Selasa, 19 Maret 2013

Remember Me #5 - Nikah?

Bukannya cinta juga harus diperjuangkan?



“Sayang, kamu masih marah?” Haykal mengetuk pintu kamar Fanya untuk ke sekian kalinya. Sudah hampir jam sepuluh malam dan tunangannya itu belum juga keluar kamar sejak pertengkaran mereka tadi siang.
Tidak ada suara.
Tok! Tok! Tok! Ia mengetuk pintu dengan tulisan ‘Girls Only!’ tersebut sekali lagi. “Fanya... Udahan dong marahnya. Aku kan udah minta maaf daritadi. Aku cuma gak mau perasaan kamu ke dia muncul lagi. Apalagi kamu kan belum inget apa-apa tentang aku. Emang salah, ya? Aku sayang sama kamu. Jelas aja aku cemburu.”
Hening.
“Kalo kamu udah gak marah, aku ada di depan kamar kamu, kok. Gak bakal kemana-mana sampe kamu keluar dan maafin aku,” tutup Haykal. Ia lalu duduk bersandar pada dinding di samping pintu kamar Fanya. Meluruskan kedua kakinya sembari melanjutkan beberapa tugas yang harus ia selesaikan pada laptop di pangkuannya.
***
            Sudah jam setengah dua belas malam. Fanya melekatkan telinganya pada daun pintu. Mencoba mendengar suara dari luar kamarnya. Suara ketikan pada keyboard laptop dan krasak-krusuk sudah menghilang dari sana. Dia udah tidur kali, ya? tanyanya dalam hati.
Ia pun memberanikan membuka knop pintu secara perlahan. Takut menimbulkan bunyi dan membuat sosok yang dihindarinya itu muncul kembali. Rasa lapar yang menguasai sistem pencernaannya sudah tidak dapat ditahan lagi. Dan satu-satunya jalan keluar menuju dapur adalah melalui pintu ini.
Saat pintu kamar terbuka lebar, suasana gelap langsung menyambutnya. Sepertinya Haykal lupa menyalakan lampu ruang santai di depan kamar mereka berdua.
“Auw,” ringis Fanya pelan. Ia nyaris tersandung ketika kaki kanannya menendang sesuatu di samping pintu kamarnya.
Klik! Ia langsung menyalakan lampu dengan telunjuk kirinya. Kemudian menemukan sesosok laki-laki berkaus putih dan celana pendek abu-abu sedang duduk berselonjor sambil menunduk. Laptop sedang dalam mode sleep di atas pahanya, terlihat dari lampu merah yang masih berkedip-kedip di bagian bawah.
Fanya berjongkok di samping tubuh Haykal. Menyadari bahwa lelaki tersebut sedang tertidur pulas. Kelihatan damai dengan gerakan bahu dan suara nafasnya yang teratur. Pelan-pelan, ia menutup laptop Haykal. Menaruhnya di lantai, dan menarik kacamata yang masih melekat di atas hidung tunangannya. Menatap mata teduh yang sedang dalam posisi terpejam itu. Dengan hidung mancung, bibir tipis, dan beberapa bulu halus di bawah hidung dan dagunya. Ganteng... batinnya tanpa sadar.
“Eh, aku mikir apa, sih? Ck!” gumamnya sembari geleng-geleng kepala. Lalu buru-buru berdiri dan berniat melanjutkan rencananya ke dapur. Namun tiba-tiba...
Sret! Sebuah tangan meraih jemarinya. Kemudian menariknya sampai berbalik ke belakang, dan langsung jatuh ke atas pangkuan lelaki yang sedang duduk di samping kamarnya tersebut.
“Ih, lo apa-apaan, sih?” Fanya langsung memberontak. Tapi tidak berhasil. Jemari Haykal menggenggamnya dengan erat.
“Gak bakal aku lepasin sebelum kamu mau maafin aku,” balas Haykal. Ia sengaja memajukan wajahnya ke arah Fanya. Mengintimidasi lebih dekat.
“Gak mau! Lo itu egois! Gue gak mau punya tunangan kayak lo!” Gadis dengan piyama shincan tersebut masih berusaha mengenyahkan tangan lelaki itu darinya. Sekuat tenaga dan hasilnya tetap sama. Tenaga Haykal lebih kuat.
Never. Sebelum kamu maafin aku. Aku kan udah jelasin alasanku daritadi. Jangan bikin kata-kataku jadi sia-sia, deh.”
Fanya langsung manyun. Sebenarnya, ia masih sebal. Bagaimana tidak? Perasaannya pada Farhan sudah terkubur sejak dulu. Apalagi ia dan Farhan berpacaran sewaktu mereka berdua masih kelas 1 SMP. Itupun jadian dan putus dengan tidak jelas. Mungkin karena saat itu mereka masih sama-sama labil.
“Kok diem? Mau maafin gak, nih?” tanya Haykal. “Kalo gak mau, aku cium, loh. Mumpung Ayah sama Ibu belum pulang. Mau?” sambungnya. Lengkap dengan seringai nakal.
Mata Fanya kontan membulat. Oh, no!
“Diem berarti iya, kan?” Kali ini, Haykal mengedipkan matanya berulang-ulang.
“Eh, jangan macem-macem, ya! Lo mau gue teriak? Hah?” ancam gadis itu.
“Emang kamu tega tunangan kamu dikeroyok tetangga? Ntar kamu dikira punya tunangan yang mesum, loh...” balas Haykal. Ia terus memajukan wajahnya mendekati wajah Fanya.
“Bukannya lo emang mesum, ya?” Fanya mencibir sembari tetap berusaha menjauhkan dirinya dari jamahan tunangannya itu.
Haykal cengengesan.
Kruuuk...
Suara barusan menghentikan cengengesan lelaki tersebut. Matanya langsung menatap lekat ke arah Fanya. “Itu... tadi...”
“Suara perut gue. Gue laper banget, tau! Lo sih pake acara nahan-nahan segala!” sungut Fanya. Bibirnya semakin manyun. Ia memegangi perutnya sendiri.
“Ya ampun, kenapa gak bilang daritadi, sih? Sana, cepetan makan!” Haykal langsung melepaskan cekalan lembutnya pada pergelangan tangan Fanya.
Tidak mau membuang kesempatan, Fanya kontan berniat berdiri. Namun usahanya gagal gara-gara...
CUP!
Haykal kembali mendaratkan ciuman singkat yang bertahan hampir satu menit di atas bibir tipis miliknya. Tidak berkembang. Hanya saling menempelkan bibir satu sama lain. Tanpa lumatan apalagi hal lain yang dilakukan pasangan tunangan pada umumnya.
Fanya masih terdiam sampai Haykal benar-benar bersandar kembali pada dinding dibelakangnya. Lalu beranjak menuju dapur.
“Sayang, sekalian bikinin kopi bisa, gak? Aku mau begadang. Masih ada tugas dari kampus yang belum kelar,” pinta Haykal setengah berteriak. Ia juga ikut berdiri dan melangkah menuju dapur. Menyusul Fanya.
“Hm...” Gadis itu hanya berdehem membalasnya. Terlalu sibuk dengan wajan di depannya. Ia berniat memanaskan sayur kangkung tadi siang.
“Sekalian nemenin aku begadang, ya! Mau, kan?” Tiba-tiba, Haykal sudah memeluk pinggang Fanya dari belakang. Sembari membisiknya dengan kalimat tadi. Menciptakan sensasi geli yang luar biasa di telinganya.
Fanya hanya bisa mengangguk pelan dengan mata terpejam. Menahan desahannya sekuat tenaga.
“Ya udah. Kalo gitu, aku tunggu di atas ya, sayang...” Haykal melenggang setelah mengecup daun telinga tunangannya tersebut.
“Sialan!” rutuk Fanya kesal. Bisa-bisanya aku masuk perangkap dia. Huh! Dasar! lanjutnya dalam hati. Kemudian mencomot nugget di atas meja makan.
***
            Reff ‘Call Me Maybe’-nya Carley Rae Jepsen memecah keheningan pagi itu.
Fanya mencoba meraih benda yang seingatnya ia taruh di meja samping tempat tidurnya. Berhasil. “Halo, assalamu alaikum...” sapanya dengan suara serak. Efek baru bangun tidur.
“Fanya? Kamu dimana, Nak?” Suara Ibu terdengar.
“Masih di kamar, Bu. Baru bangun. Ibu ngapain nelfon Fanya pagi-pagi gini?” Ia melirik jam weker di atas meja. Masih jam setengah lima subuh.
“Perasaan Ibu nelfon Haykal, deh. Bukan kamu. Tapi kok kamu yang angkat telfonnya, ya?”
Alis Fanya sontak menyatu. Nelfon Haykal? Ini kan handphone... Haykal? Ia semakin bingung saat menyadari benda yang sedang digenggamnya adalah smartphone touch screen milik lelaki itu. Kok bisa ada di kamarku?
Ia cepat-cepat menoleh ke samping kanannya. Dan... benar saja. Haykal berada di sana. Tidur bersamanya. Dalam satu ranjang. Di dalam kamarnya. “HAYKAAAAAL! NGAPAIN KAMU DI SINI?” soraknya seraya memukul-mukul lengan kekar tunangannya.
“Hm...” Haykal malah ngulet. Belum berniat membuka matanya sedikitpun.
“Halo? Fanya? Kamu kenapa? Haykal kenapa? Kalian gak macem-macem, kan? Suara Ibu terdengar khawatir di seberang sana.
Fanya kontan gelagapan. “Anu, Bu... Ini... Haykal... Haykal lagi... Lagi... Lagi...” Ia berdecak kesal karena tidak bisa menemukan jawaban yang tepat dan tidak membuat Ibu kena serangan jantung mendadak.
“Siapa?” lirih Haykal, juga dengan suara yang serak. Ia mencoba meraih Fanya ke dalam pelukannya.
“Ibu nelfon. Dia nanya kenapa kamu bisa ada di kamarku. Aku jawab apa, nih?” bisik Fanya. Berusaha sekuat tenaga agar Ibu tidak mendengarnya.
Mata Haykal yang tadinya masih terpejam, langsung melotot maksimal. Ia buru-buru merebut handphone-nya dari genggaman Fanya. “Assalamu alaikum, Bu. Kenapa?” tanyanya saat benda itu sudah menempel di telinga. Mencoba terdengar sebiasa mungkin.
“Haykal, kamu udah bangun?” tanya Ibu.
“Iya, Bu. Ada apa, ya?”
“Ibu mau nanya. Kamu bisa ke rumah sakit sekarang, gak? Ayah mau minta bantuan kamu nanganin pasiennya. Bisa?”
Haykal melirik jam dinding berbentuk chasper di kamar Fanya. Sebentar lagi, adzan subuh akan berkumandang. “Bisa, Bu. Tapi aku mandi dulu. Abis sholat subuh aku ke sana.”
“Ya udah. Makasih yah, Nak. Assalamu alaikum.”
“Wa alaikum salam,” balas lelaki yang masih mengenakan pakaiannya dari semalam tersebut. Kemudian kembali meletakkan handphone miliknya ke atas meja.
Fanya menatap lelaki itu dengan mata berkilat marah. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. “Ngapain kamu di kamarku?”
Haykal menyingkap selimut yang masih membungkus sebagian tubuhnya. “Semalem kamu ketiduran pas nemenin aku begadang. Jadi aku gendong kamu ke kamar, deh. Karena aku juga capek banget, jadi aku udah gak bisa jalan ke kamar lagi. Mending tidur di sini. Sama kamu.” Ia mengerling nakal ke arah tunangannya.
“Kamu gak ngambil kesempatan, kan?” tembak Fanya.
Haykal memandangi Fanya sejenak. Tersenyum menggoda. Lalu menjawab, “Enggak, kok.”
Gadis itu sontak menghela nafas lega.
“Dikit aja,” sambung Haykal seraya berlari keluar kamar. Menghindari amukan Fanya.
Buk! Sebuah bantal melayang bebas dan sukses mengenai kepala lelaki itu sebelum ia menghilang dari balik pintu kamar.
“SIALAAAAN!” teriak Fanya meluapkan emosinya.
Sementara tawa puas Haykal terdengar membahana dari luar sana.
***
            Fanya memasuki lorong rumah sakit. Di sampingnya, Haykal berjalan dengan gagah. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengannya yang melangkah penuh rasa gamang. Sesekali, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Beberapa suster terlihat sibuk mondar-mandir bersama dokter, dan ada banyak keluarga pasien di sana-sini. Membuat suasana rumah sakit tersebut semakin ramai.
“Selamat siang, Dokter...” sapa sebuah suara yang bahkan sudah dihafal Fanya.
“Siang, Dokter Ita,” balas Haykal. Ia menjabat tangan dokter cantik itu dengan senyuman hangat.
Ada sesuatu yang berdesir aneh di dalam dada Fanya saat melihat keduanya. Entah apa. Namun ia tetap menjabat tangan halus milik Dokter Ita saat wanita itu mengulurkan tangan ke arahnya.
“Gimana, Nya? Siap menangani pasien rumah sakit ini?” tanya Dokter Ita. Senyum manis tidak pernah luntur dari wajah mulusnya.
Fanya melirik Haykal sesaat. Kemudian menemukan kembali semangatnya saat lelaki berjas putih tersebut memberinya senyum menenangkan. Sembari mengelus lembut puncak kepalanya. Ia pun langsung mengangguk ke arah kedua dokter di depannya.
Ia menoleh lagi ke sekitar. Sepertinya beberapa temannya yang juga menjalani KKN di rumah sakit Bunda ini sudah datang. Jadi tidah butuh waktu lama lagi untuknya merasakan tugas sebagai dokter yang sesungguhnya. Walaupun ia ingin menjadi dokter umum yang mengabdikan diri pada desa terpencil dan memberikan pelayanan kesehatan yang memadai pada orang-orang tidak mampu, namun rumah sakit ibu dan anak yang lumayan terkenal ini juga merupakan tempat pembelajaran yang tidak buruk pastinya.
“Kamu kenapa, sih?” bisik Haykal saat rombongan mereka memasuki bagian dalam rumah sakit. Ia sengaja berjalan paling belakang dengan Fanya. Agar mahasiswa yang lain tidak merasakan keganjilan pada hubungan mereka yang bertingkah hanya sebatas ‘dosen-mahasiswi’.
Fanya menggeleng. Ia memasukkan kedua tangannya pada saku jas dokter yang ia kenakan. “Aku cuma gak nyangka aja kalo udah KKN gini. Gak kerasa.”
“Kirain kamu beneran serius gak suka di rumah sakit ibu dan anak ini,” balas Haykal.
“Salah satunya sih itu. Aku gak terlalu suka suara anak-anak. Bikin sakit kepala,” Fanya mengerucutkan bibirnya. Apalagi saat melihat seorang anak kecil berlarian mengelilingi tubuh mungilnya dan tubuh menjulang milik Haykal sambil tertawa-tawa.
“Bukannya anak kecil lucu, ya?”
Baru saja ingin menjawab, semua mata di depannya kontan menoleh. Seakan memintanya untuk bergabung. Ia pun buru-buru berjalan dan masuk ke dalam kerumunan teman-temannya.
Haykal menatap punggung gadis itu sambil geleng-geleng kepala. Lalu berbelok di ujung koridor rumah sakit Bunda. Bertemu dengan kepala rumah sakit tersebut.
***
            Haykal duduk di sebelah brankar tempat Fanya berbaring sembari memijat kepala tunangannya itu dengan lembut. “Kamu ini kenapa, sih? Masa cuma gara-gara ngurusin anak kecil yang kena typus aja kamu sampe pingsan gitu?”
Fanya melirik lelaki itu, kesesal. “Bukan masalah penyakitnya, Kal. Dia tuh iseng banget. Gak berenti ngomong. Aku lagi serius mau meriksa dia, eh dianya malah gak berenti gerak. Pake acara narik-narik rambut aku, lagi. Kamu tau kan aku gak suka banget kalo rambutku berantakan? Apalagi sama anak kecil yang bandelnya naudzubillah gitu. Amit-amit deh aku punya anak kayak dia,” cerocosnya panjang-lebar. Diakhiri dengan mengetuk nakas di samping brankar tiga kali.
Haykal tertawa sekilas. Ia mengusap kepala Fanya penuh rasa sayang. “Dimana-mana, yang namanya anak kecil itu pasti aktif, sayang. Itu kan waktunya mereka mengeksplorasi bagian di dalam diri mereka. Aku juga pernah baca di salah satu artikel kesehatan, anak kecil yang cenderung aktif itu bisa jadi tanda-tanda bahwa anak itu sehat dan memiliki IQ di atas rata-rata. Keren, kan?”
“Cih!” Fanya mencibir sesaat. “Pokoknya, aku benci banget sama anak kecil yang nakal. Titik!”
“Anak kecil itu gak ada yang nakal, sayang. Mereka cuma aktif.” Haykal menegaskan.
“Apapun namanya. Aku gak suka!”
“Eh, gak boleh gitu. Kalo ntar kita udah nikah dan punya anak, gimana?”
“Aku bakal ngajarin mereka biar sopan sama orang yang lebih tua. Supaya mereka bisa kalem dan jaga sikap. Kayak Mamanya. Mereka gak boleh terlalu dimanjain,” jawab Fanya mantap.
Haykal mengernyitkan dahinya. “Mamanya kalem? Dari mana, coba? Cerewet gitu...”
“Enak aja! Aku kalem, tau!” Gadis yang sejak pagi tadi mengenakan kemeja motif tribal dan rok panjang coklat polos tersebut sontak mencubit lengan sang dokter muda yang ganteng itu.
Haykal langsung meringis menahan rasa sakit seraya mengelus-elus lengan kanannya yang memerah.
Sedangkan Fanya yang masih terbaring dengan wajah pucat dan selang infus di tangan kirinya malah tertawa puas.
Di depan pintu kamar rawat tersebut, sepasang mata mengawasi mereka berdua.
***
            Fanya keluar dari kamar rawatnya setelah menghabiskan satu kantung cairan infus. Ia menolak menjalani rawat inap karena hal tersebut sudah sering ia alami jika anemia menyerangnya, atau ketika ia mencoba mengingat kenangan masa lalunya bersama Haykal.
Saat ia dan Haykal berbelok di koridor utama rumah sakit Bunda, mata Fanya tanpa sengaja menangkap sesosok laki-laki yang sangat dikenalnya. Sedang duduk di dekat meja resepsionis bersama seorang perempuan cantik. Keduanya sama-sama mengenakan jas dokter. Farhan dan Dokter Ita.
Namun Fanya memilih tidak menggubris. Ia bahkan meneruskan langkahnya tanpa berniat memberi tahu Haykal bahwa Dokter Ita dan Farhan sedang berada di rumah sakit yang sama dan asik mengobrol.
Tiba-tiba, handphone Fanya berbunyi. Dering ‘Call Me Maybe’ yang khas miliknya. Tapi kini, sang tunangan juga ternyata menggunakan ringtone yang sama. Entah apa maksudnya.
***
            “Hari ini mereka kayaknya deket banget,” komentar Dokter Ita. Ia mengakhiri tawanya tepat saat Fanya dan Haykal menghilang di tikungan lobby utama rumah sakit Bunda.
Farhan mengikuti arah pandangan perempuan cantik tersebut.
“Jadi gimana tawaran saya? Tertarik?”
Lelaki itu mengembalikan perhatiannya pada Dokter Ita. “Gak tau deh, Dok. Saya gak tega sama Fanya. Saya kan maunya dia bahagia. Itu aja.”
“Yakin? Saya malah gak mau kamu menyesal nantinya. Bukannya cinta juga harus diperjuangkan?”
***
“Halo. Assalamu alaikum, Bu...” sapa Fanya setelah melirik nama Ibu di layar handphone-nya dan meletakkan benda tersebut ke telinga kirinya.
“Fanya, kamu lagi dimana, Nak?” tanya Ibu.
“Baru mau pulang dari rumah sakit. Ibu kenapa?” Gadis itu memasuki mobil saat Haykal membukakan pintu untuknya. Lalu menaruh tas miliknya ke jok belakang.
“Ibu sama Ayah lagi di rumah, nih. Kamu cepetan pulang, ya! Kami mau ngobrol sama kalian, sekalian makan malem.”
Dahi Fanya kontan berkerut. “Tumben banget, Bu. Mau ngomongin apa, sih?”
“Tentang kalian berdua. Udah, ah. Kalian ke rumah aja. Hati-hati di jalan, ya! Assalamu alaikum.”
“Wa alaikum salam.”
Tut-tut-tut... Sambungan terputus.
“Ibu kenapa?” tanya Haykal sambil menyetir. Membelah padatnya kota di jam pulang kantor seperti ini.
“Gak tau. Katanya sih mau ngobrol sama kita berdua,” jawab Fanya sambil memasukkan handphone ke dalam tasnya.
“Ada apa, ya?” Lelaki itu bertanya-tanya sendiri.
Fanya hanya mengendikkan bahu. Tanda tak tahu.
Hening sesaat menyelimuti suasana di dalam range rover sport dengan warna silver metalik tersebut. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Apa jangan-jangan, ini ada hubungannya sama yang tadi pagi, ya? Pas aku ngangkat telfon Ibu di hape kamu,” tebak Fanya kemudian. Ia langsung menatap lelaki di sebelahnya dengan lekat. Wajahnya berubah cemas.
“Tapi pas aku ngobrol sama Ibu tadi pagi, dia gak ngungkit masalah itu, kok. Waktu aku mampir ke rumah sakit Ayah sebelum ke rumah sakit Bunda juga dia gak nanya apa-apa,” balas Haykal. Berusaha tenang.
“Mungkin aja mereka lupa. Trus baru inget pas kamu pulang. Dan mereka mutusin pulang ke rumah dan ngomongin ini ke kita. Iya, kan?”
Haykal terdiam sejenak. “Gak tau, deh. Kalo kita udah sampe, mereka juga bakal cerita, kok.”
“Ih, kok kamu bisa tenang gitu, sih?” gemas Fanya. Ia sudah duduk menghadap tunangannya itu.
Haykal meliriknya sekilas. Lalu kembali berkonsentrasi pada jalanan di depan. “Apa yang mesti ditakutin, sih? Kita kan gak ngapa-ngapain.” Ia masih kalem. “Atau jangan-jangan... Kamu malah mau kita bikin yang macem-macem gitu yah, sayang?” sambungnya. Lampu lalu lintas yang berubah merah melancarkan aksesnya untuk menggoda tunangannya.
Fanya yang menangkap sinyal mesum dari Haykal, langsung menghempaskan tubuhnya ke ujung jok. Jika seseorang membuka pintu mobil sekarang, ia pasti sudah terjatuh. “Kamu... Mau apa? Jangan... Macem-macem, ya!” ancamnya terbata-bata.
“Satu macem aja kok, sayang...” Haykal semakin memajukan tubuhnya ke arah gadis itu. Sampai melewati tongkat porseneling.
Fanya membatu. Tak tahu harus berbuat apa. Ingin berteriak, lidahnya kelu. Ingin memberontak, tangannya beku. Ingin membalas, namun hatinya belum memperoleh rasa yakin. Akhirnya, ia hanya memilih memejamkan mata. Sembari berdoa di dalam hati agar pikiran-pikiran Haykal segera tergantikan dengan yang lebih suci.
Ia bahkan sudah menghafal aroma nafas mint dari lelaki itu saat menerpa wajahnya. Cukup menambah keyakinan bahwa wajah Haykal sudah semakin dekat. Ketika hidung mereka nyaris bersentuhan, tiba-tiba...
“Tiiiiiin! Tiiiiiiiin! Tiiiiiiiiiiiiiiiin!!!” Klakson kendaraan berseruan dari arah belakang mobil Haykal. Bahkan ada beberapa pengendara motor yang mengetuk-ngetuk jendela semi riben mobil ini.
Fanya sontak membuka keduanya. Kemudian menghela nafas lega saat menyadari Haykal sudah kembali pada posisi semula dan buru-buru melajukan mobilnya. Sebelum orang-orang itu melempari mereka.
“Makanya, gak usah ngambil kesempatan di tengah jalan kayak gini. Rasain, tuh!” ujar Fanya seraya memeletkan lidah pada tunangannya.
Haykal hanya mampu menggaruk tengkuknya sambil mesem-mesem menahan malu.
***
            Makan malam bersama beberapa menit yang lalu adalah makan malam paling mencekam yang pernah Fanya rasakan. Penuh keheningan. Hanya suara dentingan sendok dan garpu beradu dengan piring dan kunyahan dari mulut mereka masing-masing yang terdengar. Ditutup oleh suara kerongkongan yang berusaha mencerna minuman yang tersedia.
Dan di sinilah ia sekarang. Ruang tengah rumahnya bersama Ayah, Ibu, juga Haykal. Kedua orangtuanya duduk di sofa yang menghadap pada sofa lain yang sekarang diduduki Fanya dan Haykal. Seakan siap melakukan sidang.
“Ehem,” Ayah berdehem. Tanda beliau akan memulai kalimatnya. “Apa kalian udah tau apa alasan Ayah sama Ibu ngajak kalian ngomong di rumah?” lanjutnya.
Fanya dan Haykal saling pandang. Lalu menggeleng bersamaan.
“Ayah tanya sama kamu dulu, Nak. Apa kamu udah inget tentang Haykal?” Ayah bertanya ke arah putri semata wayangnya.
Fanya menggeleng lagi. “Tapi beberapa hari yang lalu, aku sempat mimpi pas dia dateng dan sosialisasi kesehatan di sekolahku. Yah, kayak gitulah pokoknya.”
“Bener?” tanya Ibu.
Fanya mengangguk pelan.
“Sekarang, Ayah mau tanya sama Haykal. Gimana perasaan kamu ke Fanya? Kamu masih sayang sama dia, kan?” Ayah kembali bertanya.
“Iya, Ayah. Aku masih sayang sama Fanya. Dari dulu, sampai sekarang. Bahkan, rasa sayangku malah semakin besar,” jawab lelaki yang sudah berganti pakaian dengan kaus rumah dan celana pendek itu. Mantap.
Ayah mengangguk sekilas. “Oke. Jadi gimana menurut kalian kalo pernikahan kalian berdua dipercepat saja?” sambungnya seraya membetulkan letak kacamata di atas hidung mancungnya.
“WHAT?” Mata Fanya melotot maksimal.
Haykal ikut-ikutan melotot. Tubuhnya menegang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar