Kamis, 14 Maret 2013

Remember Me #2 - Amnesia

AMNESIA

Don't you remember, the reason you loved me before?



Fanya melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa. Menyusuri koridor-koridor dari lantai tiga hingga lantai satu gedung fakultasnya. Berharap luput dari pandangan seseorang yang sangat dihindarinya saat ini.
            Saat sudah sampai di parkiran, ia menyempatkan diri menoleh ke tempat Haykal memarkirkan mobilnya tadi pagi. Nihil. Mobil Haykal sudah menghilang. Padahal, bisa dipastikan lelaki itu tidak akan membiarkan Fanya menghindarinya. Tapi akhirnya, Fanya tersenyum lega juga. Tanpa sadar, langkahnya berubah pelan.
            “Tiiiiiiiinnnnnnnnnn!!!” Bunyi klakson mobil yang melengking tinggi sontak mengagetkan Fanya yang sedang berjalan ke arah jalan raya di depan kampus.
            Baru berniat mengomel panjang lebar sambil mengelus dada, ia langsung bungkam.
            “Kenapa? Kaget?” tanya sesosok lelaki yang baru saja turun dari mobil tersebut. “Kamu mau kemana? Daritadi keliatan buru-buru banget. Mau kabur?” lanjutnya. Ia berjalan mendekati  Fanya. Hingga jarak mereka tinggal beberapa sentimeter lagi.
            “Gue bisa pulang naik taksi,” tukas Fanya. Ia memeluk erat-erat buku di genggamannya.
            “Siapa bilang kamu boleh pulang naik taksi?” balas lelaki yang tidak lain dan tidak bukan adalah Haykal tersebut.
            “Siapa bilang lo berhak ngelarang gue? Emangnya lo siapa?” Fanya tak mau kalah. Matanya sudah siap meloncat ke arah lelaki itu.
            “Who am I? Aku kan tunangan kamu, sayang. Aku harus ngomong berapa kali, sih? Hah?”
            “Gue gak kenal sama lo. Bisa gak sih lo jauh-jauh dari gue? Gue gak mau kehilangan semua ingatan gue, tau gak!”
            Haykal memandangnya sejenak. Lelaki itu menghela nafas panjang sebelum berkata, “Never, Nya. Gak bakalan. Aku udah cukup kesiksa selama hampir tujuh tahun ini. Apa kamu gak mikir gimana perasaanku kalo harus jauh dari kamu lagi?”
            Mendengar kalimat yang dilontarkan dengan lembut tersebut, Fanya sontak menunduk. Matanya menatap lurus ke arah flat shoes yang dikenakannya hari ini. Tanpa berniat membalas kata-kata Haykal lagi. Sibuk berjibaku dengan isi pikirannya sendiri.
            “C’mon, aku mau nganter kamu pulang. Kebetulan aku juga lagi istirahat makan siang. Aku mau makan siang di rumah. Sama kamu,” Haykal mengulurkan tangannya ke arah perempuan itu. Namun saat Fanya hanya mematung, ia pun meraih jemari kanannya. Menggenggam, lalu menuntunnya menuju pintu mobil.
            Yang ditarik hanya menurut. Tidak ada pilihan lain.
            Tidak jauh dari tempat mereka berdua sempat berdebat, berdiri seseorang. Dengan kemeja putih polos dan rok panjang bermotif garis vertikal putih-pink. Penuh kecurigaan dan tanda tanya. Milik Tyas. “Tunangan?” Tanpa sadar, ia bergumam sendiri di tengah keramaian.
***
            Fanya yang baru saja keluar dari kamarnya sontak tertegun saat tubuhnya hampir bertabrakan dengan sesosok tubuh atletis yang juga keluar dari pintu di depan kamarnya. Tubuhnya kembali ia hempaskan ke belakang. Shock.
            “What do you do here?” sorak Fanya. Telunjuknya mengacung ke depan batang hidung mancung di hadapannya.
            “Hei, aku tinggal di sini, tau! Amnesia kamu makin parah, ya?” balas Haykal. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana pendek yang ia kenakan sekarang.
            Tinggal di sini? Iya, ya? Kemarin kan Ibu udah cerita. Huh! batin Fanya.
            “Udah inget?” Haykal memajukan wajahnya ke arah Fanya.
            Sontak, Fanya mundur. Tidak siap dengan serangan mendadak dari lelaki di depannya ini. Apalagi, tatapan Haykal membuatnya ngeri.
Duk!
            Seringai Haykal semakin menjadi saat menyadari tubuh Fanya kini sudah stuck karena tembok di belakangnya. Ia menikmati ekspresi ketakutan perempuan itu. Sama seperti wajah yang selalu dipasangnya setiap melihat cacing, ular, atau reptil lainnya.
            “Jangan macem-macem! Kalo enggak, gue bakal teriak! Minggir lo!” ancam Fanya. Matanya melotot maksimal.
            Haykal malah menghabiskan jarak antara mereka. Sehingga hidung mereka pun hampir bersentuhan saat ini.
            “Lo... Lo... Lo mau apa?” Fanya seakan kehilangan semua keberaniannya.
            “Kenapa, Nya? Bukannya kamu mau teriak?” balas Haykal. Nafasnya terasa dengan jelas di permukaan wajah Fanya. “Silakan aja. Rumah ini kan lagi kosong. Ayah sama Ibu ada tugas di rumah sakit.”
            “Hah?” Gak mungkin! Kok Ayah sama Ibu gak pamit sama aku? Mampus, nih! Bisa habis aku kalo cuma berduaan sama laki-laki gila yang ngaku-ngaku tunanganku ini!
            “Gak jadi teriak, sayang?” tanya Haykal lagi. Ia tersenyum penuh kemenangan.
            “Lo jangan macem-macem, ya! Gue bisa lapor polisi! Gue bisa ngasih tau Ayah sama Ibu kalo lo ngelakuin tindakan pelecehan sama gue. Gue juga bakal lapor pihak kampus tentang apa yang lo perbuat ke mahasiswi lo sendiri!” ancam Fanya. Matanya merem-melek. Berusaha menghindari tatapan tajam milik Haykal.
            “Kamu mau ngelapor apa? Kamu mau ngomong kalo calon suami kamu kurang ajar, gitu? Hah?” Haykal tertawa pelan. Kedua telapak tangannya ia tempelkan ke dinding tempat Fanya bersandar. Mengurung perempuan itu di dalam rengkuhan tangannya.
            Sial! Kenapa aku keliatan konyol gini, sih? Slow, Fanya... Slow... “Mau lo apa, sih?” Ia terlihat putus asa. Tubuhnya tidak lagi menegang. Walaupun nafas dan aroma tubuh Haykal masih setia menguasai indra penciumannya.
            “Kamu gak nyesel nanyain kemauanku?” Lelaki itu mengerling nakal. “Aku mau ngulang semua hal yang dulu sering kita lakuin. Yah, kamu pasti tau kan apa aja itu? Kita udah mau nikah, loh. Jadi semuanya wajar aja, kok.”
            Fanya langsung shock. “Maksud lo? Eh, gue kasih tau, ya! Gue itu gak inget lo siapa. Jadi gak mungkin kalo gue mau–”
            Cup!
Sebuah ciuman kilat mendarat di bibir mungil milik Fanya. Sukses membuatnya bungkam.
            Sedangkan Haykal, sang pelaku memilih melepaskan kurungan tangannya dan melenggang santai meninggalkan Fanya yang masih menganga atas kelakuannya barusan.
            “HEH! SIALAN LO, YA! MAKSUD LO APA NYIUM GUE SEENAKNYA GITU? LO PERNAH DIAJARIN SOPAN SANTUN GAK, SIH?” sorak Fanya. Kedua tangannya terkepal di samping tubuh. Mencoba menahan amarah.
            Haykal yang berniat menuruni tangga, langsung menghentikan langkahnya. Berbalik, kemudian menatap Fanya. “Sssttt, calon istri yang baik harus kalem. Kamu nih amnesianya bener-bener parah. Sampe lupa gimana cara ngomong sama calon suami sendiri,” ucapnya.
            Fanya spontan melongo dibuatnya!
***
            “Aaaarrrrggggghhhhhhhh...” Fanya berteriak histeris di dalam kamar. Semua bantal yang tersusun rapi di atas tempat tidur sudah berserakan akibat lemparannya. Dan itu semua karena satu nama. Haykal Pradipta Saputra.
            “Aku kena kutukan apa sih, ya Allah? Kenapa hidupku yang tenang, tentram, dan damai ini jadi berantakan gara-gara lelaki gak jelas itu? Aaarrrggghhhh...” Untuk ke sekian kalinya, ia histeris lagi. Kali ini, rambut panjangnya yang indah bahkan ia remas saking stressnya.
            Fanya langsung mendekati meja belajarnya. Memandangi sebuah bingkai foto yang bertengger manis di sana. Foto dengan dirinya dan seorang lelaki. Tangannya bahkan bergelayut manja di dalam lengan lelaki itu. Lelaki yang tidak lain dan tidak bukan adalah Haykal.
Pandangannya lalu ia alihkan ke arah bingkai foto yang lebih besar di atas tempat tidur. Foto yang memuat dirinya dan Haykal dalam balutan busana formal sambil memperlihatkan cincin yang tersemat di kedua jari manis mereka. Lengkap dengan senyum lebar.
Hampir di setiap sudut kamarnya sudah dipenuhi bingkai-bingkai foto beraneka macam –hasil bujukan Ayah dan Ibu agar Fanya lebih mudah mengingat masa lalunya– yang memperlihatkan kemesraannya dengan lelaki itu. Lelaki yang tiba-tiba muncul di kehidupannya. Mengubah hidupnya yang putih menjadi lebih berwarna. Bukan dengan kegembiraan, namun dengan kerusuhan.
“Gak mungkin! GAK MUNGKIIIINNN!!!”
***
            Haykal tertawa geli saat mendengar teriakan-teriakan dari lantai atas. Tepatnya dari kamar Fanya. Sebenarnya, ia ingin kembali memasuki kamar tunangannya itu dan menggodanya seperti tadi.
            Tetapi ia langsung mengingat aksinya di depan kamar mereka berdua beberapa menit yang lalu. Saat ciuman kilat itu berlangsung. Saat alam bawah sadarnya hampir menuntunnya ke gerakan yang ‘lebih berani’. Saat mereka berdua hampir melakukan kebiasaan mereka dulu. Dan untungnya, ia segera sadar dan mengenyahkan pikiran itu jauh-jauh.
            “Fanyaaa, kamu kenapa, sayang? Ada yang bisa aku bantu? Kalo ada, aku ke kamar kamu sekarang,” teriak Haykal dari atas sofa ruang tengah yang menghadap ke televisi di depannya.
            Hening sesaat.
            Haykal mengerutkan dahi. Ia lalu berdiri, berniat ke kamar Fanya untuk memastikan tunangannya itu baik-baik saja. Namun baru berbalik ke belakang, tiba-tiba... Buk!
            “Auw!” ringis lelaki yang memakai kaos rumah dan celana pendek tersebut sambil mengelus dahinya.
            “Rasain tuh! Makanya jangan main-main sama gue!!!” sorak Fanya seraya berkacak pinggang. Tawanya pun meledak memandangi bantal dari kamarnya yang tergeletak di sebelah kaki Haykal. Bantal yang sukses mencium dahi lelaki itu akibat lemparannya dengan penuh emosi tadi.
            “Kamu tega banget sih sama aku? Kepalaku sakit, tau.” Bibir Haykal manyun. Tangan kanannya masih menempel di keningnya sendiri. Kemudian melangkah mendekati Fanya sembari terus berusaha menyembunyikan seringai mencurigakan miliknya.
            “Lo–lo mau ap–apa?” Fanya langsung gelagapan melihat tingkah Haykal yang tiba-tiba mendekatinya. Ia pun mundur ke belakang. Ke arah anak tangga yang baru saja dilewatinya saat melempari kepala lelaki itu dengan bantal.
            “Kamu harus ngobatin aku, dong. Masa lempar bantal sembunyi tangan gitu? Tega banget sama tunangan sendiri,” sungut Haykal. Langkahnya semakin lebar mendekati Fanya.
            Mendapat serangan mendadak, malah membuat kaki Fanya semakin kaku. Bukannya berlari kembali ke kamar, ia tetap melangkah mundur. Hingga... Duk! Kedua kakinya terantuk anak tangga paling bawah. Yang sukses membuatnya jatuh terduduk di lantai.
            “Loh, kamu kenapa, sayang? Jalannya gak liat-liat, sih. Sini aku bantuin,” Haykal sontak menyodorkan tangan kanannya ke depan wajah Fanya.
            Perempuan itu bergeming. Masih shock.
            Karena tidak mendapatkan respon apa-apa, Haykal malah membungkuk. Lalu meletakkan satu tangannya di punggung perempuan itu, sedangkan tangan yang lain di belakang lututnya. Meraih tubuh Fanya dan menggendongnya menaiki tangga.
            “EH, LO APA-APAAN, SIH? GUE BISA JALAN SENDIRI! LO BENER-BENER GAK SOPAN, YA! TURUNIN GUE! TURUNIIIIINNN!!!” Fanya memberontak di dalam dekapan Haykal. Kakinya ia gerakkan sekuat tenaga agar lelaki itu menurunkannya. Kedua tangannya juga memukul-mukul dada Haykal.
            “Aku bakal turunin, kok. Tapi di atas tempat tidur kamu,” balas Haykal. Kalem. Senyum manis masih menghiasi wajahnya. Sepertinya ia sudah melupakan rasa sakit yang sempat mendera dahinya.
            “WHAT? NGAPAIN DI KAMAR GUE? LO MAU NGAMBIL KESEMPATAN LAGI, YA? TURUNIN SEKARAAAAANG!!!”
            DUK! BRUK!
“Auwww!!!” sorak Fanya sambil mengelus lengan dan pantatnya yang mendarat dengan sukses di atas tempat tidur. Walaupun spring bed miliknya empuk, tapi ia tetap merasa nyeri.
“Sakit, kan? Padahal ini udah di atas tempat tidur, loh. Gimana kalo tadi aku nurunin kamu di depan kamar? Mau?” Haykal melipat kedua tangannya di depan dada.
Fanya hanya mendengus. Masih sambil mengelus bagian tubuhnya yang nyeri. Tidak mengacuhkan keberadaan Haykal di sana.
Haykal langsung ikut duduk di sebelah Fanya. Menatap tunangannya itu dengan prihatin. “Mananya yang sakit? Sini aku bantu pijitin,” ucapnya, tulus.
“Gak usah! Lo pikir gue gak tau akal bulus lo yang mesum itu?” tolak Fanya mentah-mentah. “Ngapain lo duduk di atas tempat tidur gue? Gak sopan banget! Minggir!” Ia menendang tubuh lelaki di sampingnya tersebut sekuat tenaga. Walaupun sebenarnya tidak membuahkan hasil karena Haykal yang jelas-jelas lebih kuat daripada dirinya.
“Berisik banget, deh. Biasanya juga kita tidur bareng,” balas lelaki itu, santai.
“WHAAAAAAT?” Fanya asli shock. Tubuhnya yang ia yakini masih ‘bersih’jelas tidak mungkin telah terjamah oleh lelaki. Apalagi laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali.
Haykal tidak menggubris. Ia malah membaringkan tubuhnya di sisi Fanya. Menghadap ke arah gadis itu dengan tangan kiri sebagai penyangga kepala. Lengkap dengan senyum manis yang bisa membuat siapapun terpanah. “Apa kamu mau aku ingetin gimana cara kita ngehabisin waktu berdua dulu?”
Dahi Fanya sontak berkerut. Tidak mengerti.
Haykal tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Ia bergeser mendekati Fanya yang duduk di sebelahnya. Menarik jemari perempuan itu untuk ikut berbaring di sampingnya.
Saking kagetnya, Fanya hanya menurut. Tanpa curiga apalagi teriakan histeris seperti biasanya. Namun saat ia menyadari jarak antara dirinya dan Haykal sangat dekat –apalagi di atas ranjang berdua– kontan membuatnya kelabakan.
“Eittt, mau kemana, sayang?” Haykal buru-buru mencekal tangan Fanya ketika perempuan itu berniat bangkit dan membuatnya kembali telentang di sebelah Haykal. “Kamu lupa yah kalo aku tinggal di sini buat ngebantuin kamu nginget semua tentang kita?”
Deg! Fanya merasa jantungnya berhenti berdetak. Mendengar suara lembut milik Haykal dan menikmati aroma mint dari nafasnya. “Lo jangan macem-macem sama gue!” ancamnya. Suaranya tercekat di tenggorokan gara-gara ulah Haykal.
“Enggak, kok. Cuma satu macem aja,” balas Haykal. Ia terus mendekatkan wajahnya. Hingga hidung mancungnya menempel di hidung milik Fanya.
Fanya membeku. Seluruh saraf di dalam tubuhnya seakan tidak berfungsi menerima perlakuan seperti itu. Terkunci di dalam tatapan Haykal. Mematung karena aroma nafas segarnya. Tenggelam dalam wangi tubuhnya.
Haykal menikmati permainan yang ia lakoni. Hingga ia menyadari Fanya semakin pasrah. Bukannya melawan seperti biasa, perempuan itu malah memejamkan mata saat bibir mereka sudah nyaris bersentuhan. Dan bukannya melakukan apa yang ia inginkan sedari tadi, Haykal malah meniup anak rambut yang berantakan di sekitar dahi tunangannya tersebut.
Fanya sontak membuka mata. Dahinya sukses dibuat berkerut. Mata bulatnya menatap Haykal yang masih setia berbaring di sebelahnya. Lekat.
“Kenapa?” tanya Haykal.
Fanya menggeleng. Ia merutuki Haykal di dalam hati. Mengutuk dirinya yang sudah sangat bodoh bisa masuk ke dalam perangkap lelaki itu. Tanpa sadar, ia mendengus kesal. Mengalihkan pandangannya, lalu menyetel wajah cemberut.
“Kamu pasti kecewa kan karna aku gak nyium kamu?” Haykal tersenyum menggoda sembari mengerlingkan matanya.
“WHAT? YOU WISH!!!” balas Fanya. Ia kemudian bangkit dari tempat tidur.  “Mending lo buruan keluar dari kamar gue. gue gak mau kamar gue terkontaminasi sama badan lo!” lanjutnya. Lalu meninggalkan kamar. Tidak mau berlama-lama berurusan dengan lelaki itu.
Di dalam kamar, Haykal malah tergelak sambil geleng-geleng kepala melihat wajah merah Fanya beberapa saat yang lalu. “Bahkan pas kamu amnesiapun, kamu tetep berhasil bikin aku tergila-gila,” lirihnya seraya meninggalkan kamar bernuansa putih tersebut.
***
“Kalo gue jadi lo, gue gak bakal sia-siain Dokter Haykal. Masa lo gak naksir dia sedikitpun, sih?”
Suara Tyas membuat Fanya menghentikan kunyahan sandwich miliknya di dalam kelas. “Gue gak suka sama dia, Yas. Dia itu dateng tiba-tiba trus sok akrab banget sama gue. Gimana gue gak risih?”
“Itu kan karna dia tunangan lo, Nya. Ya jelas aja dia akrab. Apalagi kalian kan udah tunangan dari SMA.”
“Tapi gue gak inget sama dia, Yas. Gue gak nyaman aja sama sikap dia. Gue masih ngerasa asing,” Fanya menunduk. Menatap sepasang flat shoes putih yang ia kenakan hari ini.
“Emangnya lo bener-bener gak inget apapun sama dia? Atau perasaan lo jadi beda gitu pas di deket dia?”
Fanya menggeleng pelan.
“Bukannya kata Dokter Alan, penderita amnesikayak lo masih bisa ngerasain sesuatu yang berkaitan sama hal-hal yang lo lupain itu?” tanya Tyas. Mengingatkan pembicaraan mereka berdua dengan salah satu dosen beberapa hari yang lalu mengenai jenis amnesia yang diderita Fanya.
Fanya mengendikkan bahu. “Gak tau juga. Tapi sampe sekarang, gue belum ngerasain apa-apa. Inget apalagi.”
“Kasian banget yah Dokter Haykal,” ujar Tyas. Matanya menerawang.
“Eh, lo mestinya kasihan sama gue! Kan gue yang amnesia. Ngapain ke Haykal?” sewot Fanya. Ia melempari wajah Tyas dengan sepotong roti.
Tyas tertawa sesaat. Baru berniat membalas sahabatnya, sang tokoh utama perbincangan mereka sudah muncul di pintu ruangan.
***
            “Selamat pagi, adik-adik...” sapa Haykal sembari melangkah memasuki ruang kelas. Senyum manis menghiasi wajahnya yang disetel penuh wibawa.
“Pagi, Dokter...” balas seisi kelas kompak. Kecuali Fanya yang memilih bergeming.
Haykal melirik Fanya yang membuka diktatnya dengan ogah-ogahan. Lalu tersenyum tipis. “Baiklah, hari ini kita akan membahas masalah trauma akibat kecelakaan.” Ia menulis materi kuliahnya besar-besar di whiteboard.
“Apakah ada yang pernah mengalami kecelakaan di sini? Sampai trauma, mungkin?” Haykal membalikkan tubuhnya ke arah mahasiswa-mahasiswi yang duduk menghadap ke arahnya di depan kelas.
“Fanya, Dok!” sahut Tyas cepat sambil menunjuk wajah perempuan yang duduk di sampingnya.
Yang ditunjuk langsung sewot. Memandangi sang pelaku dengan sorot membunuh. Membuat Tyas hanya membalasnya dengan cengiran lebar dan dua jari yang mengacung ke udara. Melambangkan tanda damai.
“Saudari Zefanya Karenina Irawan, bagaimana rasanya mengalami kecelakaan sampai trauma seperti yang diucapkan Saudari Tyas Anggraeni?” tanya Haykal. Ia memang terkenal sebagai dosen yang suka memanggil mahasiswanya dengan nama lengkap. Biar gampang membedakan, katanya.
Seisi kelas langsung menoleh dan menatap Fanya. Yah, mereka semua memang sudah mengetahui tentang insiden kecelakaan yang menimpa perempuan itu beberapa tahun yang lalu. Namun baru sepekan terakhir ini berita amnesia Fanya merebak.
Fanya menghela nafas panjang. “Biasa aja,” jawabnya singkat.
Haykal mengerutkan dahinya. “Biasa? Apa kamu gak tersiksa sama trauma yang kamu alami pasca kecelakaan?”
Fanya menggeleng. “Menurut saya, trauma yang saya alami tidak mengganggu sama sekali. Tapi setelah kehadiran seseorang dari masa lalu, kehidupan saya jadi terusik dan saya dikhawatirkan mengalami trauma yang lebih buruk,” tandasnya. Ia memandangi Haykal, penuh arti.
“Jadi begitu? Apa kamu tidak memiliki keinginan untuk sembuh dari trauma itu? Kamu mau berusaha, bukan?”
Baru saja Fanya membuka mulutnya, Haykal sudah berbalik menghadap whiteboard dan menulis beberapa sub bahasan mata kuliahnya hari ini. Membuat perempuan itu berkali-kali menyumpahinya di dalam hati.
“Untuk itulah materi ini hadir. Menyembuhkan trauma hebat akibat kecelakaan,” jelas Haykal setelah menuliskan kalimat tersebut di papan tulis.
Fanya mendengus kesal. “Gue kan gak trauma. Gue cuma amnesia. Dasar dokter gila!” gerutunya dengan nada seminimal mungkin.
“Husss!” desis Tyas. Mencoba menghentikan omongan sahabatnya sebelum menjadi lebih panjang dan kembali mengundang kehadiran Dokter Haykal di dekat mereka.
***
            “Kamu udah gak ada kuliah lagi?”
Untuk kedua kalinya hari ini, aktifitasnya dalam mengisi perut terganggu oleh dua orang sekaligus. Pertama Tyas. Dan sekarang... Haykal.
“Ngapain lo– Eh, maksudnya Dokter ada di sini?” tanya Fanya. Mencoba bersikap sopan. Mengingat sekarang mereka berada di kantin Fakultas Kedokteran.
Sebenarnya, para dosen tidak mungkin berada di dalam kantin ini. Karena mereka sudah difasilitasi sedemikian rupa dengan paket delivery. Maksudnya, saat dosen-dosen tersebut sedang lapar, mereka tinggal menelepon pihak kantin dan menunggu sampai salah satu petugas datang membawakan mereka pesanan yang diinginkan. Itulah sebabnya Fanya heran akan kemunculan Haykal yang notabene adalah dosennya.
“Pengen nanya aja. Kamu udah gak ada kuliah?” Lelaki itu mengulang pertanyaannya.
Fanya berpikir sesaat. Lalu mengangguk.
“Ya udah. Aku juga udah gak ada jadwal ngajar. Kita pulang sekarang,” ajak Haykal sambil meraih jemari Fanya ke dalam genggamannya. Kemudian menuntun tunangannya tersebut berdiri. Mengikuti langkahnya.
“Tapi gue– Maksudnya saya lagi nungguin Tyas. Kami mau ke toko buku.” Fanya menahan tangannya yang digenggam erat oleh Haykal.
“Ntar aku yang temenin. Sms Tyas aja. Trus ngomong kalo kamu pulang duluan bareng aku,” balas Haykal sambil menarik Fanya agar menurutinya.
Fanya pasrah. Bukan karena sudah berdamai dengan Haykal. Namun ia tidak mau menjadi bahan tatapan dan objek bisikan seluruh pengunjung kantin saat ini.
“Lo lupa yah sama kesepakatan kita?” desis Fanya penuh emosi. Tepat di telinga Haykal yang berdiri di sampingnya.
“Kesepakatan apa?” Haykal balik bertanya. Entah lupa atau hanya pura-pura. Ia bahkan masih menggenggam tangan kanan Fanya dalam perjalanan dari kantin menuju ke area parkir Fakultas Kedokteran. Mengacuhkan tatapan menyelidik orang-orang yang mereka lewati.
“Lo beneran bego, ya? Gue kan udah bilang, gue mau pulang sama pergi ke kampus sama lo asal lo gak ngedeketin gue di sini! Gue gak mau ditanyain macem-macem sama anak kampus gara-gara deket sama dosen tukang tebar pesona kayak lo!” bentak Fanya. Untung mereka sudah sampai di area parkir dan suasana sangat sepi. Mungkin karena sekarang sudah masuk jam kuliah setelah istirahat makan siang.
“Siapa yang tukang tebar pesona?” tanya Haykal. Dahinya berkerut. Antara merasa heran dan geli.
“ELO! Siapa lagi?”
“Bukannya karena aku emang mempesona, ya?”
“YOU WISH!” Fanya memanyunkan bibirnya. Ia masih berusaha sekuat tenaga melepaskan geggaman kuat Haykal dari tangannya. Tapi tidak juga berhasil.
“Kamu bisa gak sih nurutin aku sedikit aja? Jangan suka ngebantah gini. Ntar kalo kita udah nikah, kamu bisa dosa loh ngelawan suami terus,” ujar Haykal. Memasang wajah seriusnya.
“SIAPA YANG MAU NIKAH SAMA LO? JANGAN NGIMPI DEH!!!”
“Husss! Berisik banget! Ntar kalo didenger sama pihak kampus, kamu bisa di-skors, sayang. Kamu lupa kalo sekarang kita lagi di parkiran khusus dosen?”
Fanya sukses dibuat mingkem karena kalimat barusan.
Haykal tersenyum puas di sebelahnya. Lelaki yang siang ini mengenakan kemeja biru muda dan celana katun hitam tersebut membuka pintu mobil untuk Fanya setelah bunyi alarm terdengar.
Fanya menurut. Ia memasuki mobil, menaruh tas putihnya ke jok belakang, lalu duduk anteng menunggu Haykal.
Ia melihat sosok Haykal yang tadinya berjalan memutari bagian depan mobil, ke arah pintu pengemudi di sampingnya. Namun langkah lelaki itu berhenti setelah sebuah suara meneriakkan namanya.
Fanya terus memandangi Haykal yang berjalan menghampiri seseorang yang membuatnya mengurungkan niat memasuki mobil tersebut. Seorang perempuan muda lengkap dengan jas dokter yang kini berdiri di tepi area parkir. Seseorang yang dikenal Fanya sebagai Dokter Ita. Dosennya saat semester tiga dulu sekaligus dokter di salah satu rumah sakit swasta di kota ini.
Ngapain Haykal ngobrol bareng Dokter Ita? Sambil ketawa-ketawa, lagi! Sok akrab banget. Perasaan Haykal belum sebulan ngajar di kampus ini, batin Fanya dengan dahi berkerut. Loh, ngapain aku musingin urusannya Haykal, sih? Kurang kerjaan banget!
Ia lalu memilih mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan sms pada Tyas. Memberitahu bahwa ia pulang duluan bersama Haykal. Walaupun pandangannya terus mengamati Haykal dan Dokter Ita yang masih asik mengobrol sembari tertawa-tawa –dari dalam mobil–.
***
“Kamu nunggu kelamaan, ya?” tanya Haykal saat ia baru saja menyalakan mesin mobil.
Fanya bergeming. Tetap menekan tombol-tombol di handphone-nya bergantian. Tanpa memedulikan sosok laki-laki dengan jas dokter di sebelahnya.
“Tadi aku sama Dokter Ita cuma ngobrolin masalah rumah sakit, kok. Gak lebih,” ujar Haykal. Mencoba menjelaskan seraya menyetir mobil ke luar area kampus.
“Gue gak nanya. Lagian gak penting banget, deh.”
Laki-laki tersebut melirik Fanya sekilas. “Kamu gak cemburu, kan?” godanya.
Dan sepertinya tepat sasaran. Karena Fanya langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam. “Ngapain gue cemburu? Kenal lo aja enggak!” balasnya. “Jadi terserah lo mau pacaran sama siapa aja. Apalagi Dokter Ita. Gue malah dukung. Kasian dia gak laku dari dulu. Ntar jadi perawan tua, jadi mending lo sama dia aja daripada gangguin hidup gue!”
“Idih, kok sewot gitu sih sayang jawabannya?” Haykal mengerlingkan matanya sambil menoleh ke arah Fanya. Yang sukses membuat gadis itu berlagak mau muntah.
“Lo gak usah banyak ngomong, deh! Nyetir aja. Lo mau bikin gue kecelakaan untuk kedua kalinya?” ucap Fanya seraya kembali menatap layar ponsel miliknya.
Dan Haykal pun tidak bisa menyembunyikan seringai geli dari bibir tipisnya.
***
            “Kita mau kemana, sih?” tanya Fanya saat ia menyadari mobil Haykal membawanya ke arah yang lain dari rumahnya.
“Ke tempat yang pernah jadi kenangan kita, sayang...” jawab Haykal, kalem.
“Kenangan? Emang kita punya kenangan? Kenal lo aja enggak.” Gadis itu langsung membuang pandangannya ke luar jendela mobil. Mengamati jalanan yang mereka lewati. Deretan pohon cemara, bau aspal basah akibat hujan, dan suara burung-burung memancingnya untuk membuka jendela tersebut. Yang langsung disambut oleh semilir kesejukan. Menentramkan jiwa.
Haykal hanya bisa tersenyum di sebelahnya.
Tiba-tiba, dahi Fanya berkerut. Ia merasa pernah melewati jalanan ini. Bukan hanya melewati, bahkan menghabiskan waktu di sekitar sini. Tapi saat ia mencoba mengingatnya, sakit kepala itu kembali mendera. “Auw,” ringis gadis itu sembari memijat kepalanya.
Ciiiiiiiitttttt! Haykal kontan mengerem mobil secara mendadak. “Kamu kenapa?” paniknya. Kemudian membantu Fanya memijat kepalanya dengan tangan kiri sementara tangan kanannya sibuk menjelajahi isi dashboard. Mencari obat pereda sakit kepala milik Fanya yang memang selalu ia bawa.
“Nih, minum dulu...” ucap Haykal sambil menyodorkan sebuah obat dan sebotol air mineral dari dalam dashboard.
Fanya menurut. Ia tidak bisa menolak tindakan Haykal kalau itu berhubungan dengan sakit yang sering ia alami pasca kecelakaan beberapa tahun silam. Dan hanya dengan obat itulah ia bisa bertahan menahan rasa sakit yang dideritanya selama ini.
“Udah mendingan?” tanya Haykal. Penuh perhatian.
Fanya mengangguk pelan. Lalu bersandar ke jok mobil. Ia merasa tubuhnya melemah. Hal biasa yang sering ia alami setiap selesai meminum obat tersebut.
“Ya udah.” Haykal langsung menggeser tubuhnya mendekat ke arah Fanya. Melingkarkan tangannya ke sisi kiri gadis itu. Kemudian memasangkan seatbelt pada tubuh tunangannya.
Fanya menatap tingkah Haykal tanpa berkedip. Ada sesuatu yang berdesir di dadanya. Entah apa itu.
“Kenapa?” tanya Haykal. Menyadari tatapan tunangannya tersebut. Masih dalam posisinya yang sangat dekat. Bahkan, hidung mereka berdua nyaris bersentuhan.
“Enggak,” balas Fanya sambil menunduk. Menghindari tatapan dan deru nafas lelaki itu di wajahnya.
Dahi Haykal berkerut sesaat. Namun, sepertinya ia memilih diam dan memperbaiki posisi duduknya ke semula. Menghadap stir mobil. Lalu menyalakan mesin dan kembali melaju ke pinggiran kota tempat tinggal mereka.
Di sebelahnya, Fanya mulai terlelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar