Sabtu, 23 Maret 2013

Remember Me #7 - Rencana

Dunia ini memang penuh dengan kebetulan. Tapi entah sesuai takdir Tuhan atau bukan.



Fanya membalas senyum pelayan yang baru saja membawakan pesanan. Lalu mulai meracik bumbu ke dalam kuah baksonya. Gara-gara Haykal harus menemui dekan, jadilah mereka makan siang sesore ini.
“Jadi Dokter Sheila minta kamu ngegantiin dia di acara penyuluhan nanti?” tanya lelaki yang sedang mengaduk mie kering itu.
Siang tadi, Dokter Sheila menemui dokter ganteng tersebut untuk mengurus jadwal KKN Fanya agar dipindahkan ke hari lain karena ia meminta gadis itu mengikuti penyuluhan kesehatan di salah satu daerah. Tanpa pikir panjang, Haykal langsung mengiyakannya mengingat ia pun akan pergi ke daerah penyuluhan yang tidak lain dan tidak bukan adalah tempat tinggal mamanya.
Yang ditanya hanya mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangan dari mangkuk di depannya.
“Aku seneng, deh. Berarti kita bisa sekalian ketemu Mama. Dia pasti kangen banget sama kamu.”
Fanya mengangguk kuat-kuat. “Aku juga udah kangen banget sama Mama. Sekalian mau belajar masak. Kata Mama, aku mau diajarin masak makanan kesukaan kamu,” jelasnya berapi-api. “Emang kamu suka makan apa, sih?” Kedua mata perempuan itu membesar. Penuh tanya, dan rasa penasaran.
Haykal tersenyum getir. Menyadari tunangan yang sangat ia cintai sudah melupakan segala hal tentangnya malah membuatnya semakin sakit. Walaupun ia harus cepat-cepat menerima kenyataan, bahwa semua ini bukan kemauan Fanya.
Tiba-tiba di tengah keheningan yang tercipta, Fanya meringis sambil meremas rambut panjangnya.
Lelaki di hadapannya buru-buru meraih jemari Fanya dengan panik. “Kamu kenapa, sayang? Apanya yang sakit? Kamu lupa minum obat lagi?”
Perempuan itu tidak menjawab. Di kepalanya terputar beberapa potong peristiwa yang tiba-tiba hadir dan silih berganti. Seakan berebutan masuk ke dalam memorinya.
***
            “Kamu kayaknya serius banget,” suara Haykal. Ia terlihat sedang memeluk pinggang Fanya dari belakang. Tepat di depan kompor berisi panci dan wajan yang sedang ditekuni tunangannya.
“Aku kan mau jadi istri yang baik. Jadi aku bakal bikin ayam rica-rica sama sayur sup paling enak sedunia.”
“Emang makanan buatan kamu bakal lebih enak dari masakan Mama? Yakin?” Lelaki itu sedang membenamkan wajahnya di leher Fanya, di antara helaian rambutnya yang dibiarkan tergerai.
“We’ll see.”
Kemudian, mereka tertawa bersama.
.....
“Gimana? Enak?” Perempuan dengan mini dress bermotif anggrek putih tersebut duduk di depan Haykal sambil menautkan kesepuluh jarinya di atas meja. Wajahnya terlihat cemas.
Haykal memasukkan sesendok nasi lengkap dengan potongan ayam rica-rica dan potongan kentang serta wortel ke dalam mulutnya. Mengunyah sebentar, menerawang, mengerutkan dahi, lalu mengalihkan tatapannya ke arah Fanya.
Fanya langsung berubah tegang. Mulai dari raut wajah, hingga ke cara duduknya. “Kenapa? Rasanya... aneh?”
Tatapan Haykal masih setia melekat pada titik di depannya. Tanpa ekspresi. Sampai... “Kayaknya sekarang aku bisa selingkuh dari masakan Mama yang udah setia nemenin aku 20 tahun ini.”
***
            “Ayam rica-rica sama sayur sup,” lirih Fanya di tengah ringisannya.
“Apa? Kamu kenapa, sayang?” Lelaki itu masih panik. Beberapa menit yang lalu, ia mendapati tunangannya terdiam dengan raut yang menahan rasa sakit sambil memejamkan kedua mata dengan erat dan meremas rambutnya. Kemudian sekarang, perempuan yang dicintainya itu sedang meracau.
“Kamu... Suka... Ayam rica-rica... Sama sayur sup?” bisik Fanya lagi. Kali ini, ia memandang Haykal dengan dahi berkerut.
Haykal mengangguk pelan. “Kamu tau darimana?” tanyanya heran. “Kamu inget sesuatu?”
Giliran perempuan itu yang mengangguk.
Tapi baru saja hendak bertanya lebih banyak, Fanya sudah ambruk ke pelukannya.
***
            Fanya bangun keesokan harinya. Sejak pingsan kemarin sore, tidurnya diramaikan oleh kepingan-kepingan masa lalu. Semuanya berisi wajah Haykal. Namun saking banyaknya, ia sampai lupa apa saja isi mimpinya saat sudah terjaga.
“Kamu udah bangun, sayang?”
Perempuan itu kontan menoleh ke sumber suara. Tempat sang ibu berada.
“Alhamdulillah kalo kamu udah sadar. Sekarang gimana? Kepala kamu masih sakit? Apa Ibu perlu panggilin Ayah sama Haykal?” lanjut wanita setengah baya tersebut.
Fanya berusaha bangkit dan duduk sambil bersandar ke sisi tempat tidurnya. “Gak usah, Bu. Aku malah ngerasa seger banget sekarang. Udah lama aku gak tidur senyenyak dan selama ini.”
Ibu mengusap kepala putri semata wayangnya penuh rasa sayang. Lalu, beliau tiba-tiba teringat sesuatu. “Oh, iya. Kamu berangkat jam berapa, sayang?”
Alis Fanya kontan menyatu. “Berangkat? Emangnya aku mau kemana, Bu?”
“Loh, bukannya Haykal bilang kalian mau ke rumah Mama buat penyuluhan di puskesmas sana?”
Mendengar kata penyuluhan dan Mama, kerutan di dahi Fanya sontak lenyap. “Ya ampun! Ini udah jam berapa, Bu? Aku belum siap-siap. Perlengkapan buat seminggu belum di-pack. Aduh, Bu...” Ia langsung melompat dari tempat tidur. Kemudian berlari pontang-panting memasuki kamar mandi di sudut kamar, setelah sempat menendang kursi dan menyumpah tanpa sadar.
***
            “Ada apa, Bu?” Haykal muncul di depan pintu tepat saat Fanya menutup pintu kamar mandi dengan keras.
“Itu, tadi si Fanya heboh banget pas inget mau penyuluhan ke tempat tinggal mama kamu. Sampe nendang kursi segala.” Ibu geleng-geleng kepala. “Katanya dia belum packing, lagi. Ibu mau bantu sih, tapi Ibu sama Ayah kan harus ke rumah sakit sekarang.”
“Ya udah, Bu. Biar aku aja yang nyiapin semuanya. Kebetulan aku juga udah selesai packing.”
***
            Hal pertama yang dilakukan Fanya saat mendapati sesosok tubuh tinggi menjulang di tepi tempat tidurnya adalah... “Aaaaarrrrrrrgggghhhhh!!!”
Sosok yang tidak lain dan tidak bukan merupakan tunangannya tersebut kontan menoleh seraya menutupi telinganya dengan kedua tangan.
“Ngapain kamu di sini? Aku lagi mandi, tau!” serunya lagi. Berbeda dengan Haykal, ia malah menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Menutupi bagian tubuh yang menonjol di balik balutan sehelai handuk.
Lelaki itu menurunkan tangannya perlahan. “Udah selesai teriaknya? Kamu ini udah kayak tarzan, deh.” Ia kembali sibuk dengan tas besar di tepi tempat tidur milik tunangannya.
“Kamu bilang apa? Aku kayak tarzan?” Mata Fanya kontan membesar. Tidak terima. “Kalo aku tarzan, kamu apa? Pemerkosa yang masuk kamar orang tanpa izin? Pas calon korbannya lagi mandi, iya?”
Haykal sontak berbalik dan menatap perempuan di depannya. “Pemerkosa, hah?” tanyanya datar. Lalu melangkah pelan mendekati perempuan dengan rambut basah dan tubuh seksi berhanduk putih itu.
Radar Fanya spontan menangkap sinyal mesum pada aksi lelaki tersebut. “Jangan deket-deket! Aku bakal teriak, nih! Stop there!” soraknya sambil mengacungkan telunjuk ke arah Haykal.
“Wanna scream? Okay, just do it. Asal kamu tau, Ayah sama Ibu udah berangkat ke rumah sakit pas kamu lagi mandi. Jadi sampe pita suara kamu putus sekalipun, gak ada yang bakal nolong kamu, sayang.” Haykal mempersempit jarak dengan langkahnya yang besar.
Tubuh Fanya menegang di hadapannya.
“Kenapa? Takut? Bukannya kamu sendiri yang ngatain aku pemerkosa?” Jarak mereka sudah kurang dari satu meter sekarang. “Kalo kamu berani nyebut aku kayak gitu, aku lebih berani lagi ngebuktiinnya. Are you ready, darling?”
Baru saja Fanya hendak mencari alat yang bisa menghalangi langkah lelaki mesum ini, dua tangan kokoh sudah mengurung dirinya yang bersandar di tembok samping pintu kamar mandi.
Haykal tersenyum penuh kemenangan ketika mendapati wajah tunangannya langsung memucat. Ia malah mendekatkan wajahnya, menutup mata, dan menghirup aroma di depannya. Wangi shampoo, sabun mandi, juga pasta gigi khas wanita berbaur menjadi satu. “Oh, damn! I miss this smell,” bisiknya tepat di telinga kiri Fanya. Sengaja menciptakan sensasi geli di sana.
“Kal, kamu jangan macem-macem, ya! Aku... mau nikah dalam keadaan suci,” balas Fanya. Suaranya terputus-putus karena ngeri.
Lelaki itu tertawa pelan. “Fanya sayang, kamu pikir aku bisa janji gak macem-macem kalo ngeliat kamu kayak gini?” Ia menelusuri tiap lekuk tubuh di hadapannya dengan pandangan penuh nafsu. “Aku bahkan yakin kamu gak pake underwear apapun di sini,” lanjutnya sambil merapatkan tubuh mereka.
“Haykal, ka-kamu ma-mau apa, sih? Ja-jangan bikin a-aku ta-takut...” Fanya sudah memejamkan kedua matanya rapat-rapat. Tidak berani melihat ekspresi keji tunangannya. Ia bahkan bersumpah akan benar-benar memutuskan hubungan mereka kalau sampai terjadi hal yang tidak diinginkan. Dalam hati, tentunya.
Hening sesaat.
Hingga...
“Hahahahaha...” Tawa Haykal pecah ke udara. Ia sampai harus memegangi perut dengan tangan kanan dan menepuk-nepuk pahanya sendiri menggunakan tangan kiri saking geli.
“HAYKAL PRADIPTA SAPUTRA! MAKSUD KAMU APA, HAH?” teriak Fanya saat menyadari lelaki berkaos biru langit tersebut menertawainya sampai hampir menangis.
“Kamu... Hahaha... Kamu lucu banget, sayang. Hahaha... kamu harus liat gimana ekspresi kamu tadi. Udah kayak ayam mau dipotong, tau gak! Hahaha...” Lelaki itu masih tergelak bahagia. Tanpa sadar perubahan raut perempuan di depannya.
***
            “Mana mungkin aku mau nyium kamu di depan banyak orang? Kamu pikir aku bakalan biarin orang-orang liat gimana asiknya ngenikmatin bibir kamu yang seksi ini?”
“Kamu gila! Pokoknya aku benci sama kamu! Sebel! Huh!”
“Hahaha... Kamu harus liat gimana ekspesi kamu tadi. Udah kayak ayam mau dipotong, tau gak! Hahaha...”
***
            “Auw!” Tiba-tiba, Fanya memegangi kepalanya dengan erat. Setelah sebuah peristiw­a tiba-tiba memaksa masuk ke dalam ingatannya.
Haykal sontak menghentikan tawa. “Sayang, kamu kenapa? Kepalanya sakit lagi?” paniknya seraya membantu memijat kepala perempuan tersebut.
Fanya menggeleng pelan. “Udah mendingan, kok.” Ia menjauhkan jemari Haykal dari tubuhnya. Masih trauma dengan sikap tunangannya barusan.
“Ya udah. Kamu buruan pake baju. Perlengkapan buat seminggu udah aku siapin. Soalnya tadi Ibu udah mau berangkat dan katanya kamu belum packing. Jadi aku bantu.”
Perempuan yang masih mengenakan handuk itu bergeming. Membuat lelaki di hadapannya mengerutkan kening.
“Trus ngapain bengong gitu? Ini udah siang. Kamu mau ditinggalin sama rombongan?” Akhirnya Haykal yang buka suara pertama kali.
“HEH! HARUSNYA AKU YANG NANYA! BUKANNYA TADI KAMU NYURUH AKU GANTI BAJU? TRUS NGAPAIN KAMUNYA MASIH DI SINI? KELUAR!!!”
Haykal cengengesan mendengar teriakan tunangannya. Lalu berbalik, hendak melangkah ke arah pintu. Namun dalam hitungan detik, ia membuat gerakan tidak terbaca.
CUP!
Fanya mematung. Shock.
Lelaki tersebut buru-buru berlari ke luar kamar dengan tawa mengambang di udara.
Saat kesadaran perempuan itu kembali, ia meraba bibirnya. Tidak percaya telah kecolongan. “HAYKAAAL! DASAR TUKANG NGAMBIL KESEMPATAAAN!!!” soraknya sembari menutup pintu kamar dengan keras. Tak lupa menguncinya.
“Itu morning kiss, sayang...” Haykal balas berteriak dari dalam kamarnya yang terletak tepat di seberang kamar Fanya.
Fanya mencibir sejenak. Kemudian membuka lemari pakaian dengan segenap emosi yang tersisa.
Saat menemukan kemeja dan rok panjang yang akan dikenakannya, ia melirik tas besar berisi pakaian yang tergeletak di tepi tempat tidur.
Haykal yang nyiapin semua ini, ya? batinnya seraya membuka tas biru toska tersebut dan melihat isinya. Seketika, matanya membulat. Di tumpukan pakaian yang paling atas, ada sebuah tas kecil bermotif tribal yang memang selalu ia gunakan saat bepergian untuk menyimpan... pakaian dalam. Dan kini, tas tersebut sudah terisi beberapa pasang pakaian dalam miliknya.
Kata-kata Haykal tadi kembali terngiang. “Perlengkapan buat seminggu udah aku siapin. Soalnya tadi Ibu udah mau berangkat dan katanya kamu belum packing. Jadi aku bantu.”
Membayangkan pakaian dalamnya dijamah oleh tangan laki-laki membuatnya bergidik ngeri. Lalu menggeleng sekuat tenaga. Mengenyahkan senyum mesum Haykal yang mengejek di dalam kepala.
***
            “Tyas!” seru Fanya sambil berlari menghampiri sahabatnya yang terlihat manis dengan mini dress bermotif mawar kuning dan rambut yang dikuncir rapi sedang berdiri di samping bus Fakultas Kedokteran.
Tyas spontan menoleh. Kemudian menatap perempuan berkemeja putih dan rok panjang merah muda tersebut sudah berada di sampingnya. “Lo darimana aja, sih? Lama banget.”
“Sorry. Gue telat bangun soalnya.” Fanya cengengesan.
“Adik-adik, silakan masuk ke dalam bus masing-masing. Kita berangkat sekarang,” suara Dokter Tio –dokter muda yang menjadi koordinator acara ini– melalui TOA di genggamannya.
“Lo satu bus sama gue, kan? Farhan juga di sana, loh...” tanya Tyas. Entah bermaksud apa.
Baru saja perempuan itu hendak menjawab, sebuah suara langsung menyela. “Zefanya, kamu ngapain masih di sini? Kita kan udah mau berangkat.”
Fanya berbalik dan menemukan sang tunangan sudah berdiri di belakang tubuh mungilnya.
“Dokter Haykal...”
Sontak, Fanya mengalihkan perhatiannya lagi saat menyadari pemilik suara lembut tersebut. Dokter Ita.
Haykal ikut menoleh. “Ada apa, Dokter?”
“Dokter bawa mobil sendiri, kan?”
Lelaki itu mengangguk pelan dengan raut heran.
“Saya bisa ikut di mobil Dokter? Saya gak bawa mobil soalnya,” ujar Dokter Ita. Lengkap dengan senyuman manis.
Haykal memandang Fanya, seakan meminta persetujuan. Yang dipandang hanya mengendikkan bahu, acuh tak acuh.
“Hmm boleh sih, Dok. Tapi kita bertiga sama Fanya. Gak pa-pa, kan?”
“Fanya?” Perempuan dengan long dress hijau dibalut jas dokter tersebut terdengar shock. “Bukannya mahasiswi sudah disediakan bus dari fakultas, ya?”
“Iya, tapi dia kan... tunangan saya, Dok. Lagipula, alasan saya bawa mobil pribadi karna ada dia juga. Dia gak terbiasa disupirin sama orang lain sejak kecelakaan dulu.”
“Dokter Haykal, biar bagaimanapun Fanya itu kan masih berstatus mahasiswi di sini. Dokter mau kalo dosen-dosen atau mahasiswa yang lain heran? Atau ngerasa ada nepotisme di kampus kita?”
Kedua alis Fanya kontan menyatu. Apa-apaan, nih? Kenapa pake acara bawa-bawa nepotisme segala? batinnya. Ia lalu mendapati beberapa pasang mata mulai tertarik pada pembicaraan dua dokter di hadapannya.
“Dokter Haykal, sebenarnya Dokter Ita bener juga. Aku kan udah bilang daritadi, aku mau naik bus aja bareng Tyas.” Fanya buka suara. Mengingat perdebatannya dengan Haykal sebelum berangkat. Dan ia harus mengalah setelah mengajukan syarat agar lelaki itu tidak menggodanya sepanjang penyuluhan nanti.
“Enggak boleh. Aku gak mau kamu naik kendaraan umum. Orangtua kamu kan pesen biar aku jagain kamu. Tadi kamu juga udah setuju pergi bareng aku,” tolak Haykal. Rahangnya mengeras.
“Itu kan tadi. Sekarang aku udah berubah pikiran. Dokter Haykal naik mobil aja, kan ada Dokter Ita yang nemenin. Aku mau naik bus. Yuk!” Fanya langsung menarik pergelangan tangan Tyas tanpa menunggu balasan Haykal.
“Nya! Zefanya!” teriak lelaki berkaos biru langit dan celana jeans biru dongker itu. Namun baru saja berniat menyusul dan menggiring tunangannya untuk turun dari bus, sebuah sentuhan lembut menahannya.
“Dokter, ini kan udah siang. Gimana kalo kita berangkat sekarang?” ucap Dokter Ita, tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Haykal berdecak kesal ketika menyadari bus yang ditempati Fanya sudah mulai melaju. Mau tak mau, ia pun melangkah menuju mobilnya. Mendahului Dokter Ita.
Perempuan berambut lurus kecoklatan tersebut mengikuti Haykal dengan wajah puas. Setelah sebelumnya menyempatkan diri menoleh ke dalam bus tempat Fanya dan Tyas masuk tadi. Lalu bertukar senyum dengan Farhan yang duduk di dekat jendela, tepat di belakang Fanya. Senyum penuh arti. Senyum yang menjadi awal dari ‘kebahagiaan’ mereka.
***
            Fanya langsung buang muka saat mendapati mobil range rover sport milik Haykal berada tepat di sebelah bus yang ia tempati. Membayangkan wajah Dokter Ita yang tersenyum manis ke arah tunangannya, bermanja-manja, duduk bersebelahan, membuatnya ingin mematahkan sesuatu sekarang juga.
Tiba-tiba, sebuah jemari terulur dari belakang. Menyodorkan coklat almond kesukaannya. Ia pun kontan menoleh. Lalu bertemu pandang dengan... “Farhan?”
Lelaki yang terlihat santai dengan sweater abu-abu dan jeans hitam itu tersenyum membalasnya. “Ini buat kamu.” Ia menggoyangkan tangan kanan, memberi isyarat agar Fanya segera meraihnya.
Tanpa pikir panjang, perempuan berambut ikal tersebut pun langsung mengambilnya. “Thankyou, ya! Tau aja kalo aku lagi butuh mood booster,” ujarnya seraya membuka bungkus coklat yang sudah berpindah ke genggamannya.
Farhan semakin menyunggingkan kedua sudut bibir. “Aku kan masih inget semua tentang kamu dari jaman SMP dulu.”
“Loh, buat gue mana?” celetuk Tyas seraya menoleh ke belakang kursinya, tempat Farhan berada.
“Yah, gue cuma bawa satu, Yas. Rejeki lo gak ada, sih.”
Tyas spontan manyun. Kemudian mengembalikan posisi duduknya ke depan tanpa mempedulikan lelaki itu lagi.
Fanya dan Farhan tertawa bersamaan melihat aksi perempuan tersebut.
“Nih, buka mulutnya. Aaa...” Fanya mengacungkan sepotong coklat di antara telunjuk dan ibu jarinya ke bibir Tyas. Yang langsung disambut dengan senang hati olehnya.
“Eh, aku juga dong! Masa aku yang ngasih tapi Tyas doang yang disuapin?” Farhan mencondongkan tubuhnya ke depan. Lengkap dengan mulut terbuka lebar.
Tyas kontan mencibir.
Fanya tertawa pelan. “Iya, deh. Nih...” Ia pun menyuapi lelaki di belakangnya. Masih dengan tawa geli. Berusaha melupakan kejadian sebelum berangkat tadi.
***
            “Oh, shit!” umpat Haykal pelan, sambil memukul stir di depannya.
“Dokter kenapa?” tanya Dokter Ita, kedengaran kaget. Padahal ia sendiri ikut menyaksikan tingkah Fanya dan Farhan melalui kaca bus yang transparan di sebelah mereka.
“Gak pa-pa, Dok. Maaf, saya kelepasan.” Lelaki itu kembali memusatkan pandangannya ke depan. Ia bahkan menyalip bus yang dikendarai Fanya. Tak mau berlama-lama melihat tunangannya dekat dengan laki-laki lain.
“Di daerah penyuluhan nanti, saya dengar Dokter dan Fanya akan menginap di rumah mamanya Dokter Haykal, ya?” tanya Dokter Ita, mengalihkan pembicaraan.
“Iya, Dok.”
“Kira-kira saya nginap dimana, ya?” Perempuan itu terlihat menerawang. “Semoga yang punya rumah friendly, deh. Saya agak kikuk kalo sama orang baru soalnya.”
“Loh, bukannya Dokter Tio udah ngasih tau nama-nama warga yang rumahnya akan kita tempati nanti?” Haykal melirik perempuan itu sekilas.
“Iya, sih.”
“Trus, namanya siapa, Dok? Kebetulan saya kenal hampir semua tetangga mama saya di sana. Siapa tau saya bisa bantu ngenalin Dokter sama beliau.”
Dokter Ita langsung merogoh isi tas tangan yang berada di pangkuannya. Kemudian mengeluarkan handphone dan menekan beberapa tombol. “Nah, ini dia,” ucapnya saat menemukan pesan singkat Dokter Tio semalam. “Namanya... Ibu Septiani.”
Kali ini, Haykal sontak menoleh dengan ekspresi terkejut. “Ibu Septiani? Itu kan... mama saya!”
***
            Fanya menuruni bus dengan wajah kusut, khas baru bangun tidur. Rambut sepunggung miliknya dibiarkan acak-acakan. Di belakangnya, sosok Farhan dan Tyas mengikuti.
“Fanyaaa!” Seorang wanita berjilbab muncul dari dalam rumah bercat hijau-putih dengan senyum mengembang.
Perempuan yang merasa namanya dipanggil itu seketika menoleh. Senyumnya ikut mengembang saat menyadari siapa yang meneriakkan namanya tadi. “Mamaaa!” Ia pun berlari dan menghambur ke pelukan wanita yang tidak lain dan tidak bukan adalah Mama Haykal tersebut.
Mama yang siang itu mengenakan jilbab krem dan terusan coklat tua polos mengelus punggung calon menantunya yang sedang beliau peluk. Kemudian melepaskannya beberapa saat kemudian. “Gimana perjalanannya? Capek, ya?”
Fanya menggeleng mantap. “Enggak kok, Ma. Kan mau ketemu sama Mama, jadi bawaannya semangat.”
“Aduh, sekarang udah pinter ngegombal, ya!” Mama menjawil hidung perempuan itu, gemas.
“Ehem.”
Wanita berjilbab tersebut langsung menoleh saat mendengar deheman yang khas itu. Milik putra semata wayangnya. Membuat beliau kontan berbalik dan memeluk erat laki-laki yang jelas lebih tinggi darinya tersebut.
Haykal memeluknya dengan ekspresi datar. Begitupun ketika melepaskannya. “Aku sebenarnya merasa tersakiti loh, Ma. Masa Mama gak nyadar anaknya nontonin adegan temu kangen kalian?” gerutunya. Persis anak kecil yang sedang mengadu.
Mama terkekeh pelan seraya menjitak kepala anaknya. Lalu, beliau merasa sesuatu yang ganjal. “Kalian... ke sininya gak bareng, ya? Kok tadi Mama liat Fanya turun dari bus, sih? Bukannya kamu bawa mobil?” tanyanya, mengungkapkan keheranan.
Haykal langsung memandang Mama dan Fanya bergantian. Namun saat mengingat apa yang dilakukan Fanya pada Farhan di bus tadi, rahangnya mengeras.
“Fanya kan mahasiswi, Ma. Harus ngikutin peraturan kampus, jadi mau gak mau yaa mesti naik bus sama temen-temen yang lain.” Perempuan itu yang menjawab. Lengkap dengan senyum manis, namun tatapan menusuk ke arah seseorang yang berdiri tidak jauh darinya.
***
            Dokter Ita pura-pura tidak melihat saat Fanya melemparkan tatapan sinis ke arahnya. Ia malah tertawa dalam hati. Anak ingusan itu udah mau frontal kayaknya. Liat aja selama seminggu di sini. Kamu yang seneng, atau aku... bisiknya dalam hati. Sembari menurunkan koper pakaiannya dari dalam mobil milik Haykal.
***
            Fanya menyeret kopernya dengan emosi. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa laki-laki yang mengaku tunangannya ini bisa bersikap penuh perhatian pada perempuan lain. Perempuan yang jelas-jelas sedang mencoba menarik perhatiannya. Entah tidak peka, atau memang menikmatinya.
“Lo kenapa, sih?” tanya Tyas sambil memasuki kamar yang ditunjukkan Mama Haykal tadi. Kamar berwarna putih dengan aura nyaman.
“Gue sebel! Gila aja! Gue dosa apa sih sampe harus serumah sama Dokter Ita? Gak mungkin kebetulan gini. Dia pasti udah ngerencanain biar bisa serumah sama Haykal! Gue yakin! Ck!”
Tyas meletakkan tas miliknya ke depan pintu lemari besar di dalam sana. “Gue juga curiganya kayak gitu. Kalaupun ini kebetulan, kemungkinannya kecil banget. Apalagi buat Dokter Ita yang tadi aja udah usaha banget bikin lo gak semobil sama Dokter Haykal.”
Perempuan berambut ikal di depannya tidak menggubris. Ia malah sibuk merapikan beberapa barang yang ia bawa ke atas meja kayu di samping tempat tidur.
“Eh, tapi... Kok lo keliatan gak suka gitu, sih?” lanjut Tyas. “Jangan-jangan lo cemburu, ya? Hayo, ngaku!”
Fanya spontan menoleh. Wajahnya masih ditekuk. “Enak aja lo!”
“Trus, ngapain daritadi ngomel gitu?” Perempuan berlesung pipi yang notabene adalah sahabatnya itu terus menggoda.
“Ya... Gue gak suka aja. Jadi dokter kok ganjen banget. Harusnya kan dia punya wibawa, karisma, whatever-lah. Kalo lagaknya kayak gitu sih, kita-kita pasti jadi gak respect lagi. Iya, kan?” Fanya menjawab dengan berapi-api.
Tyas tertawa dalam hati. Mereka berdua sudah saling kenal tiga tahun terakhir ini. Jadi, ia bahkan sudah bisa membedakan kejujuran dan kebohongan perempuan satu itu.
“Ngapain lo senyum-senyum gak jelas gitu?” tanya Fanya. Masih dengan nada sewot.
“Siapa yang senyum-senyum? Sok tau!” balas Tyas. Perempuan berlesung pipi tersebut mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. “Ini kamar siapa, sih?” tanyanya kemudian.
“Haykal.”
“What? Ini... kamarnya Dokter Haykal? Trus ngapain kita tidur di sini? Emang gak ada kamar lain?” Tyas kedengaran shock.
Fanya langsung berbaring di atas tempat tidur dengan wajah penuh keletihan. “Gue gak suka tidur di kamar tamu. Katanya dari dulu emang kayak gitu. Eh, malah kebawa sampe pas amnesia gini . Mungkin karna kamar tamu jarang dipake kali, ya? Bawaannya horor, sih.”
“Eh, jadi ntar kita tidur sama Dokter Ita juga?” Tyas ikut berbaring di sebelah kanan sahabatnya.
“Iya juga, ya?” Fanya mendengus kesal. “Kenapa dia mesti tinggal di sini juga, sih? Ck!”
***
            “Fanya?”
Perempuan yang kini sudah mengenakan piyama bergambar chasper tersebut kontan menoleh. Memastikan penglihatannya sejenak, lalu... “Farhan? Kamu tinggal di sini juga?”
Farhan yang juga sudah mengenakan pakaian santai tersenyum tipis. “Iya, nih. Kebetulan banget.”
“Kebetulan apa kebetulan?” Sebuah suara muncul dari arah dalam rumah.
Fanya dan Farhan menoleh bersamaan. Kemudian mendapati lelaki tinggi berkulit kecoklatan sedang berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana kargo yang ia kenakan. Kacamata bening masih setia menghiasi kedua mata teduh miliknya.
“Saya shock banget loh denger kata kebetulan hari ini,” sindir lelaki yang tidak lain dan tidak bukan adalah Haykal tersebut. “Kebetulan gabung di acara penyuluhan ini, kebetulan satu bus sama Fanya, sampe kebetulan nginap di rumah saya. Kebetulan ternyata bisa datang terus-terusan ke kamu, ya?” lanjutnya dengan tatapan tajam. Tentu saja ke arah Farhan.
“Bukannya dunia ini emang penuh sama kebetulan, ya?” timpal Fanya. Ekor matanya melirik perempuan lain yang juga baru muncul dari dalam kamar.
Perempuan yang merupakan Dokter Ita itu menghentikan langkahnya tepat di sebelah Haykal. Dengan piyama putih bergambar teddy bear. Menghadap Fanya dan Farhan di depannya.
“Maksud kamu apa?” tanya Dokter Ita. Tersinggung akan kalimat terakhir yang didengarnya saat tiba di ruang tengah rumah Haykal.
“Gak pa-pa kok, Dok. Saya cuma ngomongin fakta tentang kebetulan,” balas Fanya. Ia berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Ekspresinya masih kesal. Mengingat bayang-bayang Dokter Ita di mobil Haykal siang tadi.
“Kamu kenapa? Sejak kapan cara bicara kamu jutek gitu sama dosen?” tegur Haykal. Merasa tidak enak hati atas sikap tunangannya barusan.
“Aku kenapa? Perasaan biasa aja, deh.”
“Fanya, cara bicara kamu itu dipelanin dikit. Kesannya gak sopan banget,” ucap Haykal lagi.
“Mau-mau aku, dong! Ini kan suaraku. Aku bukan putri keraton yang ngomongnya harus lembut terus!” seru Fanya, antara emosi dan frustasi.
“Fanya! Kamu tuh–”
“Dokter Haykal, gak pa-pa, kok.” Dokter Ita langsung menyela sambil memegang lengan kiri milik lelaki di sebelahnya.
Mata Fanya sontak dibuat melebar mendapati kejadian di depannya tersebut. What? Yang barusan itu... Haykal... Lebih ngebelain perempuan lain dibanding aku? geramnya dalam hati. Lalu buru-buru meninggalkan ruang tengah dengan segenap emosi.
“Fanya! Kamu mau kemana?” adalah teriakan terakhir dari Haykal yang ia dengar sebelum keluar dari rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar