Jumat, 15 Maret 2013

Remember Me #3 - Trying to Remember

Aku baru tau bahwa mengingat ternyata lebih sulit dibanding melupakan



“Hmmm...” Fanya ngulet sejenak saat merasakan sinar matahari menerpa wajahnya. Tidak menyengat seperti yang selalu dirasakannya di rumah. Namun cukup menyilaukan.
“Kamu udah bangun, Nak?” Suara lembut terdengar.
Fanya sontak menoleh. Kemudian memandangi sesosok wanita setengah baya di sebelahnya. Sedang duduk di atas ranjang yang ditiduri Fanya –entah punya siapa–. Ia merasa mengenali wanita berjilbab yang terlihat kalem dengan senyum menentramkan tersebut.
“Kok diem? Kamu juga lupa sama Mama, ya?” tanya wanita itu lagi.
Dahi Fanya berkerut maksimal. Mama? Siapa, ya? Tapi aku emang ngerasa pernah ketemu sih, cuma dimana? Kapan? Duh, masa aku ngelupain orang lain? Bukannya cuma Haykal, kan? batinnya. Eh, si Haykal mana? Aku ada dimana? Perasaan tadi aku pergi bareng dia, deh.
“Haykal lagi ke puskesmas di deket sini,” ujar wanita yang masih duduk di sampingnya tersebut. Mungkin menyadari Fanya yang sedari tadi celingukan tidak jelas.
“Puskesmas?”
“Iya, dia emang sering ke sini seminggu sekali sejak pulang ke Indonesia. Kasian sama puskesmas di dekat kantor kecamatan. Gak ada yang ngurus,” balas wanita tersebut. “Kamu udah makan? Mama baru aja masak buat makan siang kalian berdua. Sebentar lagi Haykal juga udah pulang, kok.”
Fanya berpikir sejenak. Namun saat merasakan perutnya nyeri, ia pun bangkit. Khawatir maag-nya kambuh karena makan siangnya di kantin tadi sempat diganggu oleh Haykal.
“Yuk!” ajak beliau sambil mengulurkan tangannya. Meminta disambut oleh Fanya.
Gadis itu menurut. Menggenggam jemari tersebut, lalu merasakan kelembutan mengaliri saraf-sarafnya seketika. Mereka berdua pun melangkah keluar kamar. Menuju ruang makan.
“Ini, Mama bikinin sup ayam sama udang saus tiram kesukaan kamu. Kamu masih inget, kan? Jangan-jangan kamu juga lupa, lagi.” Wanita itu tersenyum sambil mengangsurkan piring ke arah Fanya.
Fanya hanya tersenyum membalasnya. Walaupun ia merasa baru melihat wanita di depannya, namun ia merasa sangat familiar. Dan nyaman. “Aku masih inget makanan kesukaanku kok, Tante.”
“Tante? Panggil Mama aja, sayang. Biasanya juga kamu manggilnya gitu.”
Fanya memilih mengangguk. Kemudian menyendokkan sup ayam ke atas mangkuk dengan sumringah. Di saat-saat perutnya menuntut hak, ia malah dihadapkan pada menu favoritnya.
***
“Mamaaa, assalamu alaikuummm...” sorak Haykal sembari berlari memasuki kediamannya. Sudah tidak sabar melihat keadaan Fanya yang tadi ia tinggalkan bersama sang Mama.
“Wa alaikum salam,” balas Mamanya, kalem.
Lelaki itu langsung menghampiri Mama dan menciumi tangan serta kedua pipinya. Penuh rasa sayang. Kemudian beralih ke Fanya yang duduk di samping kiri sang Mama. Dan anehnya, Fanya seakan pasrah. Tidak menolak apalagi berteriak. Membuatnya tersenyum penuh kemenangan.
“Makannya lahap banget, sayang. Tumben, deh.” Haykal pun duduk di sebelah Fanya.
Fanya tidak menggubris lagi. Ia lebih memilih menikmati sup ayam dan udang saus tiram super lezat di hadapannya.
“Mama seneng deh kamu bawa Fanya ke sini. Mama udah kangen banget sama dia,” ucap Mama. “Ternyata walaupun dia hilang ingatan, dia tetep suka sama masakan Mama.”
Haykal tersenyum setuju. Ia juga terus memandangi Fanya yang terlihat sangat lahap menghabiskan semangkuk sup ayam buatan Mamanya.
Tiba-tiba, Fanya menjatuhkan sendok yang digenggamnya. Sebagai ganti, jemari yang tadi ia pakai kini memegangi kepalanya sendiri. Nyaris menjambak rambutnya kuat-kuat jika Haykal tidak cepat-cepat menarik kedua tangan gadis tersebut. “Sakit, Haykal!!!” serunya.
“Iya, iya... Aku tau. Kamu tahan dulu, ya. Aku ambilin obatnya di mobil.” Lelaki itu ikut panik. Lalu langsung berlari keluar rumah. Meninggalkan kedua wanita yang sangat dicintainya di dalam sana.
***
            Haykal melepaskan stetoskop yang menempel di kedua telinganya. Kemudian menghela nafas panjang dan berat. Seakan ikut membuang beban yang selama ini ia pikul. Sejak pulang ke Indonesia dan harus dihadapkan pada kenyataan bahwa tunangannya menderita amnesia –apalagi hanya dia yang dilupakan–, ia benar-benar sangat terpukul.
“Gimana keadaan Fanya, Nak?” tanya Mama, masih dengan raut khawatir sedari tadi.
“Dia gak pa-pa kok, Ma. Cuma stress ringan. Mungkin dia berusaha nginget masa lalunya lagi. Padahal aku udah wanti-wanti jangan terlalu maksain diri kalo gak mau sakit. Dasar kerasa kepala!”
Mama membelai kepala Fanya yang terlelap di atas tempat tidur milik Haykal. “Apa ini gara-gara Mama maksa kamu bawa dia ke sini?” tanyanya. Lebih kepada diri sendiri karena ia hanya menatap wajah calon menantunya tersebut.
Haykal ikut duduk di sebelah Mama. “Enggak kok, Ma. Fanya emang kayak gini sejak kedatangan aku. Berarti, aku yang udah bikin dia menderita.”
Mama langsung mengalihkan pandangannya ke arah putra semata wayangnya itu. “Ini semua bukan salah kamu kok, Nak. Ini udah takdir Allah. Dan kamu harus inget, Allah gak pernah ngasih cobaan di luar kemampuan hamba-Nya.”
***
            Fanya membuka mata saat ia merasa keadaan menjadi sepi. Sebenarnya, ia sudah sadar sejak tadi. Namun ia memilih tetap terpejam sembari mendengarkan percakapan Mama dan anak tersebut.
Sesaat kemudian, pertahanannya runtuh. Air mata yang selama ini ia tahan sudah mengucur dengan deras. Membuat muara di sepanjang pipi mulus miliknya. Dadanya terasa dihimpit bongkahan batu gunung super besar yang menyesakkan.
“Kenapa aku cuma lupa semua hal tentang kamu, Haykal? Kenapa? Apa gak ada hal spesial yang pantas aku inget tentang kita?” lirihnya di dalam isakan.
“Asal kamu tau, selama ini aku berusaha cuek sama kamu sebagai bentuk rasa marahku! Yah, aku benci sama diriku sendiri! Aku benci karna aku gak bisa ingat apapun tentang kamu. Kamu, tunanganku!” lanjutnya. Seraya menatap foto ukuran besar di atas tempat tidur Haykal. Foto yang memuat dirinya dan lelaki itu dalam balutan busana formal sambil tersenyum lebar. Dan memamerkan cincin di kedua jari manis tangan mereka. Cincin yang hingga saat ini masih dipakainya. Walaupun ia belum tau apa-apa tentang hubungan mereka di masa lalu.
***
            “Malem ini, kita nginep di rumah Mama. Gak pa-pa, kan?” tanya Haykal sambil mengambil sebuah kaus rumah dan celana pendek jeans dari dalam lemari di dalam kamarnya.
Fanya yang duduk di atas tempat tidur, hanya mengamatinya tanpa balasan apa-apa. Sebagai bentuk persetujuan. Menurutnya, tidak ada salahnya menginap di rumah ini. Mama Haykal sangat baik dan lembut, juga penuh perhatian. Fanya bisa merasakan bahwa wanita paruh baya tersebut sangat menyayanginya.
Tiba-tiba, mata Fanya membelalak melihat pemandangan di depannya. “HEH! NGAPAIN LO GANTI BAJU DI SINI?” soraknya saat melihat Haykal sudah melepaskan kemeja yang tadi ia kenakan.
Haykal berbalik dengan alis berkerut. “Emangnya kenapa, sih? Ini kan kamarku, sayang.” Ia lalu melanjutkan membuka kancing celana katun yang melekat di tubuhnya. Menurunkan resleting, dan kontan membuat mata Fanya membulat.
“HUWAAAAAAAAA!!! MAMAAAAAA, HAYKAL PORNOOOO!!!” histerisnya sambil berlari tunggang-langgang ke luar kamar sambil menutup wajah. Tak ayal, ia pun menabrak pintu, lemari, dan barang-barang di sekitar kamar Haykal.
“Dasar!” cibir Haykal seraya menanggalkan celana panjang katun tersebut. Memperlihatkan boxer berwarna hitam di baliknya. “Dia pikir aku mau bugil di depan dia, apa?” Ia geleng-geleng kepala sambil tersenyum geli.
Yang terakhir didengar lelaki itu adalah bunyi “Buk! Duk! Praaang!” Kemudian diikuti suara mengaduh dari Fanya. Kontan membuatnya berlari ke luar dengan tergesa-gesa.
“Kamu kenapa?” tanyanya panik saat menemukan kaki kiri tunangannya tersebut sudah berlumuran darah. Di sekitar gadis itu, berserakan pecahan guci yang terletak di samping pintu kamarnya.
“Gucinya... Pecah... Hiks... Sakit...” ringis Fanya. Ia menangis sambil memegangi kakinya.
“Tunggu di sini! Aku ambil kotak P3K dulu. Tahan, ya!” Haykal segera berlari ke ruang tengah. Tempat kotak berisi obat-obatan tersebut berada.
Dengan sigap, ia kembali menghampiri Fanya. Tanpa banyak bicara, ia menggendong gadis itu. Membawanya ke sofa terdekat. Di atas meja, sudah ada kotak P3K yang tadi diambilnya.
“Pelan-pelan, itu sakit banget... Hiks...” pinta Fanya. Ia sesenggukan menahan rasa sakit di pergelangan kakinya.
Haykal terus mengusap luka tersebut dengan kapas yang sudah diolesi alkohol. Tidak memedulikan rengekan tunangannya.
“Haykal, sakit...” keluh Fanya lagi. Air mata terus membasahi wajahnya.
“Bawel! Siapa suruh sih lari-larian gak jelas gitu? Kayak anak kecil aja!” balas Haykal sembari membalut pergelangan kaki kiri Fanya yang terkena pecahan guci akibat insiden ‘melarikan diri’ yang ia lakukan tadi. Nyaris membentak. Masih mengenakan boxer hitam dan bertelanjang dada.
“Elo tuh, ngapain buka-buka baju di depan gue? Lo mau bikin gue bintitan? Lo mau bikin mata gue terkontaminasi gara-gara otak lo yang mesum itu?” Fanya tidak terima. Bibirnya manyun menunggui lelaki itu selesai membersihkan dan mengobati kakinya.
“Siapa yang mesum, sih? Kamu aja tuh yang mikirin jorok mulu.”
“Heh? Enak aja!” Fanya langsung menjambak rambut Haykal yang sudah tumbuh menutupi telinganya.
“Adaw!” ringis lelaki itu sambil mengelus kepalanya sendiri. “Jahat banget sih sama tunangannya...”
“Tunangan?”
“Kenal lo aja enggak!”
Baru saja Fanya menarik nafas untuk melanjutkan kalimatnya, Haykal sudah mendahului.
“Kamu mau ngomong kayak gitu, kan? Aku bahkan udah hafal di luar kepala,” balas Haykal. Ia lalu mengelus perban yang membalut kaki gadis di depannya. Meneliti, apakah perban tersebut sudah melekat sempurna dan tidak menimbulkan infeksi. “Darahnya udah gak keluar, nih. Kamu jangan lari-lari gak jelas dulu, ntar lukanya melebar trus malah infeksi. Aku mau ke kamar, ganti baju sekalian meriksa dokumen dari puskesmas tadi pagi.”
Fanya bergeming. Menatap punggung lelaki yang baru saja meninggalkannya di atas sofa ruang tengah. Tiba-tiba, ia merasakan ada yang bergetar di hatinya. Entah apa itu.
“Gimana kakinya, sayang? Masih sakit, gak?” Mama Haykal muncul dari arah dapur. Kemudian ikut duduk di sebelah Fanya.
Gadis itu tersenyum tipis. Lalu memegang kakinya yang masih terasa nyeri bila digerakkan. Sepertinya pecahan guci yang tadi menggores kaki mungilnya sudah mengakibatkan luka yang lumayan lebar. “Udah lumayan kok, Ma. Oh iya, maafin Fanya, ya. Fanya gak sengaja mecahin guci Mama.”
Mama mengelus puncak kepala Fanya. “Gak pa-pa kok, sayang. Yang penting kamu gak kenapa-kenapa.”
Gadis berkaus merah muda dan celana pendek krem tersebut tersenyum manis. Entah mengapa, ia bisa merasakan aura keibuan yang sangat kental dari sosok Mama Haykal. Sama seperti yang ia rasakan setiap mengingat ibunya. Dan ia pun tidak ragu memanggil beliau dengan sebutan Mama, seperti yang beliau minta. Berbeda dengan saat ia bertemu Haykal. Hingga sekarang, ia bahkan masih memanggil lelaki itu dengan sebutan ‘elo’ daripada ‘kamu’.
“Tadi Ibu kamu nelfon. Mama udah cerita kalo kaki kamu kena pecahan guci. Dia khawatir banget. Sampe mau nyusulin ke sini segala,” cerita Mama.
“Ya ampuuun, kok Mama ngasih tau Ibu, sih? Ibu kan emang panikan banget.”
Mama tersenyum. “Kalo gak panik yah gak sayang, dong. Haykal aja tadi kayak cacing kepanasan pas liat kamu berdarah.”
Fanya tersentak. Ia baru menyadari tingkah lelaki itu. Raut wajahnya saat melihat Fanya terluka. Suara bernada paniknya. Ia yang lari tergesa-gesa mengambil kotak obat. Ia yang menggendongnya ke sofa. Ia yang memarahinya karena lari-larian tidak jelas. Ia yang membersihkan dan membalut lukanya. Ia... Haykal.
Tiba-tiba, Fanya menangis. Lagi.
“Kamu kenapa, sayang? Lukanya sakit lagi? Atau kepala kamu? Perlu Mama ambilin obat?” cemas wanita tersebut.
“Enggak kok, Ma. Hiks... Aku cuma sedih. Hiks...” Bahu Fanya berguncang. Mengeluarkan isakannya.
“Sedih kenapa, sayang? Sini, sama Mama...” Beliau membuka kedua tangannya.
Sontak, Fanya langsung menghambur ke dalam pelukan Mama. Tangisnya semakin menjadi. “Aku sedih, Ma... Aku gak bisa inget apa-apa tentang Haykal. Aku udah nyusahin dia. Maafin aku, Ma. Hiks...”
Mama mengelus punggung Fanya. Mencoba menenangkan. “Kamu gak salah kok, sayang. Ini semua kan bukan mau kamu. Mungkin udah takdir-Nya. Kamu tau kan kalo segala sesuatu itu terjadi karena sebuah alasan yang baik?”
Fanya mendongak untuk melihat wajah Mama. Lalu mengangguk lemah.
“Seperti juga kejadian ini, sayang. Mama yakin, Allah pasti lagi nguji kamu. Kamu juga tau kan kalo Allah gak akan ngasih cobaan yang di luar kemampuan hamba-Nya?”
Lagi-lagi, Fanya mengangguk.
“Ya udah. Kalo gitu, kamu jangan sedih lagi. Semua ini pasti ada hikmahnya, kok. Segala sesuatu itu kan akan indah pada waktunya, sayang.” Kali ini, beliau mengusap kepala gadis itu.
Diam-diam, Fanya menghela nafas panjang. Membuang segala beban yang menghimpit dadanya. Kemudian tersenyum lebar.
***
            Fanya melangkah memasuki kamar Haykal. Kaki kirinya ia seret sekuat tenaga agar bisa berjalan sehingga menimbulkan bunyi ‘sreeeet’ dari sendal rumah yang ia pakai. Membuat konsentrasi Haykal buyar dan langsung menoleh.
“Kamu ngapain ke sini?” tanya Haykal. Ia berdiri dan memegangi kedua lengan gadis itu. Memapahnya agar lebih mudah menggerakkan kaki.
“Gue mau ke balkon,” jawab Fanya. Ia tidak menolak saat lelaki tersebut merangkul tubuhnya.
Mereka pun mendekati balkon.
Saat Fanya sudah duduk di atas kursi rotan di balkon, Haykal kembali memasuki kamarnya. Kemudian muncul lagi dengan dua buah jaket tebal di genggaman. “Nih... Udara di sini dingin banget. Gak kayak di rumah kamu,” ujarnya sambil memakaikan jaket berwarna coklat muda itu ke tubuh Fanya. Lalu memasang jaket hitam ke tubuhnya sendiri.
Fanya bergeming. Ia memejamkan matanya. Merasakan semilir angin malam menerpa wajah dan menerbang-nerbangkan rambut panjangnya. Dingin menusuk.
“Gimana kakinya? Udah sembuh? Kalo belum, kamu jangan maksain terlalu banyak gerak dulu,” ucap Haykal. Memecah keheningan yang sempat memenjarakan mereka berdua.
“Udah agak mendingan, kok. Makasih, ya!” balas Fanya. Ia menoleh dan menatap wajah Haykal. Lelaki yang malam itu terlihat ganteng di bawah terangnya bulan purnama. Dengan kulit putih, hidung mancung, dan bibir tipisnya yang seksi.
“Sama-sama. Itu kan udah kerjaan aku sebagai dokter.” Haykal tersenyum sambil ikut menatap gadis tersebut.
“Dokter sekaligus tunanganku, kan?”
“Heh?” Dahi Haykal berkerut dengan sukses. Baru kali ini ia mendengar Fanya menyebutnya ‘tunangan’. “Kamu gak salah ngomong, kan?” tanyanya. Mencoba meyakinkan diri sendiri.
“Masalah tunangan?” Fanya balik bertanya. Ia memperbaiki duduknya di bangku panjang tersebut.
Haykal mengangguk.
“Aku cuma lagi nyoba inget semuanya.” Fanya menerawang. Memandangi langit yang terang karena cahaya rembulan dan jutaan bintang yang berkedip indah.
Dahi Haykal pasti sudah sangat kusut saat ini. Baru saja ia mendengar kata ‘tunangan’ dari bibir Fanya, sekarang ia mendengar kata baru lagi. ‘Aku’, bukan ‘gue’ yang biasa keluar dari bibir gadis itu saat berbicara padanya.
“Kamu gak usah maksain diri, Nya. Aku gak mau kamu makin parah. Aku gak mau denger teriakan kesakitan kamu. Aku gak mau kamu malah bisa ngelupain semuanya,” balas Haykal akhirnya.
Fanya langsung mengalihkan pandangannya dari langit malam ke wajah Haykal. Menatapnya lekat untuk sesaat, lalu bertanya, “Kamu sayang gak sama aku?” tanyanya.
Deg! Jantung Haykal langsung berdetak lebih cepat dari biasanya. Mata itu... Sorot mata yang dulu selalu menghiasi harinya. Bukan sorot benci yang beberapa minggu ini ia lihat. Tanpa diperintah, ia langsung mengangguk.
“Kalo gitu, aku mau minta sesuatu sama kamu,” ujar Fanya. Masih menatap Haykal.
“Apa?”
“Aku minta, kamu bantu aku. Bantu aku inget semuanya tentang kamu.”
Haykal bergeming. Ia masih mencoba mencerna kalimat barusan. Kalimat yang sangat tidak masuk akal jika diucapkan oleh Fanya.
“Kenapa?” suara gadis itu memecah lamunan panjangnya. “Kamu gak mau bantu aku? Kamu mau ngebiarin aku kayak orang bego yang gak tau apa-apa tentang tunanganku sendiri? Kamu mau aku terus nganggep kamu orang yang gak aku kenal?”
“Bukan gitu... Aku cuma gak ngerti kenapa kamu tiba-tiba berubah gini.”
Fanya mengalihkan pandangannya lagi. Ke langit yang membentang luas di atas mereka. Kemudian menghela nafas panjang. “Aku cuma capek. Aku capek pura-pura gak peduli masalah amnesia ini. Padahal, aku gak bisa menghindari kenyataan kalo kita ini udah tunangan. Aku cuma mau nerima kenyataan. Gak lebih.”
***
            “Lo nyari siapa?” tanya Tyas saat menyadari gadis di sebelahnya sedang sibuk celingukan di depan pintu ruang jurusan.
“Dokter Alan. Gue mau nanya gimana KKN gue nanti.”
“Emang lo ada masalah sama rumah sakit tempat lo bakal KKN?” tanya Tyas lagi. Ia membuka-buka beberapa map di tangannya.
Fanya menggeleng. “Enggak, sih. Gue cuma mau nanya aja. Soalnya ada beberapa hal yang belum gue ngerti.”
“Nya, ngapain di sini?” Sebuah suara serak muncul di belakang kedua gadis tersebut.
Fanya yang sangat menghafal suara itu kontan menoleh. Senyumnya mengembang. Mengingat bagaimana mereka menghabiskan malam di balkon kamar lelaki itu kemarin. Bertukar senyum, kehangatan, dan rasa nyaman. “Nyariin Dokter Alan. Kamu –eh– Dokter liat?”
Haykal ikut tersenyum. “Dokter Alan kan lagi ke Jakarta.”
“Hah? Ngapain?”
Lelaki berjas dokter tersebut mengendikkan bahu. “Kalo gak salah denger sih, ada pertemuan sama dokter ahli fisioterapi. Mereka mau ngadain penelitian rutin. Mungkin sampe sebulan atau dua bulan. Emangnya kenapa?”
“Serius?” Fanya langsung menutup mulutnya saat menyadari suaranya yang naik satu oktaf itu memancing perhatian beberapa orang yang berada di sekitar mereka. “Maksud saya, kok mendadak gitu sih, Dok? Besok kan saya sudah mulai KKN di rumah sakit Bunda.”
“Oh, kamu anak bimbingannya Dokter Alan itu, ya?”
Gadis itu menoleh ke arah Tyas sekilas. Lalu mengangguk pelan.
“Dokter Alan nyerahin keperluan KKN kamu ke saya. Siang nanti kamu temui saya di ruang jurusan. Nanti kita bicarain lagi.”
“Serius?” seru Fanya lagi.
“Buat apa saya bohong, Dek?” balas Haykal. Ia menekankan kata ‘dek’ ke arah Fanya. Membuat gadis itu bergidik geli.
Namun baru berniat membalasnya, sebuah suara muncul lagi di tengah mereka.
“Dokter Haykal, bisa kita bicara sebentar?”
Haykal, Fanya, dan Tyas menoleh ke sumber suara yang terletak di belakang tubuh jangkung lelaki itu. Suara milik Dokter Ita.
“Anda ada waktu kan, Dok?” tanyanya lagi. Memecah keheningan yang sempat tercipta.
Haykal melirik Fanya. Seakan meminta persetujuan.
Yang dilirik langsung buang muka.
“Ya udah, Dok. Kami ke kelas dulu. Permisi...” Tyas pamit mewakili sahabatnya. Kemudian menggandeng Fanya setelah Dokter Haykal dan Dokter Ita mengangguk ke arah mereka berdua.
“Lo kenapa, sih? Langsung jutek gitu pas Dokter Ita dateng?” tanya Tyas saat ia dan gadis itu sudah hampir sampai di kelas.
“Gak pa-pa,” jawab Fanya sambil duduk di atas kursi kelasnya. Masih tak acuh.
“Aha! Lo cemburu, yaaaa?” tebak Tyas. Ia duduk di depan Fanya agar lebih mudah menatap wajah sahabatnya tersebut.
“What? Jangan becanda deh, lo! Gak lucu banget.”
“Buktinya, tadi gue denger lo manggil Dokter Haykal pake aku-kamu. Itu artinya apa, coba?”
“Loh, bukannya kalo di kampus gue emang gak pernah manggil ‘elo’ ke dia? Emangnya gue mau di-skors gara-gara gak sopan sama dosen?” kilah Fanya sambil membuka-buka diktat miliknya.
“Beda, Nya. Lo bahkan senyum ke dia. Pake acara ngobrol, lagi. Biasanya kalo lo ngeliat Dokter Haykal, lo pasti langsung pergi. Lo kan males banget ngomong banyak-banyak sama dia. Nah, tadi?”
“Ih, cerewet banget sih lo!”
Tyas langsung tertawa. “Tapi dugaan gue bener, kan?”
Fanya mendengus sekilas. “Iya. Gue sama dia emang lagi ngelakuin aksi damai. Genjatan senjata.”
“Ciyus? Enelan? Miapah?”
“TYAS! STOP BERGAUL SAMA ABABIL! NGESELIN, TAU GAK!” sorak Fanya. Ia memang paling benci melihat perkembangan abg jaman sekarang yang katanya minta ditabok banget.
Tyas cekikikan sendiri. “Hehe... Maksudnya, lo beneran damai sama Dokter Haykal?”
Fanya mengangguk. Kembali sibuk dengan materi kuliah di dalam diktatnya.
“Kok bisa? Lo gak kesambet malaikat, kan?”
“Sialan lo! Gue musuhan, lo kasian sama Haykal. Sekalinya gue mau damai, lo herannya selangit. Lo maunya apa, sih?”
“Yah, gak gitu maksud gue. Gue kan cuma nanya. Sensi bener lo,” balas gadis dengan kemeja putih dan rok panjang berwarna biru langit tersebut. Rambut sebahunya tergerai tanpa hiasan.
“Gue sama dia emang udah sepakat buat damai. Lagian, gue gak suka ngeladenin dia kalo lagi berantem.” Fanya menerawang. Mengingat saat Haykal memberinya ciuman singkat beberapa waktu lalu.
“Baguslah. Gue ikut seneng. Trus, hubungan kalian gimana?”
“Hm?” Dahi Fanya berkerut.
Tyas mengangguk. “Iya, hubungan lo sama Dokter Haykal gimana? Lo udah nerima dia jadi tunangan lo, kan?”
Gadis itu sontak menunduk. Tunangan? batinnya. Apa aku bener-bener siap nerima kenyataan kalo Haykal itu tunanganku? Dia aja bisa akrab gitu sama perempuan lain. Apa hubunganku dan dia sebelumnya baik-baik aja?
“Kok diem, Nya?” tanya Tyas. Membuyarkan lamunan Fanya.
“Ah? Enggak, kok. Bisa gak kita ganti topik aja? Gue lagi gak mau bahas masalah ini. Ntar kepala gue sakit lagi. Obatnya kan ada di mobilnya Haykal.”
Mau tidak mau, Tyas hanya mengangguk setuju.
***
            “Lo mau kemana? Bukannya lo mau ketemu sama Dokter Haykal?” heran Tyas saat melihat sahabatnya itu berjalan ke arah yang berlawanan dengan ruang jurusan fakultas mereka.
“Gue mau pulang. Lagian, gue sama dia kan bisa ketemu di rumah,” jawab gadis yang memakai mini dress selutut tersebut. Cuek.
“Lo masih cemburu sama Dokter Ita, ya?” tebak Tyas. Dan untuk ke-sekian kalinya, selalu tepat sasaran.
Fanya bergeming. Ia memilih meneruskan langkah daripada bertemu Haykal yang akan menyeretnya memasuki ruang jurusan atau memaksanya untuk pulang bersama.
Tyas pun hanya terdiam. Karena dengan diamnya Fanya, itu berarti ‘iya’.
“Zefanya Karenina Wirawan!!!” sorak sebuah suara yang sangat dihafal Fanya terdengar. “Kamu mau kemana? Bukannya kamu mau ngobrolin masalah KKN sama saya?”
Deg! Jantung Fanya langsung berdetak dua kali lebih cepat. Menyadari sosok lelaki berkemeja kotak-kotak hitam, celana kain, pantofel, lengkap dengan jas dokter tersebut sudah berdiri di depannya setelah berlari entah darimana.
“Ntar aja. Di rumah.” Fanya membuang pandangannya ke arah lain.
“Tapi aku gak bisa pulang cepet. Ada tugas di rumah sakit, mungkin sampe malem,” balas Haykal.
“Ya udah. Besok aja. Gue lagi pengen pulang cepet. Capek.” Gadis itu langsung menggandeng jemari Tyas yang masih berdiri di sampingnya. Berniat meninggalkan Haykal.
“Tunggu dulu, Nya!” Haykal mencekal tangan Fanya yang bebas. “Kamu kenapa, sih? Kok judes gitu ke aku?”
“Aduh, Dok. Ini masih di lingkungan kampus. Dokter jangan megang-megang saya, dong! Saya gak mau ada berita macem-macem.” Fanya berusaha menarik lengannya dari genggaman lelaki tersebut. Namun gagal.
“Aku anter kamu pulang. Yuk!” Haykal menarik tangan tunangannya tanpa persetujuan. Membuat si empunya terhuyung sejenak. Lalu mengikuti langkahnya dengan satu tangan yang masih menggenggam jemari Tyas.
“Tapi gue mau pulang bareng Tyas!” sorak Fanya. Berusaha menyentakkan tangan kekar tersebut sekuat tenaga.
Di belakangnya, Tyas ikut-ikutan nyaris berlari gara-gara insiden tarik-menarik itu. Sambil sesekali meringis menatap tangannya yang digenggam dengan keras oleh sahabatnya.
“Tyas ikut di mobil kita,” tandas Haykal. Final.
Membuat Fanya maupun Tyas langsung bungkam.
***
            Tyas duduk di belakang. Matanya memandangi kedua sosok yang duduk di depan. Seakan melihat kobaran api dari atas kepala Fanya. Dan pusaran angin tornado di atas kepala Haykal. Yang jelas, keduanya sama-sama menyeramkan.
Ya ampuuun, kapan sih gue nyampenya... Ini mobil apa pemakaman? Auranya angker banget. Gak dua kali deh gue naik ke sini. Huh! gumamnya dalam hati.
“Di depan sebelah kiri,” ketus Fanya. Mengistruksikan arah rumah Tyas.
“Alhamdulillah...” ujar Tyas lega. Sedetik kemudian, ia langsung menutup mulutnya sendiri.
Fanya sontak menoleh ke belakang. Dahinya berkerut. “Kenapa lo?”
“Ah? Enggak. Gak pa-pa, kok!” balasnya sambil cengengesan. “Ya udah. Gue duluan, ya! Makasih, Dok...” Tyas buru-buru pamit.
“Oke. Bye!” Fanya menurunkan kaca mobil di sampingnya saat Tyas sudah turun dan hendak membuka pagar rumah bergaya minimalis di depannya. Lalu melambaikan tangan.
Haykal hanya tersenyum. Juga ke arah Tyas.
“Alhamdulillah, alhamdulillah... Makasih ya Allah...” Tyas komat-kamit tidak jelas saat mobil Fanya dan Haykal mulai menjauh. Saking senangnya karena sudah terlepas dari dari belenggu ‘mobil angker’ sang dokter muda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar