiasan.
“Gue sama dia
emang udah sepakat buat damai. Lagian, gue gak suka ngeladenin dia kalo lagi
berantem.” Fanya menerawang. Mengingat saat Haykal memberinya ciuman singkat
beberapa waktu lalu.
“Baguslah. Gue
ikut seneng. Trus, hubungan kalian gimana?”
“Hm?” Dahi Fanya
berkerut.
Tyas mengangguk.
“Iya, hubungan lo sama Dokter Haykal gimana? Lo udah nerima dia jadi tunangan
lo, kan?”
Gadis itu sontak
menunduk. Tunangan? batinnya. Apa aku bener-bener siap nerima kenyataan
kalo Haykal itu tunanganku? Dia aja bisa akrab gitu sama perempuan lain. Apa
hubunganku dan dia sebelumnya baik-baik aja?
“Kok diem, Nya?”
tanya Tyas. Membuyarkan lamunan Fanya.
“Ah? Enggak,
kok. Bisa gak kita ganti topik aja? Gue lagi gak mau bahas masalah ini. Ntar
kepala gue sakit lagi. Obatnya kan ada di mobilnya Haykal.”
Mau tidak mau,
Tyas hanya mengangguk setuju.
***
“Lo
mau kemana? Bukannya lo mau ketemu sama Dokter Haykal?” heran Tyas saat melihat
sahabatnya itu berjalan ke arah yang berlawanan dengan ruang jurusan fakultas
mereka.
“Gue mau pulang.
Lagian, gue sama dia kan bisa ketemu di rumah,” jawab gadis yang memakai mini
dress selutut tersebut. Cuek.
“Lo masih
cemburu sama Dokter Ita, ya?” tebak Tyas. Dan untuk ke-sekian kalinya, selalu
tepat sasaran.
Fanya bergeming.
Ia memilih meneruskan langkah daripada bertemu Haykal yang akan menyeretnya
memasuki ruang jurusan atau memaksanya untuk pulang bersama.
Tyas pun hanya
terdiam. Karena dengan diamnya Fanya, itu berarti ‘iya’.
“Zefanya
Karenina Wirawan!!!” sorak sebuah suara yang sangat dihafal Fanya terdengar.
“Kamu mau kemana? Bukannya kamu mau ngobrolin masalah KKN sama saya?”
Deg! Jantung
Fanya langsung berdetak dua kali lebih cepat. Menyadari sosok lelaki berkemeja
kotak-kotak hitam, celana kain, pantofel, lengkap dengan jas dokter tersebut
sudah berdiri di depannya setelah berlari entah darimana.
“Ntar aja. Di
rumah.” Fanya membuang pandangannya ke arah lain.
“Tapi aku gak
bisa pulang cepet. Ada tugas di rumah sakit, mungkin sampe malem,” balas
Haykal.
“Ya udah. Besok
aja. Gue lagi pengen pulang cepet. Capek.” Gadis itu langsung menggandeng
jemari Tyas yang masih berdiri di sampingnya. Berniat meninggalkan Haykal.
“Tunggu dulu,
Nya!” Haykal mencekal tangan Fanya yang bebas. “Kamu kenapa, sih? Kok judes
gitu ke aku?”
“Aduh, Dok. Ini
masih di lingkungan kampus. Dokter jangan megang-megang saya, dong! Saya gak
mau ada berita macem-macem.” Fanya berusaha menarik lengannya dari genggaman
lelaki tersebut. Namun gagal.
“Aku anter kamu
pulang. Yuk!” Haykal menarik tangan tunangannya tanpa persetujuan. Membuat si
empunya terhuyung sejenak. Lalu mengikuti langkahnya dengan satu tangan yang
masih menggenggam jemari Tyas.
“Tapi gue mau
pulang bareng Tyas!” sorak Fanya. Berusaha menyentakkan tangan kekar tersebut
sekuat tenaga.
Di belakangnya,
Tyas ikut-ikutan nyaris berlari gara-gara insiden tarik-menarik itu. Sambil
sesekali meringis menatap tangannya yang digenggam dengan keras oleh
sahabatnya.
“Tyas ikut di
mobil kita,” tandas Haykal. Final.
Membuat Fanya
maupun Tyas langsung bungkam.
***
Tyas
duduk di belakang. Matanya memandangi kedua sosok yang duduk di depan. Seakan
melihat kobaran api dari atas kepala Fanya. Dan pusaran angin tornado di atas
kepala Haykal. Yang jelas, keduanya sama-sama menyeramkan.
Ya ampuuun, kapan sih gue nyampenya... Ini mobil apa
pemakaman? Auranya angker banget. Gak dua kali deh gue naik ke sini. Huh! gumamnya dalam
hati.
“Di depan
sebelah kiri,” ketus Fanya. Mengistruksikan arah rumah Tyas.
“Alhamdulillah...”
ujar Tyas lega. Sedetik kemudian, ia langsung menutup mulutnya sendiri.
Fanya sontak
menoleh ke belakang. Dahinya berkerut. “Kenapa lo?”
“Ah? Enggak. Gak
pa-pa, kok!” balasnya sambil cengengesan. “Ya udah. Gue duluan, ya! Makasih,
Dok...” Tyas buru-buru pamit.
“Oke. Bye!”
Fanya menurunkan kaca mobil di sampingnya saat Tyas sudah turun dan hendak
membuka pagar rumah bergaya minimalis di depannya. Lalu melambaikan tangan.
Haykal hanya
tersenyum. Juga ke arah Tyas.
“Alhamdulillah,
alhamdulillah... Makasih ya Allah...” Tyas komat-kamit tidak jelas saat mobil
Fanya dan Haykal mulai menjauh. Saking senangnya karena sudah terlepas dari
dari belenggu ‘mobil angker’ sang dokter muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar