Aku menyusuri trotoar yang
menghubungkan antara jalan raya dan taman kota di samping Fort Rotterdam. Lampu
jalan menyala temaram, memberi kesan romantis di dalam sini. Namun tidak di
dalam hatiku.
Seorang
lelaki tinggi dengan tubuh tegap dan rambut ikal berjalan menghampiriku. Di
tangannya sudah terdapat dua gelas dengan air berwarna merah muda dan coklat.
“Kita
duduk di sini aja, yuk!” ajaknya. Ia duduk duluan di salah satu bangku taman,
di bawah lampu dan beberapa tanaman hias di sekitar.
Aku
ikut duduk di sebelahnya. Yah, di samping lelaki bernama Putra yang telah
menjadi kekasihku dua tahun belakangan ini. Lelaki paling sempurna yang telah
menemaniku sekian lama, setelah Ayah tentunya. Lelaki yang telah menorehkan
segala macam warna di hidupku selama ini. Warna yang kini semakin lama semakin
buram, berganti putih, hitam, dan abu-abu. Iya, sedatar itu.
“Kok
es kelapa mudanya gak diminum? Bukannya kamu suka yang rasa gula merah?”
Suaranya menyentakku, memaksa untuk keluar dari alam khayalan.
“Oh,
iya...” Hanya itu balasanku seraya meraih gelas besar berisi es kelapa muda
tersebut. Salahkah jika aku sudah bosan menikmati es kelapa muda dari trotoar
di depan taman kota ini? Salahkah jika indra pengecapku menolak es kelapa muda
yang hampir setiap malam kucicipi? Salahkah jika hal-hal yang dulunya kucintai,
malah berbalik menjadi hal yang aku benci? Salahkah?
Tiba-tiba,
dering handphone milikku memecah
keheningan. Nada sms masuk. Aku segera membacanya setelah melihat nama yang
tertera di sana. Arya.
Kamu
lagi dimana?
Besok
jadi kan snorkling di Samalona?
Tanpa diperintah, jemariku dengan
spontan mengetik balasan untuknya.
Jadi kok
Jemput
jam 7 pagi aja
Sent.
“Siapa?” tanya Putra.
“Temen kuliah,” jawabku. “Oh, iya.
Besok aku mau ke rumah temen. Banyak tugas kampus yang harus dikerjain bareng.
Mungkin dari pagi sampe malem. Kalo aku gak bales sms atau telepon kamu,
artinya aku lagi sibuk kerja tugas, ya!”
***
“Udah siap?”
Aku
mengangguk mantap. Sampai lelaki itu meraih tanganku ke dalam genggaman
hangatnya pun, senyumku tak pernah luntur.
Lelaki
bernama Arya, mantan kekasihku yang saat ini sedang menghabiskan liburan di
Makassar dari aktivitasnya sebagai polisi di Jakarta itu pun membantuku menaiki
sebuah kapal yang tidak terlalu besar untuk mengantar kami ke Pulau Samalona.
Aku
tidak akan pernah bosan ke pulau dengan panorama indah tersebut. Walaupun nyawa
taruhannya, karena harus menyeberangi lautan luas untuk sampai ke sana. Namun
di situlah sensasinya, terombang-ambing di atas gulungan ombak dengan angin
yang bertiup kencang. Aku sampai harus terbentur beberapa kali ke dada Arya
yang bidang setiap kapal dengan dua puluhan penumpang itu miring karena
hantaman ombak.
“Mual,
gak?” tanyanya di tengan perjalanan.
Aku
menggeleng pelan. “Aku kan udah sering ke sini, udah biasa.”
“Bagus,
deh.” Ia mengusap kepalaku. Membuat rambut panjangku semakin berantakan.
Aku
tersenyum lagi. Nyaman selalu memenuhi hatiku setiap berada di sisinya. Tidak
ada rasa bosan, karena dia selalu tahu apa yang aku mau. Dari dulu, hanya dia
yang paling mengerti aku. Dia tahu kesukaanku pada traveling, bahkan selalu menemaniku melewatinya. Sedangkan Putra?
Dia terlalu mengkhawatirkanku. Dia tidak pernah memikirkan kepuasan yang ku
dapat setelah mendapatkan apa yang aku mau dari penyaluran hobi itu.
Kenapa
aku malah membedakan kekasih dan mantan kekasihku ini? Bukankah mereka memang
dua orang yang berbeda?
“Kamu
terakhir kali snorkeling kapan?”
tanya Arya. Memecah lamunan panjangku.
Aku
berpikir sejenak. “Tahun baru kemaren deh kayaknya. Waktu kamu ngambil libur
akhir tahun dan kita ke Pantai Bira.”
“Itu
kan udah hampir satu tahun yang lalu. Masa kamu gak pernah ke pantai abis itu?”
“Ke
pantai sih sering. Tapi kalo buat diving
atau snorkeling, enggak pernah lagi.
Putra ngelarang aku. Katanya takut tenggelam atau keseret ombak.” Aku tertawa
getir di ujung kalimat.
Arya
ikut tertawa. “Kayaknya Putra sayang banget sama kamu. Sampe gak mikir kalo diving sama snorkeling itu pasti ada pengamannya.”
Aku
mendengus sesaat. Membenci perbicangan ini. Yah, aku selalu benci membicarakan
hal lain setiap bersama mantan kekasihku yang satu ini. Maafkan aku, Putra.
***
Aku melepas masker dan snorkel yang
masih melekat di wajahku saat Arya datang.
“Gimana?
Seru, gak?” tanyanya. Ia masih mengenakan kaki katak di atas hamparan pasir
putih milik Pulau Samalona ini.
“Banget!
Gak kalah sama yang di Bira waktu itu. Aku speechless,
nih. Intinya, ikannya lucu-lucu. Bintang laut sama kerangnya juga banyak,
cantik-cantik lagi.”
Ia
ikut melepaskan alat-alat snorkeling
yang ia gunakan. “Mau langsung pulang atau nginep aja, nih? Ntar sore lanjut diving lagi, yuk!” ajaknya.
“Enggak,
ah. Aku kan gak suka diving. Terlalu
ngeri buat orang yang nyalinya gak gede kayak aku,” balasku diiringi tawa. Yah,
aku lebih memilih snorkeling daripada
diving yang harus menyelam sampai
kedalaman bermeter-meter hanya dengan bantuan sebuah tabung berat yang harus
dipikul di punggung. Oh, tidak.
“Trus
kita kemana, dong?”
“Gimana
kalo wisata kuliner? Aku udah lama gak makan pisang epe’. Kamu juga, kan?”
“Oke,
setuju!”
***
Kami berdua kembali ke Makassar sore
harinya. Ia terpaksa diving di siang
hari yang terik karena aku memaksa pulang hari ini juga. Hasilnya? Kulitnya
yang kecoklatan harus menerima kenyataan untuk semakin coklat.
Masih
dengan ransel di punggung masing-masing, kami berjalan menyusuri pinggiran
Jalan Penghibur. Motor ninja milik Arya diparkir di pelataran pantai Losari.
Jalanan terlalu macet untuk naik kendaraan ke gerobak penjual pisang epe’
langgananku yang tidak terlalu jauh dari situ. Hanya perlu berjalan lima menit,
dan kami pun sampai di sebuah gerobak yang lumayan ramai di pertigaan jalan.
“Ada
kursi kosong ta’ daeng?” tanyaku, lengkap dengan logat Makassar.
Laki-laki
yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu menoleh dan menatapku. Dahinya
berkerut sejenak, lalu tersenyum lebar. “Astaga, lamanya mo ndak ke sini ki
dek. Mauki makan pisang epe’? Di situ meki duduk eh, masih ada dua kursi
kosong.” Ia menyapa dengan hebohnya sambil memperlihatkan satu tempat yang masih
kosong di pinggiran trotoar tersebut.
Aku
ikut tersenyum senang. Ia masih mengingatku di antara banyaknya pelanggan yang
datang dan pergi di sini. “Iye’. Pisang epe’ coklat keju ta pade dua porsi nah.
Sama sekalian pesankan ka’ sarabba’ dua gelas dule,” balasku. Memesan dua porsi
pisang epe coklat keju dan sarabba’. Kemudian berjalan menuju sepasang kursi
plastik dan sebuah meja di dekat gerobaknya.
Pisang
epe adalah pisang kepok putih yang dipipihkan, kemudian dibakar dan dilumuri
gula merah, coklat, keju, atau rasa lain sesuai pesanan pelanggan. Sedangkan
sarabba’ adalah minuman khas Makassar yang berisi campuran jahe dan
rempah-rempah sejenis. Makanannya menciptakan sensasi manis, sedangkan
minumannya mengalirkan kehangatan di sepanjang kerongkongan.
Sekelompok
pengamen mendatangi meja kami saat pesanan belum juga datang. Lagu salah satu
boyband Indonesia melantun dari bibir sang vokalis perempuan. Ini adalah salah
satu pemandangan yang lumrah di sekitar sini. Kadang, kita hanya makan kacang
rebus di anjungan losari pun, ongkos untuk pengamen yang berdatangan bisa lebih
banyak dari makanan yang kita nikmati.
“Ini
kak pesanan ta,” ujar seorang anak kecil sambil membawa senampan berisi dua
piring kecil pisang epe’ dan dua gelas sarabba’ yang asapnya masih mengepul.
Aku
buru-buru meraih dan menikmatinya. Ah, betapa aku merindukan rasa ini. Betapa
lelahnya aku mengecap rasa yang sama terus-menerus, es kelapa muda di depan
taman kota.
“Kamu
kenapa? Kok kayak kelaparan gitu?” heran Arya sambil meletakkan gelas sarabba’
yang baru saja disesapnya.
“Gak
pa-pa, kok. Pisang epe’ ini enak banget.”
“Bukannya
kamu tinggal di Makassar? Aku aja yang lama di Jakarta gak selahap kamu
makannya.”
Aku
tertawa pelan. “Gimana, ya? Aku udah lama gak makan pisang epe’. Jadi sekarang
pengen bener-bener dinikmati.”
“Kasian
banget kamu,” balasnya sambil mengusap kepalaku. “Trus, besok kamu mau kemana?
Biar aku temenin.”
“Serius?”
Mataku kontan saja berbinar-binar.
Arya
mengangguk sambil tersenyum tulus.
“Aku
mau liat sunset di anjungan losari. Trus makan pisang ijo sama jalangkote di
Jalan Andalas.”
***
“Kamu mau kemana?”
Deg!
Aku bisa merasakan jantungku berdetak dua kali lebih cepat saat mendengar suara
itu. Suara yang tidak terlalu berat untuk ukuran laki-laki, namun terdengar
menenangkan. Walaupun saat ini aku mendengar versi menakutkannya.
“Loh,
kok... kamu ada di sini?”
“Emangnya
kenapa?” Putra balik bertanya.
“Enggak,
maksud aku... Maksud aku, kok tumben kamu gak ngabarin dulu?” Sepertinya ia
sudah membaca gelagatku yang aneh ini, dari dahinya yang agak berkerut sambil
menatapku.
“Gimana
mau ngasih kabar kalo teleponku gak pernah kamu angkat?”
“Ah?
Masa, sih? Oh, haha... Iya, nih. Handphone-ku
suka nge-hang. Jadi yah gitu, deh...”
“Trus
sekarang kamu mau kemana?”
“Ke
rumah temen. Ngerjain tugas.” Padahal rencananya aku akan bertemu dengan Arya
di Rumah Makan Bravo untuk menikmati pisang ijo dan jalangkote. Semoga
kekasihku ini tidak menggagalkan rencanaku untuk pergi bersama mantan
kekasihku.
“Ya
udah. Sini aku temenin.”
Sial!
***
“Sorry,
ya! Aku lagi nemenin Putra makan konro, nih. Besok aja, gak pa-pa? Iya, aku
janji nemenin kamu wisata kuliner sampe puas. Okay, bye!”
“Nelepon
siapa, sih?” tanya Putra. Ia baru saja kembali dari toilet sebelum aku
mencuri-curi kesempatan untuk menelepon Arya dan membatalkan acara kami.
“Temen
kampus.”
Tidak
berapa lama kemudian, seorang pelayan membawakan kami senampan mangkuk berisi
konro, nasi, dan jus jeruk. Aroma sup iga dengan bumbu yang khas menguasai
indra penciuman. Asapnya yang mengepul seakan melambai-lambai, memaksa untuk
cepat-cepat menghabiskannya.
Aku
langsung menuangkan kecap dan sambal tumis ke dalam mangkuk di depanku, serta
perasan jeruk nipis. Diwarnai suara kendaraan yang ramai berlalu-lalang di
sekitar lapangan karebosi, aku pun mulai mencicipi konro tersebut. Hm, rasanya
pas.
“Abis
ini kamu mau kemana?” tanya Putra sambil mengunyah tulang renyah itu.
“Pulang
aja, ah.”
“Loh,
kenapa? Gak mau jalan dulu?”
“Kemana?”
“Taman
kota di samping Benteng Rotterdam. Minum es kelapa muda.”
“Enggak.”
***
Cahaya jingga menyilaukan pandangan
mataku. Yah, seperti itulah suasana sore di sini. Di tempat yang lapang dengan
rangkaian huruf besar berwarna putih bertuliskan Pantai Losari. Pedagang
asongan turut meramaikan di sana-sini. Aku selalu suka suasana sore di Losari,
ramai dan menghangatkan hati.
“Aku
suka banget kalo liat kamu senyum kayak gitu. Hatiku jadi ikut damai,” ucap
Arya. Kami berdua duduk berdampingan di salah satu bangku semen anjungan,
menghadap ke laut di depan sana.
Aku
hanya tersenyum tipis. Lelaki itu selalu tahu cara membuatku bahagia. Ia sangat
pintar menentramkan hatiku. Namun tidak untuk merebut cintaku. Yah, harus ku
akui, cintaku sepenuhnya masih milik Putra.
“Kamu
lagi mikirin apa, sih? Kok daritadi ngelamun aja?” Suaranya kembali
menyentakku.
“Hm?”
Kedua alisku terangkat sambil menatapnya.
“Lagi
mikirin Putra, ya?” Bahkan saat menyebut nama kekasihku pun, ia masih bisa
tersenyum.
Mau
tidak mau, aku mengangguk. Pandanganku kembali menyapu laut di depan kami.
“Kamu
ngerasa bersalah karena kita jalan bareng tanpa sepengetahuannya?”
Aku
menghela nafas sejenak. “Kalo masalah ngerasa bersalah, ya jelaslah. Tapi mau
gimana lagi? Kayaknya aku lagi butuh hal-hal baru.”
“Maksudnya?”
“Iya,
something new. Gak tau kenapa, aku ngerasa
bosan akhir-akhir ini. Mungkin karena kami udah pacaran dua tahunan kali, ya?”
balasku. “Gitu deh pokoknya. Semuanya jadi hambar. Rasanya hubungan kita udah
sampe ke titik paling jenuh.”
Arya
terdiam. Mungkin ia sedang meresapi setiap kalimatku.
“Kalo
kamu jadi aku, pasti kamu tau gimana rasanya setiap malam dihabiskan di taman
kota samping Fort Rotterdam sana sambil minum es kelapa muda pake gula merah.
Atau cuma makan konro di dekat lapangan karebosi pas siangnya. Ituuu terus.
Bosen, kan?” sungutku.
“Trus,
kenapa kamu gak omongin langsung sama dia?”
Iya,
ya? Kenapa aku gak ngeluh langsung sama Putra?
“Kok
diem?”
“Aku...
Aku gak enak. Aku gak mau bikin dia kecewa. Aku gak mau nyakitin dia, Ar.
Aku... sayang banget sama Putra.”
Aku
merasa Arya menghela nafas panjang di sebelahku. Entah mengapa.
“Bukannya
kunci utama hubungan adalah komunikasi?”
“Tapi
menurutku, diam adalah segalanya. Aku mau semuanya berjalan dengan baik. Aku
benci pedebatan panjang, apalagi pertengkaran tidak jelas.”
“Bagaimana
kamu tau dia bakal marah kalo kamu belum nyoba bicarain semuanya?”
“Aku
udah lama kenal Putra.”
“Tapi
kenapa dia gak bisa kenal kamu dengan baik?”
Deg!
Pertanyaan Arya itu seakan mencambukku.
“Kalian
emang udah kenal cukup lama. Kalo ibarat bayi, kalian udah jago ngasih
komentar. Kenapa kamu sama Putra yang udah dewasa gak punya keberanian buat
ngungkapin isi hati masing-masing? Apa susahnya sih ngomong ‘aku bosen makan di
sini’ atau ‘aku bosen nongkrong di sini terus’. Gampang, kan?”
Aku
mendengus kesal. Kenapa polisi muda dan ganteng ini selalu mengucapkan
kata-kata yang masuk akal untukku?
“Trus,
aku mesti gimana?” tanyaku, entah untuk Arya atau diriku sendiri. Terdengar
putus asa.
“Ya
ngobrol. Kalian kalo lagi berdua ngomongin apa aja, sih? Masa buat ngomongin
masalah hati masing-masing aja mesti mikir dulu?”
“Ya
udah, sih. Gak usah pake ngomel!” Aku jadi gemas juga lama-lama diceramahi
begitu.
Ia
malah tertawa sambil menatap wajahku. Membuat bibir tipisku semakin manyun.
“Eh,
udah adzan aja, nih. Magrib-an , yuk!” ajak Arya saat kumandang adzan
sayup-sayup terdengar.
Aku
ikut mengangguk. “Di mesjid depan pintu masuk metro tanjung bunga aja. Tau,
kan?”
“Mesjid
terapung itu, ya?”
“Iya.
Mesjid Amirul Mukminin namanya.”
“Iya,
aku udah liat foto-fotonya di google.
Keren, deh.”
“Jelas
dooong,” balasku bangga.
Ia
mengusap kepalaku sambil tersenyum. Kami lalu berjalan berdampingan, menuju
pelataran parkir pantai losari. Layaknya sepasang kakak-beradik.
“Emangnya
kamu mau pindah tempat nongkrong kemana, sih” tanya Arya sambil berusaha
mengeluarkan motornya dari area parkir yang lumayan sesak sore ini.
Aku
berpikir sejenak. “Ke Samalona kan udah. Makan pisang epe’ sama sarabba’ juga.
Trus kemarin kita udah makan es pisang ijo sama jalangkote. Liatin sunset di
Losari kelar. Ke mesjid terapung juga udah mau pergi. Hm, kemana lagi, ya?”
Arya
melirikku dari spion kiri motor ninja miliknya.
“Aha!
Aku tau!” Entah kenapa, aku langsung menjentikkan jari tangan kananku dengan
wajah sumringah.
“Apa?”
“Aku
mau ke Benteng Somba Opu di perbatasan Makassar-Gowa sana.”
“Hah?
Ngapain?”
“Pengen
liat rumah-rumah adat dari semua daerah di Sulawesi Selatan sini. Sekalian
hunting foto.” Aku cengengesan di ujung kalimatku.
“Ya
udah. Minta sama Putra, sana!”
“Sial!
Aku kira mau nemenin.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar