Sabtu, 09 Maret 2013

Seluas Makassarku




            Aku menyusuri trotoar yang menghubungkan antara jalan raya dan taman kota di samping Fort Rotterdam. Lampu jalan menyala temaram, memberi kesan romantis di dalam sini. Namun tidak di dalam hatiku.
Seorang lelaki tinggi dengan tubuh tegap dan rambut ikal berjalan menghampiriku. Di tangannya sudah terdapat dua gelas dengan air berwarna merah muda dan coklat.
“Kita duduk di sini aja, yuk!” ajaknya. Ia duduk duluan di salah satu bangku taman, di bawah lampu dan beberapa tanaman hias di sekitar.
Aku ikut duduk di sebelahnya. Yah, di samping lelaki bernama Putra yang telah menjadi kekasihku dua tahun belakangan ini. Lelaki paling sempurna yang telah menemaniku sekian lama, setelah Ayah tentunya. Lelaki yang telah menorehkan segala macam warna di hidupku selama ini. Warna yang kini semakin lama semakin buram, berganti putih, hitam, dan abu-abu. Iya, sedatar itu.
“Kok es kelapa mudanya gak diminum? Bukannya kamu suka yang rasa gula merah?” Suaranya menyentakku, memaksa untuk keluar dari alam khayalan.
“Oh, iya...” Hanya itu balasanku seraya meraih gelas besar berisi es kelapa muda tersebut. Salahkah jika aku sudah bosan menikmati es kelapa muda dari trotoar di depan taman kota ini? Salahkah jika indra pengecapku menolak es kelapa muda yang hampir setiap malam kucicipi? Salahkah jika hal-hal yang dulunya kucintai, malah berbalik menjadi hal yang aku benci? Salahkah?
Tiba-tiba, dering handphone milikku memecah keheningan. Nada sms masuk. Aku segera membacanya setelah melihat nama yang tertera di sana. Arya.
Kamu lagi dimana?
Besok jadi kan snorkling di Samalona?
            Tanpa diperintah, jemariku dengan spontan mengetik balasan untuknya.
Jadi kok
Jemput jam 7 pagi aja
            Sent.
            “Siapa?” tanya Putra.
            “Temen kuliah,” jawabku. “Oh, iya. Besok aku mau ke rumah temen. Banyak tugas kampus yang harus dikerjain bareng. Mungkin dari pagi sampe malem. Kalo aku gak bales sms atau telepon kamu, artinya aku lagi sibuk kerja tugas, ya!”
***
            “Udah siap?”
Aku mengangguk mantap. Sampai lelaki itu meraih tanganku ke dalam genggaman hangatnya pun, senyumku tak pernah luntur.
Lelaki bernama Arya, mantan kekasihku yang saat ini sedang menghabiskan liburan di Makassar dari aktivitasnya sebagai polisi di Jakarta itu pun membantuku menaiki sebuah kapal yang tidak terlalu besar untuk mengantar kami ke Pulau Samalona.
Aku tidak akan pernah bosan ke pulau dengan panorama indah tersebut. Walaupun nyawa taruhannya, karena harus menyeberangi lautan luas untuk sampai ke sana. Namun di situlah sensasinya, terombang-ambing di atas gulungan ombak dengan angin yang bertiup kencang. Aku sampai harus terbentur beberapa kali ke dada Arya yang bidang setiap kapal dengan dua puluhan penumpang itu miring karena hantaman ombak.
“Mual, gak?” tanyanya di tengan perjalanan.
Aku menggeleng pelan. “Aku kan udah sering ke sini, udah biasa.”
“Bagus, deh.” Ia mengusap kepalaku. Membuat rambut panjangku semakin berantakan.
Aku tersenyum lagi. Nyaman selalu memenuhi hatiku setiap berada di sisinya. Tidak ada rasa bosan, karena dia selalu tahu apa yang aku mau. Dari dulu, hanya dia yang paling mengerti aku. Dia tahu kesukaanku pada traveling, bahkan selalu menemaniku melewatinya. Sedangkan Putra? Dia terlalu mengkhawatirkanku. Dia tidak pernah memikirkan kepuasan yang ku dapat setelah mendapatkan apa yang aku mau dari penyaluran hobi itu.
Kenapa aku malah membedakan kekasih dan mantan kekasihku ini? Bukankah mereka memang dua orang yang berbeda?
“Kamu terakhir kali snorkeling kapan?” tanya Arya. Memecah lamunan panjangku.
Aku berpikir sejenak. “Tahun baru kemaren deh kayaknya. Waktu kamu ngambil libur akhir tahun dan kita ke Pantai Bira.”
“Itu kan udah hampir satu tahun yang lalu. Masa kamu gak pernah ke pantai abis itu?”
“Ke pantai sih sering. Tapi kalo buat diving atau snorkeling, enggak pernah lagi. Putra ngelarang aku. Katanya takut tenggelam atau keseret ombak.” Aku tertawa getir di ujung kalimat.
Arya ikut tertawa. “Kayaknya Putra sayang banget sama kamu. Sampe gak mikir kalo diving sama snorkeling itu pasti ada pengamannya.”
Aku mendengus sesaat. Membenci perbicangan ini. Yah, aku selalu benci membicarakan hal lain setiap bersama mantan kekasihku yang satu ini. Maafkan aku, Putra.
***
            Aku melepas masker dan snorkel yang masih melekat di wajahku saat Arya datang.
“Gimana? Seru, gak?” tanyanya. Ia masih mengenakan kaki katak di atas hamparan pasir putih milik Pulau Samalona ini.
“Banget! Gak kalah sama yang di Bira waktu itu. Aku speechless, nih. Intinya, ikannya lucu-lucu. Bintang laut sama kerangnya juga banyak, cantik-cantik lagi.”
Ia ikut melepaskan alat-alat snorkeling yang ia gunakan. “Mau langsung pulang atau nginep aja, nih? Ntar sore lanjut diving lagi, yuk!” ajaknya.
“Enggak, ah. Aku kan gak suka diving. Terlalu ngeri buat orang yang nyalinya gak gede kayak aku,” balasku diiringi tawa. Yah, aku lebih memilih snorkeling daripada diving yang harus menyelam sampai kedalaman bermeter-meter hanya dengan bantuan sebuah tabung berat yang harus dipikul di punggung. Oh, tidak.
“Trus kita kemana, dong?”
“Gimana kalo wisata kuliner? Aku udah lama gak makan pisang epe’. Kamu juga, kan?”
“Oke, setuju!”
***
            Kami berdua kembali ke Makassar sore harinya. Ia terpaksa diving di siang hari yang terik karena aku memaksa pulang hari ini juga. Hasilnya? Kulitnya yang kecoklatan harus menerima kenyataan untuk semakin coklat.
Masih dengan ransel di punggung masing-masing, kami berjalan menyusuri pinggiran Jalan Penghibur. Motor ninja milik Arya diparkir di pelataran pantai Losari. Jalanan terlalu macet untuk naik kendaraan ke gerobak penjual pisang epe’ langgananku yang tidak terlalu jauh dari situ. Hanya perlu berjalan lima menit, dan kami pun sampai di sebuah gerobak yang lumayan ramai di pertigaan jalan.
“Ada kursi kosong ta’ daeng?” tanyaku, lengkap dengan logat Makassar.
Laki-laki yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu menoleh dan menatapku. Dahinya berkerut sejenak, lalu tersenyum lebar. “Astaga, lamanya mo ndak ke sini ki dek. Mauki makan pisang epe’? Di situ meki duduk eh, masih ada dua kursi kosong.” Ia menyapa dengan hebohnya sambil memperlihatkan satu tempat yang masih kosong di pinggiran trotoar tersebut.
Aku ikut tersenyum senang. Ia masih mengingatku di antara banyaknya pelanggan yang datang dan pergi di sini. “Iye’. Pisang epe’ coklat keju ta pade dua porsi nah. Sama sekalian pesankan ka’ sarabba’ dua gelas dule,” balasku. Memesan dua porsi pisang epe coklat keju dan sarabba’. Kemudian berjalan menuju sepasang kursi plastik dan sebuah meja di dekat gerobaknya.
Pisang epe adalah pisang kepok putih yang dipipihkan, kemudian dibakar dan dilumuri gula merah, coklat, keju, atau rasa lain sesuai pesanan pelanggan. Sedangkan sarabba’ adalah minuman khas Makassar yang berisi campuran jahe dan rempah-rempah sejenis. Makanannya menciptakan sensasi manis, sedangkan minumannya mengalirkan kehangatan di sepanjang kerongkongan.
Sekelompok pengamen mendatangi meja kami saat pesanan belum juga datang. Lagu salah satu boyband Indonesia melantun dari bibir sang vokalis perempuan. Ini adalah salah satu pemandangan yang lumrah di sekitar sini. Kadang, kita hanya makan kacang rebus di anjungan losari pun, ongkos untuk pengamen yang berdatangan bisa lebih banyak dari makanan yang kita nikmati.
“Ini kak pesanan ta,” ujar seorang anak kecil sambil membawa senampan berisi dua piring kecil pisang epe’ dan dua gelas sarabba’ yang asapnya masih mengepul.
Aku buru-buru meraih dan menikmatinya. Ah, betapa aku merindukan rasa ini. Betapa lelahnya aku mengecap rasa yang sama terus-menerus, es kelapa muda di depan taman kota.
“Kamu kenapa? Kok kayak kelaparan gitu?” heran Arya sambil meletakkan gelas sarabba’ yang baru saja disesapnya.
“Gak pa-pa, kok. Pisang epe’ ini enak banget.”
“Bukannya kamu tinggal di Makassar? Aku aja yang lama di Jakarta gak selahap kamu makannya.”
Aku tertawa pelan. “Gimana, ya? Aku udah lama gak makan pisang epe’. Jadi sekarang pengen bener-bener dinikmati.”
“Kasian banget kamu,” balasnya sambil mengusap kepalaku. “Trus, besok kamu mau kemana? Biar aku temenin.”
“Serius?” Mataku kontan saja berbinar-binar.
Arya mengangguk sambil tersenyum tulus.
“Aku mau liat sunset di anjungan losari. Trus makan pisang ijo sama jalangkote di Jalan Andalas.”
***
            “Kamu mau kemana?”
Deg! Aku bisa merasakan jantungku berdetak dua kali lebih cepat saat mendengar suara itu. Suara yang tidak terlalu berat untuk ukuran laki-laki, namun terdengar menenangkan. Walaupun saat ini aku mendengar versi menakutkannya.
“Loh, kok... kamu ada di sini?”
“Emangnya kenapa?” Putra balik bertanya.
“Enggak, maksud aku... Maksud aku, kok tumben kamu gak ngabarin dulu?” Sepertinya ia sudah membaca gelagatku yang aneh ini, dari dahinya yang agak berkerut sambil menatapku.
“Gimana mau ngasih kabar kalo teleponku gak pernah kamu angkat?”
“Ah? Masa, sih? Oh, haha... Iya, nih. Handphone-ku suka nge-hang. Jadi yah gitu, deh...”
“Trus sekarang kamu mau kemana?”
“Ke rumah temen. Ngerjain tugas.” Padahal rencananya aku akan bertemu dengan Arya di Rumah Makan Bravo untuk menikmati pisang ijo dan jalangkote. Semoga kekasihku ini tidak menggagalkan rencanaku untuk pergi bersama mantan kekasihku.
“Ya udah. Sini aku temenin.”
Sial!
***
            “Sorry, ya! Aku lagi nemenin Putra makan konro, nih. Besok aja, gak pa-pa? Iya, aku janji nemenin kamu wisata kuliner sampe puas. Okay, bye!”
“Nelepon siapa, sih?” tanya Putra. Ia baru saja kembali dari toilet sebelum aku mencuri-curi kesempatan untuk menelepon Arya dan membatalkan acara kami.
“Temen kampus.”
Tidak berapa lama kemudian, seorang pelayan membawakan kami senampan mangkuk berisi konro, nasi, dan jus jeruk. Aroma sup iga dengan bumbu yang khas menguasai indra penciuman. Asapnya yang mengepul seakan melambai-lambai, memaksa untuk cepat-cepat menghabiskannya.
Aku langsung menuangkan kecap dan sambal tumis ke dalam mangkuk di depanku, serta perasan jeruk nipis. Diwarnai suara kendaraan yang ramai berlalu-lalang di sekitar lapangan karebosi, aku pun mulai mencicipi konro tersebut. Hm, rasanya pas.
“Abis ini kamu mau kemana?” tanya Putra sambil mengunyah tulang renyah itu.
“Pulang aja, ah.”
“Loh, kenapa? Gak mau jalan dulu?”
“Kemana?”
“Taman kota di samping Benteng Rotterdam. Minum es kelapa muda.”
“Enggak.”
***
            Cahaya jingga menyilaukan pandangan mataku. Yah, seperti itulah suasana sore di sini. Di tempat yang lapang dengan rangkaian huruf besar berwarna putih bertuliskan Pantai Losari. Pedagang asongan turut meramaikan di sana-sini. Aku selalu suka suasana sore di Losari, ramai dan menghangatkan hati.
“Aku suka banget kalo liat kamu senyum kayak gitu. Hatiku jadi ikut damai,” ucap Arya. Kami berdua duduk berdampingan di salah satu bangku semen anjungan, menghadap ke laut di depan sana.
Aku hanya tersenyum tipis. Lelaki itu selalu tahu cara membuatku bahagia. Ia sangat pintar menentramkan hatiku. Namun tidak untuk merebut cintaku. Yah, harus ku akui, cintaku sepenuhnya masih milik Putra.
“Kamu lagi mikirin apa, sih? Kok daritadi ngelamun aja?” Suaranya kembali menyentakku.
“Hm?” Kedua alisku terangkat sambil menatapnya.
“Lagi mikirin Putra, ya?” Bahkan saat menyebut nama kekasihku pun, ia masih bisa tersenyum.
Mau tidak mau, aku mengangguk. Pandanganku kembali menyapu laut di depan kami.
“Kamu ngerasa bersalah karena kita jalan bareng tanpa sepengetahuannya?”
Aku menghela nafas sejenak. “Kalo masalah ngerasa bersalah, ya jelaslah. Tapi mau gimana lagi? Kayaknya aku lagi butuh hal-hal baru.”
“Maksudnya?”
“Iya, something new. Gak tau kenapa, aku ngerasa bosan akhir-akhir ini. Mungkin karena kami udah pacaran dua tahunan kali, ya?” balasku. “Gitu deh pokoknya. Semuanya jadi hambar. Rasanya hubungan kita udah sampe ke titik paling jenuh.”
Arya terdiam. Mungkin ia sedang meresapi setiap kalimatku.
“Kalo kamu jadi aku, pasti kamu tau gimana rasanya setiap malam dihabiskan di taman kota samping Fort Rotterdam sana sambil minum es kelapa muda pake gula merah. Atau cuma makan konro di dekat lapangan karebosi pas siangnya. Ituuu terus. Bosen, kan?” sungutku.
“Trus, kenapa kamu gak omongin langsung sama dia?”
Iya, ya? Kenapa aku gak ngeluh langsung sama Putra?
“Kok diem?”
“Aku... Aku gak enak. Aku gak mau bikin dia kecewa. Aku gak mau nyakitin dia, Ar. Aku... sayang banget sama Putra.”
Aku merasa Arya menghela nafas panjang di sebelahku. Entah mengapa.
“Bukannya kunci utama hubungan adalah komunikasi?”
“Tapi menurutku, diam adalah segalanya. Aku mau semuanya berjalan dengan baik. Aku benci pedebatan panjang, apalagi pertengkaran tidak jelas.”
“Bagaimana kamu tau dia bakal marah kalo kamu belum nyoba bicarain semuanya?”
“Aku udah lama kenal Putra.”
“Tapi kenapa dia gak bisa kenal kamu dengan baik?”
Deg! Pertanyaan Arya itu seakan mencambukku.
“Kalian emang udah kenal cukup lama. Kalo ibarat bayi, kalian udah jago ngasih komentar. Kenapa kamu sama Putra yang udah dewasa gak punya keberanian buat ngungkapin isi hati masing-masing? Apa susahnya sih ngomong ‘aku bosen makan di sini’ atau ‘aku bosen nongkrong di sini terus’. Gampang, kan?”
Aku mendengus kesal. Kenapa polisi muda dan ganteng ini selalu mengucapkan kata-kata yang masuk akal untukku?
“Trus, aku mesti gimana?” tanyaku, entah untuk Arya atau diriku sendiri. Terdengar putus asa.
“Ya ngobrol. Kalian kalo lagi berdua ngomongin apa aja, sih? Masa buat ngomongin masalah hati masing-masing aja mesti mikir dulu?”
“Ya udah, sih. Gak usah pake ngomel!” Aku jadi gemas juga lama-lama diceramahi begitu.
Ia malah tertawa sambil menatap wajahku. Membuat bibir tipisku semakin manyun.
“Eh, udah adzan aja, nih. Magrib-an , yuk!” ajak Arya saat kumandang adzan sayup-sayup terdengar.
Aku ikut mengangguk. “Di mesjid depan pintu masuk metro tanjung bunga aja. Tau, kan?”
“Mesjid terapung itu, ya?”
“Iya. Mesjid Amirul Mukminin namanya.”
“Iya, aku udah liat foto-fotonya di google. Keren, deh.”
“Jelas dooong,” balasku bangga.
Ia mengusap kepalaku sambil tersenyum. Kami lalu berjalan berdampingan, menuju pelataran parkir pantai losari. Layaknya sepasang kakak-beradik.
“Emangnya kamu mau pindah tempat nongkrong kemana, sih” tanya Arya sambil berusaha mengeluarkan motornya dari area parkir yang lumayan sesak sore ini.
Aku berpikir sejenak. “Ke Samalona kan udah. Makan pisang epe’ sama sarabba’ juga. Trus kemarin kita udah makan es pisang ijo sama jalangkote. Liatin sunset di Losari kelar. Ke mesjid terapung juga udah mau pergi. Hm, kemana lagi, ya?”
Arya melirikku dari spion kiri motor ninja miliknya.
“Aha! Aku tau!” Entah kenapa, aku langsung menjentikkan jari tangan kananku dengan wajah sumringah.
“Apa?”
“Aku mau ke Benteng Somba Opu di perbatasan Makassar-Gowa sana.”
“Hah? Ngapain?”
“Pengen liat rumah-rumah adat dari semua daerah di Sulawesi Selatan sini. Sekalian hunting foto.” Aku cengengesan di ujung kalimatku.
“Ya udah. Minta sama Putra, sana!”
“Sial! Aku kira mau nemenin.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar